Saturday, April 6, 2013

First, Second, Third (Part 2)


          Mobil baru saja keluar dari parkiran bandara. Selama Fadil sudah beranjak pergi, Aldi dan Nia sama-sama membisu. Tak berbicara satu sama lain. Pikiran Nia melayang seutuhnya pada kenangannya dengan Fadil. Kali ini Nia duduk di depan, di tempat Fadil biasa duduk saat mereka bertiga jalan-jalan bersama. Sedangkan Aldi, pikirannya setengah melayang ke Fadil juga, tapi setengahnya ia konsentrasikan pada jalanan.
          Satu jam sudah terlewat, dan kini Aldi dan Nia berada di jalan tol. Lagu-lagu yang terputar di radio, membuat mereka berdua mengingat Fadil lagi. Ya ampun, cowok satu ini telah memberikan banyak kenangan bagi mereka berdua…
          “Yak itulah lagu dari Afgan, cowok ganteng bersahaja itu.” Suara penyiar radio mengisi keheningan dalam mobil Aldi.
          “Buat lo semua pendengar di rumah, gue pengen bacain berita lokal nih yang ada di Jakarta! Denger baik-baik ya! Barusan pesawat dari Soekarno-Hatta yang menuju ke Malaysia mengalami kecelakaan.” kata penyiar radio yang membuat Aldi dan Nia seketika tersadar dari lamunan masing-masing.
          “Katanya sih tuh pesawat jatuh dan meledak di Laut Jawa! Belum ditemukan penyebabnya. Tapi pesawat yang satu jam lalu berangkat ke Negara tetangga kita kini telah hancur di laut, dan belum ditemukan.”
          Apa?! Satu jam yang lalu?! Berarti penerbangannya jam setengah lima? Dan pesawat itu menuju Malaysia. Berarti itu pesawat… yang ditumpangi Fadil! Berarti Fadil sudah…
          “Ahh!! Fadil goblok!!” teriak Aldi emosi, lalu menggebrak bagian atas setir mobil. Air matanya terjatuh.
          Nia pun menangis tak karuan. Tangisnya meledak begitu ia mengetahui pesawat itu telah hancur di laut. Dadanya sesak. Pantas sedari tadi perasaannya tak enak. Ternyata itu karena ini? karena orang yang ia sayangi akan meninggalkannya selamanya?
          “Fadil sayang Nia, selamanya. Goodbye Ni…” teringat ucapan Fadil padanya yang terakhir tadi. Goodbye? Kenapa Nia malah menjawabnya dengan Goodbye juga? Seharusnya Nia berkata “Jangan pergi!” atau “Tinggal saja disini!” atau apa saja yang membuat Fadil takkan pergi. Nia menyesal.
          Nia dan Aldi sama-sama menangis. Terlarut dalam tangisan masing-masing. Kenangan selama lima tahun lebih terputar ulang di pikiran Aldi. Hampir beberapa kali Aldi menabrak pinggiran, karena konsentrasinya telah pecah oleh sahabatnya itu.
          Nia pun juga begitu, mengingat saat pertama ia bertemu Fadil. Saat Fadil memarahinya karena ia datang terlambat saat pertama masuk MOS, lalu senyumnya, bocoran jawaban saat Nia sedang quiz dadakannya Pak kum, dan juga segala macam tindakannya yang dilakukan untuk Nia.
          Aldi ingat ucapan terakhir Fadil. “Jagain cewek gue ya.” Lalu Aldi menatap Nia yang sedang menunduk menangis sambil menutup kedua mukanya dengan telapak tangan. Ia harus menuruti permintaan Fadil, ia harus menjaga Nia…

