Saturday, April 6, 2013

First, Second, Third (Part 3)


New Year Eve…
          “Kamu serius gak mau ikut kita?” tanya Mama sekali lagi, saat Nia sedang menguncir rambutnya menjadi satu.
          “Iya serius. Nia sama Aldi kok Ma.”
          “Cieee sekarang punya pacar nihh…” ledek Rifky.
          Nia tertawa. “Dia cuma temen gue lagiii…”
          “Tapi cocok kok!” Kak Andre menimpali yang membuat Rifky tertawa.
          “Lo bener-bener gak ada feeling sama dia Ni?” tanya Rifky kali ini serius.
          Nia kaget. “Apa sih? Nggak lah!” jawabnya tentu saja berbohong.
          Suara klakson motor terdengar di depan rumah. Ah, Aldi dewa penyelamatnya dari pertanyaan-pertanyaan Rifky.
          “Daaah! Nia pergi dulu! Have fun ya!!” kata Nia buru-buru, lalu keluar rumah.
          “Sore cantik…” sapa Aldi sambil tersenyum hangat.
          Nia tersenyum. “Sore juga bang. Tolong antar saya ya? Saya mau pergi ke rumah temen saya.” suruh Nia layaknya ia menyuruh tukang ojek.
          “Oke cantik. Nanti abang anter kemana pun kamu mau. Tapi harus jadi pacar abang dulu.” Aldi menjawab serius, walau dengan logat bercanda.
          Nia tersipu. “Hush apa sih Di? Udah ayo berangkat!” katanya.
          Aldi tertawa. “Ke supermarket dulu ya? Mau beli ini-itu. Bahan pokoknya sih udah dibeli tadi siang, kurang beberapa pelengkap aja.”
          “Oke deh.” jawab Nia sekenanya dan langsung naik ke boncengan belakang.
          Aldi melaju dengan cepat meninggalkan rumah Nia. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam dan jalanan tentu saja sangat ramai dikarenakan orang-orang yang mulai berpergian. Beberapa kali Aldi harus melewati kemacetan panjang dan merelakan tangannya untuk jadi bahan pegal-pegal karena sebentar-sebentar menggas dan mengerem. Dua kali ia tersenggol bus, itu dikarenakan motornya yang berukuran lumayan big agak susah untuk menyalip-nyalip dijalanan kota Jakarta yang parah ini.
          “Uh selalu deh kalo nggak kesenggol bus, pasti kesenggol mobil! Makanya punya motor jangan gede-gede!” omel Nia saat mereka sampai di supermarket yang lumayan besar itu.
          “Yaa ini kan warisan dari kakek gue! Jadi gue gak bisa nolak. Tadinya gue dikasih mobil, tapi guenya gak mau. Jadi Andi deh yang diwarisin mobil, gue motor.”
          “Mobil apaan?”
          “Mobil sedan item. Masih enak banget deh mobilnya.”
          Sedan hitam? Sepertinya beberapa kali Nia pernah melihat mobil itu sewaktu melintasi garasi rumah keluarga Aldi.
          “Terus kalo enak kenapa lo gak mau?”
          “Karena itu mobil. Mobil kan susah mau nyalip. Makanya gue pilih motor, daripada gue kejebak macet terus. Bukannya gue gak bisa bawa mobil, lho. Tapi ogah aja kejebak macet.”
          Nia manggut-manggut dan mengambil keranjang. “Ya udah. Udahan dulu ceritanya. Kita belanja!”
          “Sip!” Aldi mengangguk.
          Setelah beberapa lama berbelanja, memutari berblok-blok, Nia berhenti berjalan karena capek. Kali ini mereka sedang berada di blok permen, dan kebetulan Aldi yang juga capek melihat-lihat permen.
          “Nia?” seseorang menepuk pelan bahu Nia yang membuat Nia tersentak dan menoleh dengan dramatis.
          “Citra?!” seru Nia tertahan, karena tak mungkin ia berteriak.
          “Apa kabar Ni?” tanya Citra setelah mereka berangkulan.
          “Baik kok. Baik banget. Lo gimana? Semarang seru nggak?”
          “Baik juga. Wah, seru banget. Tapi sekarang gue liburan tahun baru disini, hehehe.”
          Nia mengangguk-ngangguk. Citra, adalah sahabatnya selama SMP dulu. Tapi, Citra pindah ke Semarang saat kenaikan kelas delapan. Setelah tiga tahun tak bertemu, Nia tak menyangka akan bertemu teman pertamanya ini di supermarket.
          “Lo sendirian?” tanya Nia.
          “Sama orang tua kok. Mereka lagi di blok biskuit, gue iseng aja ke blok permen. Lo?”
          Nia langsung mengingat dirinya yang sedang bersama Aldi. Langsung ditengoknya ke belakang. Aldi sedang memegang dua bungkus permen yang berbeda. “Sama dia nih.” Nia menunjuk Aldi.
          “Aldi, kenalin ini Citra.” Nia memperkenalkan Citra pada Aldi.
          Setelah berjabat tangan, tentu saja Citra langsung terkagum-kagum dan mengajak Nia menjauh dari Aldi sebentar.
          “Dia siapa? Pacar lo ya? Keren banget! Kok lo bisa sih dapetin yang kayak gitu? Di semarang jarang tuh tampang-tampang kayak dia! Astaga ganteng banget! Pilihan lo tepat Ni!” Citra langsung nyerocos panjang lebar yang membuat Nia tersenyum.
