Saturday, April 6, 2013

Tidak untuk Kedua Kalinya! (Part 1)


          “Besok aku mau pindah ke Surabaya…” kata Rizky mengagetkanku.
          “Apa Ki? Ke Surabaya? Ngapain? Terus aku disini sendiri…?” tanyaku masih setengah shock.
          “Aku mau tinggal disana. Dulu sebelum aku lulus juga nyokap bokap udah bilang… maaf sebelumnya aku gak pernah bilang sama kamu…”
          “Terus sekarang gimana…”
          “Kamu mau hubungan kita masih berlanjut? Tapi kita hubungan jarak jauh… atau kamu mau hubungan kita berakhir sampai sini aja?”
          “Tapi… kamu bisa janji kamu gak duain aku?”
          “Aku janji kok…” Kiki tersenyum dan mengulurkan kelingkingnya padaku.
          Aku menatapnya. Terlihat ia berusaha tersenyum walau mukanya menampakkan ekspresi sedih. Aku pun juga ikut sedih. Tapi aku memaksakan bibir ini untuk tersenyum dan aku pun mengangguk serta membalas uluran kelingking itu.
          Rizky Adrian atau yang biasa kupanggil Kiki. Adalah kekasihku yang telah menjalin hubungan denganku selama dua tahun ini. ia adalah kakak kelasku di sekolah. Sebelumnya aku memang pernah bertemu dengannya di redaksi majalah. Dia anaknya bos tanteku yang bekerja di redaksi itu. Baru saja masuk hari kedua Masa Orientasi Siswa saat itu, pada jam pulang sekolah ia menyatakan cintanya padaku.
          Rasanya itu mimpi. Mimpi yang menjadi nyata. Kiki adalah idola di sekolah. Ganteng, tinggi, anak basket, pintar, pokoknya ia hampir mendekati sempurna. Sedangkan aku biasa-biasa saja. Kenapa ia mau denganku? Padahal banyak fansnya yang lebih cantik dariku.
          Hal itu seperti dalam cerpen-cerpen yang sering kubuat saat aku sedang bosan. Aku memang suka sekali mengarang. Aku tak tahu kenapa. Seorang kakak kelas cowok populer menjadi kekasih seorang adik kelas cupu yang biasa-biasa saja. Oh God, saat pertama kali aku menerima kenyataan kalau aku menjadi kekasihnya, itu benar-benar seperti sebuah mimpi di siang bolong.
          Makin lama, gossip itu makin tersebar luas sampai seluruh penjuru sekolah pun tahu. Berkali-kali aku dilabrak ‘Kiki-mania’. Saat pertama kali dilabrak aku sangat merasa takut. Memang aku tak pernah mengadu pada Kiki. Tapi ia selalu tau apa saja yang terjadi denganku di sekolah. Sepertinya ia punya mata-mata khusus.
          Kadang ia bertanya padaku, “Hari ini kamu udah dilabrak sama siapa aja?”
          Enteng sekali ngomongnya seakan bertanya sudah berapa kali aku makan hari ini. Kadang aku tak mau mengaku. Tapi sepertinya memang dia sudah tau siapa saja yang melabrakku. Kalau kata Ardi, sohibnya Kiki, setiap pulang sekolah para ‘Kiki-mania’ yang melabrakku diajaknya ke belakang gedung sekolah dan dimarah-marahinya mereka. Tapi hasilnya mempan juga karena aku tak pernah dilabrak lagi semenjak menginjak semester dua.
          Jarang sekali ada pertengkaran diantara kami. Sekalinya kami bertengkar atau berdebat karena perbedaan pendapat, ia yang mengalah padaku dengan sikapnya yang dewasa. Aku sudah terlalu nyaman dengannya.
          Saat ini aku sudah menginjak kelas sembilan dan ia baru saja lulus. Dan kenyatan kalau ia akan pindah ke Surabaya untuk tinggal dan SMA disana, sangat pahit. Aku sebenarnya tak bisa menerimanya. Seharusnya Kiki ada disini, disampingku. Mengajariku saat aku tak bisa. Tapi, sangat disayangkan kalau aku memutuskan hubunganku dengannya. Aku juga masih sangat menyayanginya. Terlihat ia pun begitu.
          “Jangan cemberut dong…” Kiki mengacak-ngacak rambutku saat kami sedang berjalan menuju fodd court.
          Aku tersenyum geli dan merapikan rambutku yang berantakan. “Siapa juga yang cemberut. Yuk buruan, laper nih.” Aku menggandeng tangannya.
          Tuhan, jangan perlihatkan wajah sedihku ini padanya. Aku tak mau ia tambah sedih karena diriku ini.
          “Besok mau anterin aku ke bandara nggak?” tanya Kiki saat kami baru saja duduk.
          Aku yang sedang menyeruput minuman sodaku langsung terdiam. “Emang take off nya kapan?”
          “Jam dua. Tapi paling aku berangkatnya sekitar jam 10an.”
          “Oke deh…”
          “Jangan cemberut dong… Ini kan hangout terakhir kita di Jakarta…” Kiki mengelus telapak tanganku.
          Yah benar kata Kiki, seharusnya aku senang dan jangan bersedih hari ini. “Iya Ki, aku gak sedih kok…” aku  berusaha tersenyum.
          “Gitu dong…” Kiki pun juga tersenyum padaku. “Oiya cerita kamu yang itu lanjutin dong. Penasaran aku sama endingnya.”
          “Cerita yang mana?”
          “Itu yang dua hari lalu kamu kasih liat ke aku…”
          “Oh iya… Ntar aja deh ya…”
          “Oke. Nanti jangan sampe kalo karena gak ada aku, kamu gak mau ngarang lagi ya!”
          “Uuhh… Iya deh iya…”
Esoknya…
          Aku mengikat tali sepatuku dengan kencang. Kembali aku berkaca. Aku pun tersenyum sambil menatap diriku dari atas sampai bawah. Si anak kecil… Anak kecil yang belum bisa berdiri sendiri diatas keputusan yang ia buat.
           Aku melirik foto yang kutempel diujung kanan atas kaca. Itu fotoku dengan Kiki saat kami sedang jalan-jalan ke Dufan bersama teman-teman Kiki. Saat itu ia merangkul bahuku dan mengambil foto kami dengan hapenya.
          Lalu mataku bergerak menuju pojok kiri atas kaca. Ada fotoku dan Kiki yang sedang berjalan di lapangan sekolah sambil bergandengan. Saat itu Rafli, salah satu teman Kiki yang mengambil foto itu dari samping.
          Aku menggeleng. Tidak. Aku takkan sedih.