###

          Nia masuk ke rumah begitu Aldi memberhentikan mobilnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih, dan Mama sudah pulang. Tanpa mengucap salam, Nia menerobos masuk ke rumah membuat Mama dan Andre serta Rifky berpandangan heran.
          Nia hampir membuka pintu kamarnya, begitu mendengar suara pembawa berita yang sedang ditonton Mama dan Kak Andre. Ia melongok sedikit.
          “Sebuah pesawat yang sedang menuju ke Malaysia dikabarkan jatuh dan meledak di tengah laut jawa. Saat ini sedang dilakukan pencarian pada bagian-bagian pesawat dan kotak hitamnya oleh timsar.”
          Nia menatap cuplikan timsar yang sedang mencari-cari di laut. Mencari pesawat dan kotak hitam yang ada dalam pesawat itu.
          “Wih, gila ya. Mati semua kali ya tuh Ma?” kata Kak Andre pada Mama. Walau Kak Andre sepupu Nia, ia tetap memanggil Mama Nia dengan sebutan ‘Mama’.
          “Ya iyalah kan meledak Ndre. Masa iya orang dalem pesawat meledak kagak mati?” jawab Mama ringan.
          Nia kembali membuka pintu kamarnya, tak mau mendengar lebih. Ia mengunci kamarnya, dan menangis habis-habisan. Entah apa yang akan terjadi dengan matanya esok pagi. Ia tak mau ikut makan malam, walau Mama, Papa, Kak Andre, bahkan Rifky sudah membujuknya.
          Ia tetap diam dan melanjutkan menangis. Saat sedang mandi pun, ia masih menangis walau sedikit-sedikit. Saat mengaca, Nia tak terkejut sama sekali. Mukanya pucat dan matanya bengkak, sangat bengkak malah.
          Saat ia berbaring di tempat tidur, air matanya mengalir lagi. Dan tanpa sadar ia tertidur…
Esok paginya…
          Nia datang pagi-pagi sekali. Supaya tak terlalu banyak yang mengetahui matanya yang bengkak. Yah, ia tahu sih semua pasti akan memaklumi. Seluruh warga sekolah, bahkan guru, tahu kalau Nia berpacaran dengan Fadil ketua osis. Pasti murid-murid akan menganggap wajar, kalau Nia menangis karena kematian Fadil.
          Ternyata saat ia sudah datang, Bima juga sudah datang. Tentu saja Nia menyembunyikan wajahnya di depan Bima. Malu, lagi.
          “Nia? Kok tumben dateng pagi-pagi?” tanya Bima.
          Nia menaruh tas tanpa menengok. Dan tentu saja Bima penasaran dan melongokkan kepalanya melihat Nia.
          “Ya ampun Nia! Mata lo kenapa? Kok muka lo pucet gitu sih? Lo sakit? Ke UKS ya!”
          “Nggak usah…” jawab Nia dengan suara serak.
          “Lo kenapa!?” tanya Bima sungguh sangat khawatir.
          Nia hanya diam dan menggeleng. Lalu mengambil novel yang ada pada tasnya dan mulai membaca, tak menggubris Bima yang khawatir.
          Akhirnya, jam berjalan juga. Dan kelas sudah hampir terisi penuh. Semua anak lain heran mengapa mata Nia bengkak dan muka Nia pucat. Tapi Nia tetap tak menjawab. Sekalipun ia menjawab, jawabannya hanya, “Nanti kalian juga tau sendiri…”
          Saat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh, bel berbunyi. Dan terdapat pengumuman dari Pak Sugi. Pengumuman kalau kita kehilangan ketua osis kita yang kecelakaan di pesawat yang ia tumpangi, dan blablabla segala macam pidatonya terdengar dari loudspeaker.
          Nia menenggelamkan kepalanya dalam lipatan tangannya di meja. Ia tak mau mendengar. Akirnya anak-anak tahu apa yang menyebabkan Nia bermata bengkak dan bermuka pucat. Kepergian Fadil yang sangat tiba-tiba.
Di kelas XI-5…
          Aldi bersender pada tembok di sebelahnya sambil mendengarkan Pak Sugi berbicara lewat loudspeaker. Mukanya semakin pucat setelah semalaman ia mengamuk dalam kamarnya, membuat beberapa barang pecah dan Andi yang kaget karena sebagian kamarnya berantakan sekali.
          Akbar menatapnya simpati. Semua orang di sekolah juga tahu Aldi dekat sekali dengan Fadil. Bahkan bersahabat lima tahun lebih. Dan kalau sekarang Aldi tampak lebih diam, itu wajar.
          “Aldi?” tiba-tiba terdengar suara Fadil dari samping.
          Aldi menoleh, ah bukan… itu ternyata cuma Bayu. Seharusnya Aldi menerima kenyataan kalau Fadil sudah pergi. Selamanya…
          Aldi memejamkan matanya. Perasaan sakit di kepalanya membuatnya ingin pingsan di tempat. Fadil berkelebat di benaknya. Sahabatnya satu-satunya, yang sangat dekat dengannya, harus meninggalkannya selama ia hidup di dunia ini?
          Cuma Fadil-lah yang mengerti Aldi sebagai sahabat. Dan mencari sahabat seperti Fadil sungguh susah. Ya ampun, kenapa ia harus pergi secepat ini?
          Aldi menghela napas lelah. Beberapa anak di kelas memandangnya dengan simpati, bahkan Bu Tika yang sedang mengisi jam pelajaran Bahasa Indonesia juga.
          “Aldi…” Tia memanggilnya hati-hati dari belakang.
          Aldi menoleh, menatap Tia. Tia tersenyum. “Semangat ya!” katanya pada Aldi.
          Aldi tersenyum tipis dan mengangguk. Tia juga temannya yang agak akrab dengannya. Tapi ya, ia tak bisa menggantikan Fadil dari posisi sahabat terbaik.

