“Kapan
ya bintang jatuh itu muncul?” gumam seorang gadis yang sedang menatap langit
malam. Gadis itu bernama Anggita.
Rangga
sahabat Anggita yang juga sedang menatap langit malam menjawab, “Mungkin,
bintang jatuh akan datang kalau kita membutuhkannya suatu saat.”
Anggita
tersenyum dan mengangguk. Gadis berumur 14 tahun ini biasa dipanggil Anggi oleh
semua orang di dekatnya. Gadis manis ini sangat menggemari langit malam yang
indah dan selalu menunggu bintang jatuh bersama sahabatnya, Rangga. Rangga atau
Angga adalah sahabat Anggi dari kecil. Mereka selalu bersama-sama sampai orang
mengira mereka kembar.
“Tidur
gih, besok pagi gak bisa bangun loh. Udah jam 11 gini juga.” suruh Angga.
Anggi
melihat jam dan nyengir, “Hehehehe...,” ia menggaruk kepalanya, “Iya deh gue
tidur, besok berangkat bareng ya! Goodbye!”
Angga
tersenyum sambil memerhatikan sahabatnya yang sudah ngeloyor ke kamarnya.
Senyumnya berubah menjadi senyum geli membayangkan apa yang akan terjadi besok
pagi…
Paginya…
“Anggi!!
Anggi!!” panggil Angga dari depan rumahnya Anggi.
Gadis
yang barusan dipanggil itu masih tertidur dengan pulasnya di kamarnya yang
sejuk. Anggi memang paling susah dibangunkan kalau soal tidur. Hanya Ibunya lah
yang bisa membangunkan Anggi.
“Anggi!!!”
panggil Angga lagi dengan lebih keras.
Anggi
tetap tak bergeming hingga Ibunya ikut campur. “ANGGIIII BANGUN!!!!!!!!”
Anggi
membuka matanya dan menggeliat sambil melihat jam weker, dihelanya napas dan
dicobanya tidur kembali. Beberapa detik kemudian, ia sadar dan melompat dari tempat
tidur. Dilihatnya Angga yang sedang berdiri dari balkon kamarnya.
“Angga!
Tunggu!” teriaknya.
Angga
tersenyum geli dan mengangguk. Kejadian ini sudah sangat akrab di keseharian
Angga dan Anggi. Anggi selalu bangun telat karena tidur larut setelah melihati
langit malam.
Tak
sampai lima
menit, Anggi keluar dari rumahnya sambil meneguk susu dan memakai sepatunya.
Setelah semuanya beres, Anggi membuka pintu pagar rumah dan tersenyum pada
Angga.
“Dasar
kebo!” Angga mengacak-ngacak rambut Anggi.
Anggi
memanyunkan bibirnya dan melipat tangannya. Sahabatnya ini sangat suka
menggodanya.
“Ih
ngambek…” Angga mencubit pipi Anggi.
“Udah
ah diem!” protes Anggi.
Angga
hanya nyengir dan melanjutkan berjalan. 15 menit telah berlalu dan tak terasa
karena obrolan Angga dan Anggi. Mereka telah sampai di sekolah yang mulai
ramai.
“Angga!!”
panggil seseorang dari belakang.
Angga
dan Anggi menoleh dan didapatinya Bian, si cowok populer di sekolah. “Apa Yan?”
jawab Angga.
“Kesini
sebentar…,” Bian menarik Angga menjauh dan menyerahkan sebuah surat , “Bisa tolong kasih ke Anggi gak?
Please, lo kan
sahabat deketnya. Tolong ya?”
Angga
menatap surat
itu dan mengambilnya. “Nggak masalah.”
Anggi
menatap heran Angga yang mendekat sambil membawa sepucuk surat . Sepertinya surat dari Bian.
“Ini,
buat lo Gi, dari Bian.” Angga menepukkan surat
itu ke kepala Anggi.
Anggi
mengambil surat
itu dan membacanya.
“Gue suka sama lo. Bisa nanti kita ngomong
sepulang sekolah dilapangan basket? Gue tunggu. Bian J “
“Huaaaaa…!!!”
teriak Anggi tak percaya sampai beberapa anak di koridor menatapnya.
