Saturday, April 6, 2013

Tidak untuk Kedua Kalinya! (Part 2)


“Feb! fotoin!” seru Daffa sambil memberikan senyumnya di depan candi borobudur.
Aku memotretnya dan tersenyum. “Ganteng!” pujiku.
“Makasih!”
“Orang ganteng candinya sih!” ledekku sambil menjulurkan lidah.
“Ihh!!” Daffa pura-pura ngambek.
Aku tertawa. Lalu tiba-tiba seseorang merangkul pundakku dari belakang. Aku menoleh, ternyata Firman.
“Daf fotoin gue sama Febby dong!” pinta Firman.
Aku menyerahkan kameraku pada Daffa dan menyuruhnya memotretku dengan Firman. Berjepret-jepret hasil foto kami sangatlah lucu. Ada yang Firman sedang merangkul pundakku. Atau saat Firman pura-pura ingin mencium pipiku – jarak mulutnya dengan pipiku hanya berjarak sekian sentimeter! – hinga aku menaikkan alisku sambil menatapnya dengan ilfeel. Atau saat ia memegang kepalaku sambil menjulurkan lidahnya panjang-panjang.
“Hahahaha itu foto pas gue mau nyium lo lucu deh!” Firman tertawa.
“Huuu enak di elo Fir!” aku memanyunkan bibirku.
Firman merebut kameraku dan memotret kami berdua dengan sangat tiba-tiba. Ia memamerkan behelnya yang berwarna biru laut dan terlihat sangat-sangat imut. Sedangkan aku dengan jeleknya sedang menaikkan alis kananku dan memasang muka anehku yang bingung.
“Uuh Firman! Gue jelek banget!”
Firman tertawa dan menjulurkan lidahnya. Sedangkan aku menatapnya sangar.
Hari ini, sekolah sedang mengadakan jalan-jalan ke Jogja. Cuma untuk anak kelas X dan anak kelas XI. Dan aku satu bis dengan kelasnya Firman. Di bis pun, Firman duduk di kursi di belakang kursiku dan Daffa.
Ya, hubunganku dengan Firman memang makin dekat. Tapi hanya sebatas teman. Aku pun tak tahu dan lebih tak peduli Firman menganggapku sebagai apa. Karena hubunganku yang semakin dekat dengan Firman. Para Firman’s membentuk FebbyHaters. Ya memang sih mereka tak pernah melabrakku lagi karena takut dengan Firman. Firman pernah mengancam mereka kalau ada yang melabrakku lagi Firman akan melabrak balik anak itu dan menimpukinya dengan bola voli. Ah mentang-mentang ia anak ekskul voli! Menurutku ancaman itu hanya candaan Firman, tapi semua Firman’s menurut!
Kadang para Febbyhaters memandangku dengan menyeramkan saat aku sedang bercanda-canda dengan Firman. Yah, aku sih nggak peduli. Terserah mereka mau apain aku kek.
“Dooorr!!” Dinda mengagetkanku saat aku sedang duduk di tempat tidur hotel yang dikhususkan untuk sekolahku.
Aku langsung tersentak karena kaget. “Dinda ih!”
Dinda hanya nyengir polos dan duduk di sebelahku sambil memandangiku.
“Apaan sih liat-liat? Lo suka sama gue?” godaku sambil bercanda.
“Yeee… Eh kok lo bisa deket sama Firman? Lo kenal darimana?”
“Ya tiba-tiba dia deketin gue gitu kok.”
“Ohh…”
Dinda ini salah satu dari anak-anak kelas yang masih mau berteman denganku. Ya tentu lah! Ia kan teman pertamaku! Lagipula katanya juga Firman itu biasa-biasa saja. Aku langsung mengernyitkan dahi mendengarpenuturan anak satu ini. Bagaimana mungkin?! Baginya Firman itu biasa-biasa saja, tapi Robby yang cupu itu tampan?! Anak ini telah dibutakan oleh cinta.
“Gimana hubungan lo sama Robby?” tayaku.
“Yah gitu deh masih lancer kok! Dia juga orangnya asyik Feb! kalo dia lepas kacamata aja, dia cakep banget. Sumpah!”
“whatever…” aku memutar bola mataku dan merebahkan diriku.
Jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Rika dan Ayu teman sekamarku masuk sambil tertawa-tawa. Mereka berdua menyapaku dan Dinda dengan senyum manis. Aku hanya balas tersenyum.
“Oh iya! Febby tadi dicariin Kak Firman!” kata Ayu.
“Bodo ah…” jawabku malas.
“Ih gak boleh gitu sama pacar Feb…” goda Rika.
“Dia bukan pacar gueee!” kataku sambil menggeleng.
“Terus siapa dong pacar lo?” tanya Ayu.
“Gue single.”
“Terus foto di dompet lo foto siapa….” goda Dinda.
Aku cuma tersenyum rahasia dan merebahkan diriku sambil menutup kepalaku dengan bantal. Foto di dompet… Fotoku dan Kiki saat sedang saling menyuapi stroberi di daerah puncak.
Aku ingat saat itu aku sangat senang sekali. Kami menginap di villa milik Tantenya Kiki. Saat itu Kiki hanya mengajak Rafli dan Ardi. Beruntung aku bukan cewek sendiri. Ada adik sepupu Kiki yang setahun lebih muda dariku yang menemaniku, Safira.
Setelah memetik stroberi yang manis-manis itu. Tante Suci – Tantenya Kiki – membuatkan jus stroberi yang menurutku sangatlah enak. Hari itu adalah hari yang sangat menyenangkan bagiku.