###

          “Gue beliin minum ya Ni?” tawar Bima pada Nia yang sedang duduk sambil melamun.
          Nia menggeleng. Masih menatap kosong ke satu arah.
          “Lo belom minum daritadi Ni, nanti dehidrasi…”
          Nia menggeleng lagi, masih tak mengeluarkan suara sama sekali. Bima tak menyerah. Ia tetap berjalan ke kantin dan membelikan sebotol aqua untuk Nia. Saat bel istirahat kedua berbunyi, Nia tak beranjak dari kursinya. Jangankan istirahat kedua, istirahat pertama pun ia masih diam di tempatnya.
          Bima sudah menebak. Pasti dari semalam Nia belum minum atau makan sama sekali. Itu terlihat dari bibirnya yang pecah-pecah.
          “Ni, gue tau lo sedih, tapi lo juga harus jaga kesehatan lo. Kalo lo sakit, Fadil pasti juga sedih disana…”
          Nia menoleh. Matanya berkaca-kaca. “Nggak Bim… dia gak peduli sama gue. Buktinya dia tinggalin gue gitu aja…”
          Bima menghela napas. “Lo mesti ceria. Semangat dong! Jangan sedih begini. Nih minum.”
          Nia mengambil botol aqua yang dibelikan Bima lalu meminumnya. Tenggorokannya memang sudah terasa sangat kering karena dari kemarin ia tak minum ataupun makan. Benar, kesedihannya berdampak buruk bagi kesehatannya.
          “Thanks Bim…” Nia tersenyum dan bangkit dari kursinya.
          “Mau kemana?”
          “Toilet…”
          “Tunggu. Gue ikut. Tapi gue gak masuk toilet.”
          Nia hanya tersenyum lalu berjalan perlahan. Bima mengikuti dari belakang. Baru saja mereka mau keluar dari kelas, tiba-tiba…
          “Niaaa!” seru Bima kaget. Karena tiba-tiba Nia terjatuh pingsan ke belakang.
          Seluruh siswa-siswi yang ada disana langsung melotot kaget. Bukan karena Nia pingsan secara tiba-tiba, tapi mukanya yang sangat pucat seperti tak ada darah mengalir pada dirinya. Dua cowok yang ada di kelas, Yoga dan Ari, membantu Bima menggotong Nia ke UKS di lantai bawah.
          Sementara itu, di kelas Aldi, Aldi sedang duduk sambil melamun. Ia mendengar suara ramai-ramai yang tak seperti biasa, tapi ia tak perduli.
          “Aldi, Nia pingsan!” seru Rama tiba-tiba, yang membuat Aldi tersentak.
          “Pingsan?!” seru Aldi tak percaya.
          “Iya, dia lagi di UKS.”
          Aldi buru-buru turun ke lantai dasar. Khawatir. Langkah pertamanya saat ingin menjaga Nia malah gagal. Ia gagal menjaga Nia. Gagal. Maaf Fadil…
          “Mana Nia?” seru Aldi di depan UKS.
          “Itu, kak.” Yoga menunjuk tempat tidur di pojok.
          Nia sedang terbaring di tempat tidur. Bima ada disampingnya dan memandangnya khawatir. Aldi langsung menghampiri mereka dan langsung terperanjat melihat keadaan Nia yang seperti orang sakit keras.
          “Ini kenapa kok bisa pingsan?” tanya Aldi.
          “Gak tau kak. Gue lagi ngikutin dia pas dia mau ke toilet, eh tiba-tiba pingsan.” jawab Bima tak mengalihkan pandangannya.
          “Ini kok… bisa pucet parah kayak gini? Emang dia gak makan apa? Gak minum apa?”