“Lo
kenapa sih Gi?” tanya Angga sewot.
“Nih
baca ini!!”
Angga
mengambil surat
itu dan ia juga terbelalak. Tidak mungkin itu. Terasa sakit di dada Angga.
Anggi tak pantas bersama Bian karena Bian akan menyakitinya. Bian adalah Raja
Playboy di sekolah. Tapi hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Anggi
adalah cewek terpolos yang pernah dikenal Angga. Cewek ini memang benar-benar
tak pantas bersama Bian.
“Oh.
Hmm. Selamet ya!” hanya itu yang bisa diucapkan Angga.
Sebenarnya
ada rasa aneh yang menghinggapi Angga tiap kali ia bertemu Anggi. Mungkin itu
yang dinamakan jatuh cinta. Perasan itu sudah dirasakan Angga saat mereka naik
ke kelas 2. Tapi tak mungkin Angga mengatakannya. Karena ia takut
persahabatannya dengan Anggi akan retak begitu saja. Dan sekarang, Anggi sudah
diincar Bian si raja Playboy.
Anggi
sendiri terlalu girang karena surat
itu. Ia tak menyangka seorang lelaki idola di sekolah akan menyukainya. Sampai
ia tersenyum sendiri.
Pelajaran
dilalui Angga dan Anggi dengan pikirannya masing-masing. Anggi masih terlalu
senang dan tak sabar menunggu jam pulang sekolah nanti. Berbeda dengan Angga
yang semakin bete karena pelajaran cepat berlalu dan sebentar lagi sudah
waktunya pulang sekolah.
Kringgg…
Bel
pulang sekolah berbunyi dengan nyaring dan membangunkan Angga dan Anggi dari
lamunan mereka.
“Angga
ayo cepetan!” seru Anggi sambil menunggu Angga membereskan bukunya.
Angga
tak menggubris Anggi dan memperlambat gerakannya. Angga memang sengaja
melakukannya, tapi tetap saja pasti bukunya akan beres juga selambat apapun ia
membereskannya.
“Aduh
lama banget deh Ga. Sini gue bantuin.” Anggi meraih semua buku Angga yang masih
ada di meja dan merebut tas Angga. Dimasukannya semua benda itu kedalam tas
dengan cepat.
Angga
menghela napasnya melihat kelakuan Anggi dan mengambil tasnya dari tangan
Anggi. Dilihatnya Anggi yang sudah berjalan keluar kelas. Sekali lagi dihelanya
napas dengan panjang dan ia berjalan menyusul Anggi. Mereka menuju ke lapangan
basket yang berada disamping lapangan upacara. Bian sudah menunggu disana.
Mendekati
lapangan basket, Bian yang sudah melihat Angga dan Anggi melambaikan tangannya.
Anggi balas melambaikan tangan, sedangkan Angga melihat kearah lain.
“Hei
Gi.” sapa Bian sambil tersenyum. Senyuman yang biasa menghipnotis semua anak
cewek.
Anggi
balas tersenyum.
“Hmm…
Sorry Ga, gue perlu ngomong berdua sama Anggi.” kata Bian yang mengusirnya
secara halus.
“Eh?
Oh. Oke. Gue tunggu di gerbang.” sahut Angga. “Anggi, goodluck ya!” Angga
melambaikan tangannya.
Anggi
tersenyum lagi, “Thanks!”
“Nah,
sekarang tinggal kita berdua.” kata Bian. “Would you be my girlfriend?” tembak
Bian tanpa basa-basi.
Anggi
terbelalak. Ia terkejut, tapi dalam hati senang juga. Terkejutannya lama-lama
berubah jadi senyuman. “Tentu.” jawabnya.
Bian
tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Anggi mengangguk dan ikut tersenyum.
Bian dan Anggi tak tahu kalau ada sepasang mata yang menatap mereka dengan
tajam dari arah gerbang. Kemudian, Anggi dan Bian menghampiri Angga yang terdiam
di gerbang.
“Angga?
Lama ya gue?” tanya Anggi sambil tersenyum.