Air mataku hampir saja menetes. Tidak, aku takkan menangis kali ini. aku membalik bantalku dan menatap langit-langit kamar ini. dinda ada di tempat tidur sebelahku, sibuk dengan hapenya yang tiba-tiba tak bisa terbaca kartu sim nya. Ayu dan Rika cekikikan berdua di tempat tidur masing-masing.
Sungguh aku bosan sekali. Aku bangkit dan berjalan keluar, ke balkon utama yang ada di sudut hotel. Kerlap-kerlip lampu kendaraan menghiasi gelap malam.
Baru sebentar aku menatap keindahan malam disini,tiba-tiba seseorang menutup mulut dan mataku dengan tangannya. Aku kaget dan hampir saja berteriak, tapi orang itu mengisyaratkanku untuk diam.
Aku dibawa pergi entah kemana. Aku sedikit takut kali ini. Tapi wangi tubuh orang misterius ini seperti kukenal. Seperti Firman. Lalu orang itu berhenti di suatu tempat yang udaranya sangat dingin. Yaampun dimana ini? orang itu melepaskan tangannya yang membekap mulutku lalu melepaskan tangannya yang menutup mataku dengan perlahan.
“Firman! Lo ngap-“ omonganku belum selesai saat aku menyadari keadaan sekitar. Di atap hotel. Penuh bunga-bunga dan tanaman lain yang indah. “Wow! Ini hotel?”
Firman mengangguk dan tersenyum. “Siapapun yang bikin ini, gue salut deh!”
Aku menatapnya dan tersenyum. Orang ini… Sekarang saat aku menatapnya seperti ini, aku rasa ia bukanlah orang aneh yang sok saat aku baru mengenalnya. Tapi sekarang kurasa ia adalah orang baik yang lucu.
Firman balas menatapku dengan serius. Biasanya aku mengalihkan pandanganku kalau ia menatapku seperti ini. tapi sekarang, entah kenapa aku berani menatap matanya.
“Feb… Gue…”
“Apa?”
“Itu… Uhuk! Uhuk!” tiba-tiba Firman terbatuk-batuk dengan parah.
Aku menatapnya dengan bingung. Mungkin sebentar lagi batuknya akan sembuh.
“Feb…” Tiba-tiba nafasnya menjadi tersendat-sendat.
“Fir, lo kenapa?!” aku mulai panik.
Terdengar gumaman darinya tapi aku tak begitu mendengar ataupun mengerti.
Akhirnya Aku membantunya berjalan sampai ke ruangan hotel yang ditempati guru-guru. Para guru bertanya tapi aku bingung dan hanya menjawab dengan kata tidak tahu.
Terdengar suara Firman walau tak terlalu jelas. Pak David menyuruhku mengambil sebuah alat yang berada di tas Firman. Aku mencari kamar milik Firman. Untung tadi pagi ia memberi tahu nomer kamarnya. Saat ini aku benar-benar panik!
Aku membuka pintu kamar itu dan mendapati tiga anak cowok yang sedang mendengarkan musik keras-keras. Aneh, diluar tak terdengar suara sama sekali. Aku hanya mengenal David teman karib Firman.
“Heh kelas sepuluh ngapain lo disini?” tanya David sok jutek. Padahal biasanya di sekolah dia caper banget!
“Err… Gue disuruh ngambil obatnya Firman…”
David mengangguk lalu mengambil tas Firman dan membuka-bukanya, “Lo disuruh siapa? Firman?”
“Bukan… gue disuruh guru…”
David langsung menoleh padaku. “Firman kenapa?”
“Eh… Dia ada di ruang guru…”
David geleng-geleng kepala dan mengambil kantong plastik berwarna biru dari tas Firman lalu ia menarikku keluar. Ia berjalan cepat-cepat menuju ruang guru. Dan aku tersaruk mengikutinya.
Semua berjalan begitu cepat. Saat ini aku sedang duduk di sebelah Firman yang sudah bernafas dengan normal. Sungguh aku sangat bingung. Sepertinya Firman punya penyakit asma? Tapi kenapa baru sekarang aku melihatnya? Lagipula ia tak pernah membawa-bawa alat bantu pernpasannya selama ini.
Firman masih diam. Sangat beda dengan dirinya yang selama ini bawel sekali. “Sorry gue ngerepotin lo…” katanya padaku setelah terdiam beberapa lama.
“Iya gak apa-apa kok…” aku tersenyum padanya.
Aku melirik jam tanganku. Sudah jam sembilan malam. Aku menguap, rasanya aku capek sekali hari ini.
“Gue ke kamar gue ya…” kataku pada Firman.
“Jangan…” cegahnya dengan suara yang sangat lemah.
“Kenapa?”
“Temenin gue aja disini…”
Aku menghela napas perlahan, “Oke…”
“Kita ke luar aja yuk…” ajaknya.
“Kemana?”
“Ayo keluar aja…”
Akhirnya aku keluar bersamanya, lalu berjalan menuju balkon hotel yang menghadap kolam renang. Sangat sejuk disini. Aku duduk bersebelahan dengan Firman. Angin mulai berhembus pelan membuatku semakin mengantuk.
“Feb, besok kita foto-foto bareng lagi ya.” kata Firman sambil tersenyum.
“Mm… Ya…” jawabku yang mulai setengah hilang kesadaran.
“Terus besok kita…”
Setelah itu aku tak mendengar lagi omongan Firman, karena aku sudah berada di alam bawah sadarku.