          “Tin-tin!!” sebuah suara klakson terdengar dari bawah.
          Aku mengintip lewat jendela. Taxi yang kupesan sudah datang. Aku langsung keluar rumah. Karena tak ada siapapun di rumah kecuali aku.
          Perjalanan ke bandara terasa sangat lama. Katanya Kiki sudah sampai disana. Lalu tak beberapa lama setelah Kiki bilang ia sudah sampai disana, aku juga sampai.
          Langsung kucari sosok Kiki diantara banyak orang. Begitu mudah mencari Kiki karena tubuhnya yang sangat tinggi dan aku sangat mengenalnya entah dari depan maupun belakang.
          “Ki?” aku menepuk pundak Kiki dari belakang.
          Kiki menoleh, “Lho Feb cepet amat?”
          “Hehehe iya dong…”
          “Ya udah ayo ke ruang tunggu sama aku. Ada temen-temenku juga disana.” Kiki merangkul pundakku.
          Saat sampai disana sudah ada Rafli, Ardi, Ivan, dan lain-lain. Rata-rata anak basket yang dekat dengan Kiki.
          “Ehhh ada si pacar ikut dateng juga…” goda Rafli.
          “Apaan sih lo Fi. Godain gue mulu.” Aku mencubit lengannya.
          Rafli meringis, “Nih anak cubitannya pedes banget ya ampun!!”
          Kiki tertawa, “Yaiyalah, cewek gue gitu Fi. Lagian seberapa sakit sih cubitannya?”
          “Sakit banget demi dah!! Feb, coba dah lo cubit tuh cowok lo!” suruh Rafli padaku.
          Aku menatap Rafli dan Rafli malah menunjuk Kiki dengan dagunya. Aku menatap Kiki dan Kiki malah menaikkan lengan bajunya. “Nih cubit.” Kiki meyakinkanku.
          Aku langsung mencubit lengannya dengan pelan. Tapi ia tak bereaksi. Lama-lama aku gemas dan mencubitnya dengan kencang.
          “Aoww!!!” tiba-tiba Kiki berteriak dan refleks aku melepaskan cubitanku.
          Kiki langsung menggosok-gosok lengannya. Terlihat lengannya langsung memerah. “Yahh Febby sihhh jadi merah tuh…” Kiki mengeluh seperti anak kecil.
          Aku menatap lengannya yang benar jadi memerah. “Kasiannn…” aku menggeleng-geleng sambil tersenyum meledek.
          “Ish tuh kan.” Kiki menoyor pelan kepalaku.
          “Hehehe marahin Rafli dong! Kan dia yang nyuruh aku nyubit kamu tau!”
          “Tau Rafli! Woooo!!” sorak Ardi.
          Kami bercanda-canda sampai akhirnya tiba waktuya pesawat Kiki untuk take off.
          “Eh udah ya guys. Waktunya gue berangkat nih…” kata Kiki pada teman-temannya.
          “Yaaahhh gak ketemu Kiki lagi deh…” celetuk Sandi.
          Kiki tertawa dan ia memeluk sekilas teman-temannya satu persatu. Kini Kiki berdiri di hadapanku. Ia menatapku begitu lama. Terlihat sorot kesedihan yang terpancar dari matanya itu.
          Kumohon jangan menatapku seperti itu… Rasanya aku jadi semakin berat untuk berpisah denganmu. Lalu ia memelukku dengan sangat erat. Kemudian ia menatapku lagi dan menepuk pundakku.
          “Goodbye…” katanya begitu pelan, lalu ia melambaikan tangannya dan menyusul orang tuanya.
          Aku masih terdiam sambil menatap tubuhnya yang hilang masuk kedalam suatu ruangan. Lalu Ardi menepuk punggungku juga dengan pelan.
          “Ayo pulang. Lo bareng kita aja…”
          Aku mengikuti Ardi yang menggandeng tanganku. Menggandengku seperti menggandeng adiknya. Ya aku tau kalau Ardi menganggapku sebagai adik. Kami menuju parkiran mobil. Ternyata mereka kesini membawa mobil. Dasar anak-anak basket nekat. Belum juga punya SIM nekat bawa mobil. Aku duduk didepan disamping Rafli yang menyetir.
          Di perjalanan aku lebih banyak diam daripada bercanda seperti biasanya. Ardi dan Rafli yang lebih banyak mengajakku berbicara. Tapi entahlah, rasanya aku tak berniat berbicara. Mungkin masih terbawa perasaan sedih. Sebenarnya tadi di bandara aku hampir saja menangis tapi kutahan air mataku agar tak keluar dari mata ini.
          “Feb? jangan galau dong…” kata Rafli mencoba bercanda.
          Aku hanya melengos dan memutar bola mataku.
          “Yaelah Feb, ada kita ini. Anggep aja kita penggantinya Kiki…” kata Ardi yang duduk di belakangku.
          Tidak. Kiki dan kalian berbeda. Aku hanya menginginkan Kiki. Aku masih terdiam. Rafli, ardi, dan yang lainnya menyerah.
          “Dah sampe…” Rafli memberhentikan mobilnya tepat di depan komplekku.
          “Makasih…” ucapku sambil membuka pintu dan turun.
          “Yoa sama-sama. Jangan galau lho!” pesan Rafli.
          Aku hanya tersenyum tipis dan menutup pintu mobil. Aku berjalan menuju rumahku yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari sini. Aku ingin cepat-cepat sampai rumah.
          Begitu sampai di rumah, aku langsung masuk ke kamarku. Rumah masih kosong. Belum ada yang pulang dari acara mereka. Saat membuka pintu kamar yang kulihar pertama kali adalah kaca yang terdapat foto-fotoku dengan kiki yang kupajang diujung kaca. Aku pun menangis. Mengeluarkan perasaanku disini, di ruang pribadiku.
          Aku menatap foto Kiki yang sedang bermain basket yang kupajang di meja belajarku. Biasanya dia jadi penyemangatku saat aku sedang belajar. Aku… Ah, jangan menangis! Pasti Kiki akan kembali kan kesini?
          Setahun kemudian…
          Aku berjalan menuju kantor redaksi majalah tempat Tanteku bekerja saat ini. kini aku memang lebih berani mengirim ceritaku ke redaksi majalah itu. Saat aku sedang masuk ke dalam lift yg sepi tiba-tiba tangan seseorang menahan lift itu dan akhirnya lift itu terbuka lagi. Terlihat seorang anak lelaki yang memakai baju seragam sekolah smp sedang masuk. Ia tersenyum basa-basi padaku.