Angga
masih terdiam. larut dalam lamunannya.
“Angga?”
Anggi mengibaskan tangannya di depan muka sahabatnya itu.
Angga
tetap terdiam.
“Angga?!
Woi!” kali ini Bian menjentikkan tangannya.
“Angga!!??”
Anggi mencubit pipi Angga sekerasnya.
Angga
tersentak, “Hah? Iya apaan?”
“Lo
kok malah ngelamun sih?! Huh!” Anggi memanyunkan bibirnya.
“Hehe
maaf Gi. Ayok ah pulang!” ajak Angga.
“Aku
pulang dulu ya. Bye…!” ucap Anggi pada Bian yang sedang melambaikan tangan.
Saat
Anggi dan Angga sudah menjauhi sekolah, Angga bertanya. “Lo jadian sama Bian?”
Anggi
mengangguk sambil tersenyum. Senyuman yang sebenarnya bisa saja menghipnotis
semua lelaki.
“Hati-hati
ya Gi…” hanya itu yang bisa diucapkan Angga kepada Anggi.
“Iya!
Gue yakin Bian itu cowok baik-baik kok! Tenang aja!” jawab Anggi bersemangat.
Angga
menghela napas dan melanjutkan berjalan dalam diam. Mendengarkan Anggi yang
bercerita dengan semangat 45’ nya.
Begitu
sampai dirumahnya, Angga langsung masuk ke kamarnya dan melempar tasnya ke meja
belajar. Direbahkannya tubuh di tempat tidurnya. Diambilnya salah satu bingkai
foto yang terpajang di mejanya. Fotonya dengan Anggi beberapa bulan yang lalu.
Saat itu Anggi sedang duduk di ayunan dan Angga berdiri disebelahnya sambil
memfoto dirinya dan Anggi.
Wajah
Anggi yang polos dihiasi senyuman yang manis. Rambutnya tergerai melewati bahu,
membuat orang-orang bisa saja terpesona. Angga tersenyum pahit. Wajah polos itu
pasti akan dihiasi tangis suatu saat nanti. Senyuman manisnya itu pasti akan
berubah 180 derajat. Dan mungkin juga, takkan ada senyuman itu lagi…
*****
“Ga, sorry gw ga bareng lo lgi. Gw d anter
sama Bian. Sorry bgt nih ya.”
Angga
membaca sms Anggi yang baru saja sampai pagi ini. Anggi berubah 180 derajat
semenjak berpacaran dengan Bian. Biasanya Anggi ini pemalas dan tidak terlalu
feminim. Tapi sekarang ia jadi rajin dan terlalu kecewek-cewekan. Biasanya
Anggi paling susah bangun pagi, tapi sekarang disuruh bangun jam 4 pagi pun
oleh Bian ia jabanin.
Angga
sudah menyangka Anggi akan berubah seperti ini. Apalagi sekarang Anggi lebih
banyak bergaul dengan anak-anak populer di sekolah. Angga seakan dilupakan
olehnya seperti potongan kisah hidupnya yang dulu. Tapi Angga tetap sabar akan
kelakuan anak ini. Hanya saat memandang langit saja Angga berdua dengan Anggi.
Hanya saat itu.
Angga
menyelesaikan mengikat tali sepatunya dan berangkat menuju sekolah sendirian.
Tanpa ada lagi candaan bersemangat dari seseorang yang sangat disayanginya.
*****
“Anggi!!
Telepon nih!!” teriak kakaknya, Andy dari bawah.
“Dari
siapa?!” jawab Anggi malas-malasan.
“Angga!”
Anggi
langsung turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju lantai bawah.
Sebenarnya, dari lubuk hatinya yang paling dalam, Anggi merindukan Angga.
Merindukan saat-saat mereka bercanda bersama dan segalanya. Akhir-akhir ini,
mereka berdua jarang memandang langit lagi karena kesibukan Anggi sendiri.
Anggi
merebut gagang telepon dari tangan Andy. “Iya
Ga ?”
“Lo
ada acara gak? Bisa keatas sebentar? Ngelakuin apa yang biasa kita lakuin kalo
malem-malem. Mandang langit.” tanya Angga Ragu.