                                                ***

“Ngg…” aku mengucek mataku lalu melihat sekeliling.
Hah? Sejak kapan aku ada di kamar? Aku menyalakan hapeku dan melihat jam, sudah jam dua pagi? Dinda, Rika, dan Ayu sudah terlelap di tempat tidurnya masing-masing.
Aneh, seingatku aku tertidur saat Firman sedang berbicara. Apa mungkin Firman menggendongku sampai kamar? Aku memeluk guling dan berusaha tidur. Tapi sayangnya tak bisa. Aku teringat kameraku dan mencarinya. Setelah kuraba-raba meja dalam keadaan gelap, aku menemukannya. Aku melihat-lihat foto yang baru saja diambil selama di Jogja sekarang. Sudut bibirku terangkat saat melihat foto-foto Firman dan kegilaannya dalam foto itu. Satu foto membuatku sangat tertarik, yaitu foto saat Firman mengambil dengan sangat tiba-tiba tadi siang.
Rasanya saat aku melihat Firman, terasa perasaan yang berbeda. Dulu saat pertama kali melihat dan mengenalnya aku tak suka dengannya karena ia terkesan sangat sok. Lalu aku mulai melihat kebaikannya saat ia menolongku yang sedang dilabrak kakak kelas lenjeh itu. Semakin lama aku semakin melihat sisi kebaikannya dan membuatku sangat nyaman. Aku memang menganggapnya teman saat ini, tapi perasaanku mengatakan kalau aku akan menganggapnya lebih dari seorang teman ataupun sahabat. Entahlah…, aku belum siap. Aku masih takut. Takut terjadi apa-apa seperti kejadian dulu. Dan aku masih belum bisa menghapus Kiki dari diriku. Aku masih menginginkannya.
Setetes air mata turun dari mataku dan turun dengan perlahan melalui pipiku. Kenapa aku ini? Jangan! Aku tak boleh menangis! Aku menggeleng kuat-kuat.
“Feb? lo kenapa?” terdengar bisikan seseorang dari sebelah, suara Dinda.
Aku buru-buru menghapus air mataku walau dalam gelap tak kelihatan tapi aku tetap saja ragu. “Gak pa-pa Din…” balasku juga berbisik takut membangunkan Ayu dan Rika.
“Lo nangis?” tanya Dinda lagi.
“Eh… nggak kok…”
“Bohong. Lo pasti nangis.”
“Nggak Din. Dah lo tidur lagi sana…”
“Yaudah… Tidur juga lo!”
“Iya… Eh, bentar Din!”
Terdengar helaan napasnya, “Apa lagiii??”
“Tadi yang bawa gue ke kamar siapa?”
“Firman…” jawabnya setelah terdiam cukup lama.
“Hah? Dia bawa guenya gimana?”
“Digendong…” jawabnya enteng. Aku yakin ia sedang memasang muka polos sekarang.
“Yaudah tidur sono…”
“Yee!”
Aku? Digendong? Oleh Firman? Mudah-mudahan tak banyak yang melihat!

