New Year Eve…
“Kamu serius gak mau ikut kita?” tanya
Mama sekali lagi, saat Nia sedang menguncir rambutnya menjadi satu.
“Iya serius. Nia sama Aldi kok Ma.”
“Cieee sekarang punya pacar nihh…”
ledek Rifky.
Nia tertawa. “Dia cuma temen gue
lagiii…”
“Tapi cocok kok!” Kak Andre menimpali
yang membuat Rifky tertawa.
“Lo bener-bener gak ada feeling sama
dia Ni?” tanya Rifky kali ini serius.
Nia kaget. “Apa sih? Nggak lah!”
jawabnya tentu saja berbohong.
Suara klakson motor terdengar di depan
rumah. Ah, Aldi dewa penyelamatnya dari pertanyaan-pertanyaan Rifky.
“Daaah! Nia pergi dulu! Have fun ya!!”
kata Nia buru-buru, lalu keluar rumah.
“Sore cantik…” sapa Aldi sambil
tersenyum hangat.
Nia tersenyum. “Sore juga bang. Tolong
antar saya ya? Saya mau pergi ke rumah temen saya.” suruh Nia layaknya ia
menyuruh tukang ojek.
“Oke cantik. Nanti abang anter kemana
pun kamu mau. Tapi harus jadi pacar abang dulu.” Aldi menjawab serius, walau
dengan logat bercanda.
Nia tersipu. “Hush apa sih Di? Udah
ayo berangkat!” katanya.
Aldi tertawa. “Ke supermarket dulu ya?
Mau beli ini-itu. Bahan pokoknya sih udah dibeli tadi siang, kurang beberapa
pelengkap aja.”
“Oke deh.” jawab Nia sekenanya dan
langsung naik ke boncengan belakang.
Aldi melaju dengan cepat meninggalkan
rumah Nia. Jam sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam dan jalanan tentu
saja sangat ramai dikarenakan orang-orang yang mulai berpergian. Beberapa kali
Aldi harus melewati kemacetan panjang dan merelakan tangannya untuk jadi bahan
pegal-pegal karena sebentar-sebentar menggas dan mengerem. Dua kali ia
tersenggol bus, itu dikarenakan motornya yang berukuran lumayan big agak susah
untuk menyalip-nyalip dijalanan kota Jakarta yang parah ini.
“Uh selalu deh kalo nggak kesenggol
bus, pasti kesenggol mobil! Makanya punya motor jangan gede-gede!” omel Nia
saat mereka sampai di supermarket yang lumayan besar itu.
“Yaa ini kan warisan dari kakek gue! Jadi gue gak
bisa nolak. Tadinya gue dikasih mobil, tapi guenya gak mau. Jadi Andi deh yang
diwarisin mobil, gue motor.”
“Mobil apaan?”
“Mobil sedan item. Masih enak banget
deh mobilnya.”
“Terus kalo enak kenapa lo gak mau?”
“Karena itu mobil. Mobil kan susah mau nyalip.
Makanya gue pilih motor, daripada gue kejebak macet terus. Bukannya gue gak
bisa bawa mobil, lho. Tapi ogah aja kejebak macet.”
Nia manggut-manggut dan mengambil
keranjang. “Ya udah. Udahan dulu ceritanya. Kita belanja!”
“Sip!” Aldi mengangguk.
Setelah beberapa lama berbelanja,
memutari berblok-blok, Nia berhenti berjalan karena capek. Kali ini mereka
sedang berada di blok permen, dan kebetulan Aldi yang juga capek melihat-lihat
permen.
“Nia?” seseorang menepuk pelan bahu
Nia yang membuat Nia tersentak dan menoleh dengan dramatis.
“Citra?!” seru Nia tertahan, karena
tak mungkin ia berteriak.
“Apa kabar Ni?” tanya Citra setelah
mereka berangkulan.
“Baik kok. Baik banget. Lo gimana? Semarang seru nggak?”
“Baik juga. Wah, seru banget. Tapi
sekarang gue liburan tahun baru disini, hehehe.”
Nia mengangguk-ngangguk. Citra, adalah
sahabatnya selama SMP dulu. Tapi, Citra pindah ke Semarang saat kenaikan kelas delapan. Setelah
tiga tahun tak bertemu, Nia tak menyangka akan bertemu teman pertamanya ini di
supermarket.
“Lo sendirian?” tanya Nia.
“Sama orang tua kok. Mereka lagi di
blok biskuit, gue iseng aja ke blok permen. Lo?”
Nia langsung mengingat dirinya yang
sedang bersama Aldi. Langsung ditengoknya ke belakang. Aldi sedang memegang dua
bungkus permen yang berbeda. “Sama dia nih.” Nia menunjuk Aldi.
“Aldi, kenalin ini Citra.” Nia
memperkenalkan Citra pada Aldi.
Setelah berjabat tangan, tentu saja
Citra langsung terkagum-kagum dan mengajak Nia menjauh dari Aldi sebentar.
“Dia siapa? Pacar lo ya? Keren banget!
Kok lo bisa sih dapetin yang kayak gitu? Di semarang jarang tuh tampang-tampang kayak
dia! Astaga ganteng banget! Pilihan lo tepat Ni!” Citra langsung nyerocos
panjang lebar yang membuat Nia tersenyum.
“Temen gue kok Cit. kakak kelas.
Kebetulan dia deket sama gue, ini gue lagi belanja sama dia soalnya mau
bakar-bakar makanan sama keluarga dia. Keluarganya dia udah kayak keluarga gue
yang kedua, baik-baik banget lagi!”
