Mobil baru saja keluar dari parkiran
bandara. Selama Fadil sudah beranjak pergi, Aldi dan Nia sama-sama membisu. Tak
berbicara satu sama lain. Pikiran Nia melayang seutuhnya pada kenangannya
dengan Fadil. Kali ini Nia duduk di depan, di tempat Fadil biasa duduk saat
mereka bertiga jalan-jalan bersama. Sedangkan Aldi, pikirannya setengah
melayang ke Fadil juga, tapi setengahnya ia konsentrasikan pada jalanan.
Satu jam sudah terlewat, dan kini Aldi
dan Nia berada di jalan tol. Lagu-lagu yang terputar di radio, membuat mereka
berdua mengingat Fadil lagi. Ya ampun, cowok satu ini telah memberikan banyak
kenangan bagi mereka berdua…
“Yak itulah lagu dari Afgan, cowok
ganteng bersahaja itu.” Suara penyiar radio mengisi keheningan dalam mobil
Aldi.
“Buat lo semua pendengar di rumah, gue
pengen bacain berita lokal nih yang ada di Jakarta ! Denger baik-baik ya! Barusan pesawat
dari Soekarno-Hatta yang menuju ke Malaysia mengalami kecelakaan.”
kata penyiar radio yang membuat Aldi dan Nia seketika tersadar dari lamunan
masing-masing.
“Katanya sih tuh pesawat jatuh dan
meledak di Laut Jawa! Belum ditemukan penyebabnya. Tapi pesawat yang satu jam
lalu berangkat ke Negara tetangga kita kini telah hancur di laut, dan belum
ditemukan.”
Apa?! Satu jam yang lalu?! Berarti
penerbangannya jam setengah lima ?
Dan pesawat itu menuju Malaysia .
Berarti itu pesawat… yang ditumpangi Fadil! Berarti Fadil sudah…
“Ahh!! Fadil goblok!!” teriak Aldi
emosi, lalu menggebrak bagian atas setir mobil. Air matanya terjatuh.
Nia pun menangis tak karuan. Tangisnya
meledak begitu ia mengetahui pesawat itu telah hancur di laut. Dadanya sesak.
Pantas sedari tadi perasaannya tak enak. Ternyata itu karena ini? karena orang
yang ia sayangi akan meninggalkannya selamanya?
“Fadil
sayang Nia, selamanya. Goodbye Ni…” teringat ucapan Fadil padanya yang
terakhir tadi. Goodbye? Kenapa Nia malah menjawabnya dengan Goodbye juga?
Seharusnya Nia berkata “Jangan pergi!” atau “Tinggal saja disini!” atau apa
saja yang membuat Fadil takkan pergi. Nia menyesal.
Nia dan Aldi sama-sama menangis.
Terlarut dalam tangisan masing-masing. Kenangan selama lima tahun lebih terputar ulang di pikiran
Aldi. Hampir beberapa kali Aldi menabrak pinggiran, karena konsentrasinya telah
pecah oleh sahabatnya itu.
Nia pun juga begitu, mengingat saat
pertama ia bertemu Fadil. Saat Fadil memarahinya karena ia datang terlambat
saat pertama masuk MOS, lalu senyumnya, bocoran jawaban saat Nia sedang quiz
dadakannya Pak kum, dan juga segala macam tindakannya yang dilakukan untuk Nia.
Aldi ingat ucapan terakhir Fadil. “Jagain cewek gue ya.” Lalu Aldi menatap
Nia yang sedang menunduk menangis sambil menutup kedua mukanya dengan telapak
tangan. Ia harus menuruti permintaan Fadil, ia harus menjaga Nia…
###
Nia masuk ke rumah begitu Aldi
memberhentikan mobilnya. Jam sudah menunjukkan pukul enam lebih, dan Mama sudah
pulang. Tanpa mengucap salam, Nia menerobos masuk ke rumah membuat Mama dan
Andre serta Rifky berpandangan heran.
Nia hampir membuka pintu kamarnya,
begitu mendengar suara pembawa berita yang sedang ditonton Mama dan Kak Andre.
Ia melongok sedikit.
“Sebuah pesawat yang sedang menuju ke Malaysia
dikabarkan jatuh dan meledak di tengah laut jawa. Saat ini sedang dilakukan
pencarian pada bagian-bagian pesawat dan kotak hitamnya oleh timsar.”
