“Feb!
fotoin!” seru Daffa sambil memberikan senyumnya di depan candi borobudur.
Aku
memotretnya dan tersenyum. “Ganteng!” pujiku.
“Makasih!”
“Orang
ganteng candinya sih!” ledekku sambil menjulurkan lidah.
“Ihh!!”
Daffa pura-pura ngambek.
Aku
tertawa. Lalu tiba-tiba seseorang merangkul pundakku dari belakang. Aku
menoleh, ternyata Firman.
“Daf
fotoin gue sama Febby dong!” pinta Firman.
Aku
menyerahkan kameraku pada Daffa dan menyuruhnya memotretku dengan Firman.
Berjepret-jepret hasil foto kami sangatlah lucu. Ada yang Firman sedang merangkul pundakku.
Atau saat Firman pura-pura ingin mencium pipiku – jarak mulutnya dengan pipiku
hanya berjarak sekian sentimeter! – hinga aku menaikkan alisku sambil
menatapnya dengan ilfeel. Atau saat ia memegang kepalaku sambil menjulurkan
lidahnya panjang-panjang.
“Hahahaha
itu foto pas gue mau nyium lo lucu deh!” Firman tertawa.
“Huuu
enak di elo Fir!” aku memanyunkan bibirku.
Firman
merebut kameraku dan memotret kami berdua dengan sangat tiba-tiba. Ia
memamerkan behelnya yang berwarna biru laut dan terlihat sangat-sangat imut.
Sedangkan aku dengan jeleknya sedang menaikkan alis kananku dan memasang muka
anehku yang bingung.
“Uuh
Firman! Gue jelek banget!”
Firman
tertawa dan menjulurkan lidahnya. Sedangkan aku menatapnya sangar.
Hari
ini, sekolah sedang mengadakan jalan-jalan ke Jogja. Cuma untuk anak kelas X
dan anak kelas XI. Dan aku satu bis dengan kelasnya Firman. Di bis pun, Firman
duduk di kursi di belakang kursiku dan Daffa.
Ya,
hubunganku dengan Firman memang makin dekat. Tapi hanya sebatas teman. Aku pun
tak tahu dan lebih tak peduli Firman menganggapku sebagai apa. Karena hubunganku
yang semakin dekat dengan Firman. Para Firman’s membentuk FebbyHaters. Ya memang sih mereka tak pernah melabrakku lagi karena
takut dengan Firman. Firman pernah mengancam mereka kalau ada yang melabrakku
lagi Firman akan melabrak balik anak itu dan menimpukinya dengan bola voli. Ah
mentang-mentang ia anak ekskul voli! Menurutku ancaman itu hanya candaan Firman,
tapi semua Firman’s menurut!
Kadang
para Febbyhaters memandangku dengan
menyeramkan saat aku sedang bercanda-canda dengan Firman. Yah, aku sih nggak
peduli. Terserah mereka mau apain aku kek.
“Dooorr!!”
Dinda mengagetkanku saat aku sedang duduk di tempat tidur hotel yang
dikhususkan untuk sekolahku.
Aku
langsung tersentak karena kaget. “Dinda ih!”
Dinda
hanya nyengir polos dan duduk di sebelahku sambil memandangiku.
“Apaan
sih liat-liat? Lo suka sama gue?” godaku sambil bercanda.
“Yeee…
Eh kok lo bisa deket sama Firman? Lo kenal darimana?”
“Ya
tiba-tiba dia deketin gue gitu kok.”
“Ohh…”
Dinda
ini salah satu dari anak-anak kelas yang masih mau berteman denganku. Ya tentu
lah! Ia kan
teman pertamaku! Lagipula katanya juga Firman itu biasa-biasa saja. Aku
langsung mengernyitkan dahi mendengarpenuturan anak satu ini. Bagaimana mungkin?!
Baginya Firman itu biasa-biasa saja, tapi Robby yang cupu itu tampan?! Anak ini
telah dibutakan oleh cinta.
“Gimana
hubungan lo sama Robby?” tayaku.
“Yah
gitu deh masih lancer kok! Dia juga orangnya asyik Feb! kalo dia lepas kacamata
aja, dia cakep banget. Sumpah!”
“whatever…”
aku memutar bola mataku dan merebahkan diriku.
Jam
sudah menunjukkan pukul 7 malam. Rika dan Ayu teman sekamarku masuk sambil
tertawa-tawa. Mereka berdua menyapaku dan Dinda dengan senyum manis. Aku hanya
balas tersenyum.
“Oh
iya! Febby tadi dicariin Kak Firman!” kata Ayu.
“Bodo
ah…” jawabku malas.
“Ih
gak boleh gitu sama pacar Feb…” goda Rika.
“Dia
bukan pacar gueee!” kataku sambil menggeleng.
“Terus
siapa dong pacar lo?” tanya Ayu.
“Gue
single.”
“Terus
foto di dompet lo foto siapa….” goda Dinda.
Aku
cuma tersenyum rahasia dan merebahkan diriku sambil menutup kepalaku dengan
bantal. Foto di dompet… Fotoku dan Kiki saat sedang saling menyuapi stroberi di
daerah puncak.