“Tuh! Lo aja udah kenal deket sama
keluarganya. Pasti lo disetujuin kalo mau pacaran. Ayo pacarin aja!”
“Gila!”
Citra nyengir.
“Nia! Ayo! Udah cukup belom nih
permen? Kalo lo ngobrol terus, gue bakal lebih banyak ngambil permen!” ancam
Aldi yang membuat Nia mendengus geli.
“Udah dulu ya Cit. Bye!”
“Minta nomer lo dulu dong Ni.” kata
Citra sambil mengeluarkan hand phonenya.
Setelah menyebutkan dua belas deret
angka, akhirnya Nia pergi bersama Aldi mencari beberapa bahan lagi yang kurang.
Nia menoleh ke belakang, mencari sosok sahabatnya, tapi ternyata sahabatnya juga
sudah hilang entah kemana.
Citra yang mencerocos panjang lebar
seperti tadi, mengingatkannya pada jaman ia SMP kemarin. Saat bersahabat dengan
Citra adalah saat-saat menyenangkan. Tapi saat ini, ia sudah punya sahabat
baru, Aldi. Walau Nia sendiri tahu, ia inginkan sesuatu yang lebih dari sebuah
persahabatan ini.
Hampir, tinggal satu bahan lagi yang
harus dibeli, kini Nia dan Aldi bertemu dengan seseorang yang menyapa akrab
Aldi. Saat itu Aldi dan Nia sedang berada di blok minuman.
“Aldi?!” cowok itu, yang berkacamata
dan bertubuh kerempeng menepuk pundak Aldi keras.
“Eh?! Mori?!” Aldi menyahut.
Mori, merangkul Aldi sambil tertawa.
Namanya Memori Abadi. Nama paling langka yang pernah Aldi jumpai selama hidup.
Mereka tertawa ria dan mengobrol, saling menanyakan kabar. Membuat Nia yang
berdiri di samping Aldi – tadinya, dan sekarang berada di belakang Aldi – harus
pura-pura melihat berbotol minuman, karena diabaikan seperti patung.
Tiba-tiba, Aldi menarik Nia
mendekatinya. “Nia, kenalin ini temen SD gue. Namanya Memori Abadi,
panggilannya Mori.”
Nia membelalak. Namanya Memori Abadi?
Astaga, namanya unik sekali!
“Cantik ya, Di. Gak salah pilihan lo.
Cocok lagi, yang satu ganteng, yang satu cantik.” Mori memuji, tak
memperdulikan tatapan terkesima Nia.
“He?!” Nia langsung sadar, “Apa
maksudnya?!”
“Lho, kalian pacar kan ?” tanya Mori polos yang membuat Nia
terbelalak lagi, serta Aldi tertawa.
“Adek kelas kok Mor. Bukan
siapa-siapa.” Aldi mengibaskan tangannya.
“Lah ini kok jalan berduaan?”
“Iya. Dia ini anggota keluarga gue
yang baru. Tiap ada acara, pasti diikut-sertain. Soalnya ortu gue suka sama
dia, katanya kayak anak sendiri.”
“Waaah ortu telah menyutujui, tinggal
nungguin feeling masing-masing nih.” Sahut Mori sambil tertawa.
Aldi tertawa agak tertahan. “Ya udah.
Gue tinggal ya. Kasian nih anak nungguin, kalo kita ngobrol terus, bakal lama
deh keburu semaput anak orang. Bye Mor! See you next time!” Aldi merangkul
pundak Nia dan pergi menjauh.
Setelah membeli satu bahan terakhir,
yaitu bawang mereka memutuskan untuk cabut. Berbelanja yang menghabiskan waktu
sekitar satu jam lebih ini membuat Nia menghela napas berat karena sangat capek
berkeliling supermarket besar ini dan meneliti satu persatu bloknya.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah
tujuh dan mereka mampir sebentar ke mesjid terdekat. Setelah melaksanakan
ibadah, mereka kembali pulang. Jalangan sangaaat ramai. Padahal bisa dibilang
baru jam setengah tujuh, dan orang-orang sudah
banyak yang berkeliaran. Beberapa anak SMP, berboncengan bertiga dalam
satu motor dan melaju sekencang-kencangnya.
“Rame banget ya.”
Nia mengangguk. “Banget.”
Baru saat mereka memasuki komplek,
suasana agak tenang. Yah, walau di lapangan utama komplek ada yang sedang
nongkrong dan jalanan komplek agak ramai, tetap saja masih tercipta ketenangan
sementara.
Mereka berhenti, tepat di depan rumah
bercat tembok hijau tosca dan berpagar hijau tua. Saat pertama kali mampir
kesini, Nia beranggapan keluarga Aldi sangat terobsesi dengan segala jenis
warna hijau hingga rumahnya pun berwarna hijau.
“Bumbu dataaang…” Oom Edi – Papanya
Aldi – datang sambil membuka pagar yang baru saja ingin Nia buka.
Setelah menaruh kantung plastik
belanjaan di belakang bersama Aldi, dan menyalami Oom Edi dan Tante Rika –
serta Oom dan ruang tamu bersama Aldi dan Andi. Menyetel lagu keras-keras,
balapan main PS, ngobrol ngalor ngidul, menunggu kapan makanan siap. Urusan
makanan memang diurusi olah orang-orang yang lebih berpengalaman. Para anak-anak dilarang
ikutan, hanya duduk manis menunggu makanan.
Makanan siap jam sembilan pas. Aldi,
Nia, dan Andi disuruh menghabiskan seekor ayam bakar dari kepala sampai kaki.