          “Kayaknya dari kemaren nggak…”
          Aldi mendesah. Cewek ini begini karena sahabatnya. Bahkan kondisinya lebih parah dari kondisi Aldi sekarang.
          “Bima…?” suara Nia terdengar perlahan.
          Aldi menoleh. Nia langsung terbelalak melihat Aldi yang berada di sebelah Bima. “A… Aldi?”
          “Kok lo bisa kayak gini sih Ni? Jaga kesehatan dong. Gue gak mau gagal di langkah pertama gue jagain lo, sesuai wibawa Fadil…”
          Pandangan Nia terasa kabur oleh air matanya yang mengalir lagi kini. Fadil… telah memberi Aldi amanat untuk menjaga Nia selama ia pergi. Tapi kalau Fadil pergi untuk selamanya, berarti Aldi harus menjaga Nia selamanya?
          Bima menatap Aldi dan Nia bergantian. Nia yang menangis dalam diam, serta Aldi yang menatap Nia kosong. Wibawa Fadil? Berarti mereka sempat bertemu dengan Fadil sebelum Fadil pergi. Pantas kemarin mereka terlihat sangat buru-buru saat pulang sekolah.
          “Gue keluar dulu ya Ni, Kak…” Bima pamit keluar mengingat kalau ia sangat mengganggu disini.
          Begitu Bima keluar, Aldi mengambil kursi yang tadi diduduki Bima dan duduk disitu.
          “Please Ni… lo harus kuat. Lo gak boleh begini, Fadil pasti sedih liat lo sakit-sakitan.”
          Nia masih diam dan menangis sambil terduduk di tempat tidur. “Gue sedih kayak gini gimana gue mau kuat Di? Gue gak mau siapapun, gue gak mau lo, gak mau Bima, atau keluarga gue. Gue cuma mau Fadil disini yang nemenin gue…” katanya lirih.
          “Gue ngerti Ni…”
          “Lo ngerti? Lo ngerti apa? Gue kehilangan Di! Gue sayang banget sama dia, tapi dia pergi ninggalin gue selamanya.”
          “Gue emang ngerti kok Ni arti kehilangan. Perasaan lo sama kayak perasaan gue, gue juga kehilangan sahabat gue. Lo kehilangan separuh hidup lo, dan gue juga. Lo kehilangan penyemangat lo, gue juga. Dan lo kehilangan orang yang ngertiin lo, dan gue juga! Kita sama Ni…”
          Nia diam, air matanya terus mengalir.
          “Bayangin coba, lo aja yang baru kenal dia selama setengah tahun, dan sayang dia selama dua bulan udah kayak gini. Apalagi gue, Nia? Gue kenal dia selama lima tahun lebih! Siapa yang lebih sedih sekarang. Lo atau gue?”
          Untuk kedua kalinya Nia hanya terisak.
          “Walau kita sama-sama sedih, gue beda sama lo. Gue masih inget kesehatan gue, walau masih jatoh dalem lobang kesedihan. Lo gak boleh kayak gini terus! Lo harus kuat! Walau gak ada Fadil, ada gue disini, Ni!”
          Kesekian kalinya Nia diam tak bersuara. Tapi tak ada suara tangisan lagi kini yang terdengar.
          “Nia?” panggil Aldi hati-hati.
          “Tapi… gue gak mau lo… gue cuma mau Fadil…”
          Aldi menghela napas panjang. “Gue akan selalu ada buat lo. Gantiin Fadil.”
          Nia menggeleng kuat. Hatinya sakit. Kata-kata yang keluar dari mulut Aldi menyayat hati dan perasaannya. Aldi adalah pengganti Fadil untuknya…