          “Temen gue kok Cit. kakak kelas. Kebetulan dia deket sama gue, ini gue lagi belanja sama dia soalnya mau bakar-bakar makanan sama keluarga dia. Keluarganya dia udah kayak keluarga gue yang kedua, baik-baik banget lagi!”
          “Tuh! Lo aja udah kenal deket sama keluarganya. Pasti lo disetujuin kalo mau pacaran. Ayo pacarin aja!”
          “Gila!”
          Citra nyengir.
          “Nia! Ayo! Udah cukup belom nih permen? Kalo lo ngobrol terus, gue bakal lebih banyak ngambil permen!” ancam Aldi yang membuat Nia mendengus geli.
          “Udah dulu ya Cit. Bye!”
          “Minta nomer lo dulu dong Ni.” kata Citra sambil mengeluarkan hand phonenya.
          Setelah menyebutkan dua belas deret angka, akhirnya Nia pergi bersama Aldi mencari beberapa bahan lagi yang kurang. Nia menoleh ke belakang, mencari sosok sahabatnya, tapi ternyata sahabatnya juga sudah hilang entah kemana.
          Citra yang mencerocos panjang lebar seperti tadi, mengingatkannya pada jaman ia SMP kemarin. Saat bersahabat dengan Citra adalah saat-saat menyenangkan. Tapi saat ini, ia sudah punya sahabat baru, Aldi. Walau Nia sendiri tahu, ia inginkan sesuatu yang lebih dari sebuah persahabatan ini.
          Hampir, tinggal satu bahan lagi yang harus dibeli, kini Nia dan Aldi bertemu dengan seseorang yang menyapa akrab Aldi. Saat itu Aldi dan Nia sedang berada di blok minuman.
          “Aldi?!” cowok itu, yang berkacamata dan bertubuh kerempeng menepuk pundak Aldi keras.
          “Eh?! Mori?!” Aldi menyahut.
          Mori, merangkul Aldi sambil tertawa. Namanya Memori Abadi. Nama paling langka yang pernah Aldi jumpai selama hidup. Mereka tertawa ria dan mengobrol, saling menanyakan kabar. Membuat Nia yang berdiri di samping Aldi – tadinya, dan sekarang berada di belakang Aldi – harus pura-pura melihat berbotol minuman, karena diabaikan seperti patung.
          Tiba-tiba, Aldi menarik Nia mendekatinya. “Nia, kenalin ini temen SD gue. Namanya Memori Abadi, panggilannya Mori.”
          Nia membelalak. Namanya Memori Abadi? Astaga, namanya unik sekali!
          “Cantik ya, Di. Gak salah pilihan lo. Cocok lagi, yang satu ganteng, yang satu cantik.” Mori memuji, tak memperdulikan tatapan terkesima Nia.
          “He?!” Nia langsung sadar, “Apa maksudnya?!”
          “Lho, kalian pacar kan?” tanya Mori polos yang membuat Nia terbelalak lagi, serta Aldi tertawa.
          “Adek kelas kok Mor. Bukan siapa-siapa.” Aldi mengibaskan tangannya.
          “Lah ini kok jalan berduaan?”
          “Iya. Dia ini anggota keluarga gue yang baru. Tiap ada acara, pasti diikut-sertain. Soalnya ortu gue suka sama dia, katanya kayak anak sendiri.”
          “Waaah ortu telah menyutujui, tinggal nungguin feeling masing-masing nih.” Sahut Mori sambil tertawa.
          Aldi tertawa agak tertahan. “Ya udah. Gue tinggal ya. Kasian nih anak nungguin, kalo kita ngobrol terus, bakal lama deh keburu semaput anak orang. Bye Mor! See you next time!” Aldi merangkul pundak Nia dan pergi menjauh.
          Setelah membeli satu bahan terakhir, yaitu bawang mereka memutuskan untuk cabut. Berbelanja yang menghabiskan waktu sekitar satu jam lebih ini membuat Nia menghela napas berat karena sangat capek berkeliling supermarket besar ini dan meneliti satu persatu bloknya.
          Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh dan mereka mampir sebentar ke mesjid terdekat. Setelah melaksanakan ibadah, mereka kembali pulang. Jalangan sangaaat ramai. Padahal bisa dibilang baru jam setengah tujuh, dan orang-orang sudah  banyak yang berkeliaran. Beberapa anak SMP, berboncengan bertiga dalam satu motor dan melaju sekencang-kencangnya.
          “Rame banget ya.”
          Nia mengangguk. “Banget.”
          Baru saat mereka memasuki komplek, suasana agak tenang. Yah, walau di lapangan utama komplek ada yang sedang nongkrong dan jalanan komplek agak ramai, tetap saja masih tercipta ketenangan sementara.
          Mereka berhenti, tepat di depan rumah bercat tembok hijau tosca dan berpagar hijau tua. Saat pertama kali mampir kesini, Nia beranggapan keluarga Aldi sangat terobsesi dengan segala jenis warna hijau hingga rumahnya pun berwarna hijau.
          “Bumbu dataaang…” Oom Edi – Papanya Aldi – datang sambil membuka pagar yang baru saja ingin Nia buka.
          Ada dua mobil terparkir di depan rumah Aldi. Yang kata Aldi itu saudaranya. Keadaan rumah Aldi pasti akan sangat ramai nanti.
          Setelah menaruh kantung plastik belanjaan di belakang bersama Aldi, dan menyalami Oom Edi dan Tante Rika – serta Oom dan ruang tamu bersama Aldi dan Andi. Menyetel lagu keras-keras, balapan main PS, ngobrol ngalor ngidul, menunggu kapan makanan siap. Urusan makanan memang diurusi olah orang-orang yang lebih berpengalaman. Para anak-anak dilarang  ikutan, hanya duduk manis menunggu makanan.