          Saat dilantai 4 ia turun dan tersenyum lagi padaku. Aku pun membalas senyumnya. Lalu pintu lift tertutup lagi dan menuju ke lantai 5. aku pun turun di sana. Menuju ke ruangan tanteku sambil tersenyum.
          “Haiii Tante cantik… Makin tua aja deh… Hahahaha!” candaku.
          “Ehh si ponakan imut dateng nih… Biar makin tua yang penting cantik. Ya gak? Kamu bawa apa lagi Feb?”
          “Ini nih! Karangan aku lho…”
          Tanteku pun langsung tersenyum dan mengangguk. “Okey nanti ini Tante edit terus di masukkin majalah kalo bagus ya. Oh iya! Kamu udah selesai ujian kan Feb?”
          “Iya dong tante… Ini aku baru pulang abis lulus-lulusan.”
          “Hayo coret-coret seragam tuh pasti ya…”
          “Hehehe iya ini seragamnya aja kutaro tas. Udah dulu ya Tan! Febby mau pulang nih mau mandi. Gerah.”
          “Oke. Salam buat Mama Papa ya Feb. kamu pulang naik apa?”
          “Naik bus lah masa naik getek?”
          “Ooh hati-hati lho! Nih duit ongkos!” Aku diberi uang sebesar dua puluh ribu rupiah.
          “Makasih Tante cantiikk…! Dadah!”
          Aku pun keluar dan menuju lift untuk turun. Saat sampai di lantai empat, pintu lift terbuka. Ternyata anak yang tadi di lift saat aku naik. Ia tersenyum lagi padaku dan berdiri disampingku.
          “Hei?” sapanya sambil tersenyum.
          “Oh hei…” aku pun balas menyapanya.
          “Na-“ belum sempat anak itu berbicara, sesuatu berbunyi.
          Kringgg… Kringgg…
          Aku pun merasa tasku bergetar. Sepertinya handphoneku yang berbunyi. “Sebentar…” kataku.
          Kikikuuung calling…
          Aku menatap layar handphoneku dengan tak percaya. Kiki meneleponku. Buru-buru aku mengangkatnya.
          “Halo Feb?” terdengar suara Kiki.
          “Iya ki?” jawabku perlahan, begitu tak percayanya aku. Karena akhir-akhir ini Kiki jarang menghubungiku.
          “Kamu apa kabar?”
          “Baik-baik aja. Kamu?”
          “Sama aku juga. Aku besok mau take off ke Jakarta nih.”
          “Hah?! Serius Ki?!”
          “Iya serius. Besok kita hangout bareng ya. Tunggu aku di mall yang biasa kita kesana itu.”
          “Iya okeee…” aku tersenyum.
          “Iya udah dulu ya. Aku mau beres-beres. Bye!”
          “Oke bye!”
          Aku pun tersenyum lagi pada cowok di sampingku. Lalu pintu lift terbuka di lantai dasar dan aku keluar dari situ. “Duluan ya!” ucapku basa-basi lalu melangkah menuju pintu keluar.
          Esoknya…
          Aku melirik jam tanganku. Sudah jam 5 sore. Pasti Kiki sudah sampai di bandara sekarang. Aku menunggu dengan sabar. Ia membatalkan acara di mall dan menyuruhku menunggu di rumah sampai ia menjemputku.
          Hari ini tepat dimana hari hubunganku dan Kiki berusia 3 tahun. kiki bilang ia akan mengajakku ketempat yang istimewa.
          Aku duduk di tempat tidurku dengan gelisah, kadang aku berguling-gulingan dan menatap hapeku. Sekarang sudah jam 6 sore. Padahal tadi Kiki bilang jam 05:15 sore tadi kalau ia sudah sampai di bandara dan baru saja menginjakkan kaki kedalam taksi. Aku tak sengaja menyenggol fotoku yang kutaruh di meja, bingkainya pecah karena terjatuh. Aku memungut serpihan kaca itu serta yang lainnya. Padahal ada karpet dibawah, kenapa bingkainya sampai pecah?
Tak beberapa lama ada yang mengetuk pintu rumahku. Cuma ada aku di rumah, jadi aku langsung keluar kamar dan menuju pintu. Terlihat Ardi dan Rafli yang berdiri di depan pintu. Aku membukakan pintu untuk mereka.
Saat aku melihat kedua anak ini, rasanya ada yang aneh. Karena mereka berdua sama-sama pucat dan mata mereka sembap.
Mereka kupersilahkan duduk di sofa ruang tamu dan tanpa ucapan mereka duduk.
Ada apa Fi? Di?” tanyaku bingung, karena mereka tiba-tiba sekali datang kesini dan keadaan mereka sangat berbeda dari sebelumnya.
“Ehm… gini Feb… A… Itu…” Rafli berbicara dengan terbata-bata.
Ada apa sih?”
“Tapi gue mohon… Lo jangan nangis ya…” kata Ardi menegang.
“Hei? Kalian ini kenapa?”
“Kiki, Feb…” Rafli memulai pembicaraan serius ini.
“Kiki kenapa!?” suaraku mulai melengking.
“Kiki… Kiki meninggal Feb…” kata Ardi tercekat.
Aku menatap mereka berdua dan menggeleng lalu aku tersenyum tipis, “Kalian jangan bohong. Gue tau ini salah satu lelucon kalian. Ya kan?”
“Nggak feb! gue serius! Kiki udah nggak ada! Gue mohon kali ini aja percaya sama gue dan Rafli!” Ardi menekankan dan menatapku dalam-dalam.
Aku menggeleng. Air mataku menetes satu persatu sampai akhirnya keluar dengan deras. Sesak rasanya dada ini. aku jadi sulit bernapas. Tangisku pun jadi keluar tanpa suara.
“Tapi Kiki gak mungkin ninggalin gue sendiri Di!! Kiki gak jahat!! Kiki udah janji bakalan ninggalin gue sendirian!!” aku berteriak.
Ardi berinisiatif memelukku. “Sst… Jangan teriak Feb… Itu malah bikin keadaan dan perasaan lo jadi tambah buruk…”
Aku memukul-mukul Ardi dan meronta. Tapi aku juga menangis dalam pelukannya. Rasanya aku tak kuat menerima semua ini.
“Tadi gue dapet kabar kalo Kiki kecelakaan. Taksi yang dia naikkin ditabrak bus yang remnya blong. Supirnya cuma luka di bagian kepala dan tangannya. Tapi Kiki…”
Dasar bus bodoh!!!! Umpatku kesal. Aku melepaskan pelukan Ardi dan berlari menuju kamarku. Kuambil bingkai foto yang tadi kacanya pecah. Jadi itu pertanda kalau Kiki akan pergi?