###

          Hari-hari Nia mulai berjalan lancar seperti biasa. Walau sempat selama tiga hari pasca Nia pingsan, ia tak masuk karena sakit. Saat ia mulai masuk sekolah, ia mulai mencoba menjalani hari-harinya seperti biasa. Seperti tak ada masalah yang terjadi.
          Pagi-pagi sekali, Aldi akan menjemputnya untuk berangkat sekolah bareng. Tadinya Nia menolak, tapi Aldi bersikeras dan akhirnya Nia hanya harus menurut. Saat jam istirahat pertama, Aldi akan mendatangi kelas Nia untuk makan bersama di kantin. Jam kedua pun, Aldi pasti akan mendatangi kelas Nia. Walau sekadar mengajaknya mengobrol di kelas. Pulang sekolah, lagi-lagi Aldi yang akan mendatanginya dan menariknya pulang. Walau kadang kelas Nia kena hukuman atau quiz-quiz di jam terakhir, Aldi tetap sabar menunggunya sampai ia keluar kelas.
          Hubungan Nia dan Aldi yang sangat dekat, menimbulkan berbagai gossip. Ada yang buruk, maupun baik. Ada yang bilang setelah kematian Fadil, Nia berpaling ke Aldi, dan biasanya anak-anak cewek yang bilang begitu. Lalu ada juga yang bilang kalau Aldi menyukai Nia dari dulu, namun langkahnya diserobot Fadil dan saat Fadil pergi, Aldi mendekati Nia. Ada juga yang bilang itu amanat dari Fadil untuk menjaga Nia – walau gossip yang satu ini memang benar – tapi banyak yang tak percaya.
          Kondisi Nia juga sekarang juga baik-baik. Ekspresinya menyatakan seperti ia tak sedang berkabung karena kematian Fadil. Hari-harinya kembali menjadi ceria seperti dulu, seperti tak ada apa-apa.
          Bima khawatir. Dibalik keceriaan Nia yang seperti ini, pasti berat melakukannya. Kalau Nia terlalu memaksakan kan, bisa gawat.
          “Nia?” panggil Bima saat Nia sedang membaca novel.
          “Ya Bim?” sahut Nia tanpa mengalihkan pandangan.
          “Lo… gak pa-pa?”
          Nia menoleh, “Maksud lo?”
          “Lo, gak pa-pa jalanin hidup kayak gini?”
          Ekspresi Nia berubah seratus delapan puluh derajat dan ia langsung diam tanpa menatap Bima lagi. Bima mengerti. Lagipula ia tak memaksa Nia menjawab. Biarkan waktu yang akan menjawab nanti.

###

          “Nia! Ayo pulang!” ajak Aldi begitu sampai di kelas Nia.
          Nia membereskan buku-buku yang berada di mejanya dan memasukkan kedalam tasnya. Lalu menghampiri Aldi dan tersenyum. “Ayo!” Ia memeluk lengan Aldi seperti ia memeluk lengan Bima seperti dulu.
          Bima memperhatikan dari kelas. Dulu Nia cuma memeluk lengan satu orang, yaitu dirinya. Lalu sekarang, Nia berpindah orang. Dari Bima ke Aldi. Bima seperti diabaikan, karena mereka tak sedekat dulu.
          Bima menghela napas dan berjalan menuju koridor utama. Aldi dan Nia sudah jauh diujung koridor, saling bercanda dan tertawa. Bima tahu, ia cemburu, tapi diabaikannya perasaan itu.
          “Sabtu ke rumah gue yok?” ajak Aldi.
          “Ngapain?”
          “Kita barbekyu-an. Sama keluarga gue juga.”
          “Yahh lo… gue kan gak enak, lagipula gue gak kenal. Cuma kenal Andi doang.”
          “Gak pa-pa lagi… gak gigit kok mereka. Ayooo ikut ya? Gue jemput kok, tenang aja.”
          “Ya udah…”
          Aldi menstarter motornya dan memakai jaketnya. “Ayo naik!” suruhnya dan Nia naik ke motor itu lalu mereka melesat pergi.