          Makanan siap jam sembilan pas. Aldi, Nia, dan Andi disuruh menghabiskan seekor ayam bakar dari kepala sampai kaki. Tentu saja ini membuat mereka bertiga tertantang – sangat tertantang – untuk menghabiskannya.
          Setelah bisa menghabiskan satu ekor ayam gede banyak daging itu, entah Andi, Aldi, maupun Nia, sama-sama duduk kekenyangan.
          “Kenyang banget-banget deh gue. Gak makan kali nih besok.” kata Nia sambil menepuk perutnya.
          Andi dan Aldi tertawa pelan, sambil memegangi perut masing-masing juga. Sungguh, menghabiskan satu ekor ayam besar bertiga membuatnya sangat kekenyangan seperti ini. Bagaimana kalau cuma berdua? Bisa-bisa tak makan selama liburan tersisa, hahaha.
          Setelah makanan benar-benar diproses oleh perut, baru Nia dan Aldi bangkit.
          “Kita ngapain nih?” tanya Nia merasa agak bosan.
          Andi melirik jam. “Ya. Udah jam sepuluh nih. Masih dua jam lagi…”
          “Hmm…” Aldi terlihat berpikir, hingga kemudian ia masuk kedalam yang membuat Andi dan Nia berpandangan.
          Beberapa lama kemudian, ia datang kembali sambil menenteng bola basket. “Basket aja yo?”
          Akhirnya tanpa dikomando lagi, Andi dan Nia mengangguk berbarengtan. Yah, mau bagaimana lagi? Bosan tak melakukan apa-apa, lebih baik olah raga.
          Beruntung Nia mempunyai Aldi. Jadi selama berteman sepanjang tahun ini, Aldi selalu mengajarkannya berolah raga. Dari yang gampang, lari. Setiap minggu selalu disempatkan waktu lari keliling. Kemana saja, asal Nia bisa.
          Lalu dari lari, diajarkannya main basket yang betul, kemudian volly, lalu bola sepak. Dan diantara semua itu, Nia hanya jago bermain volly. Mungkin kelebihannya dibidang volly kali ya?
          Mereka terus bermain, sampai akhirnya, Aldi melempar bola pada Nia, tapi sayang lemparannya terlalu kencang dan Nia tak bisa menangkapnya. Bola itu terkena satu pot bunga yang membuat Aldi langsung menghampiri benda itu yang kini pecah.
          Aldi berlutut bingung. Mukanya pucat. Nia langsung bertanya-tanya, tapi Andi menjawab dengan kedikkan bahu.
          “Ini semua gara-gara lo…” Aldi mulai bangkit dan menghadap ke Nia yang ada di belakangnya. “Ini semua gara-gara lo!!” teriaknya tepat di depan muka cewek itu.
          Nia terperangah. Aldi membentaknya.
          “Aldi!” Andi mulai menegur adik kembarnya itu.
          “Kalo lo nangkep bolanya, gak bakal bikin pot ini pecah! Ini pot bikinan gue sama Fadil waktu SMP! Udah gue jaga-jaga, malah lo yang bikin pecah!” Aldi tak menghiraukan Andi, lalu membentak Nia lagi.
          Nia pun yang sangat shock dibentak seperti itu – karena baru pertama kalinya Aldi membentaknya dengan keras – tak bisa berkata apa-apa. Dalam hati ia marah, sangat marah. Kenapa Aldi malah menyalahkannya? Kalau ia tak bisa menangkapnya, siapa suruh Aldi melempar terlalu kencang?
          “Lo… ah!! Pergi lo!!” kali ini Aldi membentaknya lebih keras.
          Akhirnya mata Nia tak bisa berkompromi dan ia menangis. Aldi sempat terperangah melihat tangis Nia karenanya, tapi ia buru-buru masuk ke dalam. Meninggalkan Andi dan Nia berdua di halaman belakang.
          “Eh… sstt… jangan nangis dong Ni… udah gak apa-apa kok. Jangan nangis lagi ya? Dia emang suka begitu kalo lagi marah. Maaf ya?” Andi membujuk Nia.
          “Gue mau pulang…” akhirnya hanya itu yang keluar dari mulut Nia.
          “Eh, aduh. Jangan dong. Nanti nyokap gue pasti gak ngebolehin. Jangan ya?”
          “Gue mau pulang, Andi. Gue mau pulang. Pulang.” kata Nia berulang-ulang.
          Andi tak bisa berkata-kata dan menghela napas. Ya, memang kelakuan Aldi sangat keterlaluan saat itu. Walau itu kenangan yang dimilikinya dengan sahabatnya, tapi tak juga harus membentak Nia begitu keras. Cewek ini pasti sangat rapuh.
          Nia bergegas masuk kedalam, setelah menghapus air matanya yang sudah bisa agak berhenti. Mengambil tasnya, dan pamit pada seisi rumah itu kecuali Aldi.
          Tentu saja, Oom Edi dan Tante Rika bingung karena jam masih menunjukkan pukul setengah sebelas. Tante Rika sempat menangkap ada sesuatu yang aneh karena mata Nia memerah dan terlihat habis menangis. Beliau menatap tajam Andi yang ada di belakang Nia, tapi Andi hanya melirik kearah lantai atas, yaitu kamarnya.
          “Dianter Aldi ya? Biar gak kenapa-napa dijalan. Tante panggilin dulu.” tawar Tante Rika.
          “Eh gak usah, Tan. Biar Nia pulang sendiri.”