Aku melempar bingkai itu dan memberantakkan semua isi kamarku. Perasaanku campur aduk. Antara marah, sedih, sesak, kecewa…
Ardi dan Rafli melihat dari pintu kamarku dengan prihatin. Dari tatapan mereka, mereka seakan mengerti apa yang kurasakan saat ini.
Aku menangis, menangis, dan menangis lagi. Itu semua hanya karena satu hal, Kiki.
Bahkan aku pun menangis lagi saat pemakaman Kiki. Beberapa Kiki-mania yang melabrakku dulu pun malah tersenyum padaku dan bilang “Sabar ya. Mungkin ini cobaanbuat lo…” Aku pun sempat lama menatap nisan orang yang sangat kucintai ini.
Ardi dan Rafli yang mengajakku pulang. Perjalanan pulang terasa sangat sepi. Aku terus menatap keluar jendela mobil dan menghela napas. Mencoba menjernihkan pikiranku, mencoba melakukan apa saja. Asal aku jangan teringat Kiki… Karena tiap kali aku mengingatnya rasanya hati dan perasaan ini sesak lagi.

                                                ****

Musim sekolah pun sudah dimulai lagi semenjak libur yang terasa sangat-sangat-sangat lama. Aku masuk SMA favorit di Jakarta. SMA impianku dan Kiki. Sayang, Kiki malah masuk SMA di Surabaya…
Aku menatap gedung sekolah ini begitu lama. Lalu menghela napas dan melangkahkan kaki ke dalam lapangan sekolah itu. Aku mencari namaku di daftar anak baru kelas sepuluh setelah mencari cukup lama, ternyata aku masuk kelas X-E. aku langsung saja naik ke lantai dua, kawasan kelas sepuluh dan kelas sebelas jurusan ips. Begitu susah mencari kelas X-E karena banyak sekali orang-orang disana. Karena tak memperhatikan jalan, aku pun menabrak seseorang. Terlihat ia kelas sebelas yang tertulis di dasinya.
“Oh sorry!” katanya.
“Iya. Ehm… Maap kak, kelas X-E dimana?”
“Ohh nanti lo lurus aja, belok kanan abis itu kelasnya paling pojok ya.”
“Makasih ya kak!”
“Sama-sama!”
Aku pun berjalan sesuai petunjuk kakak kelas tadi. Dan ternyata benar aku akhirnya sampai di kelasku. Aku masuk dengan ragu-ragu. Masih tersisa banyak bangku kosong. Aku pun memilih bangku yang berada di tengah-tengah yang berada di pojok kelas.
Rasanya sepi tak mengenal siapapun. Lalu ada seorang anak perempuan yang menghampiriku dan duduk di sebelahku. Cewek yang sangat manis.
“Hai. Nama lo siapa?”
“Eh hai… Nama gue Febby. Lo?”
“Nama lo bagus… Gue Dinda. Salam kenal ya!” Dinda mengulurkan tangannya dan tersenyum ceria.
Aku pun membalas uluran tangannya itu.
Tak beberapa lama bel berbunyi dan seorang guru perempuan berkacamata yang kurus masuk ke kelas ku. Nama guru itu Bu Ina wali kelas X-E. baru beberapa saat ia berbicara lalu ia memerintahkan semua untuk berkumpul di depan kelas sambil membawa tas. Ternyata ia ingin memindahkan tempat duduk. Aku jadi duduk di depan didekat pintu. Dinda jadi duduk di pojok belakang sana. Dinda duduk dengan anak cowok yang berkacamata besar lalu ekspresinya menunjukkan kalau ia bete duduk di sebelah anak itu. Aku pun tersenyum geli.
Lalu tak beberapa lama ada seorang anak cowok yang duduk di bangku sampingku. Tunggu, sepertinya aku mengenal anak ini. setelah aku memperhatikan dengan seksama, ternyata ia itu anak yang satu lift denganku sewaktu di kantor Tanteku.
“Hei…?” sapaku.
Cowok itu menoleh dan sepertinya ia kaget melihatku. “Eh elo kan yang di lift waktu itu…”
Aku tersenyum, rupanya ia mengingatku. “Ya… Nama lo siapa?”
“Daffa. Lo?”
“Gue Febby…”
Daffa tersenyum juga dan mengangguk.
Semenjak saat itu aku menjadi bersahabat dengan Daffa. Kemana-mana selalu dengan Daffa. Dinda yang tadinya bete dengan Robby anak berkacamata besar itu akhirnya jadian juga.
“Feb lo dah tau belom cowok paling populer disini?” tanya Daffa saat dikantin sambil menyikutku yang sedang melahap nasi goreng.
“Nggak tuh.” jawabku cuek, toh aku tak peduli lagi dengan cowok populer. Membuatku makin mengingat Kiki saja.
“Tuh liat dah yang lagi mesen mie tuh!”
Aku melirik kearah Mas Min penjual mie di kantin. Dan lirikanku pindah ke seorang anak lelaki yang sedang memegang mangkok mie. “Oh itu.” Aku kembali menyuap nasi kedalam mulutku.
“Ih cuek banget dah lo. Biasanya cewek-cewek teriak-teriak kalo ada dia. Kok lo malah cuek banget dah?”
“Ya biarin, toh gue gak suka liatnya, bosen.”
Daffa menatapku penuh tanda tanya. Aku pun masih cuek saja. Sebenarnya, anak cowok yang dibilang populer itu kakak kelas yang menabrakku sewaktu pertama kali sekolah dan juga yang menunjukkan dimana kelasku. Memang sih dia ganteng. Tapi aku tak tertarik. Beda dengan dulu sewaktu SMP.
“Feb? lo ngapa sih?” tanya Daffa.
“Gak pa-pa.”
“Kok lo kayaknya risih banget dah waktu gue sebut tentang Kak Firman?”
“Gak pa-pa cuma bete aja liat cowok populer. Sok ganteng.” Aku bersikap cuek. Padahal kata-kata yang keluar dari bibir ini seakan mencekikku.
“Ohh gitu. Kalo kayak gue gini ganteng kan?”
“Iya lo mah ganteng Daf. Diliat dari sedotan mampet! Hahahahaha!!”
Daffa pun pura-pura ngambek padaku. Aku malah semakin geli dan semakin pingin ketawa. “Yahh Daffa jangan ngambek dong…”
“Bodo…”
“Yah yaudah…” Aku pura-pura ikut ngambek dan berjalan keluar kantin.
“Eh tunggu dong Feb!”
