Saturday, April 6, 2013

Dibalik Permohonan


“Kapan ya bintang jatuh itu muncul?” gumam seorang gadis yang sedang menatap langit malam. Gadis itu bernama Anggita.
Rangga sahabat Anggita yang juga sedang menatap langit malam menjawab, “Mungkin, bintang jatuh akan datang kalau kita membutuhkannya suatu saat.”
Anggita tersenyum dan mengangguk. Gadis berumur 14 tahun ini biasa dipanggil Anggi oleh semua orang di dekatnya. Gadis manis ini sangat menggemari langit malam yang indah dan selalu menunggu bintang jatuh bersama sahabatnya, Rangga. Rangga atau Angga adalah sahabat Anggi dari kecil. Mereka selalu bersama-sama sampai orang mengira mereka kembar.
“Tidur gih, besok pagi gak bisa bangun loh. Udah jam 11 gini juga.” suruh Angga.
Anggi melihat jam dan nyengir, “Hehehehe...,” ia menggaruk kepalanya, “Iya deh gue tidur, besok berangkat bareng ya! Goodbye!”
Angga tersenyum sambil memerhatikan sahabatnya yang sudah ngeloyor ke kamarnya. Senyumnya berubah menjadi senyum geli membayangkan apa yang akan terjadi besok pagi…

Paginya…

“Anggi!! Anggi!!” panggil Angga dari depan rumahnya Anggi.
Gadis yang barusan dipanggil itu masih tertidur dengan pulasnya di kamarnya yang sejuk. Anggi memang paling susah dibangunkan kalau soal tidur. Hanya Ibunya lah yang bisa membangunkan Anggi.
“Anggi!!!” panggil Angga lagi dengan lebih keras.
Anggi tetap tak bergeming hingga Ibunya ikut campur. “ANGGIIII BANGUN!!!!!!!!”
Anggi membuka matanya dan menggeliat sambil melihat jam weker, dihelanya napas dan dicobanya tidur kembali. Beberapa detik kemudian, ia sadar dan melompat dari tempat tidur. Dilihatnya Angga yang sedang berdiri dari balkon kamarnya.
“Angga! Tunggu!” teriaknya.
Angga tersenyum geli dan mengangguk. Kejadian ini sudah sangat akrab di keseharian Angga dan Anggi. Anggi selalu bangun telat karena tidur larut setelah melihati langit malam.
Tak sampai lima menit, Anggi keluar dari rumahnya sambil meneguk susu dan memakai sepatunya. Setelah semuanya beres, Anggi membuka pintu pagar rumah dan tersenyum pada Angga.
“Dasar kebo!” Angga mengacak-ngacak rambut Anggi.
Anggi memanyunkan bibirnya dan melipat tangannya. Sahabatnya ini sangat suka menggodanya.
“Ih ngambek…” Angga mencubit pipi Anggi.
“Udah ah diem!” protes Anggi.
Angga hanya nyengir dan melanjutkan berjalan. 15 menit telah berlalu dan tak terasa karena obrolan Angga dan Anggi. Mereka telah sampai di sekolah yang mulai ramai.
“Angga!!” panggil seseorang dari belakang.
Angga dan Anggi menoleh dan didapatinya Bian, si cowok populer di sekolah. “Apa Yan?” jawab Angga.
“Kesini sebentar…,” Bian menarik Angga menjauh dan menyerahkan sebuah surat, “Bisa tolong kasih ke Anggi gak? Please, lo kan sahabat deketnya. Tolong ya?”
Angga menatap surat itu dan mengambilnya. “Nggak masalah.”
Anggi menatap heran Angga yang mendekat sambil membawa sepucuk surat. Sepertinya surat dari Bian.
“Ini, buat lo Gi, dari Bian.” Angga menepukkan surat itu ke kepala Anggi.
Anggi mengambil surat itu dan membacanya.
“Gue suka sama lo. Bisa nanti kita ngomong sepulang sekolah dilapangan basket? Gue tunggu. Bian J
“Huaaaaa…!!!” teriak Anggi tak percaya sampai beberapa anak di koridor menatapnya.
“Lo kenapa sih Gi?” tanya Angga sewot.
“Nih baca ini!!”
Angga mengambil surat itu dan ia juga terbelalak. Tidak mungkin itu. Terasa sakit di dada Angga. Anggi tak pantas bersama Bian karena Bian akan menyakitinya. Bian adalah Raja Playboy di sekolah. Tapi hanya segelintir orang yang mengetahuinya. Anggi adalah cewek terpolos yang pernah dikenal Angga. Cewek ini memang benar-benar tak pantas bersama Bian.
“Oh. Hmm. Selamet ya!” hanya itu yang bisa diucapkan Angga.
Sebenarnya ada rasa aneh yang menghinggapi Angga tiap kali ia bertemu Anggi. Mungkin itu yang dinamakan jatuh cinta. Perasan itu sudah dirasakan Angga saat mereka naik ke kelas 2. Tapi tak mungkin Angga mengatakannya. Karena ia takut persahabatannya dengan Anggi akan retak begitu saja. Dan sekarang, Anggi sudah diincar Bian si raja Playboy.
Anggi sendiri terlalu girang karena surat itu. Ia tak menyangka seorang lelaki idola di sekolah akan menyukainya. Sampai ia tersenyum sendiri.
Pelajaran dilalui Angga dan Anggi dengan pikirannya masing-masing. Anggi masih terlalu senang dan tak sabar menunggu jam pulang sekolah nanti. Berbeda dengan Angga yang semakin bete karena pelajaran cepat berlalu dan sebentar lagi sudah waktunya pulang sekolah.