Nia menatap cuplikan timsar yang
sedang mencari-cari di laut. Mencari pesawat dan kotak hitam yang ada dalam
pesawat itu.
“Wih, gila ya. Mati semua kali ya tuh
Ma?” kata Kak Andre pada Mama. Walau Kak Andre sepupu Nia, ia tetap memanggil
Mama Nia dengan sebutan ‘Mama’.
“Ya iyalah kan meledak Ndre. Masa iya orang dalem
pesawat meledak kagak mati?” jawab Mama ringan.
Nia kembali membuka pintu kamarnya,
tak mau mendengar lebih. Ia mengunci kamarnya, dan menangis habis-habisan.
Entah apa yang akan terjadi dengan matanya esok pagi. Ia tak mau ikut makan malam,
walau Mama, Papa, Kak Andre, bahkan Rifky sudah membujuknya.
Ia tetap diam dan melanjutkan
menangis. Saat sedang mandi pun, ia masih menangis walau sedikit-sedikit. Saat
mengaca, Nia tak terkejut sama sekali. Mukanya pucat dan matanya bengkak,
sangat bengkak malah.
Saat ia berbaring di tempat tidur, air
matanya mengalir lagi. Dan tanpa sadar ia tertidur…
Esok paginya…
Nia
datang pagi-pagi sekali. Supaya tak terlalu banyak yang mengetahui matanya yang
bengkak. Yah, ia tahu sih semua pasti akan memaklumi. Seluruh warga sekolah,
bahkan guru, tahu kalau Nia berpacaran dengan Fadil ketua osis. Pasti
murid-murid akan menganggap wajar, kalau Nia menangis karena kematian Fadil.
Ternyata saat ia sudah datang, Bima
juga sudah datang. Tentu saja Nia menyembunyikan wajahnya di depan Bima. Malu,
lagi.
“Nia? Kok tumben dateng pagi-pagi?”
tanya Bima.
Nia menaruh tas tanpa menengok. Dan
tentu saja Bima penasaran dan melongokkan kepalanya melihat Nia.
“Ya ampun Nia! Mata lo kenapa? Kok
muka lo pucet gitu sih? Lo sakit? Ke UKS ya!”
“Nggak usah…” jawab Nia dengan suara
serak.
“Lo kenapa!?” tanya Bima sungguh
sangat khawatir.
Nia hanya diam dan menggeleng. Lalu
mengambil novel yang ada pada tasnya dan mulai membaca, tak menggubris Bima yang
khawatir.
Akhirnya, jam berjalan juga. Dan kelas
sudah hampir terisi penuh. Semua anak lain heran mengapa mata Nia bengkak dan
muka Nia pucat. Tapi Nia tetap tak menjawab. Sekalipun ia menjawab, jawabannya
hanya, “Nanti kalian juga tau sendiri…”
Saat jam sudah menunjukkan pukul
setengah tujuh, bel berbunyi. Dan terdapat pengumuman dari Pak Sugi. Pengumuman
kalau kita kehilangan ketua osis kita yang kecelakaan di pesawat yang ia
tumpangi, dan blablabla segala macam pidatonya terdengar dari loudspeaker.
Nia menenggelamkan kepalanya dalam
lipatan tangannya di meja. Ia tak mau mendengar. Akirnya anak-anak tahu apa
yang menyebabkan Nia bermata bengkak dan bermuka pucat. Kepergian Fadil yang
sangat tiba-tiba.
Di kelas XI-5…
Aldi
bersender pada tembok di sebelahnya sambil mendengarkan Pak Sugi berbicara
lewat loudspeaker. Mukanya semakin pucat setelah semalaman ia mengamuk dalam
kamarnya, membuat beberapa barang pecah dan Andi yang kaget karena sebagian
kamarnya berantakan sekali.
Akbar menatapnya simpati. Semua orang
di sekolah juga tahu Aldi dekat sekali dengan Fadil. Bahkan bersahabat lima tahun lebih. Dan
kalau sekarang Aldi tampak lebih diam, itu wajar.
“Aldi?” tiba-tiba terdengar suara
Fadil dari samping.
Aldi menoleh, ah bukan… itu ternyata
cuma Bayu. Seharusnya Aldi menerima kenyataan kalau Fadil sudah pergi.