Aku
ingat saat itu aku sangat senang sekali. Kami menginap di villa milik Tantenya
Kiki. Saat itu Kiki hanya mengajak Rafli dan Ardi. Beruntung aku bukan cewek
sendiri. Ada
adik sepupu Kiki yang setahun lebih muda dariku yang menemaniku, Safira.
Setelah
memetik stroberi yang manis-manis itu. Tante Suci – Tantenya Kiki – membuatkan
jus stroberi yang menurutku sangatlah enak. Hari itu adalah hari yang sangat
menyenangkan bagiku.
Air
mataku hampir saja menetes. Tidak, aku takkan menangis kali ini. aku membalik
bantalku dan menatap langit-langit kamar ini. dinda ada di tempat tidur
sebelahku, sibuk dengan hapenya yang tiba-tiba tak bisa terbaca kartu sim nya.
Ayu dan Rika cekikikan berdua di tempat tidur masing-masing.
Sungguh
aku bosan sekali. Aku bangkit dan berjalan keluar, ke balkon utama yang ada di
sudut hotel. Kerlap-kerlip lampu kendaraan menghiasi gelap malam.
Baru
sebentar aku menatap keindahan malam disini,tiba-tiba seseorang menutup mulut
dan mataku dengan tangannya. Aku kaget dan hampir saja berteriak, tapi orang
itu mengisyaratkanku untuk diam.
Aku
dibawa pergi entah kemana. Aku sedikit takut kali ini. Tapi wangi tubuh orang
misterius ini seperti kukenal. Seperti Firman. Lalu orang itu berhenti di suatu
tempat yang udaranya sangat dingin. Yaampun dimana ini? orang itu melepaskan
tangannya yang membekap mulutku lalu melepaskan tangannya yang menutup mataku
dengan perlahan.
“Firman!
Lo ngap-“ omonganku belum selesai saat aku menyadari keadaan sekitar. Di atap
hotel. Penuh bunga-bunga dan tanaman lain yang indah. “Wow! Ini hotel?”
Firman
mengangguk dan tersenyum. “Siapapun yang bikin ini, gue salut deh!”
Aku
menatapnya dan tersenyum. Orang ini… Sekarang saat aku menatapnya seperti ini,
aku rasa ia bukanlah orang aneh yang sok saat aku baru mengenalnya. Tapi
sekarang kurasa ia adalah orang baik yang lucu.
Firman
balas menatapku dengan serius. Biasanya aku mengalihkan pandanganku kalau ia
menatapku seperti ini. tapi sekarang, entah kenapa aku berani menatap matanya.
“Feb…
Gue…”
“Apa?”
“Itu…
Uhuk! Uhuk!” tiba-tiba Firman terbatuk-batuk dengan parah.
Aku
menatapnya dengan bingung. Mungkin sebentar lagi batuknya akan sembuh.
“Feb…”
Tiba-tiba nafasnya menjadi tersendat-sendat.
“Fir,
lo kenapa?!” aku mulai panik.
Terdengar
gumaman darinya tapi aku tak begitu mendengar ataupun mengerti.
Akhirnya
Aku membantunya berjalan sampai ke ruangan hotel yang ditempati guru-guru. Para guru bertanya tapi aku bingung dan hanya menjawab
dengan kata tidak tahu.
Terdengar
suara Firman walau tak terlalu jelas. Pak David menyuruhku mengambil sebuah
alat yang berada di tas Firman. Aku mencari kamar milik Firman. Untung tadi
pagi ia memberi tahu nomer kamarnya. Saat ini aku benar-benar panik!
Aku
membuka pintu kamar itu dan mendapati tiga anak cowok yang sedang mendengarkan
musik keras-keras. Aneh, diluar tak terdengar suara sama sekali. Aku hanya mengenal
David teman karib Firman.
“Heh
kelas sepuluh ngapain lo disini?” tanya David sok jutek. Padahal biasanya di
sekolah dia caper banget!
“Err…
Gue disuruh ngambil obatnya Firman…”
David
mengangguk lalu mengambil tas Firman dan membuka-bukanya, “Lo disuruh siapa? Firman?”
“Bukan…
gue disuruh guru…”
David
langsung menoleh padaku. “Firman kenapa?”
“Eh…
Dia ada di ruang guru…”
David
geleng-geleng kepala dan mengambil kantong plastik berwarna biru dari tas Firman
lalu ia menarikku keluar. Ia berjalan cepat-cepat menuju ruang guru. Dan aku
tersaruk mengikutinya.
Semua
berjalan begitu cepat. Saat ini aku sedang duduk di sebelah Firman yang sudah
bernafas dengan normal. Sungguh aku sangat bingung. Sepertinya Firman punya
penyakit asma? Tapi kenapa baru sekarang aku melihatnya? Lagipula ia tak pernah
membawa-bawa alat bantu pernpasannya selama ini.
Firman
masih diam. Sangat beda dengan dirinya yang selama ini bawel sekali. “Sorry gue
ngerepotin lo…” katanya padaku setelah terdiam beberapa lama.
“Iya
gak apa-apa kok…” aku tersenyum padanya.
Aku
melirik jam tanganku. Sudah jam sembilan malam. Aku menguap, rasanya aku capek
sekali hari ini.