          “Tapi ini udah malem Ni, sama Aldi aja ya?” Oom Edi tak menyerah.
          “Nggak Oom. Nggak usah. Nia gak mau.”
          Melihat kelakuan Nia yang seperti itu, tentu saja Tante Rika langsung tanggap. Pasti Nia sedang bermasalah dengan Aldi.
          “Udah ya Oom, Tante, Andi. Nia pulang dulu. Bye… makasih Oom, Tante.”
          Nia buru-buru keluar sebelum Oom Edi dan Tante Rika sempat berbicara lagi. Ditahannya air mata yang sudah keluar lagi, mengingat kejadian tadi di halaman belakang.
“Pergi lo!!” kata-kata itu selalu terngiang di telinga Nia. Karena itu ia memilih untuk pergi. Biar saja semua acara tahun baru ini hancur.
Nia berjalan menyusuri trotoar komplek. Jarak rumah Aldi ke rumahnya memang terhitung jauh. Dan lagi, ia harus jalan kaki karena tak ada kendaraan umum yang lewat pada malam tahun baru seperti ini.
Ia menghapus buru-buru air matanya yang terus mengalir. Orang-orang memperhatikannya dengan aneh, tapi ia tak peduli. Yang ia inginkan sekarang hanya pulang.
Sementara itu, rumah Aldi…
          “Dia diapain sih?!” tanya Oom Edi bingung pada Andi.
          “Ini lho Pa. Tadi tuh kita main basket di halaman belakang, terus si Nia gak bisa nangkep lemparan bola dari Aldi. Akhirnya pot bikinan Aldi sama Fadil dulu pecah. Aldi  langsung bentak-bentak Nia keras-keras sampe Nia… nangis. Akhirnya dia minta pulang karena Aldi udah ngusir waktu tuh anak ngebentak Nia.” jelas Andi panjang lebar di dekat kamarnya.
          Mama, yang sedang mengetuk pintu kamar Andi dan Aldi untuk mengajak Aldi berbicara terkejut. Sama terkejutnya dengan Papa.
          “Keterlaluan itu anak! Berani-beraninya dia bentak anak orang sampe nangis!” Papa sudah geram. “Aldi!! Buka gak?! Atau gak Papa dobrak nih pintu!!”
          Pintu terbuka, dan Papa, Mama, serta Andi langsung menerobos kedalam. Debat kusir sedang berjalan disini sekitar sepuluh menit. Sampai akhirnya Mama dan Andi keluar dari kamar dan membiarkan Papa berbicara dengan Aldi.
          “Kamu anter Nia pulang, gih. Paling dia baru sampe depan komplek lebih. Pasti dia jalan kaki! Mana gak ada bus lewat kan kalo malem tahun baru gini.” kata Mama.
          Andi mengangguk dan masuk kembali ke kamar, mengambil jaket dan kunci mobil. Perasaan khawatir menyergapnya. Takut cewek itu kenapa-kenapa, karena itu ia menurut disuruh diantar pulang.
          Andi langsung mengeluarkan mobil dari garasi dan memacunya cepat. Khawatir, cemas, gelisah. Mudah-mudahan cewek itu tidak kenapa-kenapa.
          Andi hampir keluar dari komplek, ketika dilihatnya seorang cewek memakai baju merah sedang berjalan buru-buru. Jalan dari depan komplek sampai rumahnya memang kian jauh. Kalau dilewati dengan jalan kaki, bisa-bisa mencapai lima belas menit tersendiri.
          “Nia! Nia!” panggil Andi pada Nia.
          Nia hampir saja tidak menoleh ketika dilihatnya sedan hitam itu. Ia ingat cerita Aldi bahwa sedan hitam itu milik Andi, jadi pasti Andi yang akan mengantarnya pulang.
          “Ayo pulang…” kata Andi, masih di belakang setir. “Gak akan ada bus lewat. Ayo naik. Tenang, gue Andi.”
          Akhirnya Nia membuka pintu mobil dengan ragu-ragu dan naik. Sungguh, ia sudah sangat ngos-ngosan, padahal baru dari rumah Aldi kedepan kompleknya.
          “Capek ya? Dibilang juga apa. Dianter malah gak mau. Nanti lo tahun baruan di jalan gitu? Sial amat nasib lo…”
          Nia hanya diam sambil menyeka air matanya yang lagi-lagi mengalir.
          Andi menoleh sebentar, lalu kembali memusatkan perhatian pada jalan. “Nangis mulu. Gak capek apa? Udah gak usah dipikirin. Dia lagi ditatar sama ortu gue.”
          “Ya gimana gue gak mikirin, Ndi? Gue yang bikin rusak tuh pot. Makanya dia bentak-bentak gue.”
          “Elo? Kata siapa? Wajar dong lo gak bisa nangkep. Gue tahu kok lo masih belom jago-jago amat olah raga. Dia aja yang gak mau disalahin, Ni.”
          “Tapi, gue mesti minta maaf sama dia.”
          “Jangan! Biarinin dia yang minta maaf. Tunggu sampe dia sadar apa kesalahannya, baru dia bakalan minta maaf.”
          Nia mengangguk. kali ini kesunyian menyergap sampai ia telah sampai di rumah. Rumah tentu saja kosong dan sepi, sangat pasti mereka semua belum pulang. Andi ikut masuk ke rumah Nia, menemani Nia beberama menit, sampai pamit pulang lagi. Kali ini, pemikiran Andi sudah sampai diujung batas. Ia harus mengeluarkan emosinya pada kembarnya itu. Sungguh keterlaluan Aldi.