Kringgg…
Bel pulang sekolah berbunyi dengan nyaring dan membangunkan Angga dan Anggi dari lamunan mereka.
“Angga ayo cepetan!” seru Anggi sambil menunggu Angga membereskan bukunya.
Angga tak menggubris Anggi dan memperlambat gerakannya. Angga memang sengaja melakukannya, tapi tetap saja pasti bukunya akan beres juga selambat apapun ia membereskannya.
“Aduh lama banget deh Ga. Sini gue bantuin.” Anggi meraih semua buku Angga yang masih ada di meja dan merebut tas Angga. Dimasukannya semua benda itu kedalam tas dengan cepat.
Angga menghela napasnya melihat kelakuan Anggi dan mengambil tasnya dari tangan Anggi. Dilihatnya Anggi yang sudah berjalan keluar kelas. Sekali lagi dihelanya napas dengan panjang dan ia berjalan menyusul Anggi. Mereka menuju ke lapangan basket yang berada disamping lapangan upacara. Bian sudah menunggu disana.
Mendekati lapangan basket, Bian yang sudah melihat Angga dan Anggi melambaikan tangannya. Anggi balas melambaikan tangan, sedangkan Angga melihat kearah lain.
“Hei Gi.” sapa Bian sambil tersenyum. Senyuman yang biasa menghipnotis semua anak cewek.
Anggi balas tersenyum.
“Hmm… Sorry Ga, gue perlu ngomong berdua sama Anggi.” kata Bian yang mengusirnya secara halus.
“Eh? Oh. Oke. Gue tunggu di gerbang.” sahut Angga. “Anggi, goodluck ya!” Angga melambaikan tangannya.
Anggi tersenyum lagi, “Thanks!”
“Nah, sekarang tinggal kita berdua.” kata Bian. “Would you be my girlfriend?” tembak Bian tanpa basa-basi.
Anggi terbelalak. Ia terkejut, tapi dalam hati senang juga. Terkejutannya lama-lama berubah jadi senyuman. “Tentu.” jawabnya.
Bian tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Anggi mengangguk dan ikut tersenyum. Bian dan Anggi tak tahu kalau ada sepasang mata yang menatap mereka dengan tajam dari arah gerbang. Kemudian, Anggi dan Bian menghampiri Angga yang terdiam di gerbang.
“Angga? Lama ya gue?” tanya Anggi sambil tersenyum.
Angga masih terdiam. larut dalam lamunannya.
“Angga?” Anggi mengibaskan tangannya di depan muka sahabatnya itu.
Angga tetap terdiam.
“Angga?! Woi!” kali ini Bian menjentikkan tangannya.
“Angga!!??” Anggi mencubit pipi Angga sekerasnya.
Angga tersentak, “Hah? Iya apaan?”
“Lo kok malah ngelamun sih?! Huh!” Anggi memanyunkan bibirnya.
“Hehe maaf Gi. Ayok ah pulang!” ajak Angga.
“Aku pulang dulu ya. Bye…!” ucap Anggi pada Bian yang sedang melambaikan tangan.
Saat Anggi dan Angga sudah menjauhi sekolah, Angga bertanya. “Lo jadian sama Bian?”
Anggi mengangguk sambil tersenyum. Senyuman yang sebenarnya bisa saja menghipnotis semua lelaki.
“Hati-hati ya Gi…” hanya itu yang bisa diucapkan Angga kepada Anggi.
“Iya! Gue yakin Bian itu cowok baik-baik kok! Tenang aja!” jawab Anggi bersemangat.
Angga menghela napas dan melanjutkan berjalan dalam diam. Mendengarkan Anggi yang bercerita dengan semangat 45’ nya.
Begitu sampai dirumahnya, Angga langsung masuk ke kamarnya dan melempar tasnya ke meja belajar. Direbahkannya tubuh di tempat tidurnya. Diambilnya salah satu bingkai foto yang terpajang di mejanya. Fotonya dengan Anggi beberapa bulan yang lalu. Saat itu Anggi sedang duduk di ayunan dan Angga berdiri disebelahnya sambil memfoto dirinya dan Anggi.
Wajah Anggi yang polos dihiasi senyuman yang manis. Rambutnya tergerai melewati bahu, membuat orang-orang bisa saja terpesona. Angga tersenyum pahit. Wajah polos itu pasti akan dihiasi tangis suatu saat nanti. Senyuman manisnya itu pasti akan berubah 180 derajat. Dan mungkin juga, takkan ada senyuman itu lagi…