“Gue
ke kamar gue ya…” kataku pada Firman.
“Jangan…”
cegahnya dengan suara yang sangat lemah.
“Kenapa?”
“Temenin
gue aja disini…”
Aku
menghela napas perlahan, “Oke…”
“Kita
ke luar aja yuk…” ajaknya.
“Kemana?”
“Ayo
keluar aja…”
Akhirnya
aku keluar bersamanya, lalu berjalan menuju balkon hotel yang menghadap kolam
renang. Sangat sejuk disini. Aku duduk bersebelahan dengan Firman. Angin mulai
berhembus pelan membuatku semakin mengantuk.
“Feb,
besok kita foto-foto bareng lagi ya.” kata Firman sambil tersenyum.
“Mm…
Ya…” jawabku yang mulai setengah hilang kesadaran.
“Terus
besok kita…”
Setelah
itu aku tak mendengar lagi omongan Firman, karena aku sudah berada di alam
bawah sadarku.
***
“Ngg…”
aku mengucek mataku lalu melihat sekeliling.
Hah?
Sejak kapan aku ada di kamar? Aku menyalakan hapeku dan melihat jam, sudah jam
dua pagi? Dinda, Rika, dan Ayu sudah terlelap di tempat tidurnya masing-masing.
Aneh,
seingatku aku tertidur saat Firman sedang berbicara. Apa mungkin Firman
menggendongku sampai kamar? Aku memeluk guling dan berusaha tidur. Tapi
sayangnya tak bisa. Aku teringat kameraku dan mencarinya. Setelah kuraba-raba
meja dalam keadaan gelap, aku menemukannya. Aku melihat-lihat foto yang baru
saja diambil selama di Jogja sekarang. Sudut bibirku terangkat saat melihat
foto-foto Firman dan kegilaannya dalam foto itu. Satu foto membuatku sangat
tertarik, yaitu foto saat Firman mengambil dengan sangat tiba-tiba tadi siang.
Rasanya
saat aku melihat Firman, terasa perasaan yang berbeda. Dulu saat pertama kali
melihat dan mengenalnya aku tak suka dengannya karena ia terkesan sangat sok.
Lalu aku mulai melihat kebaikannya saat ia menolongku yang sedang dilabrak
kakak kelas lenjeh itu. Semakin lama aku semakin melihat sisi kebaikannya dan
membuatku sangat nyaman. Aku memang menganggapnya teman saat ini, tapi
perasaanku mengatakan kalau aku akan menganggapnya lebih dari seorang teman
ataupun sahabat. Entahlah…, aku belum siap. Aku masih takut. Takut terjadi
apa-apa seperti kejadian dulu. Dan aku masih belum bisa menghapus Kiki dari
diriku. Aku masih menginginkannya.
Setetes
air mata turun dari mataku dan turun dengan perlahan melalui pipiku. Kenapa aku
ini? Jangan! Aku tak boleh menangis! Aku menggeleng kuat-kuat.
“Feb?
lo kenapa?” terdengar bisikan seseorang dari sebelah, suara Dinda.
Aku
buru-buru menghapus air mataku walau dalam gelap tak kelihatan tapi aku tetap
saja ragu. “Gak pa-pa Din…” balasku juga berbisik takut membangunkan Ayu dan
Rika.
“Lo
nangis?” tanya Dinda lagi.
“Eh…
nggak kok…”
“Bohong.
Lo pasti nangis.”
“Nggak
Din. Dah lo tidur lagi sana …”
“Yaudah…
Tidur juga lo!”
“Iya…
Eh, bentar Din!”
Terdengar
helaan napasnya, “Apa lagiii??”
“Tadi
yang bawa gue ke kamar siapa?”
“Firman…”
jawabnya setelah terdiam cukup lama.
“Hah?
Dia bawa guenya gimana?”
“Digendong…”
jawabnya enteng. Aku yakin ia sedang memasang muka polos sekarang.
“Yaudah
tidur sono…”
“Yee!”
Aku?
Digendong? Oleh Firman? Mudah-mudahan tak banyak yang melihat!
****
“Huuuhh
parah banget masa gue dihukum suruh masukin nilai ulangan banyak banget!! Febb
kesini dongg!!” celoteh Daffa begitu aku mengangkat teleponnya.
“Jauh!”
jawabku malas-malasan.
“Pleasee!!
Naik motor kan
bisa?”
“Gue
masih mau tidurrr! Lo sih pake nelpon-nelpon. Siapa suruh teriak-teriak di
kelas!?” omelku.
“Yaelah
maaf… Please Feb. bantuin gue. Kalo sebanyak gini sampe maghrib juga gak
selesai kalo cuma gue sendirian!”
“Ck!
Yaudah tunggu!”
Aku
menguap dan memakai jaketku serta menyisir rambutku yang berantakan. Setelah
itu kucari kunci motor di laci meja. Tak ada. Mataku langsung membulat.
“Deee!!
Kunci motor mana?!” teriakku dari dalam kamar tapi tak ada jawaban.
“Ahh!
Deeeee!! Nitaaa!!” aku berjalan keluar kamar dan melihat rumah dalam keadaan
sepi. Kemana ini si Nita?