          Saat Andi selesai memarkir mobil di garasi, ia langsung buru-buru menuju kamar. Ingin gantian mentatar adik kembarnya itu, setelah kedua orang tuanya.
          “Heh! Tau gak lo salah, hah!?” bentak Andi begitu sampai di kamar.
          Aldi hanya diam dan melirik Andi sebal.
          “Emang lo pikir, dengan bentak-bentak begitu bakal bikin dia takut gitu sama lo? Tau gak dia nangis sepanjang perjalanan! Nangis diem-diem, gak bisa berhenti. Gak tau deh, paling sekarang dia juga lagi nangis di rumahnya! Jahat lo! Pake ngusir dia segala, punya hak apa lo? Gak punya hati! Setan!” Andi benar-benar marah kali ini.
          Aldi sekali lagi hanya diam dan menghela napas mendengar bentakan Andi.
          “Lo sayang sama dia kan? Kalo gitu ngapain lo bentak dia, Al? hmm? Apa cuma karena sahabat, lo bisa semarah itu sama dia? Lo tau, lo salah. Minta maaf gih, cepet. Kasian, serius deh gue. Jangan sia-siain dia.” Andi melunak.
          “Kenapa lo sampe segininya?” kali ini Aldi bersuara.
          “Karena gue peduli, Al. gue peduli sama dia. Sakit gue liat dia nangis kayak gitu. Gue sih, gak apa-apa lo bentak-bentak sejahat itu, tapi dia? Dia langsung nangis kejer kan, lo liat sendiri. Minta maaf lah. Cuma itu, minta maaf.”
          Aldi merebahkan dirinya di tempat tidurnya. Lelah. Apa ia tadi begitu keras?

###

          Ternyata bentakan tempo hari menimbulkan bencana begitu dahsyat bagi Aldi. Nia sama sekali tak mau mengontaknya, bahkan menjawab teleponnya pun tidak! Didatengin ke rumah, katanya pergi, atau gak mau keluar karena sakit.
          Benar-benar dijauhi dirinya. Astaga, bentakan hari itu berdampak hebat! Nia mungkin shock banget. Kata Rifky kakaknya saja, Nia benar-benar menangis sampai pagi hari itu.
          Hari ini, Aldi berniat menuju ke rumah cewek itu lagi. Niatnya satu. Meminta maaf. Hari ini juga tepat sehari sebelum hari meninggalnya Fadil ke satu tahun.
          “Nia-nya ada?” tanya Aldi pada Andre, sepupu Nia yang waktu itu mengajak mengobrol Aldi.
          “Lho, kan tadi pergi sama kamu?” tanya Andre lagi bingung.
          “He? Kapan?”
          “Tadi kan jam sembilan kamu jemput pake mobil sedan item. Dia juga mau kok ikut. Sekarang udah jam sebelas kok balik lagi kesini? Ada yang kelupaan?”
          “Hah? Sedan item? Wah itu mah kembarnya aku, Mas. Ya deh makasih yaa…”
          Nia pergi dengan Andi? Ada apa ini? kemana mereka pergi? Kenapa Nia mau pergi dengan Andi? Berbagai pertanyaan menghinggapi otak Aldi.
Sementara itu, di satu mal…
          “Belom baikkan juga sama Aldi?” tanya Andi sambil menyeruput es cappuccino-nya.
          “Belom. Gue emang sengaja nguji kesabaran dia dulu, hehehehe.” Nia tersenyum sambil mengaduk jus stoberinya.
          Andi mengangguk pelan. Tak mengerti jalan pikiran Nia yang sulit. Padahal, Aldi sudah sering mengunjungi Nia untuk meminta maaf, tapi sekarang malah Nia yang tak mau memaafkan.
          Sesuatu bergetar di kantung celana jeans Andi. Ada peesan singkat, dari Aldi.
          Dmana? Lo ngapain bawa2 Nia? Bls cepet!
          Andi tersenyum geli. Langsung dibalasnya pesan itu dengan cepat, seperti perintah Aldi.
          Gue di mal.
          Balasan dari Andi langsung membuat Aldi menggas motornya dengan cepat. Ia tahu mal itu, karena itu mal langganan Nia. Ingin cepat-cepat ditemuinya cewek itu dan meminta maaf lagi.
          Tak menyangka Aldi menggas terlalu cepat, ia sudah beberapa kali hampir menabrak mobil maupun bus. Keadaan di jalan yang padat, membuatnya sussah menyalip. Hingga tiba-tiba di perempatan…
          “Ahh!!!” teriak Aldi, saat tiba-tiba sebuah truk menabrak motornya dan ia terlempar jauh. Setelah merasakan sakit yang teramat, semuanya terlihat gelap.
Satu jam kemudian…
          Suara dering hand phone Andi terdengar sampai ke telinga Nia. Suaranya yang sangat nyaring, membuat Andi sempat tersentak dan langsung mengambil hand phonenya lalu mulai berbicara.
          “Halo? Hah?! Aldi kecelakaan?! Ap… dimana? Di rumah sakit deket rumah? Oke, Andi kesana sekarang.” Seru Andi yang membuat Nia langsung terbelalak.
          “Aldi kecelakaan, ayo kita ke rumah sakit sekarang…” kata Andi pada Nia, mukanya pucat.
          Aldi kecelakaan?! Kenapa bisa?!
          “Dia lagi otw nyusul kita kesini, katanya. Terus dia ditabrak… truk. Sekarang dia lagi di UGD, darahnya keluar banyak.” jelas Andi yang sepertinya bisa membaca pikiran Nia.
