“Besok aku mau pindah ke Surabaya …” kata Rizky
mengagetkanku.
“Apa Ki? Ke Surabaya? Ngapain? Terus
aku disini sendiri…?” tanyaku masih setengah shock.
“Aku mau tinggal disana. Dulu sebelum
aku lulus juga nyokap bokap udah bilang… maaf sebelumnya aku gak pernah bilang
sama kamu…”
“Terus sekarang gimana…”
“Kamu mau hubungan kita masih
berlanjut? Tapi kita hubungan jarak jauh… atau kamu mau hubungan kita berakhir
sampai sini aja?”
“Tapi… kamu bisa janji kamu gak duain
aku?”
“Aku janji kok…” Kiki tersenyum dan
mengulurkan kelingkingnya padaku.
Aku menatapnya. Terlihat ia berusaha
tersenyum walau mukanya menampakkan ekspresi sedih. Aku pun juga ikut sedih.
Tapi aku memaksakan bibir ini untuk tersenyum dan aku pun mengangguk serta
membalas uluran kelingking itu.
Rizky Adrian atau yang biasa kupanggil
Kiki. Adalah kekasihku yang telah menjalin hubungan denganku selama dua tahun
ini. ia adalah kakak kelasku di sekolah. Sebelumnya aku memang pernah bertemu
dengannya di redaksi majalah. Dia anaknya bos tanteku yang bekerja di redaksi
itu. Baru saja masuk hari kedua Masa Orientasi Siswa saat itu, pada jam pulang
sekolah ia menyatakan cintanya padaku.
Rasanya itu mimpi. Mimpi yang menjadi
nyata. Kiki adalah idola di sekolah. Ganteng, tinggi, anak basket, pintar,
pokoknya ia hampir mendekati sempurna. Sedangkan aku biasa-biasa saja. Kenapa
ia mau denganku? Padahal banyak fansnya yang lebih cantik dariku.
Hal itu seperti dalam cerpen-cerpen
yang sering kubuat saat aku sedang bosan. Aku memang suka sekali mengarang. Aku
tak tahu kenapa. Seorang kakak kelas cowok populer menjadi kekasih seorang adik
kelas cupu yang biasa-biasa saja. Oh God, saat pertama kali aku menerima
kenyataan kalau aku menjadi kekasihnya, itu benar-benar seperti sebuah mimpi di
siang bolong.
Makin lama, gossip itu makin tersebar
luas sampai seluruh penjuru sekolah pun tahu. Berkali-kali aku dilabrak ‘Kiki-mania’. Saat pertama kali dilabrak
aku sangat merasa takut. Memang aku tak pernah mengadu pada Kiki. Tapi ia
selalu tau apa saja yang terjadi denganku di sekolah. Sepertinya ia punya
mata-mata khusus.
Kadang ia bertanya padaku, “Hari ini kamu udah dilabrak sama siapa
aja?”
Enteng sekali ngomongnya seakan bertanya
sudah berapa kali aku makan hari ini. Kadang aku tak mau mengaku. Tapi
sepertinya memang dia sudah tau siapa saja yang melabrakku. Kalau kata Ardi,
sohibnya Kiki, setiap pulang sekolah para ‘Kiki-mania’
yang melabrakku diajaknya ke belakang gedung sekolah dan dimarah-marahinya
mereka. Tapi hasilnya mempan juga karena aku tak pernah dilabrak lagi semenjak
menginjak semester dua.
Jarang sekali ada pertengkaran
diantara kami. Sekalinya kami bertengkar atau berdebat karena perbedaan
pendapat, ia yang mengalah padaku dengan sikapnya yang dewasa. Aku sudah
terlalu nyaman dengannya.
Saat ini aku sudah menginjak kelas
sembilan dan ia baru saja lulus. Dan kenyatan kalau ia akan pindah ke Surabaya untuk tinggal dan
SMA disana, sangat pahit. Aku sebenarnya tak bisa menerimanya. Seharusnya Kiki
ada disini, disampingku. Mengajariku saat aku tak bisa. Tapi, sangat
disayangkan kalau aku memutuskan hubunganku dengannya. Aku juga masih sangat
menyayanginya. Terlihat ia pun begitu.
“Jangan cemberut dong…” Kiki
mengacak-ngacak rambutku saat kami sedang berjalan menuju fodd court.
Aku tersenyum geli dan merapikan
rambutku yang berantakan. “Siapa juga yang cemberut. Yuk buruan, laper nih.”
Aku menggandeng tangannya.
Tuhan, jangan perlihatkan wajah
sedihku ini padanya. Aku tak mau ia tambah sedih karena diriku ini.
“Besok mau anterin aku ke bandara
nggak?” tanya Kiki saat kami baru saja duduk.
Aku yang sedang menyeruput minuman
sodaku langsung terdiam. “Emang take off nya kapan?”