Selamanya…
Aldi memejamkan matanya. Perasaan
sakit di kepalanya membuatnya ingin pingsan di tempat. Fadil berkelebat di
benaknya. Sahabatnya satu-satunya, yang sangat dekat dengannya, harus meninggalkannya
selama ia hidup di dunia ini?
Cuma Fadil-lah yang mengerti Aldi
sebagai sahabat. Dan mencari sahabat seperti Fadil sungguh susah. Ya ampun,
kenapa ia harus pergi secepat ini?
Aldi menghela napas lelah. Beberapa
anak di kelas memandangnya dengan simpati, bahkan Bu Tika yang sedang mengisi
jam pelajaran Bahasa Indonesia juga.
“Aldi…” Tia memanggilnya hati-hati
dari belakang.
Aldi menoleh, menatap Tia. Tia
tersenyum. “Semangat ya!” katanya pada Aldi.
Aldi tersenyum tipis dan mengangguk. Tia
juga temannya yang agak akrab dengannya. Tapi ya, ia tak bisa menggantikan
Fadil dari posisi sahabat terbaik.
###
“Gue beliin minum ya Ni?” tawar Bima
pada Nia yang sedang duduk sambil melamun.
Nia menggeleng. Masih menatap kosong
ke satu arah.
“Lo belom minum daritadi Ni, nanti
dehidrasi…”
Nia menggeleng lagi, masih tak
mengeluarkan suara sama sekali. Bima tak menyerah. Ia tetap berjalan ke kantin
dan membelikan sebotol aqua untuk Nia. Saat bel istirahat kedua berbunyi, Nia
tak beranjak dari kursinya. Jangankan istirahat kedua, istirahat pertama pun ia
masih diam di tempatnya.
Bima sudah menebak. Pasti dari semalam
Nia belum minum atau makan sama sekali. Itu terlihat dari bibirnya yang
pecah-pecah.
“Ni, gue tau lo sedih, tapi lo juga
harus jaga kesehatan lo. Kalo lo sakit, Fadil pasti juga sedih disana…”
Nia menoleh. Matanya berkaca-kaca.
“Nggak Bim… dia gak peduli sama gue. Buktinya dia tinggalin gue gitu aja…”
Bima menghela napas. “Lo mesti ceria.
Semangat dong! Jangan sedih begini. Nih minum.”
Nia mengambil botol aqua yang
dibelikan Bima lalu meminumnya. Tenggorokannya memang sudah terasa sangat
kering karena dari kemarin ia tak minum ataupun makan. Benar, kesedihannya
berdampak buruk bagi kesehatannya.
“Thanks Bim…” Nia tersenyum dan
bangkit dari kursinya.
“Mau kemana?”
“Toilet…”
“Tunggu. Gue ikut. Tapi gue gak masuk
toilet.”
Nia hanya tersenyum lalu berjalan
perlahan. Bima mengikuti dari belakang. Baru saja mereka mau keluar dari kelas,
tiba-tiba…
“Niaaa!” seru Bima kaget. Karena
tiba-tiba Nia terjatuh pingsan ke belakang.
Seluruh siswa-siswi yang ada disana
langsung melotot kaget. Bukan karena Nia pingsan secara tiba-tiba, tapi mukanya
yang sangat pucat seperti tak ada darah mengalir pada dirinya. Dua cowok yang
ada di kelas, Yoga dan Ari, membantu Bima menggotong Nia ke UKS di lantai
bawah.
Sementara itu, di kelas Aldi, Aldi
sedang duduk sambil melamun. Ia mendengar suara ramai-ramai yang tak seperti
biasa, tapi ia tak perduli.
“Aldi, Nia pingsan!” seru Rama
tiba-tiba, yang membuat Aldi tersentak.
“Pingsan?!” seru Aldi tak percaya.
“Iya, dia lagi di UKS.”
Aldi buru-buru turun ke lantai dasar.
Khawatir. Langkah pertamanya saat ingin menjaga Nia malah gagal. Ia gagal
menjaga Nia. Gagal. Maaf Fadil…
“Mana Nia?” seru Aldi di depan UKS.
“Itu, kak.” Yoga menunjuk tempat tidur
di pojok.
Nia sedang terbaring di tempat tidur.
Bima ada disampingnya dan memandangnya khawatir. Aldi langsung menghampiri
mereka dan langsung terperanjat melihat keadaan Nia yang seperti orang sakit
keras.