###

Sabtu sore…
          “Udah ya Ma! Bye!” pamit Nia pada Mama setelah ia mendengar bunyi klakson motor Aldi di depan rumah.
          “Hati-hati!” pesan Mama.
          “Nanti pulangnya agak maleman ya Ma!”
          “Iya hati-hati lho!”
          Nia mengangguk dan membuka pintu rumahnya. Dilihatnya Aldi sedang duduk diatas motornya dan tersenyum pada Nia.
          “Kok gaya lo kayak bocah banget sih?” Aldi memperhatikan Nia dari atas sampai bawah.
          Nia tersenyum. Kaus lengan pendek berwarna biru, celana putih pendek selutut, sepatu kets warna biru donker, serta tas punggung warna putih. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda pun membuatnya semakin lucu untuk dilihat.
          “Biarin.” Nia melet.
          “Lo kayak mau olah raga pagi tau Ni.” komentar Aldi lagi.
          Nia tertawa. Ia juga memperhatikan penampilan Aldi. Memakai celana jeans panjang, serta kaus berwarna putih. Walau gayanya kasual, kegantengan Aldi terpancar dari mukanya.
          “Ayo naik.”
          Nia naik ke motor Aldi. “Tapi gue gak enak.”
          “Tenang. Gue udah bilang kok sama orang tua gue.” kata Aldi menenangkan dan melesat pergi.
          Sesampainya di rumah Aldi, Nia langsung melongo. Wih, rumahnya gede juga ya. Ini pertama kalinya ia mengunjungi rumah cowok saat malam minggu. Halaman yang sangat luas dan tertata rapi oleh bunga-bunga membuat Nia makin menganga.
          “Nia? Ayo masuk!” tarik Aldi.
          Nia akhirnya masuk bersama Aldi. Di sofa ruang tamu, sedang duduk Andi yang bermain dengan PSP-nya. Nia disuruh duduk di sebelah Andi, sementara Aldi pergi ke belakang.
          “Eh. Nia. Apa kabar?” Andi tersenyum sambil mematikan PSP-nya.
          “Baik. Lo?”
          “Baik juga.”
          Nia mengangguk dan memperhatikan isi rumah Aldi. Sangat rapi. Segala lukisan gede-gede ada terpajang di tembok. Ada juga foto keluarga Aldi.
          “Ma, Pa, ini Nia.” Aldi datang bersama kedua orang tuanya.
          Nia berdiri dan menyalami kedua orang tua Aldi sambil tersenyum yang memperlihatkan lesung pipinya.
          “Ooh jadi ini pacarnya Aldi yang baru? Manis banget, Di. Pilihan kamu bagus deh.” goda Mamanya Aldi yang membuat Nia kaget.
          “Eh, nggak Tante, bukan kok.” Nia geleng-geleng.
          “Wah kalo pacarnya kayak begini sih Papa setuju aja.” Papanya Aldi mengedipkan satu mata.
          “Apaan sih Pa, Ma? Udah sono urusin dulu bahannya.”
          Papa dan Mama Aldi pergi sambil tertawa. Aldi mengajak Nia duduk. Mereka mengobrol. Membicarakan apapun berempat, dengan Andi dan Ayu adik Aldi. Pembicaraan selesai jam setengah tujuh, saat orang tua Aldi memanggil untuk membantu bakar-bakar.
          “Andi sama Ayu masuk-masukin daging sama bahan-bahan ke tusukan. Aldi sama Nia bantuin bakar-bakar.” perintah Papa Aldi.
          Aldi dan Nia akhirnya saling membantu. Canda dan tawa menghiasi pekerjaan mereka. Kadang Aldi melawak yang membuat Nia tertawa ngakak. Pokoknya saat itu seru sekali.
          Makanan siap jam setengah delapan. Bersama dengan keluarga Aldi, Nia makan bersama di taman rumah Aldi. Diselingi dengan candaan dan godaan Papa Mama Aldi karena sedaritadi Aldi berduaan terus dengan Nia.
          Selesai makan, mereka berfoto-foto ria. Buat kenang-kenangan katanya. Banyak foto Nia berdua saja dengan Aldi ataupun Andi.
          “Ini yang mana foto gue ama Aldi, yang mana sama Andi?” seru Nia bingung saat melihat foto-fotonya.
          Andi dan Aldi tertawa berbarengan. Nia terperangah. Orang yang kembar memang tak selalu beda atau sama ya. Seperti Aldi dan Andi. Keadaan fisik persis sama, cuma sifat saja yang berbeda. Paling dari sifat hanya beberapa yang sama dengan mereka.
          Aldi dan Andi memang berbeda. Tapi kalau dari sifat, Nia lebih menyukai Aldi. Sifat bandel, serampangan, cerewet, usil dan segala sifat anak nakal yang membuat Nia menyukai Aldi.