“Jam dua. Tapi paling aku berangkatnya
sekitar jam 10an.”
“Oke deh…”
“Jangan cemberut dong… Ini kan hangout terakhir
kita di Jakarta…” Kiki mengelus telapak tanganku.
Yah benar kata Kiki, seharusnya aku
senang dan jangan bersedih hari ini. “Iya Ki, aku gak sedih kok…” aku berusaha tersenyum.
“Gitu dong…” Kiki pun juga tersenyum
padaku. “Oiya cerita kamu yang itu lanjutin dong. Penasaran aku sama
endingnya.”
“Cerita yang mana?”
“Itu yang dua hari lalu kamu kasih
liat ke aku…”
“Oh iya… Ntar aja deh ya…”
“Oke. Nanti jangan sampe kalo karena
gak ada aku, kamu gak mau ngarang lagi ya!”
“Uuhh… Iya deh iya…”
Esoknya…
Aku mengikat tali sepatuku dengan kencang.
Kembali aku berkaca. Aku pun tersenyum sambil menatap diriku dari atas sampai
bawah. Si anak kecil… Anak kecil yang belum bisa berdiri sendiri diatas
keputusan yang ia buat.
Aku melirik foto yang kutempel diujung kanan atas
kaca. Itu fotoku dengan Kiki saat kami sedang jalan-jalan ke Dufan bersama
teman-teman Kiki. Saat itu ia merangkul bahuku dan mengambil foto kami dengan
hapenya.
Lalu mataku bergerak menuju pojok kiri
atas kaca. Ada
fotoku dan Kiki yang sedang berjalan di lapangan sekolah sambil bergandengan.
Saat itu Rafli, salah satu teman Kiki yang mengambil foto itu dari samping.
Aku menggeleng. Tidak. Aku takkan
sedih.
“Tin-tin!!” sebuah suara klakson
terdengar dari bawah.
Aku mengintip lewat jendela. Taxi yang
kupesan sudah datang. Aku langsung keluar rumah. Karena tak ada siapapun di
rumah kecuali aku.
Perjalanan ke bandara terasa sangat
lama. Katanya Kiki sudah sampai disana. Lalu tak beberapa lama setelah Kiki
bilang ia sudah sampai disana, aku juga sampai.
Langsung kucari sosok Kiki diantara
banyak orang. Begitu mudah mencari Kiki karena tubuhnya yang sangat tinggi dan
aku sangat mengenalnya entah dari depan maupun belakang.
“Ki?” aku menepuk pundak Kiki dari
belakang.
Kiki menoleh, “Lho Feb cepet amat?”
“Hehehe iya dong…”
“Ya udah ayo ke ruang tunggu sama aku.
Ada
temen-temenku juga disana.” Kiki merangkul pundakku.
Saat sampai disana sudah ada Rafli,
Ardi, Ivan, dan lain-lain. Rata-rata anak basket yang dekat dengan Kiki.
“Ehhh ada si pacar ikut dateng juga…”
goda Rafli.
“Apaan sih lo Fi. Godain gue mulu.”
Aku mencubit lengannya.
Rafli meringis, “Nih anak cubitannya
pedes banget ya ampun!!”
Kiki tertawa, “Yaiyalah, cewek gue
gitu Fi. Lagian seberapa sakit sih cubitannya?”
“Sakit banget demi dah!! Feb, coba dah
lo cubit tuh cowok lo!” suruh Rafli padaku.
Aku menatap Rafli dan Rafli malah
menunjuk Kiki dengan dagunya. Aku menatap Kiki dan Kiki malah menaikkan lengan
bajunya. “Nih cubit.” Kiki meyakinkanku.
Aku langsung mencubit lengannya dengan
pelan. Tapi ia tak bereaksi. Lama-lama aku gemas dan mencubitnya dengan
kencang.
“Aoww!!!” tiba-tiba Kiki berteriak dan
refleks aku melepaskan cubitanku.
Kiki langsung menggosok-gosok
lengannya. Terlihat lengannya langsung memerah. “Yahh Febby sihhh jadi merah
tuh…” Kiki mengeluh seperti anak kecil.
Aku menatap lengannya yang benar jadi
memerah. “Kasiannn…” aku menggeleng-geleng sambil tersenyum meledek.
“Ish tuh kan . ” Kiki
menoyor pelan kepalaku.
“Hehehe marahin Rafli dong! Kan dia yang nyuruh aku
nyubit kamu tau!”
“Tau Rafli! Woooo!!” sorak Ardi.
Kami bercanda-canda sampai akhirnya
tiba waktuya pesawat Kiki untuk take off.
“Eh udah ya guys. Waktunya gue
berangkat nih…” kata Kiki pada teman-temannya.
“Yaaahhh gak ketemu Kiki lagi deh…”
celetuk Sandi.