Anggi
terdiam sejenak, “Iya gue bisa Ga…”
Angga
tersenyum diseberang sana ,
“Oke, thanks. Bye, sampe ketemu diatas. Hahaha.”
“Oke…”
jawab Anggi.
Dengan
cepat, Anggi menaiki tangga dan berjalan menuju balkon kamarnya. Ternyata Angga
sudah ada duluan di balkon kamarnya. Anggi tersenyum pada Angga dan dibalas
dengan senyuman lagi.
“Lo
apa kabar?” tanya Angga.
“Baik-baik
aja kok. Lo?”
“Alhamdulillah
buruk hahahahaha.”
“Yah
malah ngelawak lagi ini anak. Serius gue Ga. ”
“Hehehe
iya-iya. Gue baik aja kok Gi.”
“Oh
bagus deh…”
“Ehm…,”
Angga berdehem, “Jangan lupain gue ya Gi…”
Alis
Anggi berkerut, “Maksud lo Ga? Lo kan
masih sahabat gue, gak mungkin gue lupain.”
Sudut
bibir Angga terangkat, “Iya deh iya…”
Obrolan
Angga dan Anggi terus berlanjut sampai mereka lupa waktu. Tapi mereka tak
peduli walau sudah mendekati tengah malam.
“Eh
udah mau jam 12 nih, gue tidur dulu ya. Bye bye…”
“Oke,
bye. Have a nice dream with Bian. Haahahahha.” ledek Angga.
*****
Anggi
melangkahkan kakinya dengan kesal dan terburu-buru. Hari ini ia mengunjungi
rumah neneknya sendirian. Lumayan untuk bersantai karena komplek tempat tinggal
neneknya sangatlah sejuk.
Sepulangnya
ia dari sana ,
hujan turun dengan derasnya. Walaupun komplek neneknya dan kompleknya tinggal
bersebelahan, tapi jaraknya lumayan jauh. Tukang ojeg atau apapun tak bersarang
disini. Anggi mempercepat jalannya dan merutuki kakinya yang keseleo karena
terjatuh tadi.
Mata
Anggi menangkap seseorang yang sangat dikenalnya dengan seorang cewek yang
sedang berteduh. Orang itu..., Bian! Tapi siapa cewek disebelahnya? Mata Anggi
semakin panas melihat si cewek memeluk Bian karena petir yang menyambar. Tapi
bian pun hanya tertawa melihat gelagat cewek itu! Apa maksudnya itu?
Anggi
masih berdiri diam dibawah derasnya hujan. Air matanya mengalir saat melihat
Bian dengan cewek itu beromantis-romantisan lagi. Semakin lama, air matanya
semakin deras sederas hujan yang sedang turun. Orang-orang yang lewat
memperhatikan Anggi dengan aneh, tapi Anggi tak peduli.
Anggi merasa hujan
berhenti mengguyur dirinya dan dilihatnya Angga yang sedang memayungi Anggi.
Anggi semakin tersedu melihat Angga disebelahnya. Angga memeluk Anggi dan
dibawanya Anggi berjalan. Dibawah satu payung berwarna hijau itu Anggi menangis
dipelukan Angga. Angga hanya diam sambil mempererat pelukannya.
Setelah
perjalanan panjang itu akhirnya mereka sampai di depan rumah mereka
masing-masing.
“Angga,
makasih…” kata Anggi tulus.
Angga
cuma mengangguk. Mukanya pucat dan tangannya dingin sedingin es.
“Lo
nggak kenapa-napa kan?” tanya Anggi khawatir.
Angga
menggeleng dan menyerahkan payungnya ke Anggi. Kemudian, ia berlari menuju
rumahnya.
“Angga
makasih!!” seru Anggi kencang-kencang.
Anggi
masuk kerumahnya dan terheran-heran. Ada
apa dengan Angga? Mengapa ia sangat aneh?
Esoknya…
“Aku
mau kita putus.” pinta Anggi langsung pada Bian pagi ini.
“Kenapa?”
Bian terkejut.