          Astaga. Pasti demi meminta maaf, Aldi nekat menyusul kesini. Ini semua karena Nia! Karena Nia lagi! Kalau saja dari awal ia memaafkan Aldi, mungkin takkan terjadi kecelakaan seperti ini.
          “Jangan nyalahin diri lo lagi. Ini murni kecelakaan.” Andi lagi-lagi seperti bisa membaca pikiran Nia.
          Nia pun hanya menghela nafas lelah dan pasrah.

###

          “Aldi? Aldi? Lo dah bangun?” suara yang sangat akrab di telinga Aldi menyapanya saat ia baru membuka mata.
          Aldi tersentak perlahan, melihat seseorang yang ada di hadapannya. “Nia? Andi… mana?”
          “Andi lagi makan di kantin rumah sakit.” Nia tersenyum.
          Aldi terdiam. ia memperhatikan sekelilingnya. Ini rumah sakit, ia berada di ruang inap untuk dirinya sendiri. Kepalanya serasa di perban, tangan kirinya juga di perban dan sangat sakit saat digerakan.
          “Tangan lo patah.” kata Nia memberi tahu.
          Aldi menghela napas berat.
          “Nia… maaf ya…” katanya setelah terdiam cukup lama.
          Nia terperangah. Ia terdiam.
          “Maaf gue bentak-bentak lo. Gue tau kok gue waktu itu terlalu keras, sampe lo  nangis. Lo mau maafin gue kan?” Tangan kanannya menggenggam tangan Nia.
          Nia terdiam beberapa lama, tak menggubris tatapan penuh harap Aldi. Ia memang masih sangat sakit hati dibentak sebegitu kasarnya, tapi…
          “Oke, gue maafin.” jawab Nia akhirnya.
          Aldi tersenyum bahagia. Lalu masuklah Andi ke kamar, dan tatapan cowok itu langsung menuju kearah tangan Aldi yang menggenggam tangan Nia. Cepat-cepat Nia menarik tangannya.
          “Udah bangun lo?” tanya Andi sambil duduk disamping Nia.
          Aldi mengangguk perlahan. Kepalanya masih terasa sakit.
          “Berarti udah tujuh jam ya Ni, dia tidur? Buset…”
          Nia tertawa. “Namanya juga orang pingsan gara-gara kecelakaan!”
          Aldi menatap mereka berdua. Sepertinya, Andi sengaja membuatnya cemburu dengan mengajak Nia tertawa. Apa itu maksudnya? Apa… Andi tahu kalau ia menyayangi Nia dari lubuk hatinya yang terdalam? Apa… Andi juga menyukai Nia?

###

          “Aldi?” seseorang memanggil Aldi, suara Nia.
          Aldi menoleh, dilihatnya Nia yang berlari kearahnya. Lalu tiba-tiba menubruknya dan memeluknya.
          “Eh? Ni? Ap… apaan?” Aldi salah tingkah, mengalihkan pandangannya.
          Entah sejak kapan ia disini. Hijau. Dikelilingi pohon-pohon yang besar. Lalu, dirinya memakai baju putih-putih? Bukan cuma dirinya, tapi Nia juga.
          Nia yang berada di hadapannya sedang cengar-cengir gak jelas. Lalu, muncul seseorang lagi yang merangkul pundak Nia dari belakang. Fadil.
          “Hei.” Fadil menyapanya, ia memakai baju putih-putih juga.
          “He… hei.” Aldi balas menyapa sahabatnya itu dengan canggung.
          “Ayo. Ikut gue.”
          Aldi terbelalak. Ia menutup telinganya. Tapi ucapan Fadil terus menerus terngiang di telinganya. Terus. Terus.
          “Nggak! Nggak! Pergi lo! Pergiii!!” Aldi berteriak. Lalu berlari dari kejaran suara Fadil yang terus menghantuinya.
          Suara teriakan Aldi membangunkan Andi dengan segera. Andi langsung melirik jam, sudah jam empat pagi. Tiba-tiba kembarnya ini berteriak-teriak seperti orang gila.
          “Aldi? Sstt… berisik tau…” seru Andi masih setengah mengantuk.
          Aldi langsung membuka matanya dengan kaget. Napasnya tidak teratur. Keringat membasahi seluruh badannya. Dengan tak sadar, tangannya mencengkeram ujung baju Andi.
          “Apa sih lo? Udah sana tidur lagi. Jangan teriak-teriak lagi ya! Gue mau tidur.”
          Aldi mengangguk dan menyenderkan kepalanya lagi. Sudah terdengar kalau Andi langsung tertidur begitu merebahkan dirinya di sofa diujung.
          Andi tetap tak bisa tertidur. Bukan apa-apa. Ia cuma takut mimpi tadi terulang lagi. Suara Fadil terus terputar di benaknya. Seperti… Fadil mengajaknya ikut ‘pulang’ kesana?
09:00…
          “Morninggg!!” suara Nia yang ceria membuat satu ruangan yang tadinya sepi menjadi ramai.
          Aldi tersenyum senang, melihat Nia datang lagi. Andi pun juga tersenyum, senyum tak terbaca.
          “Hai Andi! Hai Aldi! Gue bawa apel nih! Awas aja ya sampe gak dimakan, gue belinya mahal nih!” kalimat terakhir ini Nia tunjukkan pada Aldi.
          Aldi tertawa. Sampai-sampai bahunya terguncang.
          “Eh? Bau asem siapa nih? Siapa yang belom mandi nih? Lo ya, Ndi? Jorok! Pulang sana! Mandi!” Nia lagi-lagi melucu.