                                                *****

“Ga, sorry gw ga bareng lo lgi. Gw d anter sama Bian. Sorry bgt nih ya.”

Angga membaca sms Anggi yang baru saja sampai pagi ini. Anggi berubah 180 derajat semenjak berpacaran dengan Bian. Biasanya Anggi ini pemalas dan tidak terlalu feminim. Tapi sekarang ia jadi rajin dan terlalu kecewek-cewekan. Biasanya Anggi paling susah bangun pagi, tapi sekarang disuruh bangun jam 4 pagi pun oleh Bian ia jabanin.
Angga sudah menyangka Anggi akan berubah seperti ini. Apalagi sekarang Anggi lebih banyak bergaul dengan anak-anak populer di sekolah. Angga seakan dilupakan olehnya seperti potongan kisah hidupnya yang dulu. Tapi Angga tetap sabar akan kelakuan anak ini. Hanya saat memandang langit saja Angga berdua dengan Anggi. Hanya saat itu.
Angga menyelesaikan mengikat tali sepatunya dan berangkat menuju sekolah sendirian. Tanpa ada lagi candaan bersemangat dari seseorang yang sangat disayanginya.

                                                *****

“Anggi!! Telepon nih!!” teriak kakaknya, Andy dari bawah.
“Dari siapa?!” jawab Anggi malas-malasan.
“Angga!”
Anggi langsung turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju lantai bawah. Sebenarnya, dari lubuk hatinya yang paling dalam, Anggi merindukan Angga. Merindukan saat-saat mereka bercanda bersama dan segalanya. Akhir-akhir ini, mereka berdua jarang memandang langit lagi karena kesibukan Anggi sendiri.
Anggi merebut gagang telepon dari tangan Andy. “Iya Ga?”
“Lo ada acara gak? Bisa keatas sebentar? Ngelakuin apa yang biasa kita lakuin kalo malem-malem. Mandang langit.” tanya Angga Ragu.
Anggi terdiam sejenak, “Iya gue bisa Ga…”
Angga tersenyum diseberang sana, “Oke, thanks. Bye, sampe ketemu diatas. Hahaha.”
“Oke…” jawab Anggi.
Dengan cepat, Anggi menaiki tangga dan berjalan menuju balkon kamarnya. Ternyata Angga sudah ada duluan di balkon kamarnya. Anggi tersenyum pada Angga dan dibalas dengan senyuman lagi.
“Lo apa kabar?” tanya Angga.
“Baik-baik aja kok. Lo?”
“Alhamdulillah buruk hahahahaha.”
“Yah malah ngelawak lagi ini anak. Serius gue Ga.
“Hehehe iya-iya. Gue baik aja kok Gi.”
“Oh bagus deh…”
“Ehm…,” Angga berdehem, “Jangan lupain gue ya Gi…”