Tentu saja ini membuat mereka bertiga tertantang – sangat tertantang – untuk
menghabiskannya.
Setelah bisa menghabiskan satu ekor
ayam gede banyak daging itu, entah Andi, Aldi, maupun Nia, sama-sama duduk
kekenyangan.
“Kenyang banget-banget deh gue. Gak
makan kali nih besok.” kata Nia sambil menepuk perutnya.
Andi dan Aldi tertawa pelan, sambil
memegangi perut masing-masing juga. Sungguh, menghabiskan satu ekor ayam besar
bertiga membuatnya sangat kekenyangan seperti ini. Bagaimana kalau cuma berdua?
Bisa-bisa tak makan selama liburan tersisa, hahaha.
Setelah makanan benar-benar diproses
oleh perut, baru Nia dan Aldi bangkit.
“Kita ngapain nih?” tanya Nia merasa
agak bosan.
Andi melirik jam. “Ya. Udah jam
sepuluh nih. Masih dua jam lagi…”
“Hmm…” Aldi terlihat berpikir, hingga
kemudian ia masuk kedalam yang membuat Andi dan Nia berpandangan.
Beberapa lama kemudian, ia datang
kembali sambil menenteng bola basket. “Basket aja yo?”
Akhirnya tanpa dikomando lagi, Andi
dan Nia mengangguk berbarengtan. Yah, mau bagaimana lagi? Bosan tak melakukan
apa-apa, lebih baik olah raga.
Beruntung Nia mempunyai Aldi. Jadi
selama berteman sepanjang tahun ini, Aldi selalu mengajarkannya berolah raga.
Dari yang gampang, lari. Setiap minggu selalu disempatkan waktu lari keliling.
Kemana saja, asal Nia bisa.
Lalu dari lari, diajarkannya main
basket yang betul, kemudian volly, lalu bola sepak. Dan diantara semua itu, Nia
hanya jago bermain volly. Mungkin kelebihannya dibidang volly kali ya?
Mereka terus bermain, sampai akhirnya,
Aldi melempar bola pada Nia, tapi sayang lemparannya terlalu kencang dan Nia
tak bisa menangkapnya. Bola itu terkena satu pot bunga yang membuat Aldi
langsung menghampiri benda itu yang kini pecah.
Aldi berlutut bingung. Mukanya pucat.
Nia langsung bertanya-tanya, tapi Andi menjawab dengan kedikkan bahu.
“Ini semua gara-gara lo…” Aldi mulai
bangkit dan menghadap ke Nia yang ada di belakangnya. “Ini semua gara-gara
lo!!” teriaknya tepat di depan muka cewek itu.
Nia terperangah. Aldi membentaknya.
“Aldi!” Andi mulai menegur adik
kembarnya itu.
“Kalo lo nangkep bolanya, gak bakal
bikin pot ini pecah! Ini pot bikinan gue sama Fadil waktu SMP! Udah gue
jaga-jaga, malah lo yang bikin pecah!” Aldi tak menghiraukan Andi, lalu
membentak Nia lagi.
Nia pun yang sangat shock dibentak
seperti itu – karena baru pertama kalinya Aldi membentaknya dengan keras – tak
bisa berkata apa-apa. Dalam hati ia marah, sangat marah. Kenapa Aldi malah
menyalahkannya? Kalau ia tak bisa menangkapnya, siapa suruh Aldi melempar terlalu
kencang?
“Lo… ah!! Pergi lo!!” kali ini Aldi
membentaknya lebih keras.
Akhirnya mata Nia tak bisa berkompromi
dan ia menangis. Aldi sempat terperangah melihat tangis Nia karenanya, tapi ia
buru-buru masuk ke dalam. Meninggalkan Andi dan Nia berdua di halaman belakang.
“Eh… sstt… jangan nangis dong Ni… udah
gak apa-apa kok. Jangan nangis lagi ya? Dia emang suka begitu kalo lagi marah.
Maaf ya?” Andi membujuk Nia.
“Gue mau pulang…” akhirnya hanya itu
yang keluar dari mulut Nia.
“Eh, aduh. Jangan dong. Nanti nyokap
gue pasti gak ngebolehin. Jangan ya?”
“Gue mau pulang, Andi. Gue mau pulang.
Pulang.” kata Nia berulang-ulang.
Andi tak bisa berkata-kata dan
menghela napas. Ya, memang kelakuan Aldi sangat keterlaluan saat itu. Walau itu
kenangan yang dimilikinya dengan sahabatnya, tapi tak juga harus membentak Nia
begitu keras. Cewek ini pasti sangat rapuh.
Nia bergegas masuk kedalam, setelah
menghapus air matanya yang sudah bisa agak berhenti. Mengambil tasnya, dan
pamit pada seisi rumah itu kecuali Aldi.
Tentu saja, Oom Edi dan Tante Rika
bingung karena jam masih menunjukkan pukul setengah sebelas. Tante Rika sempat
menangkap ada sesuatu yang aneh karena mata Nia memerah dan terlihat habis
menangis. Beliau menatap tajam Andi yang ada di belakang Nia, tapi Andi hanya
melirik kearah lantai atas, yaitu kamarnya.
“Dianter Aldi ya? Biar gak kenapa-napa
dijalan. Tante panggilin dulu.” tawar Tante Rika.
“Eh gak usah, Tan. Biar Nia pulang
sendiri.”
“Tapi ini udah malem Ni, sama Aldi aja
ya?” Oom Edi tak menyerah.
“Nggak Oom. Nggak usah. Nia gak mau.”