Kiki tertawa dan ia memeluk sekilas
teman-temannya satu persatu. Kini Kiki berdiri di hadapanku. Ia menatapku
begitu lama. Terlihat sorot kesedihan yang terpancar dari matanya itu.
Kumohon jangan menatapku seperti itu…
Rasanya aku jadi semakin berat untuk berpisah denganmu. Lalu ia memelukku
dengan sangat erat. Kemudian ia menatapku lagi dan menepuk pundakku.
“Goodbye…” katanya begitu pelan, lalu
ia melambaikan tangannya dan menyusul orang tuanya.
Aku masih terdiam sambil menatap
tubuhnya yang hilang masuk kedalam suatu ruangan. Lalu Ardi menepuk punggungku
juga dengan pelan.
“Ayo pulang. Lo bareng kita aja…”
Aku mengikuti Ardi yang menggandeng
tanganku. Menggandengku seperti menggandeng adiknya. Ya aku tau kalau Ardi
menganggapku sebagai adik. Kami menuju parkiran mobil. Ternyata mereka kesini
membawa mobil. Dasar anak-anak basket nekat. Belum juga punya SIM nekat bawa
mobil. Aku duduk didepan disamping Rafli yang menyetir.
Di perjalanan aku lebih banyak diam
daripada bercanda seperti biasanya. Ardi dan Rafli yang lebih banyak mengajakku
berbicara. Tapi entahlah, rasanya aku tak berniat berbicara. Mungkin masih
terbawa perasaan sedih. Sebenarnya tadi di bandara aku hampir saja menangis
tapi kutahan air mataku agar tak keluar dari mata ini.
“Feb? jangan galau dong…” kata Rafli
mencoba bercanda.
Aku hanya melengos dan memutar bola
mataku.
“Yaelah Feb, ada kita ini. Anggep aja
kita penggantinya Kiki…” kata Ardi yang duduk di belakangku.
Tidak. Kiki dan kalian berbeda. Aku
hanya menginginkan Kiki. Aku masih terdiam. Rafli, ardi, dan yang lainnya
menyerah.
“Dah sampe…” Rafli memberhentikan
mobilnya tepat di depan komplekku.
“Makasih…” ucapku sambil membuka pintu
dan turun.
“Yoa sama-sama. Jangan galau lho!”
pesan Rafli.
Aku hanya tersenyum tipis dan menutup
pintu mobil. Aku berjalan menuju rumahku yang hanya berjarak beberapa ratus
meter dari sini. Aku ingin cepat-cepat sampai rumah.
Begitu sampai di rumah, aku langsung
masuk ke kamarku. Rumah masih kosong. Belum ada yang pulang dari acara mereka.
Saat membuka pintu kamar yang kulihar pertama kali adalah kaca yang terdapat
foto-fotoku dengan kiki yang kupajang diujung kaca. Aku pun menangis.
Mengeluarkan perasaanku disini, di ruang pribadiku.
Aku menatap foto Kiki yang sedang
bermain basket yang kupajang di meja belajarku. Biasanya dia jadi penyemangatku
saat aku sedang belajar. Aku… Ah, jangan menangis! Pasti Kiki akan kembali kan kesini?
Setahun
kemudian…
Aku berjalan menuju kantor redaksi majalah
tempat Tanteku bekerja saat ini. kini aku memang lebih berani mengirim ceritaku
ke redaksi majalah itu. Saat aku sedang masuk ke dalam lift yg sepi tiba-tiba
tangan seseorang menahan lift itu dan akhirnya lift itu terbuka lagi. Terlihat
seorang anak lelaki yang memakai baju seragam sekolah smp sedang masuk. Ia
tersenyum basa-basi padaku.
Saat dilantai 4 ia turun dan tersenyum
lagi padaku. Aku pun membalas senyumnya. Lalu pintu lift tertutup lagi dan
menuju ke lantai 5. aku pun turun di sana .
Menuju ke ruangan tanteku sambil tersenyum.
“Haiii Tante cantik… Makin tua aja
deh… Hahahaha!” candaku.
“Ehh si ponakan imut dateng nih… Biar
makin tua yang penting cantik. Ya gak? Kamu bawa apa lagi Feb?”
“Ini nih! Karangan aku lho…”
Tanteku pun langsung tersenyum dan
mengangguk. “Okey nanti ini Tante edit terus di masukkin majalah kalo bagus ya.
Oh iya! Kamu udah selesai ujian kan
Feb?”
“Iya dong tante… Ini aku baru pulang
abis lulus-lulusan.”
“Hayo coret-coret seragam tuh pasti
ya…”
“Hehehe iya ini seragamnya aja kutaro
tas. Udah dulu ya Tan! Febby mau pulang nih mau mandi. Gerah.”
“Oke. Salam buat Mama Papa ya Feb.
kamu pulang naik apa?”