Alis Anggi berkerut, “Maksud lo Ga? Lo kan masih sahabat gue, gak mungkin gue lupain.”
Sudut bibir Angga terangkat, “Iya deh iya…”
Obrolan Angga dan Anggi terus berlanjut sampai mereka lupa waktu. Tapi mereka tak peduli walau sudah mendekati tengah malam.
“Eh udah mau jam 12 nih, gue tidur dulu ya. Bye bye…”
“Oke, bye. Have a nice dream with Bian. Haahahahha.” ledek Angga.


                                                *****

Anggi melangkahkan kakinya dengan kesal dan terburu-buru. Hari ini ia mengunjungi rumah neneknya sendirian. Lumayan untuk bersantai karena komplek tempat tinggal neneknya sangatlah sejuk.
Sepulangnya ia dari sana, hujan turun dengan derasnya. Walaupun komplek neneknya dan kompleknya tinggal bersebelahan, tapi jaraknya lumayan jauh. Tukang ojeg atau apapun tak bersarang disini. Anggi mempercepat jalannya dan merutuki kakinya yang keseleo karena terjatuh tadi.
Mata Anggi menangkap seseorang yang sangat dikenalnya dengan seorang cewek yang sedang berteduh. Orang itu..., Bian! Tapi siapa cewek disebelahnya? Mata Anggi semakin panas melihat si cewek memeluk Bian karena petir yang menyambar. Tapi bian pun hanya tertawa melihat gelagat cewek itu! Apa maksudnya itu?
Anggi masih berdiri diam dibawah derasnya hujan. Air matanya mengalir saat melihat Bian dengan cewek itu beromantis-romantisan lagi. Semakin lama, air matanya semakin deras sederas hujan yang sedang turun. Orang-orang yang lewat memperhatikan Anggi dengan aneh, tapi Anggi tak peduli.

Anggi merasa hujan berhenti mengguyur dirinya dan dilihatnya Angga yang sedang memayungi Anggi. Anggi semakin tersedu melihat Angga disebelahnya. Angga memeluk Anggi dan dibawanya Anggi berjalan. Dibawah satu payung berwarna hijau itu Anggi menangis dipelukan Angga. Angga hanya diam sambil mempererat pelukannya.
Setelah perjalanan panjang itu akhirnya mereka sampai di depan rumah mereka masing-masing.
“Angga, makasih…” kata Anggi tulus.
Angga cuma mengangguk. Mukanya pucat dan tangannya dingin sedingin es.
“Lo nggak kenapa-napa kan?” tanya Anggi khawatir.
Angga menggeleng dan menyerahkan payungnya ke Anggi. Kemudian, ia berlari menuju rumahnya.
“Angga makasih!!” seru Anggi kencang-kencang.
Anggi masuk kerumahnya dan terheran-heran. Ada apa dengan Angga? Mengapa ia sangat aneh?