“Gak
usah nanya! Gue udah tau kelakuan busuk lo! Gak usah pura-pura bego dan polos
di depan gue deh! Dasar PLAYBOY cap KALENG!” bentak Anggi dan ditinggalkannya
Bian yang terbengong-bengong.
Bian
menghentakkan kakinya. Dasar ceroboh! Kenapa bisa sampai ketahuan? Kapan Anggi
melihatnya dengan cewek lain?
Anggi
menaruh tasnya dikursi dan dicarinya sosok Angga. Tak ada. Mungkin Angga telat,
pikir Anggi.
Bel
masuk sudah berbunyi. Tapi Angga tak datang-datang juga. Angga tak mungkin akan
telat masuk sekolah. Paling telat ia datang juga 10 menit sebelum bel masuk
berbunyi. Apa Angga sakit? Mungkin. Kemarin saja wajahnya pucat sekali. Tapi
sakit apa?
Pikiran
tentang Angga memenuhi benak Anggi. Tak ada satu pun pelajaran yang masuk ke
otak Anggi. Anggi tak sabar menunggu bel pulang. Ingin dikunjunginya rumah
Angga.
Tepat
saat bel berbunyi, hape Anggi bergetar dan ternyata ada sms dari Ibunya yang
membuatnya terkejut.
“Gi, mama lg di rmh skit. Ini lg jenguk
Angga, dia sakit. Cpt kmu ksini skrang.”
Anggi
langsung menuju rumah sakit yang Ibunya sebutkan. Anggi ingat kalau Angga punya
penyakit ginjal dan setiap bulan ia harus ke rumah sakit untuk cuci darah.
Rumah sakit yang biasa ia kunjungi itulah yang sekarang sedang dituju Anggi.
Begitu
sampai, Anggi langsung disambut Ibunya yang berdiri menunggu di pintu.
“Angga
mana Ma?”
“Di
kamarnya. Ayo kesana.”
Anggi
mengikuti langkah Ibunya yang cepat sambil terheran-heran. “Ma, Angga sakit
apa?”
“Ginjalnya,
rusak. Dia perlu donor ginjal baru, tapi sayang tak ada satu pun dari
keluarganya yang cocok ginjalnya. Dengan ginjal Mama juga gak cocok. Kalau gak segera
dapet donor ginjal, bisa-bisa dia…”
Omongan
Ibunya segera dipotong oleh Anggi, “Udah gak usah dilanjutin.”
Anggi
dan Ibunya sampai di depan kamar Angga dirawat. Anggi masuk kedalam ruangan dan
mendapati Angga yang sedang terbaring lemah di tempat tidur. Ayah dan Ibu Angga
keluar dan membiarkan Angga dan Anggi berdua saja.
“Anggi?!”
seru Angga terkejut.
“Angga?
Lo sakit apa? Kok gak bilang-bilang sama gue sih?”
“Maaf
Gi, gue gak mau bikin lo khawatirin gue.”
“Cerita
sekarang apa yang bikin lo sakit?!”
Angga
menceritakan semuanya dari awal persis dengan cerita singkat yang diceritakan
Ibunya tadi. Anggi menahan air matanya. Kalau tak mendapat donor ginjal
secepatnya, hidup Angga bisa saja tinggal beberapa minggu lagi…
“Lo
gak boleh putus asa Ga. Pasti ada yang mau donorin ginjalnya kok.” Anggi
menyemangati Angga yang sedang tertunduk.
“Tapi
Gi, hampir semua keluarga gue dicocokin ginjalnya gak ada yang cocok. Sampe
nyokap lo juga ikut lakuin pemeriksaan tapi juga gak cocok. Apa emang hidup gue
emang sesingkat ini Gi?” kata Angga lemah.
“Lo
tau Ga? Ada
satu orang lagi yang belom lakuin pemeriksaan. Dan itu gue. Gue mau donorin
ginjal gue buat sahabat gue sendiri.” ujar Anggi dan ditinggalkannya Angga
sendirian.
“Tunggu!
Anggi!” teriak Angga, tapi sia-sia, Anggi sudah keluar dari kamar.