                                                ****

“Huuuhh parah banget masa gue dihukum suruh masukin nilai ulangan banyak banget!! Febb kesini dongg!!” celoteh Daffa begitu aku mengangkat teleponnya.
“Jauh!” jawabku malas-malasan.
“Pleasee!! Naik motor kan bisa?”
“Gue masih mau tidurrr! Lo sih pake nelpon-nelpon. Siapa suruh teriak-teriak di kelas!?” omelku.
“Yaelah maaf… Please Feb. bantuin gue. Kalo sebanyak gini sampe maghrib juga gak selesai kalo cuma gue sendirian!”
“Ck! Yaudah tunggu!”
Aku menguap dan memakai jaketku serta menyisir rambutku yang berantakan. Setelah itu kucari kunci motor di laci meja. Tak ada. Mataku langsung membulat.
“Deee!! Kunci motor mana?!” teriakku dari dalam kamar tapi tak ada jawaban.
“Ahh! Deeeee!! Nitaaa!!” aku berjalan keluar kamar dan melihat rumah dalam keadaan sepi. Kemana ini si Nita?
Aku menengok ke garasi dan mendapati motor tak ada disana. Wah dibawa kemana lagi?
“Nitaaaa! Kemana sih?”
Baru saja aku berniat menelepon adikku yang bandel satu ini, suara motor terdengar dari luar. Aku langsung keluar dan mendapati Nita yang sedang memasukkan motor ke halaman rumah.
Aku langsung menghampirinya dan menjewernya.
“Ah! Sakit Kak! Aduh!” katanya setengah berteriak.
“Bagus ya jadi anak main asal ambil motor orang…”
Ia langsung terdiam.
“Turun lo! Gue mau pake! Sekali lagi diulangin awas aja!” ancamku.
“Yaelah cuma dipake bentar doang…”
Aku tak memperdulikannya dan bersiap-siap menggas motor itu. Sampai aku sadar ada sesuatu yang kurang. “Sepuluh ribu sini!” aku memalak Nita.
“Lho kok?”
“Tadi pas gue pulang, motor gue bensinnya masih setengah. Sekarang udah mau abis gini?”
“Uuuhh…” Nita merogoh kantong celananya dan memberiku selembar sepuluh ribuan.
Aku langsung menggas motor dengan kencang menuju sekolah setelah mengisi bensin. Sekolah terlihat sangat sepi sore-sore begini. Aku menuju kantin terlebih dahulu untuk membeli minum. Setelah membeli minum, aku melewati koridor sekolah yang terhubung ke kantin. Bagian itu sangat sepi karena terletak di pojok dan merupakan tempat nongkrong cowok-cowok bandel di sekolah.
Baru saja aku mau berbelok, aku mendengar suara dan melihat dua orang cowok yang sangat kukenal. Firman dan Rafli. Ngapain Rafli disini? Mereka berbicara dengan sangat serius dan membuatku enggan untuk lewat. Jadi aku tetap bersembunyi dibalik tembok dan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Gini deh Fir, lo mau apa sekarang? Oke, gue tau kalo Kiki udah nyuruh lo jagain dia! Tapi lo gak boleh ngambil dia tanpa seijin Kiki! Biar gimana pun dia itu masih pacarnya Kiki walau Kiki udah gak ada!”
“Gue mau dia Raf! Gue mau Febby!” Firman menekankan.
Mataku langsung melotot. Tidak, pasti bukan aku. Tapi yang mereka bawa itu aku dan Kiki…
“Gak bisa! Febby punya Kiki Fir. Lo cuma disuruh jagain dia, bukan milikin dia!”
“Emangnya salah ya Raf kalo gue suka sama dia? Kalo gue sayang sama dia lebih dari yang selama ini gue anggep titipan dari Kiki? Aneh?!” Firman terdengar emosi.
“Aneh! Febby hanya milik Kiki. Lo gak boleh sama dia!”
“Kiki udah mati!! Dia gak mungkin hidup lagi kan buat-“ omongan Firman terpotong saat ia melihatku.
Sungguh, aku sudah tak tahan lagi. Semua pembicaraan mereka. Aku menatap Firman dengan muka memerah. ‘Titipan dari Kiki’-kah aku selama ini baginya? Padahal aku mulai menganggapnya lebih dari teman ataupun sahabat. Walau ia mengatakan pada Rafli barusan kalau ia menginginkanku, tapi rasanya hatiku sangat sakit. Berarti kan sebelumnya ia menganggapku sebagai ‘barang’ yang harus ia jaga.
Aku menatap Rafli juga. Keduanya sama-sama merasa bersalah begitu melihatku. Aku menatap mereka bergantian. Entah kenapa air mata mengalir dari mataku.
Aku menggeleng dan berjalan meninggalkan mereka menuju ke kelas untuk menghampiri Daffa. Firman dan Rafli berusaha mengejarku dan memanggilku tapi aku berjalan begitu cepat sampai aku hampir menabrak seseorang saat mau menaiki tangga.
“Lho? Febby?” ternyata orang yang barusan kutabrak adalah Daffa.
Daffa memegang pundakku dan menatapku dengan bingung. Aku pun balas menatapnya masih dengan mata yang basah. “Lo kenapa?” tanya Daffa.
Aku menggeleng. Lalu mata Daffa melirik kearah belakangku. Sepertinya ia sudah tau akar dari permasalahan ini. daffa begitu lama menatap dua orang yang ada di belakang kami, dengan sangat tajam.
“Ayo pulang aja.” ajak Daffa.
Aku memegang lengannya dan kami berjalan melewati Rafli dan Firman yang sedang terpaku.
Ada apa?” tanya Daffa saat kami sampai di parkiran.
Aku tersenyum tipis dan menggeleng. Daffa mengerti kalau aku tak mau cerita, lalu ia mengangguk.