Melihat kelakuan Nia yang seperti itu,
tentu saja Tante Rika langsung tanggap. Pasti Nia sedang bermasalah dengan
Aldi.
“Udah ya Oom, Tante, Andi. Nia pulang
dulu. Bye… makasih Oom, Tante.”
Nia buru-buru keluar sebelum Oom Edi
dan Tante Rika sempat berbicara lagi. Ditahannya air mata yang sudah keluar
lagi, mengingat kejadian tadi di halaman belakang.
“Pergi lo!!” kata-kata itu selalu
terngiang di telinga Nia. Karena itu ia memilih untuk pergi. Biar saja semua
acara tahun baru ini hancur.
Nia berjalan menyusuri trotoar komplek. Jarak rumah
Aldi ke rumahnya memang terhitung jauh. Dan lagi, ia harus jalan kaki karena
tak ada kendaraan umum yang lewat pada malam tahun baru seperti ini.
Ia menghapus buru-buru air matanya yang terus
mengalir. Orang-orang memperhatikannya dengan aneh, tapi ia tak peduli. Yang ia
inginkan sekarang hanya pulang.
Sementara
itu, rumah Aldi…
“Dia diapain sih?!” tanya Oom Edi bingung
pada Andi.
“Ini lho Pa. Tadi tuh kita main basket
di halaman belakang, terus si Nia gak bisa nangkep lemparan bola dari Aldi.
Akhirnya pot bikinan Aldi sama Fadil dulu pecah. Aldi langsung bentak-bentak Nia keras-keras sampe
Nia… nangis. Akhirnya dia minta pulang karena Aldi udah ngusir waktu tuh anak
ngebentak Nia.” jelas Andi panjang lebar di dekat kamarnya.
Mama, yang sedang mengetuk pintu kamar
Andi dan Aldi untuk mengajak Aldi berbicara terkejut. Sama terkejutnya dengan
Papa.
“Keterlaluan itu anak!
Berani-beraninya dia bentak anak orang sampe nangis!” Papa sudah geram. “Aldi!!
Buka gak?! Atau gak Papa dobrak nih pintu!!”
Pintu terbuka, dan Papa, Mama, serta
Andi langsung menerobos kedalam. Debat kusir sedang berjalan disini sekitar
sepuluh menit. Sampai akhirnya Mama dan Andi keluar dari kamar dan membiarkan
Papa berbicara dengan Aldi.
“Kamu anter Nia pulang, gih. Paling
dia baru sampe depan komplek lebih. Pasti dia jalan kaki! Mana gak ada bus
lewat kan
kalo malem tahun baru gini.” kata Mama.
Andi mengangguk dan masuk kembali ke
kamar, mengambil jaket dan kunci mobil. Perasaan khawatir menyergapnya. Takut
cewek itu kenapa-kenapa, karena itu ia menurut disuruh diantar pulang.
Andi langsung mengeluarkan mobil dari
garasi dan memacunya cepat. Khawatir, cemas, gelisah. Mudah-mudahan cewek itu
tidak kenapa-kenapa.
Andi hampir keluar dari komplek,
ketika dilihatnya seorang cewek memakai baju merah sedang berjalan buru-buru.
Jalan dari depan komplek sampai rumahnya memang kian jauh. Kalau dilewati
dengan jalan kaki, bisa-bisa mencapai lima
belas menit tersendiri.
“Nia! Nia!” panggil Andi pada Nia.
Nia hampir saja tidak menoleh ketika
dilihatnya sedan hitam itu. Ia ingat cerita Aldi bahwa sedan hitam itu milik
Andi, jadi pasti Andi yang akan mengantarnya pulang.
“Ayo pulang…” kata Andi, masih di
belakang setir. “Gak akan ada bus lewat. Ayo naik. Tenang, gue Andi.”
Akhirnya Nia membuka pintu mobil
dengan ragu-ragu dan naik. Sungguh, ia sudah sangat ngos-ngosan, padahal baru
dari rumah Aldi kedepan kompleknya.
“Capek ya? Dibilang juga apa. Dianter
malah gak mau. Nanti lo tahun baruan di jalan gitu? Sial amat nasib lo…”
Nia hanya diam sambil menyeka air
matanya yang lagi-lagi mengalir.
Andi menoleh sebentar, lalu kembali
memusatkan perhatian pada jalan. “Nangis mulu. Gak capek apa? Udah gak usah
dipikirin. Dia lagi ditatar sama ortu gue.”
“Ya gimana gue gak mikirin, Ndi? Gue
yang bikin rusak tuh pot. Makanya dia bentak-bentak gue.”
“Elo? Kata siapa? Wajar dong lo gak
bisa nangkep. Gue tahu kok lo masih belom jago-jago amat olah raga. Dia aja
yang gak mau disalahin, Ni.”
“Tapi, gue mesti minta maaf sama dia.”
“Jangan! Biarinin dia yang minta maaf.
Tunggu sampe dia sadar apa kesalahannya, baru dia bakalan minta maaf.”
Nia mengangguk. kali ini kesunyian
menyergap sampai ia telah sampai di rumah. Rumah tentu saja kosong dan sepi,
sangat pasti mereka semua belum pulang. Andi ikut masuk ke rumah Nia, menemani
Nia beberama menit, sampai pamit pulang lagi. Kali ini, pemikiran Andi sudah
sampai diujung batas. Ia harus mengeluarkan emosinya pada kembarnya itu. Sungguh
keterlaluan Aldi.
Saat Andi selesai memarkir mobil di
garasi, ia langsung buru-buru menuju kamar. Ingin gantian mentatar adik
kembarnya itu, setelah kedua orang tuanya.