Esoknya…

“Aku mau kita putus.” pinta Anggi langsung pada Bian pagi ini.
“Kenapa?” Bian terkejut.
“Gak usah nanya! Gue udah tau kelakuan busuk lo! Gak usah pura-pura bego dan polos di depan gue deh! Dasar PLAYBOY cap KALENG!” bentak Anggi dan ditinggalkannya Bian yang terbengong-bengong.
Bian menghentakkan kakinya. Dasar ceroboh! Kenapa bisa sampai ketahuan? Kapan Anggi melihatnya dengan cewek lain?
Anggi menaruh tasnya dikursi dan dicarinya sosok Angga. Tak ada. Mungkin Angga telat, pikir Anggi.
Bel masuk sudah berbunyi. Tapi Angga tak datang-datang juga. Angga tak mungkin akan telat masuk sekolah. Paling telat ia datang juga 10 menit sebelum bel masuk berbunyi. Apa Angga sakit? Mungkin. Kemarin saja wajahnya pucat sekali. Tapi sakit apa?
Pikiran tentang Angga memenuhi benak Anggi. Tak ada satu pun pelajaran yang masuk ke otak Anggi. Anggi tak sabar menunggu bel pulang. Ingin dikunjunginya rumah Angga.
Tepat saat bel berbunyi, hape Anggi bergetar dan ternyata ada sms dari Ibunya yang membuatnya terkejut.
“Gi, mama lg di rmh skit. Ini lg jenguk Angga, dia sakit. Cpt kmu ksini skrang.”
Anggi langsung menuju rumah sakit yang Ibunya sebutkan. Anggi ingat kalau Angga punya penyakit ginjal dan setiap bulan ia harus ke rumah sakit untuk cuci darah. Rumah sakit yang biasa ia kunjungi itulah yang sekarang sedang dituju Anggi.
Begitu sampai, Anggi langsung disambut Ibunya yang berdiri menunggu di pintu.
“Angga mana Ma?”
“Di kamarnya. Ayo kesana.”
Anggi mengikuti langkah Ibunya yang cepat sambil terheran-heran. “Ma, Angga sakit apa?”
“Ginjalnya, rusak. Dia perlu donor ginjal baru, tapi sayang tak ada satu pun dari keluarganya yang cocok ginjalnya. Dengan ginjal Mama juga gak cocok. Kalau gak segera dapet donor ginjal, bisa-bisa dia…”
Omongan Ibunya segera dipotong oleh Anggi, “Udah gak usah dilanjutin.”
Anggi dan Ibunya sampai di depan kamar Angga dirawat. Anggi masuk kedalam ruangan dan mendapati Angga yang sedang terbaring lemah di tempat tidur. Ayah dan Ibu Angga keluar dan membiarkan Angga dan Anggi berdua saja.
“Anggi?!” seru Angga terkejut.
“Angga? Lo sakit apa? Kok gak bilang-bilang sama gue sih?”
“Maaf Gi, gue gak mau bikin lo khawatirin gue.”
“Cerita sekarang apa yang bikin lo sakit?!”
Angga menceritakan semuanya dari awal persis dengan cerita singkat yang diceritakan Ibunya tadi. Anggi menahan air matanya. Kalau tak mendapat donor ginjal secepatnya, hidup Angga bisa saja tinggal beberapa minggu lagi…
“Lo gak boleh putus asa Ga. Pasti ada yang mau donorin ginjalnya kok.” Anggi menyemangati Angga yang sedang tertunduk.
“Tapi Gi, hampir semua keluarga gue dicocokin ginjalnya gak ada yang cocok. Sampe nyokap lo juga ikut lakuin pemeriksaan tapi juga gak cocok. Apa emang hidup gue emang sesingkat ini Gi?” kata Angga lemah.
“Lo tau Ga? Ada satu orang lagi yang belom lakuin pemeriksaan. Dan itu gue. Gue mau donorin ginjal gue buat sahabat gue sendiri.” ujar Anggi dan ditinggalkannya Angga sendirian.
“Tunggu! Anggi!” teriak Angga, tapi sia-sia, Anggi sudah keluar dari kamar.