          Jujur, selama hampir sebulan Aldi bersama dengan Nia, Nia tertarik dengan Aldi. Kalau dulu, memang ia tertarik karena kegantengan Aldi dan kekerenannya. Sekarang, mungkin beda lagi. Nia pun kaget dengan perubahan perasaannya yang begitu cepat. Ia memang tak bisa melupakan Fadil sepenuhnya. Tapi perasaannya berpindah dengan cepat, ia memang masih menyayangi Fadil, tapi hati kecilnya berkata ia menyukai Aldi.
          “Nia?” Aldi mendekatkan wajahnya pada Nia yang membuat Nia kaget.
          “Eh? Oh? Apaan sih Di muka lo jauhin kek.” Nia menjauh dari Aldi.
          Aldi tertawa. “Ya lagi lo bengong-bengong segala sih.”
          Setelah bercanda ria, Aldi mengajak Nia ke lantai atas dan mereka berjalan menuju pojok ruangan yang terdapat balkon yang menghadap kolam renang. Terasa sangat sejuk disini.
          “Sori ya Ni…” Aldi membuka pembicaraan.
          “Sori kenapa?”
          “Gue udah sok bisa gantiin Fadil dengan ngejaga lo… kalo lo gak suka, gue bisa pergi kok.”
          Nia terperangah. “Lo nyuruh gue pergi?” katanya setelah sekian detik terdiam.
          “Ng… nggak. Gue cuma bilang, kapan aja lo mau ngejauh, gue oke-oke aja. Tapi gue gak nyuruh lo pergi. Gue bakal terus ngejagain lo kok, soalnya itu wejangan dari Fadil, hehe.”
          Nia tersenyum kecil. Ya, ia memang cuma ‘titipan’ dari Fadil pada Aldi supaya Aldi menjaganya sampai ia menyusul Fadil. Titipan? Hmm… lucu ya. Nia seperti sebuah barang yang bisa dititip-titipkan.
          Setelah banyak mengobrol kecil, Nia pamit pulang. Tentu saja diantar Aldi, karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan lewat.
          “Kapan-kapan main kesini lagi ya.” pesan Mamanya Aldi.
          “Iya Kak. Jadi nanti Ayu punya temen. Bosen jadi cewek sendiri kalo gak ada Mama.” pinta Ayu.
          Nia tersenyum dan mengangguk. Ia naik ke motor Aldi setelah berpamitan. Mereka pun melaju menuju ke rumah Nia. Jalanan masih ramai, karena malam ini malam minggu. Saatnya sepasang pasangan berjalan-jalan.
          “Sampai…” kata Aldi memberhentikan motornya didepan rumah Nia.
          “Thanks Di.”
          “Ya. Thanks juga. Dah sana masuk. Udah malem, dingin.”
          Nia pun masuk ke rumahnya setelah berdadah-dadah. Begitu Nia benar-benar masuk ke rumah, Aldi baru beranjak pergi. Di jalan, perasaan Aldi baru bisa tenang. Selama daritadi sore bersama Nia, perasaannya tak tenang. Selalu ada sesuatu yang bergetar di hatinya. Apa ia menyukai Nia? Satu-satunya cewek yang pernah benar-benar ia sayangi cuma Sarah, yang sekarang berpasangan dengan ketua basket. Mantan-mantannya yang lain, tak pernah ia sayangi.
          Saat pertama masuk SMA dulu, Aldi langsung jatuh hati begitu melihat Sarah. Cinta pandangan pertama kali ya? Tapi sayang, setiap kali Aldi ingin menembak Sarah, cewek itu selalu punya pasangan. Cewek-cewek yang pernah jadi pacarnya di sekolah, hanyalah sebagian dari fans-fansnya yang menurutnya menarik. Walau ia tak pernah menyukai mereka semua.
          Hatinya hanya untuk Sarah. Sampai ia mendapatkan cewek itu, saat bulan September kelas sebelas. Sungguh senang hatinya dan ia berjanji akan menjaga cewek kesayangannya itu. Hingga pada bulan November, Sarah memutuskan hubungan dan jadian dengan kapten tim basket. Sungguh sakit hati Aldi, dan ia memutuskan untuk menjomblo dulu beberapa saat.
          Sekarang setiap ia melihat segala sesuatu yang ada pada Nia, ia menyukainya. Ada rasa di dalam hatinya bahwa ia ingin menjaga Nia lebih dari penjaga titipan Fadil.
          “Satu-satunya cewek yang gue suka dan gue sayang cuma Sarah! Ngapain gue suka sama Nia? Gue bilang, gue kan cuma kasian sama dia. Lagipula gue gak suka orang yang gak bisa olah raga!”
          Aldi ingat ucapan itu. Ucapan yang sekarang terngiang di telinganya. Ia termakan kata-katanya sendiri. Sepertinya ia mulai menyukai Nia. Tapi kan, Nia milik Fadil. Tidak. Tidak boleh.