“Heh! Tau gak lo salah, hah!?” bentak
Andi begitu sampai di kamar.
Aldi hanya diam dan melirik Andi
sebal.
“Emang lo pikir, dengan bentak-bentak
begitu bakal bikin dia takut gitu sama lo? Tau gak dia nangis sepanjang
perjalanan! Nangis diem-diem, gak bisa berhenti. Gak tau deh, paling sekarang
dia juga lagi nangis di rumahnya! Jahat lo! Pake ngusir dia segala, punya hak
apa lo? Gak punya hati! Setan!” Andi benar-benar marah kali ini.
Aldi sekali lagi hanya diam dan
menghela napas mendengar bentakan Andi.
“Lo sayang sama dia kan ? Kalo gitu ngapain lo bentak dia, Al?
hmm? Apa cuma karena sahabat, lo bisa semarah itu sama dia? Lo tau, lo salah.
Minta maaf gih, cepet. Kasian, serius deh gue. Jangan sia-siain dia.” Andi
melunak.
“Kenapa lo sampe segininya?” kali ini
Aldi bersuara.
“Karena gue peduli, Al. gue peduli
sama dia. Sakit gue liat dia nangis kayak gitu. Gue sih, gak apa-apa lo
bentak-bentak sejahat itu, tapi dia? Dia langsung nangis kejer kan , lo liat sendiri.
Minta maaf lah. Cuma itu, minta maaf.”
Aldi merebahkan dirinya di tempat
tidurnya. Lelah. Apa ia tadi begitu keras?
###
Ternyata bentakan tempo hari menimbulkan
bencana begitu dahsyat bagi Aldi. Nia sama sekali tak mau mengontaknya, bahkan
menjawab teleponnya pun tidak! Didatengin ke rumah, katanya pergi, atau gak mau
keluar karena sakit.
Benar-benar dijauhi dirinya. Astaga,
bentakan hari itu berdampak hebat! Nia mungkin shock banget. Kata Rifky
kakaknya saja, Nia benar-benar menangis sampai pagi hari itu.
Hari ini, Aldi berniat menuju ke rumah
cewek itu lagi. Niatnya satu. Meminta maaf. Hari ini juga tepat sehari sebelum
hari meninggalnya Fadil ke satu tahun.
“Nia-nya ada?” tanya Aldi pada Andre,
sepupu Nia yang waktu itu mengajak mengobrol Aldi.
“Lho, kan tadi pergi sama kamu?” tanya Andre lagi
bingung.
“He? Kapan?”
“Tadi kan jam sembilan kamu jemput pake mobil sedan
item. Dia juga mau kok ikut. Sekarang udah jam sebelas kok balik lagi kesini? Ada yang kelupaan?”
“Hah? Sedan item? Wah itu mah kembarnya aku, Mas.
Ya deh makasih yaa…”
Nia pergi dengan Andi? Ada apa ini? kemana mereka
pergi? Kenapa Nia mau pergi dengan Andi? Berbagai pertanyaan menghinggapi otak
Aldi.
Sementara
itu, di satu mal…
“Belom baikkan juga sama Aldi?” tanya Andi
sambil menyeruput es cappuccino-nya.
“Belom. Gue emang sengaja nguji
kesabaran dia dulu, hehehehe.” Nia tersenyum sambil mengaduk jus stoberinya.
Andi mengangguk pelan. Tak mengerti
jalan pikiran Nia yang sulit. Padahal, Aldi sudah sering mengunjungi Nia untuk
meminta maaf, tapi sekarang malah Nia yang tak mau memaafkan.
Sesuatu bergetar di kantung celana
jeans Andi. Ada
peesan singkat, dari Aldi.
Dmana?
Lo ngapain bawa2 Nia? Bls cepet!
Andi
tersenyum geli. Langsung dibalasnya pesan itu dengan cepat, seperti perintah
Aldi.
Gue
di mal.
Balasan
dari Andi langsung membuat Aldi menggas motornya dengan cepat. Ia tahu mal itu,
karena itu mal langganan Nia. Ingin cepat-cepat ditemuinya cewek itu dan
meminta maaf lagi.
Tak menyangka Aldi menggas terlalu
cepat, ia sudah beberapa kali hampir menabrak mobil maupun bus. Keadaan di
jalan yang padat, membuatnya sussah menyalip. Hingga tiba-tiba di perempatan…
“Ahh!!!” teriak Aldi, saat tiba-tiba
sebuah truk menabrak motornya dan ia terlempar jauh. Setelah merasakan sakit
yang teramat, semuanya terlihat gelap.
Satu jam
kemudian…
Suara dering hand phone Andi terdengar
sampai ke telinga Nia. Suaranya yang sangat nyaring, membuat Andi sempat
tersentak dan langsung mengambil hand phonenya lalu mulai berbicara.
“Halo? Hah?! Aldi kecelakaan?! Ap…
dimana? Di rumah sakit deket rumah? Oke, Andi kesana sekarang.” Seru Andi yang
membuat Nia langsung terbelalak.
“Aldi kecelakaan, ayo kita ke rumah
sakit sekarang…” kata Andi pada Nia, mukanya pucat.
Aldi kecelakaan?! Kenapa bisa?!
“Dia lagi otw nyusul kita kesini,
katanya. Terus dia ditabrak… truk. Sekarang dia lagi di UGD, darahnya keluar
banyak.” jelas Andi yang sepertinya bisa membaca pikiran Nia.