Aku tersenyum geli dan menoleh ke belakang. Terlihat Daffa yang sedang menunduk sambil memegang dompet berwarna putih. Aku langsung meraba tas ku dan menyadari kalau itu dompetku.
“Daf!” Aku mengambil dompetku dari tangan Daffa.
“Eh sorry Feb…”
“Iya gak pa-pa Daf.”
“Cowok itu siapa? Kok sama kayak yang di hape lo?”
“Lo pengen banget tau ya?”
“Banget…”
Aku menghela napas, “Yok ke perpustakaan…”
Kami berdua berjalan ke perpustakaan. Dibalik novel aku bercerita. Dari awal aku mengenal Kiki, dilabrak para fansnya, dan perjalanan cintaku bersamanya selama dua tahun. saat ia bilang ia akan pergi ke Surabaya, saat aku melepasnya di bandara. Sampai hubungan kami pun bisa bertahan menjadi tiga tahun. dan… disaat ia akan menemuiku saat hubungan kami berusia tiga tahun, di tengah perjalanan, ia meninggalkanku selamanya…
Tanpa sadar semakin bercerita suaraku semakin pelan, air mata juga menetes dari mataku. Daffa yang mendengar pun malah ikut berkaca-kaca.
“Gue terlalu cinta sama dia, gue gak rela dia pergi ninggalin gue. Bayangin coba Daf? Lo punya pacar udah tiga tahun hubungannya, pas anniversary yang ke tiga tahun pacar lo itu meninggal? Nyesek kan? Itu lah gue Daf. Makanya waktu tadi lo kasih tau tentang Kak Firman, gue langsung keinget Kiki. Itu sebabnya gue cuek banget. Gue gak mau Kak Firman kayak Kiki bisa ngeluluhin hati gue. Karena gue takut kejadian itu keulang dua kali…” bisikku.
Daffa mengangguk seakan mengerti. Aku mengehembuskan napas dan menghapus air mataku, lalu berdiri dan menaruh novel yang tadi aku pegang ke raknya.
“Yok pulang…” ajakku sambil mengatur napas.
“Ayo.”
                                                ***

“Feb…” terdengar suara seseorang memanggilku dari belakang.
Aku menoleh, lalu akupun langsung terpaku. Itu Kiki. Ia tersenyum padaku. Ia memakai baju putih polos yang terang. “Kiki…” tanpa sadar air mataku menetes.
“Jangan menangis…” Kiki menggeleng sambil menatapku dengan sorot matanya yang sedih. Lalu sosoknya memudar secara perlahan.
“Kikiiii!!!”
DUBRAK!!
“Aww…” aku memegang kepalaku yang nyut-nyutan karena terjatuh dari tempat tidur. Ternyata itu cuma mimpi…
Aku melihat jam didinding di kamarku. Sudah jam lima sore. Saatnya aku mandi. Seragam masih lengkap terpasang pada tubuhku. Tadi sepulang sekolah aku sangat ngantuk dan memutuskan untuk tidur.
Selesai mandi aku keluar dari kamar. Nita adikku yang berumur 13 tahun sedang duduk di sofa ruang tamu sambil memainkan laptop. Aku menuju dapur untuk mengambil air dingin.
“Kak tadi kenapa teriak-teriak?” tanya Nita saat aku sedang minum.
“Hah? Kapan?” tanyaku balik.
“Tadi di kamar, barusan kok.”
Aku hanya mengangkat bahu. Mungkin aku mengigau? Entahlah…
“FEBBY!!!” tiba-tiba seseorang memanggil namaku.
Nita melongok lewat jendela dan langsung histeris, “Kak!! Siapa tuh kak?! Ganteng banget!!”
“Hah ganteng?” Aku bingung dan langsung keluar dari dalam. Terlihat Kak Firman yang sedang naik motor tersenyum padaku.
“Kak Firman?!” aku sangat terkejut. Tentu saja, lagipula darimana Kak Firman si populer itu tau nama dan alamat rumahku?
“Jalan-jalan yuk!”
Aku semakin bingung, “Jalan-jalan?!”
“Bingung ya? Udah ayo, ntar gue jelasin dah di jalan! Ayo ikut!”
Nada Kak Firman seperti memerintah membuatku patuh, aku langsung melongok kedalam rumah, “Nit, gue pergi dulu ya! Hati-hati lo sendirian.”
“Iya dah! Bye selamat jalan-jalan!” ledeknya.
Aku hanya memutar bola mataku dan keluar dari rumah, “Kita mau kemana?” tanyaku padanya.
“Ayolah, gak usah banyak bawel. Naik aja!” suruhnya.
Aku langsung naik walau dalam hati aku sedikit kesal karena ia suka menyuruh-nyuruh. Mentang-mentang populer, berbuat seenaknya!
Kak Firman membawaku ke sebuah restoran tempat makan, aku pun tambah bingung.
“Yah Kak aku gak bawa uang…” ucapku.
“Ya gue yang bayarin.” sahutnya enteng.
“Ah nggak usah deh! Aku pulang aja!”
“Mau pulang? Silahkan deh. Kayak lo tau jalan aja. Jauh lho dari sini ke rumah lo!” kali ini nadanya berubah menjadi ketus.
Aku langsung merengut kesal dan mengikutinya berjalan, setelah memilih tempat duduk ia langsung menyodorkan daftar menunya kepadaku.
“Tuh pilih lo mau mesen apaan.” katanya.
Aku membaca daftar menunya, wih mahal-mahal semua lagi! Nanti aku ganti pake apa nih uang Kak Firman.
“Errr… Aku milkshake stoberi aja deh.” Aku menyodorkan daftar menunya pada Kak Firman.
“Terus lo gak makan?” tanyanya sambil membaca.
“Nggak usah, tadi di rumah aku udah makan.” jawabku, tentu saja berbohong.
“Yahh jangan bohong deh sama gue De! Keliatan lo tuh belom makan.”
Aku terkejut, ih ini orang tau aja deh!
“Yaudah gue yang pesenin aja deh makanan lo. Gue tau lo suka semua makanan, orang rakus begitu kok. Di kantin aja waktu itu gue liat lo makan nasi goreng abis gak sampe lima menit.” katanya datar, setengah mengejek.
Ya Tuhan ini orang!! Ganteng-ganteng kok nyebelinnya selangit sih!?
“Yan! Yan!” panggil Kak Firman pada satu pelayan cowok yang berdiri di dekat kasir.
Ini orang enak banget sih manggil pelayan pake “Yan”?! seenggaknya “Mas” kek gitu?