*****
Malam
ini, Anggi berdiri sendirian di balkon kamarnya. Tadi siang saat di rumah
sakit, Anggi belum sempat mengajukan permintaannya. Anggi memandangi bintang yang
semakin sedikit malam ini. Langit malam yang sepi tanpa banyak bintang.
Sepertinya bulan yang ada diatas sana
juga kesepian.
Anggi
masih terdiam hingga matanya menangkap sesuatu yang bercahaya sangat terang.
Bintang jatuh! Percaya tak percaya, Anggi menggumamkan sesuatu.
“Kumohon,
sembuhkanlah Angga walau harus aku yang menggantikan kematiannya…”
Anggi
selesai mengucapkannya saat bintang itu mulai menjauh. Hal yang sedari dulu
ditunggu-tunggu oleh Angga dan dirinya akhirnya muncul juga. Andai saja saat
ini Angga ada disampingnya…
Esoknya di rumah sakit…
Sang
dokter mengangguk sambil tersenyum. Hari ini Anggi membulatkan niatnya untuk
mendonorkan ginjalnya. Kabar kalau Angga semakin kritis langsung ditanggapi
Anggi. Anggi memohon-mohon pada Ayah dan Ibunya supaya memperbolehkan
mendonorkan ginjalnya. Sempat terjadi perang mulut beberapa saat sampai
akhirnya disetujui. Dan ternyata ginjal Anggi cocok dan sangat sehat untuk
didonorkan. Angga yang mengetahui ini sangat terkejut karena ia takut Anggi
yang akan kenapa-napa.
“Angga,
liat. Lo pasti bentar lagi sembuh. Iya kan ?”
seru Anggi sambil tersenyum riang.
“Tapi
Gi, gue takut lo kenapa-napa. Lebih baik nggak usah Gi. Biar gue yang sakit dan
nanggung sendiri. Gue gak mau lo terlibat.” kata Angga.
“Bodo.
Gue nggak peduli. Ini ginjal gue dan terserah gue apa yang harus gue lakuin
sama nih ginjal. Lo tinggal nunggu aja. Besok kan operasinya. Tenang aja. Oke?”
Angga
menghela napasnya. Cewek ini sungguh sangat keras kepala.
“Oke
Gi. Thanks. Lo emang sahabat gue yang paling baik.”
Anggi
tersenyum dan memandang jendela di kamar rawat Angga. Diam-diam dihelanya
napas. Apakah semua ini akan baik-baik saja?
*****
Anggi
tersenyum pada Angga dan melagkahkan kaki menuju ruang operasi bersama Angga.
Dibelakang mereka ada Ayah dan Ibu masing-masing mengikuti. Muka Angga terlihat
tegang, entah karena apa, yang pasti Anggi tak tahu.
“Angga,
smile.” Anggi memberikan senyumnya pada Angga.
Angga
memasang senyumnya, “Makasih Gi.”
Anggi
memandang ruangan di depannya dan menghembuskan napasnya.
“Don’t
be scared Anggi.” bisiknya pada diri sendiri.
Berjam-jam kemudian…
“Angga?
Angga?”
Angga
membuka matanya begitu mendengar suara Ibunya. Wajah Ayah dan Ibunya yang
pertama kali ia lihat. Dikerjapkannya mata dan dicarinya sosok Anggi. Ternyata
Anggi masih tertidur di tempat tidur sebelahnya. Sepertinya operasi sudah
selesai.
Angga
mendengar orang tua Anggi yang terus-menerus memanggil nama Anggi. Tapi Anggi
tak sadar-sadar. Angga bangun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju Anggi.
Dilihatnya muka Anggi yang sangat pucat sekarang.
“Anggi?
Bangun.” seru Angga sambil mengguncang pelan tubuh Anggi.
Tapi
Anggi tak bergerak.
“Angga,
tolong temenin Anggi dulu ya. Tante sama Oom mau panggil dokter.”
Angga
hanya mengangguk sambil menatap Anggi. Ia takut dugaannya benar. Ia takut kalau
Anggi yang malah kenapa-napa. “Anggi please bangun…”
Tak
beberapa lama sang dokter datang dan memeriksa Anggi. Ia menggeleng. “Dia koma.