                                                            ****

“Feb! tunggu dong!” Firman mencoba mengejarku saat aku sedang menginjak tangga.
Tadi pagi ia menjemputku seperti biasa tapi aku tak menghiraukannya dan malah ikut bersama Papa dan Mama. Lalu aku sampai pukul 5:15 di sekolah. Masih sangat sepi. Bahkan gerbang baru terbuka sedikit. Tapi ada seseorang yang menungguku di gerbang, Firman. Aku melewatinya dengan cuek dan menuju ke kelasku dengan berjalan cepat-cepat. Walau keadaan sekolah masih agak gelap, aku tak takut.
“Feb please denger dulu dong.” katanya saat aku baru menginjak lantai dua.
Aku berhenti dan menoleh, “Gue gak perlu penjelasan. Makasih udah jagain gue selama ini sebagai titipan.”
Firman ternganga dan aku melanjutkan berjalan menuju kelas. Ia masih mengejarku.
“Gue bukan nganggep lo sebagai titipan Feb, please dengerin gue dulu.”
Tidak. Hatiku terlalu sakit. Seharusnya dari awal aku sadar kalau Firman hanya menganggapku sebagai barang. Tak mungkin orang sepopuler dia mendekatiku kan? Pasti ada sebabnya kan? Astaga aku bodoh sekali.
Kali ini aku sampai di kelas dan aku menyalakan lampu kelas. Firman berdiri di belakangku dan terdengar napasnya yang agak ngos-ngosan. Tiba-tiba ia menarik pundakku dan membuatku berhadap-hadapan dengannya. Dan tiba-tiba, ia memelukku yang membuatku langsung merinding.
“Feb gue sayang sama lo. Dan gue gak nganggep lo sebagai barang, percaya sama gue.”
Aku terpaku beberapa lama. Lalu saat aku sadar, aku mendorongnya kuat-kuat. “Nggak! Gue gak pernah percaya sama lo. Dan gak akan pernah!” teriakku lalu melempar tasku ke kursi dan berlari keluar.
“Feb!” terdengar suara Firman memanggilku, tapi aku berlari begitu cepat dan aku tak memperhatikan keadaan sekitar yang sangat gelap.
saat aku berlari menuruni tangga, tiba-tiba aku terpeleset. Terdengar teriakanku dan teriakan Firman yang terkejut.

                                                ***

“Aw…” aku memegang kepalaku yang terasa sangat sakit.
Terlihat pemandangan kamar rumah sakit. Tapi aku tak mengenal rumah sakit ini. Aku melihat sekeliling. Terlihat tempat tidur kosong disampingku dan terlihat seseorang yang tertidur di kursi tempat tidur sampingku yang memakai kaos berwarna merah.
Lalu pintu terbuka dan masuk seorang anak cowok lagi yang sedang membawa sekeranjang apel.
“Febby? Udah bangun?” kata anak cowok itu sambil menaruh apel di meja sampingku.
Ia memanggilku? Tunggu, siapa aku?
Aku mengerutkan dahiku menatap cowok itu, “Siapa?”
Anak cowok itu malah bingung dan menatapku balik. “Lo gak kenal gue?”
Aku menggeleng.
“Ini gue Daffa, Feb! lo lupa sama gue? Gue sahabat lo!”
Aku menggeleng, kini aku berusaha mengingat. Tapi yang aku ingat hanya saat aku bangun barusan. Kini cowok yang tertidur di kursi sampingku terbangun dan ia menatapku.
“Feb?”
Kenapa aku tak ingat kedua orang ini? kenapa aku malah tak mengingat namaku sendiri?
“Feb! ini gue Daffa! Inget gue!” cowok yang membawa apel itu kini memegang pundakku.
“Febby kenapa Daf?” kata si cowok kaos merah.
Si cowok apel berbisik pada si kaos merah.
“Feb? lo lupa sama kita?”
Aku menggeleng.
“Gue Firman Feb!” kata si kaos merah.
“Gue Daffa!” kata si cowok apel.
Aku berusaha kuat-kuat mengingat mereka tapi aku sama sekali tak mengingat apapun! Akhirnya aku menangis.
Kedua cowok itu saling menatap. Si cowok apel keluar, entah ia mau kemana. Lalu tak beberapa lama, si cowok apel datang membawa seorang lelaki yang sudah tua yang berpakaian putih-putih.
Setelah itu lelaki tua itu memberikan sesuatu padaku sehingga aku tak sadarkan diri.