Aku
menengok ke garasi dan mendapati motor tak ada disana. Wah dibawa kemana lagi?
“Nitaaaa!
Kemana sih?”
Baru
saja aku berniat menelepon adikku yang bandel satu ini, suara motor terdengar dari
luar. Aku langsung keluar dan mendapati Nita yang sedang memasukkan motor ke
halaman rumah.
Aku
langsung menghampirinya dan menjewernya.
“Ah!
Sakit Kak! Aduh!” katanya setengah berteriak.
“Bagus
ya jadi anak main asal ambil motor orang…”
Ia
langsung terdiam.
“Turun
lo! Gue mau pake! Sekali lagi diulangin awas aja!” ancamku.
“Yaelah
cuma dipake bentar doang…”
Aku
tak memperdulikannya dan bersiap-siap menggas motor itu. Sampai aku sadar ada
sesuatu yang kurang. “Sepuluh ribu sini!” aku memalak Nita.
“Lho
kok?”
“Tadi
pas gue pulang, motor gue bensinnya masih setengah. Sekarang udah mau abis
gini?”
“Uuuhh…”
Nita merogoh kantong celananya dan memberiku selembar sepuluh ribuan.
Aku
langsung menggas motor dengan kencang menuju sekolah setelah mengisi bensin. Sekolah
terlihat sangat sepi sore-sore begini. Aku menuju kantin terlebih dahulu untuk
membeli minum. Setelah membeli minum, aku melewati koridor sekolah yang
terhubung ke kantin. Bagian itu sangat sepi karena terletak di pojok dan
merupakan tempat nongkrong cowok-cowok bandel di sekolah.
Baru
saja aku mau berbelok, aku mendengar suara dan melihat dua orang cowok yang
sangat kukenal. Firman dan Rafli. Ngapain Rafli disini? Mereka berbicara dengan
sangat serius dan membuatku enggan untuk lewat. Jadi aku tetap bersembunyi
dibalik tembok dan mendengarkan pembicaraan mereka.
“Gini
deh Fir, lo mau apa sekarang? Oke, gue tau kalo Kiki udah nyuruh lo jagain dia!
Tapi lo gak boleh ngambil dia tanpa seijin Kiki! Biar gimana pun dia itu masih
pacarnya Kiki walau Kiki udah gak ada!”
“Gue
mau dia Raf! Gue mau Febby!” Firman menekankan.
Mataku
langsung melotot. Tidak, pasti bukan aku. Tapi yang mereka bawa itu aku dan
Kiki…
“Gak
bisa! Febby punya Kiki Fir. Lo cuma disuruh jagain dia, bukan milikin dia!”
“Emangnya
salah ya Raf kalo gue suka sama dia? Kalo gue sayang sama dia lebih dari yang
selama ini gue anggep titipan dari Kiki? Aneh?!” Firman terdengar emosi.
“Aneh!
Febby hanya milik Kiki. Lo gak boleh sama dia!”
“Kiki
udah mati!! Dia gak mungkin hidup lagi kan
buat-“ omongan Firman terpotong saat ia melihatku.
Sungguh,
aku sudah tak tahan lagi. Semua pembicaraan mereka. Aku menatap Firman dengan
muka memerah. ‘Titipan dari Kiki’-kah
aku selama ini baginya? Padahal aku mulai menganggapnya lebih dari teman
ataupun sahabat. Walau ia mengatakan pada Rafli barusan kalau ia
menginginkanku, tapi rasanya hatiku sangat sakit. Berarti kan sebelumnya ia menganggapku sebagai
‘barang’ yang harus ia jaga.
Aku
menatap Rafli juga. Keduanya sama-sama merasa bersalah begitu melihatku. Aku menatap
mereka bergantian. Entah kenapa air mata mengalir dari mataku.
Aku
menggeleng dan berjalan meninggalkan mereka menuju ke kelas untuk menghampiri
Daffa. Firman dan Rafli berusaha mengejarku dan memanggilku tapi aku berjalan
begitu cepat sampai aku hampir menabrak seseorang saat mau menaiki tangga.
“Lho?
Febby?” ternyata orang yang barusan kutabrak adalah Daffa.
Daffa
memegang pundakku dan menatapku dengan bingung. Aku pun balas menatapnya masih
dengan mata yang basah. “Lo kenapa?” tanya Daffa.
Aku
menggeleng. Lalu mata Daffa melirik kearah belakangku. Sepertinya ia sudah tau
akar dari permasalahan ini. daffa begitu lama menatap dua orang yang ada di
belakang kami, dengan sangat tajam.
“Ayo
pulang aja.” ajak Daffa.
Aku
memegang lengannya dan kami berjalan melewati Rafli dan Firman yang sedang
terpaku.
“Ada apa?” tanya Daffa saat
kami sampai di parkiran.
Aku
tersenyum tipis dan menggeleng. Daffa mengerti kalau aku tak mau cerita, lalu
ia mengangguk.
****
“Feb!
tunggu dong!” Firman mencoba mengejarku saat aku sedang menginjak tangga.
Tadi pagi ia menjemputku seperti biasa tapi
aku tak menghiraukannya dan malah ikut bersama Papa dan Mama. Lalu aku sampai
pukul 5:15 di sekolah. Masih sangat sepi. Bahkan gerbang baru terbuka sedikit.