Astaga. Pasti demi meminta maaf, Aldi
nekat menyusul kesini. Ini semua karena Nia! Karena Nia lagi! Kalau saja dari
awal ia memaafkan Aldi, mungkin takkan terjadi kecelakaan seperti ini.
“Jangan nyalahin diri lo lagi. Ini
murni kecelakaan.” Andi lagi-lagi seperti bisa membaca pikiran Nia.
Nia pun hanya menghela nafas lelah dan
pasrah.
###
“Aldi? Aldi? Lo dah bangun?” suara
yang sangat akrab di telinga Aldi menyapanya saat ia baru membuka mata.
Aldi tersentak perlahan, melihat
seseorang yang ada di hadapannya. “Nia? Andi… mana?”
“Andi lagi makan di kantin rumah
sakit.” Nia tersenyum.
Aldi terdiam. ia memperhatikan
sekelilingnya. Ini rumah sakit, ia berada di ruang inap untuk dirinya sendiri.
Kepalanya serasa di perban, tangan kirinya juga di perban dan sangat sakit saat
digerakan.
“Tangan lo patah.” kata Nia memberi
tahu.
Aldi menghela napas berat.
“Nia… maaf ya…” katanya setelah
terdiam cukup lama.
Nia terperangah. Ia terdiam.
“Maaf gue bentak-bentak lo. Gue tau
kok gue waktu itu terlalu keras, sampe lo
nangis. Lo mau maafin gue kan ?”
Tangan kanannya menggenggam tangan Nia.
Nia terdiam beberapa lama, tak
menggubris tatapan penuh harap Aldi. Ia memang masih sangat sakit hati dibentak
sebegitu kasarnya, tapi…
“Oke, gue maafin.” jawab Nia akhirnya.
Aldi tersenyum bahagia. Lalu masuklah
Andi ke kamar, dan tatapan cowok itu langsung menuju kearah tangan Aldi yang
menggenggam tangan Nia. Cepat-cepat Nia menarik tangannya.
“Udah bangun lo?” tanya Andi sambil
duduk disamping Nia.
Aldi mengangguk perlahan. Kepalanya
masih terasa sakit.
“Berarti udah tujuh jam ya Ni, dia
tidur? Buset…”
Nia tertawa. “Namanya juga orang
pingsan gara-gara kecelakaan!”
Aldi menatap mereka berdua.
Sepertinya, Andi sengaja membuatnya cemburu dengan mengajak Nia tertawa. Apa
itu maksudnya? Apa… Andi tahu kalau ia menyayangi Nia dari lubuk hatinya yang
terdalam? Apa… Andi juga menyukai Nia?
###
“Aldi?” seseorang memanggil Aldi,
suara Nia.
Aldi menoleh, dilihatnya Nia yang
berlari kearahnya. Lalu tiba-tiba menubruknya dan memeluknya.
“Eh? Ni? Ap… apaan?” Aldi salah
tingkah, mengalihkan pandangannya.
Entah sejak kapan ia disini. Hijau.
Dikelilingi pohon-pohon yang besar. Lalu, dirinya memakai baju putih-putih?
Bukan cuma dirinya, tapi Nia juga.
Nia yang berada di hadapannya sedang
cengar-cengir gak jelas. Lalu, muncul seseorang lagi yang merangkul pundak Nia
dari belakang. Fadil.
“Hei.” Fadil menyapanya, ia memakai
baju putih-putih juga.
“He… hei.” Aldi balas menyapa sahabatnya
itu dengan canggung.
“Ayo. Ikut gue.”
Aldi terbelalak. Ia menutup
telinganya. Tapi ucapan Fadil terus menerus terngiang di telinganya. Terus.
Terus.
“Nggak! Nggak! Pergi lo! Pergiii!!”
Aldi berteriak. Lalu berlari dari kejaran suara Fadil yang terus menghantuinya.
Suara teriakan Aldi membangunkan Andi
dengan segera. Andi langsung melirik jam, sudah jam empat pagi. Tiba-tiba
kembarnya ini berteriak-teriak seperti orang gila.
“Aldi? Sstt… berisik tau…” seru Andi
masih setengah mengantuk.
Aldi langsung membuka matanya dengan
kaget. Napasnya tidak teratur. Keringat membasahi seluruh badannya. Dengan tak
sadar, tangannya mencengkeram ujung baju Andi.
“Apa sih lo? Udah sana tidur lagi. Jangan teriak-teriak lagi
ya! Gue mau tidur.”
Aldi mengangguk dan menyenderkan
kepalanya lagi. Sudah terdengar kalau Andi langsung tertidur begitu merebahkan
dirinya di sofa diujung.
Andi tetap tak bisa tertidur. Bukan
apa-apa. Ia cuma takut mimpi tadi terulang lagi. Suara Fadil terus terputar di
benaknya. Seperti… Fadil mengajaknya ikut ‘pulang’ kesana?
09:00…
“Morninggg!!” suara Nia yang ceria
membuat satu ruangan yang tadinya sepi menjadi ramai.
Aldi tersenyum senang, melihat Nia
datang lagi. Andi pun juga tersenyum, senyum tak terbaca.
“Hai Andi! Hai Aldi! Gue bawa apel
nih! Awas aja ya sampe gak dimakan, gue belinya mahal nih!” kalimat terakhir
ini Nia tunjukkan pada Aldi.
Aldi tertawa. Sampai-sampai bahunya
terguncang.
“Eh? Bau asem siapa nih? Siapa yang
belom mandi nih? Lo ya, Ndi? Jorok! Pulang sana ! Mandi!” Nia lagi-lagi melucu.
Andi sekarang ikut-ikutan tertawa.