“Naik bus lah masa naik getek?”
“Ooh hati-hati lho! Nih duit ongkos!”
Aku diberi uang sebesar dua puluh ribu rupiah.
“Makasih Tante cantiikk…! Dadah!”
Aku pun keluar dan menuju lift untuk
turun. Saat sampai di lantai empat, pintu lift terbuka. Ternyata anak yang tadi
di lift saat aku naik. Ia tersenyum lagi padaku dan berdiri disampingku.
“Hei?” sapanya sambil tersenyum.
“Oh hei…” aku pun balas menyapanya.
“Na-“ belum sempat anak itu berbicara,
sesuatu berbunyi.
Kringgg…
Kringgg…
Aku pun merasa tasku bergetar.
Sepertinya handphoneku yang berbunyi. “Sebentar…” kataku.
Kikikuuung
calling…
Aku menatap layar handphoneku dengan tak
percaya. Kiki meneleponku. Buru-buru aku mengangkatnya.
“Halo Feb?” terdengar suara Kiki.
“Iya ki?” jawabku perlahan, begitu tak
percayanya aku. Karena akhir-akhir ini Kiki jarang menghubungiku.
“Kamu apa kabar?”
“Baik-baik aja. Kamu?”
“Sama aku juga. Aku besok mau take off
ke Jakarta
nih.”
“Hah?! Serius Ki?!”
“Iya serius. Besok kita hangout bareng
ya. Tunggu aku di mall yang biasa kita kesana itu.”
“Iya okeee…” aku tersenyum.
“Iya udah dulu ya. Aku mau
beres-beres. Bye!”
“Oke bye!”
Aku pun tersenyum lagi pada cowok di
sampingku. Lalu pintu lift terbuka di lantai dasar dan aku keluar dari situ.
“Duluan ya!” ucapku basa-basi lalu melangkah menuju pintu keluar.
Esoknya…
Aku melirik jam tanganku. Sudah jam 5 sore.
Pasti Kiki sudah sampai di bandara sekarang. Aku menunggu dengan sabar. Ia
membatalkan acara di mall dan menyuruhku menunggu di rumah sampai ia
menjemputku.
Hari ini tepat dimana hari hubunganku
dan Kiki berusia 3 tahun. kiki bilang ia akan mengajakku ketempat yang
istimewa.
Aku duduk di tempat tidurku dengan
gelisah, kadang aku berguling-gulingan dan menatap hapeku. Sekarang sudah jam 6
sore. Padahal tadi Kiki bilang jam 05:15 sore tadi kalau ia sudah sampai di
bandara dan baru saja menginjakkan kaki kedalam taksi. Aku tak sengaja
menyenggol fotoku yang kutaruh di meja, bingkainya pecah karena terjatuh. Aku
memungut serpihan kaca itu serta yang lainnya. Padahal ada karpet dibawah,
kenapa bingkainya sampai pecah?
Tak
beberapa lama ada yang mengetuk pintu rumahku. Cuma ada aku di rumah, jadi aku
langsung keluar kamar dan menuju pintu. Terlihat Ardi dan Rafli yang berdiri di
depan pintu. Aku membukakan pintu untuk mereka.
Saat
aku melihat kedua anak ini, rasanya ada yang aneh. Karena mereka berdua
sama-sama pucat dan mata mereka sembap.
Mereka
kupersilahkan duduk di sofa ruang tamu dan tanpa ucapan mereka duduk.
“Ada apa Fi? Di?” tanyaku
bingung, karena mereka tiba-tiba sekali datang kesini dan keadaan mereka sangat
berbeda dari sebelumnya.
“Ehm…
gini Feb… A… Itu…” Rafli berbicara dengan terbata-bata.
“Ada apa sih?”
“Tapi
gue mohon… Lo jangan nangis ya…” kata Ardi menegang.
“Hei?
Kalian ini kenapa?”
“Kiki,
Feb…” Rafli memulai pembicaraan serius ini.
“Kiki
kenapa!?” suaraku mulai melengking.
“Kiki…
Kiki meninggal Feb…” kata Ardi tercekat.
Aku
menatap mereka berdua dan menggeleng lalu aku tersenyum tipis, “Kalian jangan
bohong. Gue tau ini salah satu lelucon kalian. Ya kan ?”
“Nggak
feb! gue serius! Kiki udah nggak ada! Gue mohon kali ini aja percaya sama gue
dan Rafli!” Ardi menekankan dan menatapku dalam-dalam.
Aku
menggeleng. Air mataku menetes satu persatu sampai akhirnya keluar dengan
deras. Sesak rasanya dada ini. aku jadi sulit bernapas. Tangisku pun jadi
keluar tanpa suara.
“Tapi
Kiki gak mungkin ninggalin gue sendiri Di!! Kiki gak jahat!! Kiki udah janji
bakalan ninggalin gue sendirian!!” aku berteriak.