Tapi ada seseorang yang menungguku di gerbang, Firman. Aku melewatinya dengan
cuek dan menuju ke kelasku dengan berjalan cepat-cepat. Walau keadaan sekolah
masih agak gelap, aku tak takut.
“Feb
please denger dulu dong.” katanya saat aku baru menginjak lantai dua.
Aku
berhenti dan menoleh, “Gue gak perlu penjelasan. Makasih udah jagain gue selama
ini sebagai titipan.”
Firman
ternganga dan aku melanjutkan berjalan menuju kelas. Ia masih mengejarku.
“Gue
bukan nganggep lo sebagai titipan Feb, please dengerin gue dulu.”
Tidak.
Hatiku terlalu sakit. Seharusnya dari awal aku sadar kalau Firman hanya
menganggapku sebagai barang. Tak mungkin orang sepopuler dia mendekatiku kan ? Pasti ada sebabnya kan ? Astaga aku bodoh
sekali.
Kali
ini aku sampai di kelas dan aku menyalakan lampu kelas. Firman berdiri di
belakangku dan terdengar napasnya yang agak ngos-ngosan. Tiba-tiba ia menarik
pundakku dan membuatku berhadap-hadapan dengannya. Dan tiba-tiba, ia memelukku
yang membuatku langsung merinding.
“Feb
gue sayang sama lo. Dan gue gak nganggep lo sebagai barang, percaya sama gue.”
Aku
terpaku beberapa lama. Lalu saat aku sadar, aku mendorongnya kuat-kuat. “Nggak!
Gue gak pernah percaya sama lo. Dan gak akan pernah!” teriakku lalu melempar
tasku ke kursi dan berlari keluar.
“Feb!”
terdengar suara Firman memanggilku, tapi aku berlari begitu cepat dan aku tak
memperhatikan keadaan sekitar yang sangat gelap.
saat
aku berlari menuruni tangga, tiba-tiba aku terpeleset. Terdengar teriakanku dan
teriakan Firman yang terkejut.
***
“Aw…”
aku memegang kepalaku yang terasa sangat sakit.
Terlihat
pemandangan kamar rumah sakit. Tapi aku tak mengenal rumah sakit ini. Aku
melihat sekeliling. Terlihat tempat tidur kosong disampingku dan terlihat
seseorang yang tertidur di kursi tempat tidur sampingku yang memakai kaos
berwarna merah.
Lalu
pintu terbuka dan masuk seorang anak cowok lagi yang sedang membawa sekeranjang
apel.
“Febby?
Udah bangun?” kata anak cowok itu sambil menaruh apel di meja sampingku.
Ia
memanggilku? Tunggu, siapa aku?
Aku
mengerutkan dahiku menatap cowok itu, “Siapa?”
Anak
cowok itu malah bingung dan menatapku balik. “Lo gak kenal gue?”
Aku
menggeleng.
“Ini
gue Daffa, Feb! lo lupa sama gue? Gue sahabat lo!”
Aku
menggeleng, kini aku berusaha mengingat. Tapi yang aku ingat hanya saat aku bangun
barusan. Kini cowok yang tertidur di kursi sampingku terbangun dan ia
menatapku.
“Feb?”
Kenapa
aku tak ingat kedua orang ini? kenapa aku malah tak mengingat namaku sendiri?
“Feb!
ini gue Daffa! Inget gue!” cowok yang membawa apel itu kini memegang pundakku.
“Febby
kenapa Daf?” kata si cowok kaos merah.
Si
cowok apel berbisik pada si kaos merah.
“Feb?
lo lupa sama kita?”
Aku
menggeleng.
“Gue
Firman Feb!” kata si kaos merah.
“Gue
Daffa!” kata si cowok apel.
Aku
berusaha kuat-kuat mengingat mereka tapi aku sama sekali tak mengingat apapun!
Akhirnya aku menangis.
Kedua
cowok itu saling menatap. Si cowok apel keluar, entah ia mau kemana. Lalu tak
beberapa lama, si cowok apel datang membawa seorang lelaki yang sudah tua yang
berpakaian putih-putih.
Setelah
itu lelaki tua itu memberikan sesuatu padaku sehingga aku tak sadarkan diri.
****
“Febby!!”
Daffa membuka pintu kamarku sambil membawa coklat yang aku nanti-nantikan.
“Daffa!!”
aku balas sok histeris sambil memeluknya.
Ya,
sedikit demi sedikit aku mulai mengingat semuanya. Kata dokter aku kena
amnesia. Aneh ya, biasanya itu hanya ada di novel atau di film-film. Terjadi
benturan sangat keras di kepalaku yang membuatku begitu. Aku mulai mengingat
semuanya.
Tapi
aneh, aku tak mengingat satu orang. Orang yang tertidur disampingku saat aku
terbangun di rumah sakit. Orang berbaju merah yang mengaku namanya Firman.
Semua foto-foto yang ada di kameraku, yang menyatakan kedekatanku dengan Firman
masih membuatku tak mengingatnya.
“Gimana?
Lo udah inget sama Firman?” tanya Daffa.
“Ash
belom! Kenapa ya?”