“Iya. Iya. Gue pulang ya. Jagain Aldi ya, Ni. Sampe gue balik lagi.”
“Siip bos! Gaji saya naikin ya.”
“Oke-oke. Tenang aja. Bye!”
Saat Andi keluar dan bermaksud pulang,
Nia mengambil kursi dan menatap Aldi. Diperhatikannya dari ujung rambut sampai
kaki, muka anak ini.
“Kok lo pucet?” tanya Nia polos.
Aldi tersenyum. “Tau gak? Tadi gue
mimpi lho. Gue ketemu Fadil. Dia ngajak gue ikut sama dia.”
Nia terbelalak. Fadil. Hari ini, tepat
setahun setelah kepergiannya. Dan tiba-tiba, ia mendengar cerita Aldi, kalau
Fadil mengajak Aldi ikut dengannya?! “Te… terus?”
“Ya terus gue tolak. Tapi suara dia
kedengeran terus. Sampe akhirnya gue bangun deh.”
Dalam omongan Aldi, terlihat ia sangat
enteng bercerita. Seperti biasanya, sangat-sangat enteng. Tapi sebenarnya,
cowok itu sangat menderita. Disembunyikannya penderitaan itu, dengan bicara
seenteng-entengnya.
Ternyata, mendengar cerita tentang
mimpi Aldi, langsung membuat Nia diam seribu bahasa. Masa sih Fadil mengajak
Aldi ikut dengannya? Tidak. Jangan sampai. Nia tak mau kehilangan orang yang
disayanginya dua kali…
Setelah beberapa lama mengobrol
canggung, Aldi pamit tidur. Nia pun mengangguk, lalu duduk di sofa. Andi belum
kembali kemana anak itu? Terpaksa deh ia diam sementara Aldi tertidur.
Hampir sejam Aldi tertidur. Tidur
dengan gelisah, maksudnya. Tidak tidur dengan tenang seperti orang biasa.
Beberapa kali Nia – yang juga hampir tertidur – disadarkan sepenuhnya oleh
desahan gelisah Aldi. Kali ini, saat Nia merapikan selimut Aldi, cowok itu
membuka matanya yang membuat Nia terlompat kaget.
“A… Aldi? Ngagetin aja sih.” Nia
mengelus dadanya.
Aldi hanya tersenyum kecil. Kali ini
wajahnya tampak lebih pucat. Ia mengganti posisinya menjadi duduk dan menyuruh
Nia duduk di kursi samping tempat tidur. Dengan gerakan perlahan, Aldi menarik
tangan Nia dan menggenggamnya.
“Aldi? Kenapa sih?” Nia heran, tapi
tak melepaskan tangannya.
“Coba gue bisa megang nih tangan
selamanya…” Aldi memainkan jari kelingking Nia yang lebih kecil dari
kelingkingnya.
“Ap…”
“Sst. Lo diem aja. Biar gue aja yang
ngomong ya! Banyak yang mesti gue omongin sama lo.” kata Aldi, membuat Nia
bungkam.
“Makasih yah. Lo bisa temenin gue
selama setahun. selama Fadil gak ada, lo yang ada disamping gue. Makasih juga.
Buat semua waktu yang lo punya buat gue. Buat acara-acara aneh kita.” Aldi
mengelus tangan Nia.
“Maaf. Maaf banget. Selama sepanjang
tahun kemaren gue bikin lo ngambek, kecewa, marah, nangis. Maaf gue pernah
bentak lo, ninggalin lo, semua perbuatan jahat gue. Tolong maafin itu semua.
Walau mungkin sejuta maaf dari gue gak akan cukup.”
“Tau gak? Semenjak pertama kali Fadil
tunjukkin lo yang mana, sebenernya gue tertarik sama lo. Emang sih, gue gengsi
banget ngakuin gue tertarik. ada daya tarik dalem tubuh lo, yang bikin setiap
cowok naksir. Tapi karena tahu Fadil suka banget sama lo, akhirnya gue ngalah.
Gue lebih memilih judes sama lo daripada baik-baikkin lo kayak Fadil, biar
Fadil gak curiga.” Aldi menelan ludahnya.
“Terus, waktu terakhir kali Fadil
bilang tolong jagain lo, gue setuju. Awalnya emang gue nganggep lo sebagai
titipan dari sahabat gue yang udah pergi, tapi ternyata…, titipan itu malah
tambah bisa ngambil hati gue.”
“Semenjak gue liat lo pingsan, lo yang
terlalu lemah, tambah banyak keinginan gue buat ngejaga lo, lebih dari titipan.
Gue ngajarin lo olah raga ini-itu, biar lo kuat. Kalau seandainya lo gue
tinggal, lo mau sama siapa?”
“Lo pasti ngerti kan apa arti mimpi gue tadi pagi? Ya, Fadil
jemput gue. Fadil jemput gue, Nia. Biar gue bisa bareng-bareng sama dia kayak
dulu lagi. Dan gue, setuju.”
Nia mulai merasa air matanya menetes.
“Makasih sekali lagi, Nia. Buat semua
waktu lo buat gue. Gue gak nyangka, hidup gue sesingkat ini. Tapi gue bersyukur
bisa jalanin hidup gue dengan bahagia, terutama waktu gue sama lo. Gue bahagia
banget.”
Nia terisak. Kata-katanya…
“Jangan nangis.” Aldi menyeka air mata
Nia, walau ia tahu sia-sia. “Gue gak mau lo nangis. Yang kuat. Lo harus
bahagia, demi gue. Gimana pun caranya, lo harus bahagia. Tanpa gue, demi gue.