                                                ****

“Febby!!” Daffa membuka pintu kamarku sambil membawa coklat yang aku nanti-nantikan.
“Daffa!!” aku balas sok histeris sambil memeluknya.
Ya, sedikit demi sedikit aku mulai mengingat semuanya. Kata dokter aku kena amnesia. Aneh ya, biasanya itu hanya ada di novel atau di film-film. Terjadi benturan sangat keras di kepalaku yang membuatku begitu. Aku mulai mengingat semuanya.
Tapi aneh, aku tak mengingat satu orang. Orang yang tertidur disampingku saat aku terbangun di rumah sakit. Orang berbaju merah yang mengaku namanya Firman. Semua foto-foto yang ada di kameraku, yang menyatakan kedekatanku dengan Firman masih membuatku tak mengingatnya.
“Gimana? Lo udah inget sama Firman?” tanya Daffa.
“Ash belom! Kenapa ya?”
“Mungkin otak lo terlalu capek mengingat…” kata Daffa sok bijaksana.
Aku tertawa dan mencubit gemas lengannya.
“Eh udah dulu ya, gue mesti nemenin bokap. Tuh coklat lo di meja. Masa gue jenguk lo mesti bawain coklat, Cadbury lagi. Licik lo.”
Aku tambah tertawa dan membuka coklatku, “Dah sana pulang. Kalo mau jenguk bawain toblerone ya!”
“Ogah!!” teriak Daffa dari luar.
Aku duduk dan memakan coklatku pelan-pelan. Lalu aku mengingat kameraku dan aku mengambil benda itu dari laci. Aku melihat-lihat foto yang tertera disana. Saat di Jogja, kebanyakan fotoku bersama cowok yang bernama Firman itu. Aku berhenti saat sampai di foto saat Firman merangkul pundakku dengan latar belakang candi borobudur. Lucu sekali. Terlihat sangat akrab, tapi sayang aku tak mengingatnya…
Tapi tumben hari ini anak itu tak datang? Kemana dia? Biasanya ia yang setiap hari absent menjengukku. Terasa sepi. Saat ia disini, setiap ia menceritakan semua hal yang kualami dengannya aku agak tertarik. tapi sekarang saat ia tak ada rasanya sepi.

                                                ****

Sudah lima hari aku masuk sekolah, tapi aku tak melihat Firman dimana pun. Kemana ya anak itu? Padahal kata Daffa kami satu sekolah dan ia sangat populer sampai bisa terlihat dimanapun.
Kata David, Firman sakit. Sakit apa? Ah tapi aku kan tak mengingatnya. Lagipula buat apa aku peduli? Kenapa aku?
“Woi!!” seseorang mengagetkanku saat aku sedang terbengong di atap sekolah.
Aku menoleh, dan kudapati David kakak kelas yang entah kukenal darimana. “Apa sih Vid?!”
“Bengong aja! Bengongin Firman ya?”
“Gak tau.” jawabku singkat.
“Oh iya, nih! Titipan dari Firman!” David memberiku sepucuk surat.
“Apaan nih?! Bom surat?”
David menoyor kepalaku, “Bego banget sih! Itu surat. Kata Firman gak boleh di buka sebelum lo sampe rumah!”
“Iya bawel! Kenapa bukan dia aja yang ngasih?”
Kan dia lagi di rumah sakit dirawat Febby…”
“Ooohh… Yaudah gue pulang ya! Bye!”
“Eh ikut ke bawahnya!” David mengejarku yang sudah ngeloyor kearah tangga.
Setelah lima belas menit perjalanan dengan motor, aku sampai juga di rumah. Nita sepertinya sedang pergi bermain karena sepeda di garasi tak ada dan pintu rumah di kunci.
Aku masuk dan langsung berjalan menuju kamarku. Dengan hati-hati aku membuka surat itu.
Teruntuk Febbryana Putri Aurelia.
Dari Firman Putra yang tak diingat.
Gue cuma mau cerita, kemaren lupa cerita hehehe.
Yahh… Gue tau lo pasti gak akan inget.
Kita pernah berantem Feb. awal permasalahan sih berawal dari lo yang nguping pembicaraan gue sama Rafli di koridor. Oke, gue tau lo sakit hati karena sebelumnya gue nganggep lo sebagai barang titipan.
Lo pernah mikir gak sih kenapa tiba-tiba gue deketin lo? Itu karena Kiki Feb. gue itu sahabat Kiki dari kecil, tetangganya lah. Pas kelas dua SD Kiki pindah rumah, tapi tenang kita masih sahabatan. Masuk SMP gue udah agak lost contact gitu sama dia tapi masih sempet ketemu lah.
Waktu gue denger kabar kalo dia meninggal… gue shock. Sumpah. Gue bingung, kenapa malah sahabat gue yang mati duluan?
Sehari sebelum masuk tahun ajaran baru, gue dapet mimpi… dari kiki. Dia bilang, “Jagain Febby selama gue gak ada.”
Sorry ya gue tuh gak pernah ngomong jujur sama lo soal ini. kalo lo udah inget jangan marah lagi ya? Please!!!!