Pelayan itu mendekat dan tersenyum pada Kak Firman. Terlihat pada tanda pengenalnya kalau Pelayan itu bernama Iyan, jadi pantas saja Kak Firman memanggil “Yan”.
Ada apa Tuan Firman?” tanya pelayan itu.
Hah?! Tuan?! Aku langsung tersenyum geli mendengar panggilan itu. Kak Firman yang melihat ekspresiku langsung memasang tampang bete.
“Restoran ini milik keluarga gue…” jelas Kak Firman sama sekali tak bermaksud pamer.
“Ohh gitu… Ngomong-ngomong kakak ngapain bawa aku kesini? Terus kenapa tau nama sama alamatku? Aku kan gak populer dan gak kenal kakak sama sekali?” tanyaku bertubi-tubi.
Sebelum Kak Firman menjawab, minuman yang kami pesan datang duluan dan ia meneguk jusnya.
“Bisa gak jangan ngomong aku-kamu? Gue gak sreg dengernya. Woles aja ya sama gue!” pinta Kak Firman terlebih dahulu.
“Eh… Iya deh…”
Lalu Kak Firman membuka tasnya dan mengambil sebuah kamus besar, “Nih! Punya lo! Ketinggalan di perpustakaan tadi.”
Aku mengingat-ngingat. Iya, tadi kan aku bawa kamus. Pantas sewaktu pulang aku merasa ada yang kulupakan, ternyata kamusku.
“Gue dapet nama dan alamat lo dari situ. Lo sendiri kan yang nulis?” kata Kak Firman lagi.
“Eh iya makasih Kak!”
Kak Firman mengangguk. lalu makanan datang. Ia memesankanku spaghetti, memang sih tak membuat terlalu kenyang. Tapi aku tak nafsu makan sekarang, jadi aku hanya mengaduk-ngaduk sisanya yang kurang lebih masihsetengah piring.
Sedangkan Firman sendiri – sengaja aku memanggilnya Firman sekarang karena gak enak aja pakai embel-embelan Kak – memakan burger yang berukuran sangat besar. Mungkin sebesar wajahnya yang menyebalkan itu.
Selesai makan, Firman mengantarku pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat saat aku sudah sampai di depan rumah.
“Makasih ya.” kataku dan tersenyum padanya.
Terlihat ia sedikit terperangah dan terdiam sesaat, aku pun berjalan membuka pagar rumahku.
“Eh Feb!” panggil Firman.
“Ya?”
“Mulai besok lo pulang pergi sekolah gue anter-jemput! Tiap istirahat, lo mesti ikut sama gue! Boleh bawa temen lo juga kok si siapa tuh yang cowok! Oke?”
Aku melotot, “Anter jemput?! Istirahat sama lo?! Di gosipin iya kali gue! Dilabrak juga! Lo gak mikirin nasib gue apa? Biar ada Daffa juga bisa aja kan gue dilabrak para Firmans?!”
“Kalo lo diapa-apain, bilang gue!” kata Firman. Kata-katanya yang sekarang sangat mirip dengan kata Kiki sewaktu aku khawatir akan dilabrak saat pertama kali jadian.
Firman menatapku yang sedang termenung karena mengingat Kiki lagi. “Eh! Jangan bengong! Dah sana masuk! Gue mau pulang. Inget besok gue anter jemput ya!” katanya.
Aku hanya mengangguk dan ia menggas motornya dan pergi. Aku masuk rumah dengan lesu. Ah… Kenapa di SMA sekarang aku juga dekat dengan cowok populer? Rasanya sudah cukup aku dibenci semua perempuan sewaktu SMP, apa sekarang harus terulang juga? Tapi itu bukan apa-apa. Aku hanya takut, takut Firman akan meluluhkan hatiku. Dan aku juga takut, kejadian itu terulang lagi…

                                                ***

Aku bangun cepat hari ini, sengaja biar Kak Firman tak menjemputku dan aku bisa sarapan bersama keluargaku. Biasanya saat aku bangun tidur jam 5, kedua orang tuaku sudah berangkat kerja. Kini, aku bangun jam setengah 5 pagi.
Sekarang sudah jam lima kurang dan aku sedang berada di meja makan dengan Mama dan Papa. Suasana makan terasa canggung, karena sangat jarang kami makan bersama.
Papa berdehem dan memulai pembicaraan, “Gimana sekolah kamu Feb?”
“Ya gitu… Lancar-lancar aja…” jawabku sambil meneguk susuku.
“Nggak deket lagi sama cowok populer?” Mama mencoba bercanda.
Aku hanya tersenyum dan menggeleng. Belum tentu juga kan aku akan dekat dengan Firman sedekat aku dengan Kiki?
“Papa sama Mama sendiri gimana sama kerjanya?” tanyaku basa-basi.
“Ya gitu deh… Masih dinas sana-sini, lembur. Pokoknya ngecapekin deh…” jawab Papa.
“Semangat!!” aku mengayunkan tangan kananku seperti di film-film.
“Feb, maaf ya Mama sama Papa jarang ketemu kamu sama Nita. Kita bukan cuma mentingin pekerjaan, tapi itu semua buat kamu sama Nita kok. Oke?” kata Mama sambil memandangku dengan sorot matanya yang lembut. Aku terperangah, sudah beberapa lama Mama tak pernah memandangku seperti ini.
Lalu setelah kami menghabiskan sarapan, Mama dan Papa siap-siap berangkat. Aku pun juga mengambil tas dan memakai sepatu.
“Kamu mau bareng kita Feb?” tanya Papa yang sedang membuka garasi.
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba terdengar bunyi klakson motor dari depan rumah. Seseorang dengan motor matic biru dan seragam SMA serta helm hitam sedang menungguku. Orang itu yang tak lain adalah Firman membuka kaca helmnya dan tersenyum padaku.
Uh… Kenapa harus datang sekarang sih? Ia turun dari motor dan masuk kedalam rumahku.
“Tante, Oom.” Ia menyalami Mama dan Papa sambil tersenyum sok manis.
“Siapa nih Feb? pacar baru ya…” ledek Mama.
“IIhh Mama! Bukan! Dia kakak kelas.”
“Siapa namanya?” tanya Papa pada Firman.
“Firman Anugrah Oom…”
Oh jadi itu nama panjang Firman? Huh jelek!
“Pacarnya Febby ya…” ledek Papa lagi.
Firman hanya tersenyum malu-malu sedangkan aku memandangnya dengan tampang sewot.
“Yuk berangkat.” ajak Firman.
“Gak mau! Gue bareng nyokap bokap gue aja!”