Ardi
berinisiatif memelukku. “Sst… Jangan teriak Feb… Itu malah bikin keadaan dan
perasaan lo jadi tambah buruk…”
Aku
memukul-mukul Ardi dan meronta. Tapi aku juga menangis dalam pelukannya.
Rasanya aku tak kuat menerima semua ini.
“Tadi
gue dapet kabar kalo Kiki kecelakaan. Taksi yang dia naikkin ditabrak bus yang
remnya blong. Supirnya cuma luka di bagian kepala dan tangannya. Tapi Kiki…”
Dasar bus bodoh!!!! Umpatku kesal. Aku melepaskan pelukan Ardi
dan berlari menuju kamarku. Kuambil bingkai foto yang tadi kacanya pecah. Jadi
itu pertanda kalau Kiki akan pergi?
Aku
melempar bingkai itu dan memberantakkan semua isi kamarku. Perasaanku campur
aduk. Antara marah, sedih, sesak, kecewa…
Ardi
dan Rafli melihat dari pintu kamarku dengan prihatin. Dari tatapan mereka,
mereka seakan mengerti apa yang kurasakan saat ini.
Aku
menangis, menangis, dan menangis lagi. Itu semua hanya karena satu hal, Kiki.
Bahkan
aku pun menangis lagi saat pemakaman Kiki. Beberapa Kiki-mania yang melabrakku dulu pun malah tersenyum padaku dan
bilang “Sabar ya. Mungkin ini cobaanbuat lo…” Aku pun sempat lama menatap nisan
orang yang sangat kucintai ini.
Ardi
dan Rafli yang mengajakku pulang. Perjalanan pulang terasa sangat sepi. Aku
terus menatap keluar jendela mobil dan menghela napas. Mencoba menjernihkan
pikiranku, mencoba melakukan apa saja. Asal aku jangan teringat Kiki… Karena
tiap kali aku mengingatnya rasanya hati dan perasaan ini sesak lagi.
****
Musim
sekolah pun sudah dimulai lagi semenjak libur yang terasa sangat-sangat-sangat
lama. Aku masuk SMA favorit di Jakarta .
SMA impianku dan Kiki. Sayang, Kiki malah masuk SMA di Surabaya…
Aku
menatap gedung sekolah ini begitu lama. Lalu menghela napas dan melangkahkan
kaki ke dalam lapangan sekolah itu. Aku mencari namaku di daftar anak baru
kelas sepuluh setelah mencari cukup lama, ternyata aku masuk kelas X-E. aku
langsung saja naik ke lantai dua, kawasan kelas sepuluh dan kelas sebelas
jurusan ips. Begitu susah mencari kelas X-E karena banyak sekali orang-orang
disana. Karena tak memperhatikan jalan, aku pun menabrak seseorang. Terlihat ia
kelas sebelas yang tertulis di dasinya.
“Oh
sorry!” katanya.
“Iya.
Ehm… Maap kak, kelas X-E dimana?”
“Ohh
nanti lo lurus aja, belok kanan abis itu kelasnya paling pojok ya.”
“Makasih
ya kak!”
“Sama-sama!”
Aku
pun berjalan sesuai petunjuk kakak kelas tadi. Dan ternyata benar aku akhirnya
sampai di kelasku. Aku masuk dengan ragu-ragu. Masih tersisa banyak bangku
kosong. Aku pun memilih bangku yang berada di tengah-tengah yang berada di
pojok kelas.
Rasanya
sepi tak mengenal siapapun. Lalu ada seorang anak perempuan yang menghampiriku
dan duduk di sebelahku. Cewek yang sangat manis.
“Hai.
Nama lo siapa?”
“Eh
hai… Nama gue Febby. Lo?”
“Nama
lo bagus… Gue Dinda. Salam kenal ya!” Dinda mengulurkan tangannya dan tersenyum
ceria.
Aku
pun membalas uluran tangannya itu.
Tak
beberapa lama bel berbunyi dan seorang guru perempuan berkacamata yang kurus
masuk ke kelas ku. Nama guru itu Bu Ina wali kelas X-E. baru beberapa saat ia
berbicara lalu ia memerintahkan semua untuk berkumpul di depan kelas sambil
membawa tas. Ternyata ia ingin memindahkan tempat duduk. Aku jadi duduk di
depan didekat pintu. Dinda jadi duduk di pojok belakang sana . Dinda duduk dengan anak cowok yang
berkacamata besar lalu ekspresinya menunjukkan kalau ia bete duduk di sebelah
anak itu. Aku pun tersenyum geli.
Lalu
tak beberapa lama ada seorang anak cowok yang duduk di bangku sampingku.
Tunggu, sepertinya aku mengenal anak ini. setelah aku memperhatikan dengan
seksama, ternyata ia itu anak yang satu lift denganku sewaktu di kantor
Tanteku.