Terjadi infeksi pada bagian dalam tubuhnya. Infeksi yang cukup besar sampai
membuatnya koma. Kita berharap saja agar ia cepat bangun.”
Seluruh
orang yang ada didalam sana
terkejut. Angga apalagi. Perasaan bersalah menyergapnya. Demi dirinya, Anggi
sampai seperti ini.
Angga
keluar dari kamar itu dan menggeleng. Ia duduk di kursi tunggu sambil menangis.
Tangisnya yang kedua hanya untuk sahabatnya. Pertama kali ia menangis untuk
Anggi itu saat Anggi tertabrak mobil hanya untuk menyelamatkan dirinya. Padahal
seharusnya Angga yang akan tertabrak, tapi akhirnya Anggi yang tertabrak.
Sekarang juga demi mendonorkan ginjalnya, Anggi harus koma. Ada perasaan sesak di dada Angga. Sakit. Ia
menyayangi sahabatnya sama seperti ia menyayangi hidupnya yang seharusnya
hampir berakhir.
*****
Angga
membuka matanya dan menatap pemandangan yang ada disekitarnya. Padang rumput yang
dipenuhi bunga-bunga dan pepohonan yang sangat indah. Angga berdiri dari
tempatnya berdiri dan berjalan-jalan mencari seseorang yang mungkin saja ada
disini.
Baru
berjalan beberapa langkah, Angga melihat seseorang yang sangat dikenalinya. Orang
itu sedang celingukan dengan rambutnya yang tergerai melewati bahu.
“Anggi?”
seru Angga.
Anggi
menoleh. Senyumnya mengembang di mukanya yang pucat. “Angga?”
Angga
berlari menghampiri Anggi dan memeluknya.
“Loh?
Loh? Kenapa lo? Kok tiba-tiba meluk gue sih?”
“Gak
kenapa-napa kok. Hehehe.”
“Oh
iya, lo tau gak? Waktu itu gue liat bintang jatuh loh!”
Angga
terkejut, “Hah?! Serius lo?”
“Iya!
Do’a gue juga pasti terkabul…”
“Emang
do’a lo apaan?”
“Kepo
ya? Hahaha. Nanti juga lo bakalan tau.”
Angga
terdiam dan melanjutkan berjalan. Anggi mengikutinya dari belakang.
Tiba-tiba,
Angga merasakan angin yang berhembus dengan kencang. Dan didengarnya sebuah
bisikan.
‘Kumohon sembuhkanlah Angga walaupun aku
yang harus menggantikan kematiannya…’
Bisikan
itu, suara Anggi.
“Anggi?”
Angga menoleh ke belakang tapi tak ada siapa-siapa.
“Nggak!!
Jangan pergi!!”
“Angga?
Sst.. sst..” terdengar suara kakaknya yang membuat Angga bangun.
“Anggi
mana?”
Della
kakaknya menghela napas, “Anggi masih koma. Dia belom bangun. Keadaan lo yang
malah membaik kata dokter.”
Angga
teringat mimpinya. Ia teringat bisikan Anggi di mimpinya. Apa itukah permohonan
Anggi saat ia melihat bintang jatuh? Permohonan yang bodoh. Kenapa Anggi malah
meminta agar ia yang menggantikan penyakit Angga?
3 hari kemudian…
“Angga!
Anggi udah sadar!” ujar Della begitu memasuki kamar tempat Angga dirawat.
Angga
melompat dari tempat tidurnya dan menghampiri kamar Anggi. Dilihatnya Anggi
yang sedang duduk di tempat tidur dan memandang jendela. Hanya ada dirinya dan
Anggi di kamar itu sekarang karena keluarga Anggi sudah pulang lantaran ini
sudah jam 11 malam.
“Anggi?”
panggil Angga.
Anggi
menoleh, senyumnya mengembang tipis. “Hei
Ga …”
“Liat
bintang yuk?” ajak Angga sambil mengulurkan tangannya.
Anggi
mengangguk dan berdiri dari tempat tidurnya. Angga mengajaknya melihat bintang
di dekat jendela kamarnya yang cukup besar.
“Coba
ada bintang jatuh yang lewat ya?” kata Angga.