          Andi sekarang ikut-ikutan tertawa. “Iya. Iya. Gue pulang ya. Jagain Aldi ya, Ni. Sampe gue balik lagi.”
          “Siip bos! Gaji saya naikin ya.”
          “Oke-oke. Tenang aja. Bye!”
          Saat Andi keluar dan bermaksud pulang, Nia mengambil kursi dan menatap Aldi. Diperhatikannya dari ujung rambut sampai kaki, muka anak ini.
          “Kok lo pucet?” tanya Nia polos.
          Aldi tersenyum. “Tau gak? Tadi gue mimpi lho. Gue ketemu Fadil. Dia ngajak gue ikut sama dia.”
          Nia terbelalak. Fadil. Hari ini, tepat setahun setelah kepergiannya. Dan tiba-tiba, ia mendengar cerita Aldi, kalau Fadil mengajak Aldi ikut dengannya?! “Te… terus?”
          “Ya terus gue tolak. Tapi suara dia kedengeran terus. Sampe akhirnya gue bangun deh.”
          Dalam omongan Aldi, terlihat ia sangat enteng bercerita. Seperti biasanya, sangat-sangat enteng. Tapi sebenarnya, cowok itu sangat menderita. Disembunyikannya penderitaan itu, dengan bicara seenteng-entengnya.
          Ternyata, mendengar cerita tentang mimpi Aldi, langsung membuat Nia diam seribu bahasa. Masa sih Fadil mengajak Aldi ikut dengannya? Tidak. Jangan sampai. Nia tak mau kehilangan orang yang disayanginya dua kali…
          Setelah beberapa lama mengobrol canggung, Aldi pamit tidur. Nia pun mengangguk, lalu duduk di sofa. Andi belum kembali kemana anak itu? Terpaksa deh ia diam sementara Aldi tertidur.
          Hampir sejam Aldi tertidur. Tidur dengan gelisah, maksudnya. Tidak tidur dengan tenang seperti orang biasa. Beberapa kali Nia – yang juga hampir tertidur – disadarkan sepenuhnya oleh desahan gelisah Aldi. Kali ini, saat Nia merapikan selimut Aldi, cowok itu membuka matanya yang membuat Nia terlompat kaget.
          “A… Aldi? Ngagetin aja sih.” Nia mengelus dadanya.
          Aldi hanya tersenyum kecil. Kali ini wajahnya tampak lebih pucat. Ia mengganti posisinya menjadi duduk dan menyuruh Nia duduk di kursi samping tempat tidur. Dengan gerakan perlahan, Aldi menarik tangan Nia dan menggenggamnya.
          “Aldi? Kenapa sih?” Nia heran, tapi tak melepaskan tangannya.
          “Coba gue bisa megang nih tangan selamanya…” Aldi memainkan jari kelingking Nia yang lebih kecil dari kelingkingnya.
          “Ap…”
          “Sst. Lo diem aja. Biar gue aja yang ngomong ya! Banyak yang mesti gue omongin sama lo.” kata Aldi, membuat Nia bungkam.
          “Makasih yah. Lo bisa temenin gue selama setahun. selama Fadil gak ada, lo yang ada disamping gue. Makasih juga. Buat semua waktu yang lo punya buat gue. Buat acara-acara aneh kita.” Aldi mengelus tangan Nia.
          “Maaf. Maaf banget. Selama sepanjang tahun kemaren gue bikin lo ngambek, kecewa, marah, nangis. Maaf gue pernah bentak lo, ninggalin lo, semua perbuatan jahat gue. Tolong maafin itu semua. Walau mungkin sejuta maaf dari gue gak akan cukup.”
          “Tau gak? Semenjak pertama kali Fadil tunjukkin lo yang mana, sebenernya gue tertarik sama lo. Emang sih, gue gengsi banget ngakuin gue tertarik. ada daya tarik dalem tubuh lo, yang bikin setiap cowok naksir. Tapi karena tahu Fadil suka banget sama lo, akhirnya gue ngalah. Gue lebih memilih judes sama lo daripada baik-baikkin lo kayak Fadil, biar Fadil gak curiga.” Aldi menelan ludahnya.
          “Terus, waktu terakhir kali Fadil bilang tolong jagain lo, gue setuju. Awalnya emang gue nganggep lo sebagai titipan dari sahabat gue yang udah pergi, tapi ternyata…, titipan itu malah tambah bisa ngambil hati gue.”
          “Semenjak gue liat lo pingsan, lo yang terlalu lemah, tambah banyak keinginan gue buat ngejaga lo, lebih dari titipan. Gue ngajarin lo olah raga ini-itu, biar lo kuat. Kalau seandainya lo gue tinggal, lo mau sama siapa?”
          “Lo pasti ngerti kan apa arti mimpi gue tadi pagi? Ya, Fadil jemput gue. Fadil jemput gue, Nia. Biar gue bisa bareng-bareng sama dia kayak dulu lagi. Dan gue, setuju.”
          Nia mulai merasa air matanya menetes.
          “Makasih sekali lagi, Nia. Buat semua waktu lo buat gue. Gue gak nyangka, hidup gue sesingkat ini. Tapi gue bersyukur bisa jalanin hidup gue dengan bahagia, terutama waktu gue sama lo. Gue bahagia banget.”
          Nia terisak. Kata-katanya…
          “Jangan nangis.” Aldi menyeka air mata Nia, walau ia tahu sia-sia. “Gue gak mau lo nangis. Yang kuat. Lo harus bahagia, demi gue. Gimana pun caranya, lo harus bahagia. Tanpa gue, demi gue. Lo bisa tanpa gue. Jangan berpikir lo ditinggal lagi buat yang kedua kalinya, pasti bakal ada yang gantiin gue kok. Sama kayak gue gantiin Fadil, pasti bakal ada yang gantiin gue.”