“Hei…?”
sapaku.
Cowok
itu menoleh dan sepertinya ia kaget melihatku. “Eh elo kan yang di lift waktu itu…”
Aku
tersenyum, rupanya ia mengingatku. “Ya… Nama lo siapa?”
“Daffa.
Lo?”
“Gue
Febby…”
Daffa
tersenyum juga dan mengangguk.
Semenjak
saat itu aku menjadi bersahabat dengan Daffa. Kemana-mana selalu dengan Daffa.
Dinda yang tadinya bete dengan Robby anak berkacamata besar itu akhirnya jadian
juga.
“Feb
lo dah tau belom cowok paling populer disini?” tanya Daffa saat dikantin sambil
menyikutku yang sedang melahap nasi goreng.
“Nggak
tuh.” jawabku cuek, toh aku tak peduli lagi dengan cowok populer. Membuatku
makin mengingat Kiki saja.
“Tuh
liat dah yang lagi mesen mie tuh!”
Aku
melirik kearah Mas Min penjual mie di kantin. Dan lirikanku pindah ke seorang
anak lelaki yang sedang memegang mangkok mie. “Oh itu.” Aku kembali menyuap
nasi kedalam mulutku.
“Ih
cuek banget dah lo. Biasanya cewek-cewek teriak-teriak kalo ada dia. Kok lo
malah cuek banget dah?”
“Ya
biarin, toh gue gak suka liatnya, bosen.”
Daffa
menatapku penuh tanda tanya. Aku pun masih cuek saja. Sebenarnya, anak cowok
yang dibilang populer itu kakak kelas yang menabrakku sewaktu pertama kali
sekolah dan juga yang menunjukkan dimana kelasku. Memang sih dia ganteng. Tapi
aku tak tertarik. Beda dengan dulu sewaktu SMP.
“Feb?
lo ngapa sih?” tanya Daffa.
“Gak
pa-pa.”
“Kok
lo kayaknya risih banget dah waktu gue sebut tentang Kak Firman?”
“Gak
pa-pa cuma bete aja liat cowok populer. Sok ganteng.” Aku bersikap cuek.
Padahal kata-kata yang keluar dari bibir ini seakan mencekikku.
“Ohh
gitu. Kalo kayak gue gini ganteng kan ?”
“Iya
lo mah ganteng Daf. Diliat dari sedotan mampet! Hahahahaha!!”
Daffa
pun pura-pura ngambek padaku. Aku malah semakin geli dan semakin pingin ketawa.
“Yahh Daffa jangan ngambek dong…”
“Bodo…”
“Yah
yaudah…” Aku pura-pura ikut ngambek dan berjalan keluar kantin.
“Eh
tunggu dong Feb!”
Aku
tersenyum geli dan menoleh ke belakang. Terlihat Daffa yang sedang menunduk
sambil memegang dompet berwarna putih. Aku langsung meraba tas ku dan menyadari
kalau itu dompetku.
“Daf!”
Aku mengambil dompetku dari tangan Daffa.
“Eh
sorry Feb…”
“Iya
gak pa-pa Daf.”
“Cowok
itu siapa? Kok sama kayak yang di hape lo?”
“Lo
pengen banget tau ya?”
“Banget…”
Aku
menghela napas, “Yok ke perpustakaan…”
Kami
berdua berjalan ke perpustakaan. Dibalik novel aku bercerita. Dari awal aku
mengenal Kiki, dilabrak para fansnya, dan perjalanan cintaku bersamanya selama
dua tahun. saat ia bilang ia akan pergi ke Surabaya , saat aku melepasnya di bandara.
Sampai hubungan kami pun bisa bertahan menjadi tiga tahun. dan… disaat ia akan
menemuiku saat hubungan kami berusia tiga tahun, di tengah perjalanan, ia
meninggalkanku selamanya…
Tanpa
sadar semakin bercerita suaraku semakin pelan, air mata juga menetes dari
mataku. Daffa yang mendengar pun malah ikut berkaca-kaca.
“Gue
terlalu cinta sama dia, gue gak rela dia pergi ninggalin gue. Bayangin coba
Daf? Lo punya pacar udah tiga tahun hubungannya, pas anniversary yang ke tiga
tahun pacar lo itu meninggal? Nyesek kan ?
Itu lah gue Daf. Makanya waktu tadi lo kasih tau tentang Kak Firman, gue
langsung keinget Kiki. Itu sebabnya gue cuek banget. Gue gak mau Kak Firman
kayak Kiki bisa ngeluluhin hati gue. Karena gue takut kejadian itu keulang dua
kali…” bisikku.
Daffa
mengangguk seakan mengerti. Aku mengehembuskan napas dan menghapus air mataku,
lalu berdiri dan menaruh novel yang tadi aku pegang ke raknya.