                                                          *****

Malam ini, Anggi berdiri sendirian di balkon kamarnya. Tadi siang saat di rumah sakit, Anggi belum sempat mengajukan permintaannya. Anggi memandangi bintang yang semakin sedikit malam ini. Langit malam yang sepi tanpa banyak bintang. Sepertinya bulan yang ada diatas sana juga kesepian.
Anggi masih terdiam hingga matanya menangkap sesuatu yang bercahaya sangat terang. Bintang jatuh! Percaya tak percaya, Anggi menggumamkan sesuatu.
“Kumohon, sembuhkanlah Angga walau harus aku yang menggantikan kematiannya…”
Anggi selesai mengucapkannya saat bintang itu mulai menjauh. Hal yang sedari dulu ditunggu-tunggu oleh Angga dan dirinya akhirnya muncul juga. Andai saja saat ini Angga ada disampingnya…

Esoknya di rumah sakit…

Sang dokter mengangguk sambil tersenyum. Hari ini Anggi membulatkan niatnya untuk mendonorkan ginjalnya. Kabar kalau Angga semakin kritis langsung ditanggapi Anggi. Anggi memohon-mohon pada Ayah dan Ibunya supaya memperbolehkan mendonorkan ginjalnya. Sempat terjadi perang mulut beberapa saat sampai akhirnya disetujui. Dan ternyata ginjal Anggi cocok dan sangat sehat untuk didonorkan. Angga yang mengetahui ini sangat terkejut karena ia takut Anggi yang akan kenapa-napa.
“Angga, liat. Lo pasti bentar lagi sembuh. Iya kan?” seru Anggi sambil tersenyum riang.
“Tapi Gi, gue takut lo kenapa-napa. Lebih baik nggak usah Gi. Biar gue yang sakit dan nanggung sendiri. Gue gak mau lo terlibat.” kata Angga.
“Bodo. Gue nggak peduli. Ini ginjal gue dan terserah gue apa yang harus gue lakuin sama nih ginjal. Lo tinggal nunggu aja. Besok kan operasinya. Tenang aja. Oke?”
Angga menghela napasnya. Cewek ini sungguh sangat keras kepala.
“Oke Gi. Thanks. Lo emang sahabat gue yang paling baik.”
Anggi tersenyum dan memandang jendela di kamar rawat Angga. Diam-diam dihelanya napas. Apakah semua ini akan baik-baik saja?

                                                          *****

Anggi tersenyum pada Angga dan melagkahkan kaki menuju ruang operasi bersama Angga. Dibelakang mereka ada Ayah dan Ibu masing-masing mengikuti. Muka Angga terlihat tegang, entah karena apa, yang pasti Anggi tak tahu.
“Angga, smile.” Anggi memberikan senyumnya pada Angga.
Angga memasang senyumnya, “Makasih Gi.”
Anggi memandang ruangan di depannya dan menghembuskan napasnya.
“Don’t be scared Anggi.” bisiknya pada diri sendiri.

Berjam-jam kemudian…

“Angga? Angga?”
Angga membuka matanya begitu mendengar suara Ibunya. Wajah Ayah dan Ibunya yang pertama kali ia lihat. Dikerjapkannya mata dan dicarinya sosok Anggi. Ternyata Anggi masih tertidur di tempat tidur sebelahnya. Sepertinya operasi sudah selesai.
Angga mendengar orang tua Anggi yang terus-menerus memanggil nama Anggi. Tapi Anggi tak sadar-sadar. Angga bangun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju Anggi. Dilihatnya muka Anggi yang sangat pucat sekarang.
“Anggi? Bangun.” seru Angga sambil mengguncang pelan tubuh Anggi.
Tapi Anggi tak bergerak.
“Angga, tolong temenin Anggi dulu ya. Tante sama Oom mau panggil dokter.”
Angga hanya mengangguk sambil menatap Anggi. Ia takut dugaannya benar. Ia takut kalau Anggi yang malah kenapa-napa. “Anggi please bangun…”
Tak beberapa lama sang dokter datang dan memeriksa Anggi. Ia menggeleng. “Dia koma. Terjadi infeksi pada bagian dalam tubuhnya. Infeksi yang cukup besar sampai membuatnya koma. Kita berharap saja agar ia cepat bangun.”
Seluruh orang yang ada didalam sana terkejut. Angga apalagi. Perasaan bersalah menyergapnya. Demi dirinya, Anggi sampai seperti ini.
Angga keluar dari kamar itu dan menggeleng. Ia duduk di kursi tunggu sambil menangis. Tangisnya yang kedua hanya untuk sahabatnya. Pertama kali ia menangis untuk Anggi itu saat Anggi tertabrak mobil hanya untuk menyelamatkan dirinya. Padahal seharusnya Angga yang akan tertabrak, tapi akhirnya Anggi yang tertabrak. Sekarang juga demi mendonorkan ginjalnya, Anggi harus koma. Ada perasaan sesak di dada Angga. Sakit. Ia menyayangi sahabatnya sama seperti ia menyayangi hidupnya yang seharusnya hampir berakhir.