Lo bisa tanpa gue. Jangan berpikir lo ditinggal lagi buat yang kedua kalinya,
pasti bakal ada yang gantiin gue kok. Sama kayak gue gantiin Fadil, pasti bakal
ada yang gantiin gue.”
“Jangan… pergi…” hanya dua kata itulah
yang keluar dari mulut Nia sekarang. Ia takut, sangat takut.
Aldi tersenyum sekali lagi. “Gue
sayang lo…”
Tiga kata terakhir itu… tiga kata
terakhir itu… mengantar Aldi…
Tangannya yang tadi menggenggam erat
tangan Nia, longgar begitu saja. Matanya menutup dengan perlahan. Meninggalkan
Nia yang terpaku, melihat orang yang kini sangat disayanginya pergi tepat
dihadapannya.
“Aldi?! Jangan bercanda! Bangun!
Please! Lo gak boleh pergi! Bangun Aldi! Bangun!!” Nia berteriak-teriak
histeris, mencoba membangunkan Aldi yang kini terbujur kaku.
Tiba-tiba pintu terbuka, Andi! “Nia! Ada apa ini? kenapa?!”
“Panggil dokter, Ndi! Panggil dokter!”
Nia masih tak bisa menurunkan volume suaranya.
Andi gelagapan. Ia memanggil dokter,
lalu setelah dokter masuk, Andi menyeret Nia yang masih menangis untuk keluar.
Dipeluknya cewek itu yang masih menangis histeris.
“Maaf, Mas. Tapi Aldi… benturan di
kepalanya yang mengakibatkan luka dalam yang parah… membuatnya pergi… kami
sudah berusaha…” si dokter menundukkan kepalanya.
“Aah!!” teriak Andi, masih tak percaya
apa yang terjadi di hadapannya.
Nia masih menangis, sangat histeris.
Sangat berbeda dari setahun yang lalu, tepat setahun yang lalu. Saat Fadil
pergi, ia menangis dalam diam. Sekarang ia sangat histeris. Tapi perasaan
sakitnya kini lebih mendalam. Setahun bersama Aldi, memberikan banyak kenangan
yang lebih menyakitkan untuk dikenang.
Selamat jalan, Aldi… kau akan selalu
dikenang di benak Nia, atau siapapun…
###
Satu tahun
kemudian…
Nia celingukan di lapangan olah raga besar
itu, mencari sosok orang penting dalam hidupnya, yang akan menontonnya
mengikuti pertandingan ini.
Itu
dia… senyum menghiasi bibir Nia.
“Ah! Andi! Sini!” panggilnya sambil
melambaikan tangan kepada sesosok orang tinggi besar yang sedang memakai kemeja
berwarna biru tua itu.
Andi, si cowok yang dimaksud langsung
menghampiri si cewek dalam balutan kaus dan celana pendek selutut.
Hari ini, sedang dilaksanakan O2SN di
sekolah Nia yang menjadi tuan rumahnya. Berhubung, sangat berhubung ini sudah
bulan Mei dan Nia sudah selesai UAN, jadi ia bisa mengikuti pertandingan ini.
Begitu masuk semester dua di kelas sebelas kemarin, Nia masuk ke ekskul volly,
karena diantara semua olah raga ia cuma bisa dibidang itu saja.
“Baiklah, akan dimulai pertandingan
volly dari SMA Parkit melawan tuan rumah! Yeeey beri tepuk tangan!” Leo, si
maskot angkatan yang paling cerewet, yang bertugas menjadi MC langsung bertepuk
tangan.
“Semangat!” Andi mengacungkan
tangannya pada Nia, lalu duduk dibawah pohon dekat lapangan.
Nia tersenyum dan mengangguk. Semenjak
kepergian Aldi – yang menyebabkan Nia tak punya sahabat tetap – ia jadi
mengikuti segala kegiatan sekolah yang ia suka. Walau kebiasaan baca berjam-jam
di perpustakaannya tak hilang, tetap saja ia jadi aktif dalam lingkungan
sekolah. ‘Nia si bego olah raga’ dulu sudah menghilang dan digantikan dengan
‘Nia si jago volly’.
Setelah pertandingan yang berlanjut
selama lima
belas menit, sekolah Nia pun menang dengan skor 8-4. Lalu pertandingan lagi
melawan sekolah ini, itu, tapi tetap saja tim sekolah Nia-lah yang menang.
Setelah dua jam berada di sekolah dan
menguras tenaga, anggota tim volly disuruh pulang. Nia langsung menghampiri
Andi yang masih duduk di bawah pohon, yang sedang memegang air aqua dingin.
“Nih minum. Capek ya?”
“Bangetlah. Panas begitu lagi. Yuk
balik!”
“Jalan aja yuuk?”
“Kemana?”
“Udah ikut aja.”
Kali ini Andi menggandeng Nia dengan
kuat. Lalu Nia, memeluk lengan cowok yang sekarang berada di peringkat orang
nomor lima di
hidupnya. Kekasih. Semenjak kepergian Aldi, Andi lah yang menggantikan Aldi.
Kadang ada beberapa sifat Andi yang membuat Nia bernostalgia dengan kenangan bersama
Aldi. Yah, kembar memang tak selalu berbeda atau sama kan ?
“Siap buat ngebolang?” tanya Andi
sambil mendedipkan satu matanya.
“Siappp!”
Nia makin mempererat rangkulannya di
lengan cowok itu. Andi. Cowok yang sekarang sangat disayanginya. Yang takkan ia
lepas lagi untuk ketiga kali ia kehilangan. Cause, you is always be my love…
No comments:
Post a Comment