“Ini kenapa kok bisa pingsan?” tanya
Aldi.
“Gak tau kak. Gue lagi ngikutin dia
pas dia mau ke toilet, eh tiba-tiba pingsan.” jawab Bima tak mengalihkan
pandangannya.
“Ini kok… bisa pucet parah kayak gini?
Emang dia gak makan apa? Gak minum apa?”
“Kayaknya dari kemaren nggak…”
Aldi mendesah. Cewek ini begini karena
sahabatnya. Bahkan kondisinya lebih parah dari kondisi Aldi sekarang.
“Bima…?” suara Nia terdengar perlahan.
Aldi menoleh. Nia langsung terbelalak
melihat Aldi yang berada di sebelah Bima. “A… Aldi?”
“Kok lo bisa kayak gini sih Ni? Jaga
kesehatan dong. Gue gak mau gagal di langkah pertama gue jagain lo, sesuai
wibawa Fadil…”
Pandangan Nia terasa kabur oleh air
matanya yang mengalir lagi kini. Fadil… telah memberi Aldi amanat untuk menjaga
Nia selama ia pergi. Tapi kalau Fadil pergi untuk selamanya, berarti Aldi harus
menjaga Nia selamanya?
Bima menatap Aldi dan Nia bergantian.
Nia yang menangis dalam diam, serta Aldi yang menatap Nia kosong. Wibawa Fadil?
Berarti mereka sempat bertemu dengan Fadil sebelum Fadil pergi. Pantas kemarin
mereka terlihat sangat buru-buru saat pulang sekolah.
“Gue keluar dulu ya Ni, Kak…” Bima
pamit keluar mengingat kalau ia sangat mengganggu disini.
Begitu Bima keluar, Aldi mengambil
kursi yang tadi diduduki Bima dan duduk disitu.
“Please Ni… lo harus kuat. Lo gak
boleh begini, Fadil pasti sedih liat lo sakit-sakitan.”
Nia masih diam dan menangis sambil
terduduk di tempat tidur. “Gue sedih kayak gini gimana gue mau kuat Di? Gue gak
mau siapapun, gue gak mau lo, gak mau Bima, atau keluarga gue. Gue cuma mau
Fadil disini yang nemenin gue…” katanya lirih.
“Gue ngerti Ni…”
“Lo ngerti? Lo ngerti apa? Gue
kehilangan Di! Gue sayang banget sama dia, tapi dia pergi ninggalin gue
selamanya.”
“Gue emang ngerti kok Ni arti kehilangan.
Perasaan lo sama kayak perasaan gue, gue juga kehilangan sahabat gue. Lo
kehilangan separuh hidup lo, dan gue juga. Lo kehilangan penyemangat lo, gue
juga. Dan lo kehilangan orang yang ngertiin lo, dan gue juga! Kita sama Ni…”
Nia diam, air matanya terus mengalir.
“Bayangin coba, lo aja yang baru kenal
dia selama setengah tahun, dan sayang dia selama dua bulan udah kayak gini.
Apalagi gue, Nia? Gue kenal dia selama lima
tahun lebih! Siapa yang lebih sedih sekarang. Lo atau gue?”
Untuk kedua kalinya Nia hanya terisak.
“Walau kita sama-sama sedih, gue beda
sama lo. Gue masih inget kesehatan gue, walau masih jatoh dalem lobang
kesedihan. Lo gak boleh kayak gini terus! Lo harus kuat! Walau gak ada Fadil,
ada gue disini, Ni!”
Kesekian kalinya Nia diam tak
bersuara. Tapi tak ada suara tangisan lagi kini yang terdengar.
“Nia?” panggil Aldi hati-hati.
“Tapi… gue gak mau lo… gue cuma mau
Fadil…”
Aldi menghela napas panjang. “Gue akan
selalu ada buat lo. Gantiin Fadil.”
Nia menggeleng kuat. Hatinya sakit.
Kata-kata yang keluar dari mulut Aldi menyayat hati dan perasaannya. Aldi
adalah pengganti Fadil untuknya…
###
Hari-hari Nia mulai berjalan lancar seperti
biasa. Walau sempat selama tiga hari pasca Nia pingsan, ia tak masuk karena
sakit. Saat ia mulai masuk sekolah, ia mulai mencoba menjalani hari-harinya
seperti biasa. Seperti tak ada masalah yang terjadi.