                                                *****
Angga membuka matanya dan menatap pemandangan yang ada disekitarnya. Padang rumput yang dipenuhi bunga-bunga dan pepohonan yang sangat indah. Angga berdiri dari tempatnya berdiri dan berjalan-jalan mencari seseorang yang mungkin saja ada disini.
Baru berjalan beberapa langkah, Angga melihat seseorang yang sangat dikenalinya. Orang itu sedang celingukan dengan rambutnya yang tergerai melewati bahu.
“Anggi?” seru Angga.
Anggi menoleh. Senyumnya mengembang di mukanya yang pucat. “Angga?”
Angga berlari menghampiri Anggi dan memeluknya.
“Loh? Loh? Kenapa lo? Kok tiba-tiba meluk gue sih?”
“Gak kenapa-napa kok. Hehehe.”
“Oh iya, lo tau gak? Waktu itu gue liat bintang jatuh loh!”
Angga terkejut, “Hah?! Serius lo?”
“Iya! Do’a gue juga pasti terkabul…”
“Emang do’a lo apaan?”
“Kepo ya? Hahaha. Nanti juga lo bakalan tau.”
Angga terdiam dan melanjutkan berjalan. Anggi mengikutinya dari belakang.
Tiba-tiba, Angga merasakan angin yang berhembus dengan kencang. Dan didengarnya sebuah bisikan.

‘Kumohon sembuhkanlah Angga walaupun aku yang harus menggantikan kematiannya…’

Bisikan itu, suara Anggi.
“Anggi?” Angga menoleh ke belakang tapi tak ada siapa-siapa.
“Nggak!! Jangan pergi!!”
“Angga? Sst.. sst..” terdengar suara kakaknya yang membuat Angga bangun.
“Anggi mana?”
Della kakaknya menghela napas, “Anggi masih koma. Dia belom bangun. Keadaan lo yang malah membaik kata dokter.”
Angga teringat mimpinya. Ia teringat bisikan Anggi di mimpinya. Apa itukah permohonan Anggi saat ia melihat bintang jatuh? Permohonan yang bodoh. Kenapa Anggi malah meminta agar ia yang menggantikan penyakit Angga?