“Mungkin
otak lo terlalu capek mengingat…” kata Daffa sok bijaksana.
Aku
tertawa dan mencubit gemas lengannya.
“Eh
udah dulu ya, gue mesti nemenin bokap. Tuh coklat lo di meja. Masa gue jenguk
lo mesti bawain coklat, Cadbury lagi. Licik lo.”
Aku
tambah tertawa dan membuka coklatku, “Dah sana
pulang. Kalo mau jenguk bawain toblerone ya!”
“Ogah!!”
teriak Daffa dari luar.
Aku
duduk dan memakan coklatku pelan-pelan. Lalu aku mengingat kameraku dan aku
mengambil benda itu dari laci. Aku melihat-lihat foto yang tertera disana. Saat
di Jogja, kebanyakan fotoku bersama cowok yang bernama Firman itu. Aku berhenti
saat sampai di foto saat Firman merangkul pundakku dengan latar belakang candi
borobudur. Lucu sekali. Terlihat sangat akrab, tapi sayang aku tak
mengingatnya…
Tapi
tumben hari ini anak itu tak datang? Kemana dia? Biasanya ia yang setiap hari
absent menjengukku. Terasa sepi. Saat ia disini, setiap ia menceritakan semua
hal yang kualami dengannya aku agak tertarik. tapi sekarang saat ia tak ada
rasanya sepi.
****
Sudah
lima hari aku
masuk sekolah, tapi aku tak melihat Firman dimana pun. Kemana ya anak itu?
Padahal kata Daffa kami satu sekolah dan ia sangat populer sampai bisa terlihat
dimanapun.
Kata
David, Firman sakit. Sakit apa? Ah tapi aku kan tak mengingatnya. Lagipula buat apa aku
peduli? Kenapa aku?
“Woi!!”
seseorang mengagetkanku saat aku sedang terbengong di atap sekolah.
Aku
menoleh, dan kudapati David kakak kelas yang entah kukenal darimana. “Apa sih
Vid?!”
“Bengong
aja! Bengongin Firman ya?”
“Gak
tau.” jawabku singkat.
“Oh
iya, nih! Titipan dari Firman!” David memberiku sepucuk surat .
“Apaan
nih?! Bom surat ?”
David
menoyor kepalaku, “Bego banget sih! Itu surat .
Kata Firman gak boleh di buka sebelum lo sampe rumah!”
“Iya
bawel! Kenapa bukan dia aja yang ngasih?”
“Kan dia lagi di rumah
sakit dirawat Febby…”
“Ooohh…
Yaudah gue pulang ya! Bye!”
“Eh
ikut ke bawahnya!” David mengejarku yang sudah ngeloyor kearah tangga.
Setelah
lima belas
menit perjalanan dengan motor, aku sampai juga di rumah. Nita sepertinya sedang
pergi bermain karena sepeda di garasi tak ada dan pintu rumah di kunci.
Aku
masuk dan langsung berjalan menuju kamarku. Dengan hati-hati aku membuka surat itu.
Teruntuk Febbryana Putri Aurelia.
Dari Firman Putra yang tak diingat.
Gue cuma mau cerita, kemaren lupa cerita
hehehe.
Yahh… Gue tau lo pasti gak akan inget.
Kita pernah berantem Feb. awal permasalahan
sih berawal dari lo yang nguping pembicaraan gue sama Rafli di koridor. Oke,
gue tau lo sakit hati karena sebelumnya gue nganggep lo sebagai barang titipan.
Lo pernah mikir gak sih kenapa tiba-tiba gue
deketin lo? Itu karena Kiki Feb. gue itu sahabat Kiki dari kecil, tetangganya
lah. Pas kelas dua SD Kiki pindah rumah, tapi tenang kita masih sahabatan.
Masuk SMP gue udah agak lost contact gitu sama dia tapi masih sempet ketemu
lah.
Waktu gue denger kabar kalo dia meninggal…
gue shock. Sumpah. Gue bingung, kenapa malah sahabat gue yang mati duluan?
Sehari sebelum masuk tahun ajaran baru, gue
dapet mimpi… dari kiki. Dia bilang, “Jagain
Febby selama gue gak ada.”
Sorry ya gue tuh gak pernah ngomong jujur
sama lo soal ini. kalo lo udah inget jangan marah lagi ya? Please!!!!
Aku
melipat surat
itu dan duduk di ujung tempat tidur. Kepalaku pusing, sangat pusing. Aku
berdiri untuk mengambil minum di dapur, tapi tiba-tiba tubuhku oleng dan aku
hampir saja terjatuh kalau aku tak memegang lemari dengan kuat.
Sekelibat
bayangan-bayangan terlintas di pikiranku. Semua itu ingatanku tentang Firman! Ya
ampun aku baru ingat semuanya. Dari awal aku mengenalnya sampai peristiwa pertengkaran
dengannya yang membuatku terjatuh dari tangga. Jadi ini alasannya mendekatiku?
Karena Kiki?
Langsung
aku mengambil handphone dan menghubungi David untuk keterangan dimana Firman dirawat.
Ia dirawat di salah satu rumah sakit di daerah Jakarta Selatan dan aku langsung
mengambil motor tanpa perduli apa yang akan terjadi nanti.