Aku melipat surat itu dan duduk di ujung tempat tidur. Kepalaku pusing, sangat pusing. Aku berdiri untuk mengambil minum di dapur, tapi tiba-tiba tubuhku oleng dan aku hampir saja terjatuh kalau aku tak memegang lemari dengan kuat.
Sekelibat bayangan-bayangan terlintas di pikiranku. Semua itu ingatanku tentang Firman! Ya ampun aku baru ingat semuanya. Dari awal aku mengenalnya sampai peristiwa pertengkaran dengannya yang membuatku terjatuh dari tangga. Jadi ini alasannya mendekatiku? Karena Kiki?
Langsung aku mengambil handphone dan menghubungi David untuk keterangan dimana Firman dirawat. Ia dirawat di salah satu rumah sakit di daerah Jakarta Selatan dan aku langsung mengambil motor tanpa perduli apa yang akan terjadi nanti.
Kata David asmanya tambah parah dan sekarang ia sedang kritis karena ia juga punya penyakit paru-paru yang sekarang kambuh juga. Tak kupedulikan pertengkaran yang terjadi dengannya karena ia sudah memberikan alasan logis. Lagipula selama aku sakit ia yang menemaniku, aku harus berterima kasih padanya.
Begitu sampai aku langsung menuju lantai lima dan berjalan ke ruangannya. Bagitu aku masuk aku mendapati dirinya yang sedang tertidur sendirian disana. Aku masuk pelan-pelan dan duduk di kursi samping tempat tidurnya sambil memandangnya prihatin. Mukanya terlihat sangat berbeda dari biasanya, sangat terlihat pucat. Rasanya aku ingin menangis melihatnya begini. Dadaku terasa sesak. Aku tahu sekarang aku menyayanginya dan aku tak mau kehilangan dia seperti aku kehilangan Kiki. Aku tak mau terjadi sampai kedua kalinya.
Aku terus memandangnya sampai tiba-tiba ia membuka matanya yang membuatku kaget.
“Febby?!” serunya terkejut dan ia langsung mendudukan diri di tempat tidur.
“Hey…” aku tersenyum.
“Lo ngapain disini?”
“Jenguk lo?”
“Lo udah inget?”
“Inget apa?”
“Tentang gue…”
Aku terdiam dan tersenyum lalu menggeleng, “Belum…” jawabku tentu saja berbohong.
Ia menghela napas dan menunduk, “Gue kira lo udah inget gue…”
“Sorry…” aku menunduk lalu memasang tampang tak bersalah.
Ia mengacak rambutku dan tersenyum, “Gak pa-pa bukan salah lo kok.”
“Thanks!” aku tersenyum lalu memandangnya.
Lucu sekali memandang dirinya yang sedang sakit. Biasanya muka nan nyebelin sok itu selalu terpajang di wajahnya. Tapi sekarang ekspresi mukanya yang begitu tak ada disana, aku cuma melihat seorang anak cowok yang lelah dan pucat.
Kini ia balas memandangku dan aku bisa melihat penyesalan dari matanya. Mungkin ia menyesal telah membuatku lupa ingatan beberapa saat karena terjatuh dari tangga. Mungkin ia menyesal telah memelukku pagi itu. Dan mungkin ia menyesal telah bilang ia menyayangiku pagi itu juga…
“Gue pulang ya…” aku memakai jaketku dan bangkit dari kursi.
“Ya. Hati-hati ya…”
“Iya…” aku tersenyum lalu buru-buru keluar dari situ.
Sebenarnya aku ingin menangis karena melihatnya, makanya aku lebih memilih buru-buru pulang. Kalau kelamaan disana, nanti aku menangis dan bisa ketahuan kalau aku sudah mengingatnya.
Hope he will be fine…