Pagi-pagi sekali, Aldi akan
menjemputnya untuk berangkat sekolah bareng. Tadinya Nia menolak, tapi Aldi
bersikeras dan akhirnya Nia hanya harus menurut. Saat jam istirahat pertama,
Aldi akan mendatangi kelas Nia untuk makan bersama di kantin. Jam kedua pun,
Aldi pasti akan mendatangi kelas Nia. Walau sekadar mengajaknya mengobrol di
kelas. Pulang sekolah, lagi-lagi Aldi yang akan mendatanginya dan menariknya
pulang. Walau kadang kelas Nia kena hukuman atau quiz-quiz di jam terakhir,
Aldi tetap sabar menunggunya sampai ia keluar kelas.
Hubungan Nia dan Aldi yang sangat
dekat, menimbulkan berbagai gossip. Ada
yang buruk, maupun baik. Ada
yang bilang setelah kematian Fadil, Nia berpaling ke Aldi, dan biasanya
anak-anak cewek yang bilang begitu. Lalu ada juga yang bilang kalau Aldi
menyukai Nia dari dulu, namun langkahnya diserobot Fadil dan saat Fadil pergi,
Aldi mendekati Nia. Ada
juga yang bilang itu amanat dari Fadil untuk menjaga Nia – walau gossip yang
satu ini memang benar – tapi banyak yang tak percaya.
Kondisi Nia juga sekarang juga
baik-baik. Ekspresinya menyatakan seperti ia tak sedang berkabung karena
kematian Fadil. Hari-harinya kembali menjadi ceria seperti dulu, seperti tak
ada apa-apa.
Bima khawatir. Dibalik keceriaan Nia
yang seperti ini, pasti berat melakukannya. Kalau Nia terlalu memaksakan kan , bisa gawat.
“Nia?” panggil Bima saat Nia sedang
membaca novel.
“Ya Bim?” sahut Nia tanpa mengalihkan
pandangan.
“Lo… gak pa-pa?”
Nia menoleh, “Maksud lo?”
“Lo, gak pa-pa jalanin hidup kayak
gini?”
Ekspresi Nia berubah seratus delapan
puluh derajat dan ia langsung diam tanpa menatap Bima lagi. Bima mengerti.
Lagipula ia tak memaksa Nia menjawab. Biarkan waktu yang akan menjawab nanti.
###
“Nia! Ayo pulang!” ajak Aldi begitu
sampai di kelas Nia.
Nia membereskan buku-buku yang berada
di mejanya dan memasukkan kedalam tasnya. Lalu menghampiri Aldi dan tersenyum.
“Ayo!” Ia memeluk lengan Aldi seperti ia memeluk lengan Bima seperti dulu.
Bima memperhatikan dari kelas. Dulu
Nia cuma memeluk lengan satu orang, yaitu dirinya. Lalu sekarang, Nia berpindah
orang. Dari Bima ke Aldi. Bima seperti diabaikan, karena mereka tak sedekat
dulu.
Bima menghela napas dan berjalan
menuju koridor utama. Aldi dan Nia sudah jauh diujung koridor, saling bercanda
dan tertawa. Bima tahu, ia cemburu, tapi diabaikannya perasaan itu.
“Sabtu ke rumah gue yok?” ajak Aldi.
“Ngapain?”
“Kita barbekyu-an. Sama keluarga gue
juga.”
“Yahh lo… gue kan gak enak, lagipula gue gak kenal. Cuma
kenal Andi doang.”
“Gak pa-pa lagi… gak gigit kok mereka.
Ayooo ikut ya? Gue jemput kok, tenang aja.”
“Ya udah…”
Aldi menstarter motornya dan memakai
jaketnya. “Ayo naik!” suruhnya dan Nia naik ke motor itu lalu mereka melesat
pergi.
###
Sabtu sore…
“Udah ya Ma! Bye!” pamit Nia pada Mama
setelah ia mendengar bunyi klakson motor Aldi di depan rumah.
“Hati-hati!” pesan Mama.
“Nanti pulangnya agak maleman ya Ma!”
“Iya hati-hati lho!”
Nia mengangguk dan membuka pintu
rumahnya. Dilihatnya Aldi sedang duduk diatas motornya dan tersenyum pada Nia.
“Kok gaya lo kayak bocah banget sih?” Aldi
memperhatikan Nia dari atas sampai bawah.