“Eh… jangangitu dong Feb. udah capek-capek dijemput tuh…” kata Mama membela Firman.
“Iya deh!” aku menghentakkan kakiku dan mengikuti Firman berjalan.
“Dah siap?” tanyanya saat aku baru naik.
“Ya!”
“Duluan ya Tante, Oom…” kata Firman, lalu ia menggas motornya dan pergi.
“Lo kenapa jemput gue pagi-pagi buta gitu sih?” tanyaku sewot.
“Biar lo gak kabur dengan berangkat lebih cepet. Firasat gue lo bakalan kabur.”
Aku merengut kesal. Huh rasanya aku ingin turun dari motor ini!
Tak terasa kami sampai di parkiran sekolah. Seluruh pasang mata tertuju pada kami. Firman terlihat cuek saja. Ya tentulah! Ia sudah biasa seperti ini! aku juga sebenarnya sudah biasa, tapi kan tetap saja aku risih. Sebentar lagi pasti aku dibenci semua perempuan disini.
Langsung terdengar bisik-bisik yang menusuk hati. Bahkan ada anak cewek di lantai tiga yang berteriak. “FIRMAN PUNYA GEBETAN BARU!!”
Firman menarik tanganku dan menggandengku. Aku berontak, berusaha melepaskan genggamannya.
“Lepasin!”
“Nggak.”
“Lo jahat ih! Bikin gue dibenci semua cewek di sekolah!”
“Terus apa urusannya sama gue?”
Aku shock. Ya ampun ini orang judes banget! Aku berontak lagi kali ini tanpa bicara, dan akhirnya tanganku segera lepas dari cekalannya yang kuat. Akhirnya aku kabur ke kelas.
Selama di tangga aku terus dilihati dengan pandangan dingin semua cewek, bahkan ada yang menyindirku. “Firman mau sama dia? Ih mending sama gue sih daripada cewek kampungan kayak dia!”
Di kelas pun aku jadi bahan omongan. Nggak yang cewek, nggak yang cowok. Aku pun hanya diam saja sambil melamun.
Tak beberapa lama Daffa datang dan melihat ekspresiku yang memelas. Refleks ia bertanya, “Ada apa Feb?”
Aku menghembuskan napas dengan berat. Lalu menceritakan semuanya pada Daffa. Daffa pun melotot tak percaya.
“Pantes lo dijadiin bahan omongan. Tadi aja gue denger cewek-cewek pada ngomongin Febby, Kak Firman. Bahkan gue pun juga disindir Feb!” kata Daffa.
“Haha! Disindir gimana lo?”
“Gini ‘Ih sahabatnya cewek centil lewat. Mau aja ya sahabatan sama Febby’ digituin gue!”
“Sabar! Tapi Daf, lo masih mau kan sahabatan sama gue…?” tanyaku ragu-ragu.
“Ya iyalah! Gue kan setia! Hahaha!”
Aku tersenyum, lalu bel pelajaran dimulai dan aku segera menyiapkan bukuku.

                                                ***

“Gue gak ada hubungan apa-apa sama dia.” Aku menegaskan.
“Bohong! Tadi aja lo gandengan kan berdua! Gak usah munafik deh!” ujar Nadia. Teman-teman satu gengnya mengiyakan.
Nadia si cewek populer sedang melabrakku bersama teman-teman gengnya. Kebetulan sekarang sudah jam istirahat. Biasanya cuma beberapa yang masih tinggal di kelas. Saat ini aku sedang dipojokkan oleh Nadia and the geng. Sedangkan Daffa memperhatikanku dengan prihatin. Ia sedang dipegangi oleh dua teman Nadia supaya tak menolongku.
“Gak bisa ngomong kan lo?! Jauhin Firman! Dia punya gue!” peringat Nadia.
Emosiku naik ke kepala dan aku pun membentaknya, “Dia deket sama siapapun juga terserah dia kali! Lo punya hak apa ngatur-ngatur dia!? Kalo dia temenan sama gue, masalah gitu buat lo?! Dasar egois. Udah ditolak masih aja pengen milikkin dia. Ih gue sih malu jadi lo! Mau ditaro mana nih muka!? Hah?”
“Berani lo ya!!” Nadia menamparku dan membuat semua orang yang menonton – entah diluar kelas maupun yang didalam kelas – langsung terdiam.
“Feb!!” Daffa mencoba menghampiriku tapi keburu dicegah kedua teman Nadia.
Aku memegang ujung bibirku, berdarah. Rasanya sangat-sangat sakit. Aku pun memalingkan muka.
“NADIA!!!” terdengar suara Firman dari pintu kelas.
Nadia langsung menoleh dan shock karena Firman menghampirinya dengan tatapan amarah. “Lo apain dia!?” bentak Firman.
“Ng… Nggak gue apa-apain Fir…” kata Nadia berbohong.
Firman menarikku mendekat kearahnya, “Nggak lo apa-apain!? Ini apa maksudnya?” Firman menunjuk ujung bibirku yang berdarah.
Nadia langsung tak bisa bicara, anak-anak satu gengnya berdiri di belakangnya dengan tampang takut-takut. Daffa menghampiriku dan memandangku dengan khawatir.
“Lo nggak apa-apa?” tanya Daffa yang langsung membuat Firman menoleh.
“Gak pa-pa…” jawabku pelan. Aku masih sangat shock, sebanyak apapun aku dilabrak, aku tak pernah ditampar sebelumnya…
“Lo pikir dia lebih baik dari gue?! Dia tuh kampungan! Mending lo pilih gue aja! Apa sih kelebihan dia?! Gue punya segalanya, gue sempurna!” Nadia mulai mengumpulkan keberaniannya.
“Lebih baik gue pilih orang yang kampungan sekali pun daripada lo! Gak ada yang sempurna di dunia! Dasar setan kepala dua! Udah pergi sana daripada gue timpuk lo!” usir Firman yang langsung ditanggapi penonton dengan senyuman geli.
“Udah ayo pergi…” ajak salah satu anggota geng Nadia.
“Inget Fir! Lo itu milik gue! Lo gak boleh sama siapapun!” teriak Nadia yang langsung digeret teman-teman segengnya.
“Gue rasa dia udah depresi…” kata Firman sambil geleng-geleng kepala.
Aku tersenyum tipis dan mengelap sisa darah diujung bibirku. Daffa memegang lengan kiriku takut aku kenapa-napa.
“Lo mau ke uks?” tanya Firman.
“Nggak usah… Di lap juga udah sembuh kok…” tolakku halus.
“Gue beliin minum ya?” tawar Daffa.