                                                ***

“David!!” panggilku dari koridor di depan kelas saat ia ada di lapangan basket.
“Apaan?!”
“Tunggu situ!” aku buru-buru turun ke bawah. Sekarang kelasku sedang jam kosong. Kelas menjadi sepi, cuma beberapa anak yang tinggal. Yang lain sudah menghambur keluar, entah kemana.
Ada apa?” tanya David saat aku sampai di hadapannya.
“Lo kemaren nelpon gue ada apa?” aku balik bertanya.
“Hah? Kapan?”
“Yang malem-malem itu! Gue udah tidur makanya gak gue angkat.”
“Oh iya! Firman mau ke Singapore Feb!”
Aku langsung terbelalak, “Kok gitu?!”
“Iya dia semalem telpon gue, dia kasih tau kayak begitu. Katanya penyakit paru-parunya tambah parah jadi dia mesti diobatin disana. Dia bilang jangan kasih tau lo, tapi gue kasih tau aja. Jangan bilang lo tau dari gue ya!”
“Kok dia gak mau kasih tau gue?!”
“Gak tau… Ntar penerbangannya malem. Tapi paling sorean dia udah berangkat lah.”
“Yaudah gue naik dulu… Thanks infonya…”
Aku langsung kepikiran. Berarti aku harus berpisah dengan Firman? Walau tak berpisah selamanya, tapi kan tetap saja…
Selama pelajaran berlangsung pikiranku melayang dan tak memperhatikan guru sampai pada saat pelajaran kimia aku ditegur Pak Jul karena melamun.
Akhirnya pada saat pulang sekolah aku tak langsung menuju rumah, tapi menuju rumah sakit terlebih dahulu untuk bertemu Firman. Begitu aku mau masuk ke dalam kamar inapnya, aku berhenti. Pintu kamar sedikit terbuka dan aku mengintip kedalam. Terlihat Firman sedang melamun sambil memandang jendela. Tidak, dia tak sedang melamun. Tapi ia berbicara!
“Ki, gue bukan lancang ngambil cewek lo. Tapi gue sayang sama dia. Sekarang dia lupain gue Ki. Jadi gak pantes kali ya gue sayang sama dia lagi?”
Lalu ia terdiam lagi dan tersenyum, “Kalo dia tau gue bakalan pergi, dia kesepian gak ya? Dia jadi inget gue lagi gak ya?” lanjutnya.
“Ki, gantiin gue sini, biar gue aja yang mati. Gue juga udah putus asa dilupain. Enak ya jadi lo, kalo lo masih hidup kan lo punya pacar yang perhatiin lo. Lah gue?” katanya lagi yang membuatku sesak.
“Aneh ya baru kali ini gue cinta banget sama orang. Ceweknya almarhum sahabat gue lagi! Bener-bener jahat ya gue jadi sahabat.”
Aku sudah tak tahan mendengarnya dan aku langsung masuk ke ruangan itu. Aku pura-pura tak tau telah mendengar ia berbicara tentangku. Ia langsung terkejut begitu aku masuk.
Ada apa Feb? kok lo masih pake seragam sih? Bolos lo ya?”
Aku terdiam dan menatapnya, “Fir, lo mau pergi?” tanyaku tanpa menghiraukan pertanyaannya barusan.
“Kok lo… tau?”
“Gak penting gue tau darimana. Kok lo mau ninggalin gue sih?” tanyaku yang mulai merasa ingin menangis.
“Gue…”
“Kok lo jahat sih sama gue? Lo kan udah bikin gue jatoh dari tangga. Sekarang lo mau ninggalin gue gitu? Jahat banget.” Aku menunduk.
“Lo… inget?”
“Ya gimana gue gak inget orang yang udah jagain gue selama gue di sekolah? Gimana gue gak inget orang yang sok nya kelewatan kayak lo? Gue tanya, kenapa lo mau ninggalin gue? Gue udah cukup Fir ditinggalin. Gue gak mau lo ninggalin gue juga.”
“Gue cuma ngobatin penyakit gue…”
“Tapi kita gak akan ketemu lagi kan? Ntar yang jagain gue di sekolah siapa selain lo? Lo mau biarinin gue di bully fans-fans lo?”
“Feb…”
“Lo kan pernah bilang gak akan ninggalin gue… Kok sekarang lo pergi? Terus gue sama siapa?” aku mulai menangis.
Firman mulai kehilangan kata-kata.
“Walau nanti lo balik lagi ke Indonesia, kita belum tentu bakalan ketemu lagi kan Fir? Cuma lo yang bisa gantiin Kiki, cuma lo.”
Firman memandangku.
“Kenapa disaat gue sayang sama orang tuh orang harus ninggalin gue sih? Kenapa?”
Firman menghapus air mataku dengan tangannya lalu ia mengambil tanganku dan mengelusnya, “Gue janji Feb gue bakalan balik dan kita pasti ketemu lagi. Gue gak bakalan kok ninggalin lo selamanya…”
“Janji?”
“Janji!” ia mengulurkan kelingkingnya.
Aku akhirnya tersenyum dan mengaitkan kelingkingku di kelingkingnya.
Malam itu…
Kini aku sedang berada di bandara bersama Rafli sambil menunggu keberangkatan Firman. Aku terus menerus menyemangatinya padahal aku tak tahu akan semangat atau tidak tanpanya.
Lalu tak beberapa lama terdengar kalau pesawat ke Singapore akan segera berangkat. Firman memelukku terlebih dahulu lalu berjalan menuju pesawatnya.
“Goodbye!!” pamitnya lalu menghilang dibalik pintu.
“Ayo pulang…” ajak Rafli.
“Yuk!” aku tersenyum lalu memeluk lengan Rafli yang sudah kuanggap kakak sekarang.

                                                ****

“Ma Febby berangkat!” pamitku pada Mama pagi ini.
Rafli sudah menungguku di depan rumah dengan mobilnya yang berwarna hijau mengkilap itu. Hari ini sedang libur semester di kampus dan kebetulan aku satu kampus dengan kakak angkatku alias Rafli. Kini aku sudah menginjak semester lima dan Rafli semester enam. Kami semakin dekat layaknya kakak dan adik. Sekarang ia mau mengajakku jalan-jalan.
“Siap?” tanyanya saat aku memasang sabuk pengaman.
“Siap! Mau kemana?”
“Liat aja nanti!”
Ternyata Rafli membawaku ke bandara dan aku pun langsung bingung. “Kok kesini Raf?”
“Udah lo diem aja dulu.”
Kami menuju ke tempat menunggu orang-orang yang baru datang. Bandara lumayan ramai hari ini dan Rafli mengajakku agak kedepan supaya kelihatan. Aku bingung, sebenarnya kita mencari siapa?
“Rafli!” seseorang memanggil Rafli dari belakang dan otomatis aku dan Rafli menoleh.
Mataku langsung membulat begitu melihat siapa dia. “Firman?!!” seruku tak percaya.
“Hei…” ia berjalan kearahku dan memelukku begitu erat. “Gue kangen banget sama lo.”
“Makasih udah nepatin janji…” ucapku dalam pelukannya yang hangat itu.

No comments:

Post a Comment