Nia tersenyum. Kaus lengan pendek
berwarna biru, celana putih pendek selutut, sepatu kets warna biru donker,
serta tas punggung warna putih. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda pun
membuatnya semakin lucu untuk dilihat.
“Biarin.” Nia melet.
“Lo kayak mau olah raga pagi tau Ni.”
komentar Aldi lagi.
Nia tertawa. Ia juga memperhatikan
penampilan Aldi. Memakai celana jeans panjang, serta kaus berwarna putih. Walau
gayanya kasual, kegantengan Aldi terpancar dari mukanya.
“Ayo naik.”
Nia naik ke motor Aldi. “Tapi gue gak
enak.”
“Tenang. Gue udah bilang kok sama
orang tua gue.” kata Aldi menenangkan dan melesat pergi.
Sesampainya di rumah Aldi, Nia
langsung melongo. Wih, rumahnya gede juga ya. Ini pertama kalinya ia
mengunjungi rumah cowok saat malam minggu. Halaman yang sangat luas dan tertata
rapi oleh bunga-bunga membuat Nia makin menganga.
“Nia? Ayo masuk!” tarik Aldi.
Nia akhirnya masuk bersama Aldi. Di
sofa ruang tamu, sedang duduk Andi yang bermain dengan PSP-nya. Nia disuruh
duduk di sebelah Andi, sementara Aldi pergi ke belakang.
“Eh. Nia. Apa kabar?” Andi tersenyum
sambil mematikan PSP-nya.
“Baik. Lo?”
“Baik juga.”
Nia mengangguk dan memperhatikan isi
rumah Aldi. Sangat rapi. Segala lukisan gede-gede ada terpajang di tembok. Ada juga foto keluarga
Aldi.
“Ma, Pa, ini Nia.” Aldi datang bersama
kedua orang tuanya.
Nia berdiri dan menyalami kedua orang
tua Aldi sambil tersenyum yang memperlihatkan lesung pipinya.
“Ooh jadi ini pacarnya Aldi yang baru?
Manis banget, Di. Pilihan kamu bagus deh.” goda Mamanya Aldi yang membuat Nia
kaget.
“Eh, nggak Tante, bukan kok.” Nia
geleng-geleng.
“Wah kalo pacarnya kayak begini sih
Papa setuju aja.” Papanya Aldi mengedipkan satu mata.
“Apaan sih Pa, Ma? Udah sono urusin
dulu bahannya.”
Papa dan Mama Aldi pergi sambil
tertawa. Aldi mengajak Nia duduk. Mereka mengobrol. Membicarakan apapun
berempat, dengan Andi dan Ayu adik Aldi. Pembicaraan selesai jam setengah
tujuh, saat orang tua Aldi memanggil untuk membantu bakar-bakar.
“Andi sama Ayu masuk-masukin daging
sama bahan-bahan ke tusukan. Aldi sama Nia bantuin bakar-bakar.” perintah Papa
Aldi.
Aldi dan Nia akhirnya saling membantu.
Canda dan tawa menghiasi pekerjaan mereka. Kadang Aldi melawak yang membuat Nia
tertawa ngakak. Pokoknya saat itu seru sekali.
Makanan siap jam setengah delapan.
Bersama dengan keluarga Aldi, Nia makan bersama di taman rumah Aldi. Diselingi dengan
candaan dan godaan Papa Mama Aldi karena sedaritadi Aldi berduaan terus dengan
Nia.
Selesai makan, mereka berfoto-foto
ria. Buat kenang-kenangan katanya. Banyak foto Nia berdua saja dengan Aldi
ataupun Andi.
“Ini yang mana foto gue ama Aldi, yang
mana sama Andi?” seru Nia bingung saat melihat foto-fotonya.
Andi dan Aldi tertawa berbarengan. Nia
terperangah. Orang yang kembar memang tak selalu beda atau sama ya. Seperti
Aldi dan Andi. Keadaan fisik persis sama, cuma sifat saja yang berbeda. Paling
dari sifat hanya beberapa yang sama dengan mereka.
Aldi dan Andi memang berbeda. Tapi
kalau dari sifat, Nia lebih menyukai Aldi. Sifat bandel, serampangan, cerewet,
usil dan segala sifat anak nakal yang membuat Nia menyukai Aldi.