“Iya.
Tapi bintang jatuh indah lho. Gue udah pernah liat waktu itu.”
“Oh
ya?” Angga pura-pura tidak tahu.
“Iya.
Tapi kayaknya permohonan gue bakalan terkabul deh.”
“Emang
lo minta apa?”
“Kepo
ya? Hahaha. Nanti juga lo bakalan tau.”
Angga
terdiam. Kata-kata ini sama persis seperti yang ada di mimpinya.
“Emm…
Coba kita berandai-andai yuk Gi. Kalo seandainya ada bintang jatuh lewat apa
yang bakal lo minta?”
Anggi
terdiam sementara, lalu tersenyum. “Aku ingin Angga bahagia tanpa ada diriku
disampingnya…”
Usai
mengucapkan itu, tiba-tiba tubuh Anggi terjatuh. Sebelum tubuhnya meyentuh
lantai kamar yang keras, Angga langsung menangkapnya. Seluruh tubuh Anggi
dingin dan mukanya pucat sekali, lebih pucat dari yang tadi.
“Anggi?
Anggi?”
Anggi
tetap diam. Sudut bibirnya terangkat, menyisakan senyum yang tadi. Angga
memegang urat nadinya dan langsung terpaku.
“Anggi?!
Nggak! Jangan pergi!!!” teriak Angga histeris.
Samar-samar,
terdengar bisikan di telinga Angga, “Goodbye
Angga…”
Angga
terkesiap. Bisikan ini bisikan Anggi. Anggi sahabatnya. Anggi yang sangat
disayanginya. Anggi yang bagian dari hidupnya. Tapi takdir memisahkan mereka
sekarang. Angga menangis dan tak beberapa lama dokter dan suster datang dan
memeriksa Anggi. Dicobanya segala usaha agar Anggi hidup kembali, tapi sia-sia…
*****
“Angga?”
Angga
menoleh, didapatinya Anggi yang sedang berdiri di samping pohon apel. Entah
sudah sejak kapan Angga menempati tempat ini. Tempat yang sama dengan mimpinya
sewaktu itu.
“Anggi?”
Anggi
berjalan menuju Angga dan duduk disebelahnya.
“Angga,
aku pengen kamu bahagia walau aku udah nggak ada disamping kamu lagi. Jangan
sedih karena aku selalu menyertaimu dari sana .
Aku nggak akan hilang dari hidup kamu kok, karena kita kan sahabat selamanya.”
Setetes
kristal terjatuh dari mata yang indah itu. Rambutnya terurai lurus dan terlihat
bersinar yang memberikan kesan bahwa Anggi layaknya malaikat.
“Anggi,
aku…”
“Goodbye
Angga…”
Angga
meneteskan air matanya dan menatap Anggi yang sedang tersenyum padanya. Secara
perlahan, sosok Anggi memudar. “Don’t cry Ga…” bisiknya pelan menyertai
kepergiannya.
Angga
terbangun dari tidurnya dengan kaget. Dilihatnya jam di kamarnya yang
menunjukkan pukul 3 pagi. Sehari pasca kematian Anggi, Angga dipulangkan ke
rumahnya.
Walaupun
tahu Anggi sudah tiada, Angga masih memandangi layar hapenya berharap ada sms ceria
dari Anggi. Setiap pagi ditungguinya selama 5 menit di depan rumah Anggi,
berharap cewek itu keluar dengan penampilannya yang berantakan. Setiap jam
pelajaran selalu dipandanginya kursi Anggi yang berada di depannya. Setiap
istirahat selalu dilihatinya meja kantin tempat biasanya mereka berdua makan
sambil bercanda-canda. Setiap pulang sekolah selalu ditengoknya ke sisi
kirinya, berharap Anggi berjalan disamping kirinya seperti biasa. Dan setiap
malam selalu ditungguinya bintang jatuh sendirian sampai larut malam. Berharap
Anggi di balkon sebelahnya dan mengoceh panjang lebar. Tapi yang berlalu sudah
berlalu. Anggi takkan kembali lagi kesampingnya seperti kemarin…
No comments:
Post a Comment