          “Jangan… pergi…” hanya dua kata itulah yang keluar dari mulut Nia sekarang. Ia takut, sangat takut.
          Aldi tersenyum sekali lagi. “Gue sayang lo…”
          Tiga kata terakhir itu… tiga kata terakhir itu… mengantar Aldi…
          Tangannya yang tadi menggenggam erat tangan Nia, longgar begitu saja. Matanya menutup dengan perlahan. Meninggalkan Nia yang terpaku, melihat orang yang kini sangat disayanginya pergi tepat dihadapannya.
          “Aldi?! Jangan bercanda! Bangun! Please! Lo gak boleh pergi! Bangun Aldi! Bangun!!” Nia berteriak-teriak histeris, mencoba membangunkan Aldi yang kini terbujur kaku.
          Tiba-tiba pintu terbuka, Andi! “Nia! Ada apa ini? kenapa?!”
          “Panggil dokter, Ndi! Panggil dokter!” Nia masih tak bisa menurunkan volume suaranya.
          Andi gelagapan. Ia memanggil dokter, lalu setelah dokter masuk, Andi menyeret Nia yang masih menangis untuk keluar. Dipeluknya cewek itu yang masih menangis histeris.
          “Maaf, Mas. Tapi Aldi… benturan di kepalanya yang mengakibatkan luka dalam yang parah… membuatnya pergi… kami sudah berusaha…” si dokter menundukkan kepalanya.
          “Aah!!” teriak Andi, masih tak percaya apa yang terjadi di hadapannya.
          Nia masih menangis, sangat histeris. Sangat berbeda dari setahun yang lalu, tepat setahun yang lalu. Saat Fadil pergi, ia menangis dalam diam. Sekarang ia sangat histeris. Tapi perasaan sakitnya kini lebih mendalam. Setahun bersama Aldi, memberikan banyak kenangan yang lebih menyakitkan untuk dikenang.
          Selamat jalan, Aldi… kau akan selalu dikenang di benak Nia, atau siapapun…

###

Satu tahun kemudian…
          Nia celingukan di lapangan olah raga besar itu, mencari sosok orang penting dalam hidupnya, yang akan menontonnya mengikuti pertandingan ini.
          Itu dia… senyum menghiasi bibir Nia.
          “Ah! Andi! Sini!” panggilnya sambil melambaikan tangan kepada sesosok orang tinggi besar yang sedang memakai kemeja berwarna biru tua itu.
          Andi, si cowok yang dimaksud langsung menghampiri si cewek dalam balutan kaus dan celana pendek selutut.
          Hari ini, sedang dilaksanakan O2SN di sekolah Nia yang menjadi tuan rumahnya. Berhubung, sangat berhubung ini sudah bulan Mei dan Nia sudah selesai UAN, jadi ia bisa mengikuti pertandingan ini. Begitu masuk semester dua di kelas sebelas kemarin, Nia masuk ke ekskul volly, karena diantara semua olah raga ia cuma bisa dibidang itu saja.
          “Baiklah, akan dimulai pertandingan volly dari SMA Parkit melawan tuan rumah! Yeeey beri tepuk tangan!” Leo, si maskot angkatan yang paling cerewet, yang bertugas menjadi MC langsung bertepuk tangan.
          “Semangat!” Andi mengacungkan tangannya pada Nia, lalu duduk dibawah pohon dekat lapangan.
          Nia tersenyum dan mengangguk. Semenjak kepergian Aldi – yang menyebabkan Nia tak punya sahabat tetap – ia jadi mengikuti segala kegiatan sekolah yang ia suka. Walau kebiasaan baca berjam-jam di perpustakaannya tak hilang, tetap saja ia jadi aktif dalam lingkungan sekolah. ‘Nia si bego olah raga’ dulu sudah menghilang dan digantikan dengan ‘Nia si jago volly’.
          Setelah pertandingan yang berlanjut selama lima belas menit, sekolah Nia pun menang dengan skor 8-4. Lalu pertandingan lagi melawan sekolah ini, itu, tapi tetap saja tim sekolah Nia-lah yang menang.
          Setelah dua jam berada di sekolah dan menguras tenaga, anggota tim volly disuruh pulang. Nia langsung menghampiri Andi yang masih duduk di bawah pohon, yang sedang memegang air aqua dingin.
          “Nih minum. Capek ya?”
          “Bangetlah. Panas begitu lagi. Yuk balik!”
          “Jalan aja yuuk?”
          “Kemana?”
          “Udah ikut aja.”
          Kali ini Andi menggandeng Nia dengan kuat. Lalu Nia, memeluk lengan cowok yang sekarang berada di peringkat orang nomor lima di hidupnya. Kekasih. Semenjak kepergian Aldi, Andi lah yang menggantikan Aldi. Kadang ada beberapa sifat Andi yang membuat Nia bernostalgia dengan kenangan bersama Aldi. Yah, kembar memang tak selalu berbeda atau sama kan?
          “Siap buat ngebolang?” tanya Andi sambil mendedipkan satu matanya.
          “Siappp!”
          Nia makin mempererat rangkulannya di lengan cowok itu. Andi. Cowok yang sekarang sangat disayanginya. Yang takkan ia lepas lagi untuk ketiga kali ia kehilangan. Cause, you is always be my love…

No comments:

Post a Comment