Jujur, selama hampir sebulan Aldi
bersama dengan Nia, Nia tertarik dengan Aldi. Kalau dulu, memang ia tertarik
karena kegantengan Aldi dan kekerenannya. Sekarang, mungkin beda lagi. Nia pun
kaget dengan perubahan perasaannya yang begitu cepat. Ia memang tak bisa
melupakan Fadil sepenuhnya. Tapi perasaannya berpindah dengan cepat, ia memang
masih menyayangi Fadil, tapi hati kecilnya berkata ia menyukai Aldi.
“Nia?” Aldi mendekatkan wajahnya pada
Nia yang membuat Nia kaget.
“Eh? Oh? Apaan sih Di muka lo jauhin
kek.” Nia menjauh dari Aldi.
Aldi tertawa. “Ya lagi lo
bengong-bengong segala sih.”
Setelah bercanda ria, Aldi mengajak
Nia ke lantai atas dan mereka berjalan menuju pojok ruangan yang terdapat
balkon yang menghadap kolam renang. Terasa sangat sejuk disini.
“Sori ya Ni…” Aldi membuka
pembicaraan.
“Sori kenapa?”
“Gue udah sok bisa gantiin Fadil
dengan ngejaga lo… kalo lo gak suka, gue bisa pergi kok.”
Nia terperangah. “Lo nyuruh gue
pergi?” katanya setelah sekian detik terdiam.
“Ng… nggak. Gue cuma bilang, kapan aja
lo mau ngejauh, gue oke-oke aja. Tapi gue gak nyuruh lo pergi. Gue bakal terus
ngejagain lo kok, soalnya itu wejangan dari Fadil, hehe.”
Nia tersenyum kecil. Ya, ia memang
cuma ‘titipan’ dari Fadil pada Aldi supaya Aldi menjaganya sampai ia menyusul
Fadil. Titipan? Hmm… lucu ya. Nia seperti sebuah barang yang bisa
dititip-titipkan.
Setelah banyak mengobrol kecil, Nia
pamit pulang. Tentu saja diantar Aldi, karena jam sudah menunjukkan pukul
sembilan lewat.
“Kapan-kapan main kesini lagi ya.”
pesan Mamanya Aldi.
“Iya Kak. Jadi nanti Ayu punya temen.
Bosen jadi cewek sendiri kalo gak ada Mama.” pinta Ayu.
Nia tersenyum dan mengangguk. Ia naik
ke motor Aldi setelah berpamitan. Mereka pun melaju menuju ke rumah Nia.
Jalanan masih ramai, karena malam ini malam minggu. Saatnya sepasang pasangan
berjalan-jalan.
“Sampai…” kata Aldi memberhentikan
motornya didepan rumah Nia.
“Thanks Di.”
“Ya. Thanks juga. Dah sana masuk. Udah malem,
dingin.”
Nia pun masuk ke rumahnya setelah
berdadah-dadah. Begitu Nia benar-benar masuk ke rumah, Aldi baru beranjak
pergi. Di jalan, perasaan Aldi baru bisa tenang. Selama daritadi sore bersama
Nia, perasaannya tak tenang. Selalu ada sesuatu yang bergetar di hatinya. Apa
ia menyukai Nia? Satu-satunya cewek yang pernah benar-benar ia sayangi cuma
Sarah, yang sekarang berpasangan dengan ketua basket. Mantan-mantannya yang
lain, tak pernah ia sayangi.
Saat pertama masuk SMA dulu, Aldi
langsung jatuh hati begitu melihat Sarah. Cinta pandangan pertama kali ya? Tapi
sayang, setiap kali Aldi ingin menembak Sarah, cewek itu selalu punya pasangan.
Cewek-cewek yang pernah jadi pacarnya di sekolah, hanyalah sebagian dari
fans-fansnya yang menurutnya menarik. Walau ia tak pernah menyukai mereka
semua.
Hatinya hanya untuk Sarah. Sampai ia
mendapatkan cewek itu, saat bulan September kelas sebelas. Sungguh senang
hatinya dan ia berjanji akan menjaga cewek kesayangannya itu. Hingga pada bulan
November, Sarah memutuskan hubungan dan jadian dengan kapten tim basket.
Sungguh sakit hati Aldi, dan ia memutuskan untuk menjomblo dulu beberapa saat.