“Gak usah Daf… gue gak pa-pa…”
Firman merogoh kantong celananya dan memberikan selembar lima ribuan pada Daffa. “Beliin aqua botol di kantin, tolong.”
Daffa pergi dan Firman menyuruhku duduk. Ia lalu duduk di bangku Daffa.
“Lo tadi diapain?” tanya Firman.
“Cuma dilabrak gitu doang…”
“Lo tuh bego ya. Sampe tuh bibir berdarah dibilang gitu doang? Lo udah sering dilabrak ya? Heran gue…”
Aku cuma tersenyum lagi tanpa menjawab.
“Lain kali… kalo lo diapa-apain jangan ragu ngelawan. Tapi lo juga mesti bilang sama gue… gue gak mau lo kenapa-napa… oke?” kali ini suara Firman melunak.
“Ya…” aku mengangguk.
Daffa sampai dan bel berbunyi, lalu Firman bangkit. Firman menepuk pundak Daffa, “Jagain Febby.” Lalu ia keluar dari kelas.

                                                ***

“Feb!!” seseorang memanggilku saat aku baru saja keluar dari gerbang sekolah. Suara ini sangat familiar, suara orang yang menjemputku tadi pagi. Aku malas menengok dan meneruskan berjalan.
“Feb! tunggu dong!” kini Firman sudah berada di sampingku dan memegang tanganku.
“Apaan sih!” aku melepaskan tanganku.
“Tunggu kek! Lo pulang bareng gue! Kan gue udah bilang kemaren.”
“A-“ belum sempat aku menjawab, suara klakson mobil menyentakkanku.
“Feb!” kali ini terdengar suara yang memanggilku serempak. Suara ini…
Febby menoleh, “Rafli? Ardi?” serunya terkejut.
“Haiii!!” mereka cengir-cengir. Rafli yang berada di belakang setir melambaikan tangannya padaku.
“Gue bareng mereka! Lo pulang duluan aja!” ucapku ketus, lalu membuka pintu mobil dan duduk di kursi tengah tanpa memperhatikan Firman yang sedang ternganga.
“Ayo jalan.” suruhku.
Rafli menggas mobilnya meninggalkan Firman yang masih terpaku. Aku melihat dari spion dan terlihat kalau Firman sedang menggaruk kepalanya dengan muka pasrah.
“Itu siapa Feb?” tanya Ardi.
“Cowok lo?” sambung Rafli, “Secepet itu lo lupain Kiki?”
Aku merengut. Kedua orang ini sepertinya sedang mengujiku. “Dia kakak kelas sksd yang berbaik hati mau nganter jemput gue pulang.” jawabku datar.
“Terus kenapa tadi lo gak pulang bareng dia?”
“Itu karena ada kalian. Kan lebih untung masuk mobil daripada naik motor panas-panasan!”
Akhirnya mereka berdua tertawa. Aku menghembuskan napas lega, untung saja mereka tak jadi salah paham. Bisa gawat kan kalau mereka menyangka Firman pacarku?
Lalu mereka terdiam lagi. Canggung sekali. Seperti tak pernah bertemu.
Ardi menyalakan radio. Sepertinya pikirannya juga sama sepertiku. Canggung sekali suasana ini. memang sih akhir-akhir ini mereka jarang bertemu…
Terputar sebuah lagu dari Westlife yang membuatku teringat lagi pada Kiki sehingga hampir saja aku menjatuhkan air mata. Lalu, terdengar lagu dari band-band kesukaan Kiki. Sial! Sepertinya radio ini memusuhiku!
“Ganti channelnya ya Tuhan!” seruku degan suara serak.
Rafli dan Ardi berpandangan. Sepertinya mereka tahu mengapa aku begini. Ardi pun mengganti channel radio itu.
Kini aku lebih menikmati lagu itu sampai kami sudah berada di depan rumahku.
“Lo pada mau mampir dulu nggak?” tawarku.
“Nggak usah…” jawab mereka berbarengan.
“Ya udah! Thanks ya!”
“Oke. Bye!” Rafli melambaikan tangannya.
Aku pun masuk kedalam rumah. Mengambil kunci di tasku dan membuka pintu rumah dengan pelan. Lalu aku berjalan menuju kamarku. Aku membuka pintu kamar dan langsung mengehela napas. Kamarku sekarang terasa sangat kosong. Yah, bukan karena barang-barangnya yang menghilang. Karena aku telah menghapus semua jejak Kiki dari sini. Semua foto-foto maupun barang-barangnya ku kumpulkan ke satu kotak dan kutaruh di lemari baju paling belakang.
Entahlah, sepertinya aku terlalu menyayanginya sehingga melihat apapun yang berhubungan dengannya sekarang membuat dadaku sesak dan ingin menangis.
Aku membanting tubuh ke kasur dan menatap langit-langit kamarku yang bercat biru muda. Otakku memutar semua kenangan tentang Kiki yang membuatku ingin menangis.
“Ah!” aku baru saja ingat. Saat pemakaman, Ibunya Kiki memberikan sebuah kotak kado untukku. Bungkus kado itu berwarna kuning cerah bergambar hati. Terlihat sih hatinya berwarna ungu, tapi ada satu yang berwarna merah kecoklatan. Itu pasti…
Aku membuka lemari bajuku dan menelusuri bagian paling belakang. Aku mengambil dua kotak yang ada disana. Satu kotak berisi benda-benda yang berkaitan dengan Kiki, dan yang satu lagi adalah kotak kado darinya.
Aku membolak-balik kado itu dan tak membukanya. Lalu di satu sudut terdapat banyak bekas darah. Sewaktu menerima kado ini, sepertinya aku tak melihatnya? Bekas darah yang hampir memenuhi satu sudut itu.
Ragu-ragu aku membuka kado itu. Mataku langsung membulat saat aku melihat sebuah kotak kamera. Kamera yang sangat kuinginkan, keluaran baru yang senilai lebih dari harga hapeku sendiri yang sudah memasuki jutaan.
Aku menelan ludah. Mungkin ini cuma kotaknya, isinya bukan kamera itu. Aku membuka kotak kamera itu dan isinya ternyata tidak sesuai dengan pikiranku. Benar-benar kamera itu!
Aku memegang benda itu dengan gemetar. Kiki benar-benar… membelikan ini? aku memang pernah memintanya membelikan ini untuk hadiah ulang tahun hubungan kita yang ke 3 tahun. tapi saat itu kan aku sedang bercanda. Kenapa ia benar-benar menganggap aku serius?
Aku menatap benda itu yang sekarang berada di tanganku. Kamera ini… akan kusimpan baik-baik.

No comments:

Post a Comment