Kata
David asmanya tambah parah dan sekarang ia sedang kritis karena ia juga punya
penyakit paru-paru yang sekarang kambuh juga. Tak kupedulikan pertengkaran yang
terjadi dengannya karena ia sudah memberikan alasan logis. Lagipula selama aku
sakit ia yang menemaniku, aku harus berterima kasih padanya.
Begitu
sampai aku langsung menuju lantai lima
dan berjalan ke ruangannya. Bagitu aku masuk aku mendapati dirinya yang sedang
tertidur sendirian disana. Aku masuk pelan-pelan dan duduk di kursi samping
tempat tidurnya sambil memandangnya prihatin. Mukanya terlihat sangat berbeda
dari biasanya, sangat terlihat pucat. Rasanya aku ingin menangis melihatnya
begini. Dadaku terasa sesak. Aku tahu sekarang aku menyayanginya dan aku tak
mau kehilangan dia seperti aku kehilangan Kiki. Aku tak mau terjadi sampai
kedua kalinya.
Aku
terus memandangnya sampai tiba-tiba ia membuka matanya yang membuatku kaget.
“Febby?!”
serunya terkejut dan ia langsung mendudukan diri di tempat tidur.
“Hey…”
aku tersenyum.
“Lo
ngapain disini?”
“Jenguk
lo?”
“Lo
udah inget?”
“Inget
apa?”
“Tentang
gue…”
Aku
terdiam dan tersenyum lalu menggeleng, “Belum…” jawabku tentu saja berbohong.
Ia
menghela napas dan menunduk, “Gue kira lo udah inget gue…”
“Sorry…”
aku menunduk lalu memasang tampang tak bersalah.
Ia
mengacak rambutku dan tersenyum, “Gak pa-pa bukan salah lo kok.”
“Thanks!”
aku tersenyum lalu memandangnya.
Lucu
sekali memandang dirinya yang sedang sakit. Biasanya muka nan nyebelin sok itu
selalu terpajang di wajahnya. Tapi sekarang ekspresi mukanya yang begitu tak
ada disana, aku cuma melihat seorang anak cowok yang lelah dan pucat.
Kini
ia balas memandangku dan aku bisa melihat penyesalan dari matanya. Mungkin ia
menyesal telah membuatku lupa ingatan beberapa saat karena terjatuh dari
tangga. Mungkin ia menyesal telah memelukku pagi itu. Dan mungkin ia menyesal
telah bilang ia menyayangiku pagi itu juga…
“Gue
pulang ya…” aku memakai jaketku dan bangkit dari kursi.
“Ya.
Hati-hati ya…”
“Iya…”
aku tersenyum lalu buru-buru keluar dari situ.
Sebenarnya
aku ingin menangis karena melihatnya, makanya aku lebih memilih buru-buru
pulang. Kalau kelamaan disana, nanti aku menangis dan bisa ketahuan kalau aku
sudah mengingatnya.
Hope
he will be fine…
***
“David!!”
panggilku dari koridor di depan kelas saat ia ada di lapangan basket.
“Apaan?!”
“Tunggu
situ!” aku buru-buru turun ke bawah. Sekarang kelasku sedang jam kosong. Kelas
menjadi sepi, cuma beberapa anak yang tinggal. Yang lain sudah menghambur
keluar, entah kemana.
“Ada apa?” tanya David saat
aku sampai di hadapannya.
“Lo
kemaren nelpon gue ada apa?” aku balik bertanya.
“Hah?
Kapan?”
“Yang
malem-malem itu! Gue udah tidur makanya gak gue angkat.”
“Oh
iya! Firman mau ke Singapore
Feb!”
Aku
langsung terbelalak, “Kok gitu?!”
“Iya
dia semalem telpon gue, dia kasih tau kayak begitu. Katanya penyakit
paru-parunya tambah parah jadi dia mesti diobatin disana. Dia bilang jangan
kasih tau lo, tapi gue kasih tau aja. Jangan bilang lo tau dari gue ya!”
“Kok
dia gak mau kasih tau gue?!”
“Gak
tau… Ntar penerbangannya malem. Tapi paling sorean dia udah berangkat lah.”
“Yaudah
gue naik dulu… Thanks infonya…”
Aku
langsung kepikiran. Berarti aku harus berpisah dengan Firman? Walau tak
berpisah selamanya, tapi kan
tetap saja…
Selama
pelajaran berlangsung pikiranku melayang dan tak memperhatikan guru sampai pada
saat pelajaran kimia aku ditegur Pak Jul karena melamun.
Akhirnya
pada saat pulang sekolah aku tak langsung menuju rumah, tapi menuju rumah sakit
terlebih dahulu untuk bertemu Firman. Begitu aku mau masuk ke dalam kamar
inapnya, aku berhenti. Pintu kamar sedikit terbuka dan aku mengintip kedalam.
Terlihat Firman sedang melamun sambil memandang jendela. Tidak, dia tak sedang
melamun. Tapi ia berbicara!
“Ki,
gue bukan lancang ngambil cewek lo. Tapi gue sayang sama dia. Sekarang dia
lupain gue Ki. Jadi gak pantes kali ya gue sayang sama dia lagi?”