Sekarang setiap ia melihat segala
sesuatu yang ada pada Nia, ia menyukainya. Ada rasa di dalam hatinya bahwa ia ingin
menjaga Nia lebih dari penjaga titipan Fadil.
“Satu-satunya
cewek yang gue suka dan gue sayang cuma Sarah! Ngapain gue suka sama Nia? Gue
bilang, gue kan
cuma kasian sama dia. Lagipula gue gak suka orang yang gak bisa olah raga!”
Aldi
ingat ucapan itu. Ucapan yang sekarang terngiang di telinganya. Ia termakan
kata-katanya sendiri. Sepertinya ia mulai menyukai Nia. Tapi kan , Nia milik Fadil. Tidak. Tidak boleh.
###
Waktu terus berlalu, pertemanan antara
Aldi dan Nia semakin dekat. Hari demi hari, minggu demi minggu, serta bulan
demi bulan dilewati dua orang itu bersama. Sampai sekarang Nia masuk kelas
sebelas, dan Aldi kelas dua belas.
“Yah ampun dah gue lupa bawa buku
sejarah.” Aldi mengeluh begitu melihat tasnya yang tak terisi buku sejarah
suatu hari.
“Ya gimana sih lo? Kok bisa dah?” tanya
Nia sambil turun dari motor.
“Gak tau. Perasaan udah gue masukin
deh semalem. Kok ilang ya? Mana gak ada kelas yang belajar sejarah juga lagi.”
Aldi menggaruk kepala.
Aldi masuk ke kelas XII-IPS-2. Kelas
IPS kan ,
gurunya galak-galak, apalagi kelas IPS-1 dan IPS-2. Sekarang, ia tak bawa buku
Sejarah, bisa diapakan kah dirinya?
Nia cekikikan melihat ekspresi Aldi
yang berubah 180 derajat. Ia mendadahi anak satu itu yang masih sibuk berpikir
akan diapakan dirinya nanti. Masuk ke kelas baru, di kelas XI-4 yang
anak-anaknya rata-rata jago dalam pelajaran Bahasa Inggris.
Sekolah ini memang lucu. Sekelompok
anak yang pintar dalam olah raga, dimasukkan dalam satu kelas, atau yang dalam
pelajaran ipa dimasukkan satu kelas, pokoknya semuanya dikelompokkan menjadi
satu.
Guru-guru yang mengajar pun berbeda.
Di kelas yang berisi anak-anak berotak IPA, gurunya seperti professor. Di kelas
yang berisi anak-anak berotak IPS, gurunya yang model cinta lingkungan. Di
kelas yang berisi anak-anak berotak bahasa inggris pun, gurunya yang
model-model ngoceh pake bahasa inggris terus.
Kini, setelah naik kelas sebelas Nia
harus berpisah dengan Bima. Bima masuk ke kelas XI-6, kelas yang berisi
anak-anak berotak seni. Bima itu jago menggambar, jadi jelas ia gabung dengan
anak-anak berotak seni lainnya.
###
“Aldiii!!” panggil Nia saat Aldi
sedang memegang bola basket di lapangan.
“Apaan?!” katanya setengah berteriak.
Panas matahari yang menyengat membuatnya susah menengok kearah Nia, karena Nia
ada di lantai dua.
“Tunggu situ.” Nia berjalan turun.
“Ada
apa?” tanyanya begitu Nia sampai di sebelahnya.
Mereka duduk di pinggir lapangan.
“Sebentar lagi kan
tahun baru nih, gimana kalo kita bikin acara?”
“Acara apaan?”
“Eh… acara apa ya…”
“Gimana kalo acara di rumah gue. Sama keluarga
gue. Kayak waktu itu. Nyokap-bokap gue udah nyariin elo, katanya kalo gak ada
lo rumah sepi.”
Nia tertawa. Ia memang sering main ke
rumah Aldi setelah barbekyu-an. Dan kedatangannya membuat suasana rumah menjadi
lebih ceria dan bersemangat. Kadang Nia membantu Tante Rika – Mamanya Aldi –
memasak. Tapi akhir-akhir ini ia memang jarang main ke rumah Aldi.
“Oke deh!” jawab Nia bersemangat.
“Sip! Eh lo haus gak? Beli minum yo!
Gue traktir.”
“Asyiiik. Ayo!”
Mereka pun berlalu ke kantin.
No comments:
Post a Comment