“Yok
pulang…” ajakku sambil mengatur napas.
“Ayo.”
***
“Feb…”
terdengar suara seseorang memanggilku dari belakang.
Aku
menoleh, lalu akupun langsung terpaku. Itu Kiki. Ia tersenyum padaku. Ia
memakai baju putih polos yang terang. “Kiki…” tanpa sadar air mataku menetes.
“Jangan
menangis…” Kiki menggeleng sambil menatapku dengan sorot matanya yang sedih.
Lalu sosoknya memudar secara perlahan.
“Kikiiii!!!”
DUBRAK!!
“Aww…”
aku memegang kepalaku yang nyut-nyutan karena terjatuh dari tempat tidur.
Ternyata itu cuma mimpi…
Aku
melihat jam didinding di kamarku. Sudah jam lima sore. Saatnya aku mandi. Seragam masih
lengkap terpasang pada tubuhku. Tadi sepulang sekolah aku sangat ngantuk dan
memutuskan untuk tidur.
Selesai
mandi aku keluar dari kamar. Nita adikku yang berumur 13 tahun sedang duduk di
sofa ruang tamu sambil memainkan laptop. Aku menuju dapur untuk mengambil air
dingin.
“Kak
tadi kenapa teriak-teriak?” tanya Nita saat aku sedang minum.
“Hah?
Kapan?” tanyaku balik.
“Tadi
di kamar, barusan kok.”
Aku
hanya mengangkat bahu. Mungkin aku mengigau? Entahlah…
“FEBBY!!!”
tiba-tiba seseorang memanggil namaku.
Nita
melongok lewat jendela dan langsung histeris, “Kak!! Siapa tuh kak?! Ganteng
banget!!”
“Hah
ganteng?” Aku bingung dan langsung keluar dari dalam. Terlihat Kak Firman yang
sedang naik motor tersenyum padaku.
“Kak
Firman?!” aku sangat terkejut. Tentu saja, lagipula darimana Kak Firman si
populer itu tau nama dan alamat rumahku?
“Jalan-jalan
yuk!”
Aku
semakin bingung, “Jalan-jalan?!”
“Bingung
ya? Udah ayo, ntar gue jelasin dah di jalan! Ayo ikut!”
Nada
Kak Firman seperti memerintah membuatku patuh, aku langsung melongok kedalam
rumah, “Nit, gue pergi dulu ya! Hati-hati lo sendirian.”
“Iya
dah! Bye selamat jalan-jalan!” ledeknya.
Aku
hanya memutar bola mataku dan keluar dari rumah, “Kita mau kemana?” tanyaku
padanya.
“Ayolah,
gak usah banyak bawel. Naik aja!” suruhnya.
Aku
langsung naik walau dalam hati aku sedikit kesal karena ia suka
menyuruh-nyuruh. Mentang-mentang populer, berbuat seenaknya!
Kak
Firman membawaku ke sebuah restoran tempat makan, aku pun tambah bingung.
“Yah
Kak aku gak bawa uang…” ucapku.
“Ya
gue yang bayarin.” sahutnya enteng.
“Ah
nggak usah deh! Aku pulang aja!”
“Mau
pulang? Silahkan deh. Kayak lo tau jalan aja. Jauh lho dari sini ke rumah lo!”
kali ini nadanya berubah menjadi ketus.
Aku
langsung merengut kesal dan mengikutinya berjalan, setelah memilih tempat duduk
ia langsung menyodorkan daftar menunya kepadaku.
“Tuh
pilih lo mau mesen apaan.” katanya.
Aku
membaca daftar menunya, wih mahal-mahal semua lagi! Nanti aku ganti pake apa
nih uang Kak Firman.
“Errr…
Aku milkshake stoberi aja deh.” Aku menyodorkan daftar menunya pada Kak Firman.
“Terus
lo gak makan?” tanyanya sambil membaca.
“Nggak
usah, tadi di rumah aku udah makan.” jawabku, tentu saja berbohong.
“Yahh
jangan bohong deh sama gue De! Keliatan lo tuh belom makan.”
Aku
terkejut, ih ini orang tau aja deh!
“Yaudah
gue yang pesenin aja deh makanan lo. Gue tau lo suka semua makanan, orang rakus
begitu kok. Di kantin aja waktu itu gue liat lo makan nasi goreng abis gak
sampe lima
menit.” katanya datar, setengah mengejek.
Ya
Tuhan ini orang!! Ganteng-ganteng kok nyebelinnya selangit sih!?
“Yan!
Yan!” panggil Kak Firman pada satu pelayan cowok yang berdiri di dekat kasir.
Ini
orang enak banget sih manggil pelayan pake “Yan”?! seenggaknya “Mas” kek gitu?
Pelayan
itu mendekat dan tersenyum pada Kak Firman. Terlihat pada tanda pengenalnya
kalau Pelayan itu bernama Iyan, jadi pantas saja Kak Firman memanggil “Yan”.