Lalu
ia terdiam lagi dan tersenyum, “Kalo dia tau gue bakalan pergi, dia kesepian
gak ya? Dia jadi inget gue lagi gak ya?” lanjutnya.
“Ki,
gantiin gue sini, biar gue aja yang mati. Gue juga udah putus asa dilupain.
Enak ya jadi lo, kalo lo masih hidup kan
lo punya pacar yang perhatiin lo. Lah gue?” katanya lagi yang membuatku sesak.
“Aneh
ya baru kali ini gue cinta banget sama orang. Ceweknya almarhum sahabat gue
lagi! Bener-bener jahat ya gue jadi sahabat.”
Aku
sudah tak tahan mendengarnya dan aku langsung masuk ke ruangan itu. Aku pura-pura
tak tau telah mendengar ia berbicara tentangku. Ia langsung terkejut begitu aku
masuk.
“Ada apa Feb? kok lo masih
pake seragam sih? Bolos lo ya?”
Aku
terdiam dan menatapnya, “Fir, lo mau pergi?” tanyaku tanpa menghiraukan
pertanyaannya barusan.
“Kok
lo… tau?”
“Gak
penting gue tau darimana. Kok lo mau ninggalin gue sih?” tanyaku yang mulai
merasa ingin menangis.
“Gue…”
“Kok
lo jahat sih sama gue? Lo kan
udah bikin gue jatoh dari tangga. Sekarang lo mau ninggalin gue gitu? Jahat
banget.” Aku menunduk.
“Lo…
inget?”
“Ya
gimana gue gak inget orang yang udah jagain gue selama gue di sekolah? Gimana
gue gak inget orang yang sok nya kelewatan kayak lo? Gue tanya, kenapa lo mau
ninggalin gue? Gue udah cukup Fir ditinggalin. Gue gak mau lo ninggalin gue
juga.”
“Gue
cuma ngobatin penyakit gue…”
“Tapi
kita gak akan ketemu lagi kan ?
Ntar yang jagain gue di sekolah siapa selain lo? Lo mau biarinin gue di bully
fans-fans lo?”
“Feb…”
“Lo
kan pernah
bilang gak akan ninggalin gue… Kok sekarang lo pergi? Terus gue sama siapa?”
aku mulai menangis.
Firman
mulai kehilangan kata-kata.
“Walau
nanti lo balik lagi ke Indonesia ,
kita belum tentu bakalan ketemu lagi kan
Fir? Cuma lo yang bisa gantiin Kiki, cuma lo.”
Firman
memandangku.
“Kenapa
disaat gue sayang sama orang tuh orang harus ninggalin gue sih? Kenapa?”
Firman
menghapus air mataku dengan tangannya lalu ia mengambil tanganku dan
mengelusnya, “Gue janji Feb gue bakalan balik dan kita pasti ketemu lagi. Gue
gak bakalan kok ninggalin lo selamanya…”
“Janji?”
“Janji!”
ia mengulurkan kelingkingnya.
Aku
akhirnya tersenyum dan mengaitkan kelingkingku di kelingkingnya.
Malam itu…
Kini
aku sedang berada di bandara bersama Rafli sambil menunggu keberangkatan Firman.
Aku terus menerus menyemangatinya padahal aku tak tahu akan semangat atau tidak
tanpanya.
Lalu
tak beberapa lama terdengar kalau pesawat ke Singapore akan segera berangkat. Firman
memelukku terlebih dahulu lalu berjalan menuju pesawatnya.
“Goodbye!!”
pamitnya lalu menghilang dibalik pintu.
“Ayo
pulang…” ajak Rafli.
“Yuk!”
aku tersenyum lalu memeluk lengan Rafli yang sudah kuanggap kakak sekarang.
****
“Ma
Febby berangkat!” pamitku pada Mama pagi ini.
Rafli
sudah menungguku di depan rumah dengan mobilnya yang berwarna hijau mengkilap
itu. Hari ini sedang libur semester di kampus dan kebetulan aku satu kampus
dengan kakak angkatku alias Rafli. Kini aku sudah menginjak semester lima dan Rafli semester
enam. Kami semakin dekat layaknya kakak dan adik. Sekarang ia mau mengajakku
jalan-jalan.
“Siap?”
tanyanya saat aku memasang sabuk pengaman.
“Siap!
Mau kemana?”
“Liat
aja nanti!”
Ternyata
Rafli membawaku ke bandara dan aku pun langsung bingung. “Kok kesini Raf?”
“Udah
lo diem aja dulu.”
Kami
menuju ke tempat menunggu orang-orang yang baru datang. Bandara lumayan ramai
hari ini dan Rafli mengajakku agak kedepan supaya kelihatan. Aku bingung,
sebenarnya kita mencari siapa?
“Rafli!”
seseorang memanggil Rafli dari belakang dan otomatis aku dan Rafli menoleh.
Mataku
langsung membulat begitu melihat siapa dia. “Firman?!!” seruku tak percaya.
“Hei…”
ia berjalan kearahku dan memelukku begitu erat. “Gue kangen banget sama lo.”
“Makasih
udah nepatin janji…” ucapku dalam pelukannya yang hangat itu.
No comments:
Post a Comment