3 hari kemudian…

“Angga! Anggi udah sadar!” ujar Della begitu memasuki kamar tempat Angga dirawat.
Angga melompat dari tempat tidurnya dan menghampiri kamar Anggi. Dilihatnya Anggi yang sedang duduk di tempat tidur dan memandang jendela. Hanya ada dirinya dan Anggi di kamar itu sekarang karena keluarga Anggi sudah pulang lantaran ini sudah jam 11 malam.
“Anggi?” panggil Angga.
Anggi menoleh, senyumnya mengembang tipis. “Hei Ga…”
“Liat bintang yuk?” ajak Angga sambil mengulurkan tangannya.
Anggi mengangguk dan berdiri dari tempat tidurnya. Angga mengajaknya melihat bintang di dekat jendela kamarnya yang cukup besar.
“Coba ada bintang jatuh yang lewat ya?” kata Angga.
“Iya. Tapi bintang jatuh indah lho. Gue udah pernah liat waktu itu.”
“Oh ya?”  Angga pura-pura tidak tahu.
“Iya. Tapi kayaknya permohonan gue bakalan terkabul deh.”
“Emang lo minta apa?”
“Kepo ya? Hahaha. Nanti juga lo bakalan tau.”
Angga terdiam. Kata-kata ini sama persis seperti yang ada di mimpinya.
“Emm… Coba kita berandai-andai yuk Gi. Kalo seandainya ada bintang jatuh lewat apa yang bakal lo minta?”
Anggi terdiam sementara, lalu tersenyum. “Aku ingin Angga bahagia tanpa ada diriku disampingnya…”
Usai mengucapkan itu, tiba-tiba tubuh Anggi terjatuh. Sebelum tubuhnya meyentuh lantai kamar yang keras, Angga langsung menangkapnya. Seluruh tubuh Anggi dingin dan mukanya pucat sekali, lebih pucat dari yang tadi.
“Anggi? Anggi?”
Anggi tetap diam. Sudut bibirnya terangkat, menyisakan senyum yang tadi. Angga memegang urat nadinya dan langsung terpaku.
“Anggi?! Nggak! Jangan pergi!!!” teriak Angga histeris.
Samar-samar, terdengar bisikan di telinga Angga, “Goodbye Angga…”
Angga terkesiap. Bisikan ini bisikan Anggi. Anggi sahabatnya. Anggi yang sangat disayanginya. Anggi yang bagian dari hidupnya. Tapi takdir memisahkan mereka sekarang. Angga menangis dan tak beberapa lama dokter dan suster datang dan memeriksa Anggi. Dicobanya segala usaha agar Anggi hidup kembali, tapi sia-sia…

                                                          *****

“Angga?”
Angga menoleh, didapatinya Anggi yang sedang berdiri di samping pohon apel. Entah sudah sejak kapan Angga menempati tempat ini. Tempat yang sama dengan mimpinya sewaktu itu.
“Anggi?”
Anggi berjalan menuju Angga dan duduk disebelahnya.
“Angga, aku pengen kamu bahagia walau aku udah nggak ada disamping kamu lagi. Jangan sedih karena aku selalu menyertaimu dari sana. Aku nggak akan hilang dari hidup kamu kok, karena kita kan sahabat selamanya.”
Setetes kristal terjatuh dari mata yang indah itu. Rambutnya terurai lurus dan terlihat bersinar yang memberikan kesan bahwa Anggi layaknya malaikat.
“Anggi, aku…”
“Goodbye Angga…”
Angga meneteskan air matanya dan menatap Anggi yang sedang tersenyum padanya. Secara perlahan, sosok Anggi memudar. “Don’t cry Ga…” bisiknya pelan menyertai kepergiannya.
Angga terbangun dari tidurnya dengan kaget. Dilihatnya jam di kamarnya yang menunjukkan pukul 3 pagi. Sehari pasca kematian Anggi, Angga dipulangkan ke rumahnya.
Walaupun tahu Anggi sudah tiada, Angga masih memandangi layar hapenya berharap ada sms ceria dari Anggi. Setiap pagi ditungguinya selama 5 menit di depan rumah Anggi, berharap cewek itu keluar dengan penampilannya yang berantakan. Setiap jam pelajaran selalu dipandanginya kursi Anggi yang berada di depannya. Setiap istirahat selalu dilihatinya meja kantin tempat biasanya mereka berdua makan sambil bercanda-canda. Setiap pulang sekolah selalu ditengoknya ke sisi kirinya, berharap Anggi berjalan disamping kirinya seperti biasa. Dan setiap malam selalu ditungguinya bintang jatuh sendirian sampai larut malam. Berharap Anggi di balkon sebelahnya dan mengoceh panjang lebar. Tapi yang berlalu sudah berlalu. Anggi takkan kembali lagi kesampingnya seperti kemarin…

No comments:

Post a Comment