###

          Waktu terus berlalu, pertemanan antara Aldi dan Nia semakin dekat. Hari demi hari, minggu demi minggu, serta bulan demi bulan dilewati dua orang itu bersama. Sampai sekarang Nia masuk kelas sebelas, dan Aldi kelas dua belas.
          “Yah ampun dah gue lupa bawa buku sejarah.” Aldi mengeluh begitu melihat tasnya yang tak terisi buku sejarah suatu hari.
          “Ya gimana sih lo? Kok bisa dah?” tanya Nia sambil turun dari motor.
          “Gak tau. Perasaan udah gue masukin deh semalem. Kok ilang ya? Mana gak ada kelas yang belajar sejarah juga lagi.” Aldi menggaruk kepala.
          Aldi masuk ke kelas XII-IPS-2. Kelas IPS kan, gurunya galak-galak, apalagi kelas IPS-1 dan IPS-2. Sekarang, ia tak bawa buku Sejarah, bisa diapakan kah dirinya?
          Nia cekikikan melihat ekspresi Aldi yang berubah 180 derajat. Ia mendadahi anak satu itu yang masih sibuk berpikir akan diapakan dirinya nanti. Masuk ke kelas baru, di kelas XI-4 yang anak-anaknya rata-rata jago dalam pelajaran Bahasa Inggris.
          Sekolah ini memang lucu. Sekelompok anak yang pintar dalam olah raga, dimasukkan dalam satu kelas, atau yang dalam pelajaran ipa dimasukkan satu kelas, pokoknya semuanya dikelompokkan menjadi satu.
          Guru-guru yang mengajar pun berbeda. Di kelas yang berisi anak-anak berotak IPA, gurunya seperti professor. Di kelas yang berisi anak-anak berotak IPS, gurunya yang model cinta lingkungan. Di kelas yang berisi anak-anak berotak bahasa inggris pun, gurunya yang model-model ngoceh pake bahasa inggris terus.
          Kini, setelah naik kelas sebelas Nia harus berpisah dengan Bima. Bima masuk ke kelas XI-6, kelas yang berisi anak-anak berotak seni. Bima itu jago menggambar, jadi jelas ia gabung dengan anak-anak berotak seni lainnya.

###

          “Aldiii!!” panggil Nia saat Aldi sedang memegang bola basket di lapangan.
          “Apaan?!” katanya setengah berteriak. Panas matahari yang menyengat membuatnya susah menengok kearah Nia, karena Nia ada di lantai dua.
          “Tunggu situ.” Nia berjalan turun.
          “Ada apa?” tanyanya begitu Nia sampai di sebelahnya.
          Mereka duduk di pinggir lapangan. “Sebentar lagi kan tahun baru nih, gimana kalo kita bikin acara?”
          “Acara apaan?”
          “Eh… acara apa ya…”
          “Gimana kalo acara di rumah gue. Sama keluarga gue. Kayak waktu itu. Nyokap-bokap gue udah nyariin elo, katanya kalo gak ada lo rumah sepi.”
          Nia tertawa. Ia memang sering main ke rumah Aldi setelah barbekyu-an. Dan kedatangannya membuat suasana rumah menjadi lebih ceria dan bersemangat. Kadang Nia membantu Tante Rika – Mamanya Aldi – memasak. Tapi akhir-akhir ini ia memang jarang main ke rumah Aldi.
          “Oke deh!” jawab Nia bersemangat.
          “Sip! Eh lo haus gak? Beli minum yo! Gue traktir.”
          “Asyiiik. Ayo!”
          Mereka pun berlalu ke kantin.

No comments:

Post a Comment