“Ada apa Tuan Firman?”
tanya pelayan itu.
Hah?!
Tuan?! Aku langsung tersenyum geli mendengar panggilan itu. Kak Firman yang
melihat ekspresiku langsung memasang tampang bete.
“Restoran
ini milik keluarga gue…” jelas Kak Firman sama sekali tak bermaksud pamer.
“Ohh
gitu… Ngomong-ngomong kakak ngapain bawa aku kesini? Terus kenapa tau nama sama
alamatku? Aku kan
gak populer dan gak kenal kakak sama sekali?” tanyaku bertubi-tubi.
Sebelum
Kak Firman menjawab, minuman yang kami pesan datang duluan dan ia meneguk
jusnya.
“Bisa
gak jangan ngomong aku-kamu? Gue gak sreg dengernya. Woles aja ya sama gue!” pinta
Kak Firman terlebih dahulu.
“Eh…
Iya deh…”
Lalu
Kak Firman membuka tasnya dan mengambil sebuah kamus besar, “Nih! Punya lo!
Ketinggalan di perpustakaan tadi.”
Aku
mengingat-ngingat. Iya, tadi kan
aku bawa kamus. Pantas sewaktu pulang aku merasa ada yang kulupakan, ternyata
kamusku.
“Gue
dapet nama dan alamat lo dari situ. Lo sendiri kan yang nulis?” kata Kak Firman lagi.
“Eh
iya makasih Kak!”
Kak
Firman mengangguk. lalu makanan datang. Ia memesankanku spaghetti, memang sih
tak membuat terlalu kenyang. Tapi aku tak nafsu makan sekarang, jadi aku hanya
mengaduk-ngaduk sisanya yang kurang lebih masihsetengah piring.
Sedangkan
Firman sendiri – sengaja aku memanggilnya Firman sekarang karena gak enak aja
pakai embel-embelan Kak – memakan burger yang berukuran sangat besar. Mungkin
sebesar wajahnya yang menyebalkan itu.
Selesai
makan, Firman mengantarku pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 6 lewat saat
aku sudah sampai di depan rumah.
“Makasih
ya.” kataku dan tersenyum padanya.
Terlihat
ia sedikit terperangah dan terdiam sesaat, aku pun berjalan membuka pagar
rumahku.
“Eh
Feb!” panggil Firman.
“Ya?”
“Mulai
besok lo pulang pergi sekolah gue anter-jemput! Tiap istirahat, lo mesti ikut
sama gue! Boleh bawa temen lo juga kok si siapa tuh yang cowok! Oke?”
Aku
melotot, “Anter jemput?! Istirahat sama lo?! Di gosipin iya kali gue! Dilabrak
juga! Lo gak mikirin nasib gue apa? Biar ada Daffa juga bisa aja kan gue dilabrak para Firmans?!”
“Kalo
lo diapa-apain, bilang gue!” kata Firman. Kata-katanya yang sekarang sangat mirip
dengan kata Kiki sewaktu aku khawatir akan dilabrak saat pertama kali jadian.
Firman
menatapku yang sedang termenung karena mengingat Kiki lagi. “Eh! Jangan
bengong! Dah sana
masuk! Gue mau pulang. Inget besok gue anter jemput ya!” katanya.
Aku
hanya mengangguk dan ia menggas motornya dan pergi. Aku masuk rumah dengan
lesu. Ah… Kenapa di SMA sekarang aku juga dekat dengan cowok populer? Rasanya
sudah cukup aku dibenci semua perempuan sewaktu SMP, apa sekarang harus
terulang juga? Tapi itu bukan apa-apa. Aku hanya takut, takut Firman akan
meluluhkan hatiku. Dan aku juga takut, kejadian itu terulang lagi…
***
Aku
bangun cepat hari ini, sengaja biar Kak Firman tak menjemputku dan aku bisa
sarapan bersama keluargaku. Biasanya saat aku bangun tidur jam 5, kedua orang
tuaku sudah berangkat kerja. Kini, aku bangun jam setengah 5 pagi.
Sekarang
sudah jam lima
kurang dan aku sedang berada di meja makan dengan Mama dan Papa. Suasana makan
terasa canggung, karena sangat jarang kami makan bersama.
Papa
berdehem dan memulai pembicaraan, “Gimana sekolah kamu Feb?”
“Ya
gitu… Lancar-lancar aja…” jawabku sambil meneguk susuku.
“Nggak
deket lagi sama cowok populer?” Mama mencoba bercanda.
Aku
hanya tersenyum dan menggeleng. Belum tentu juga kan aku akan dekat dengan Firman sedekat aku
dengan Kiki?
“Papa
sama Mama sendiri gimana sama kerjanya?” tanyaku basa-basi.
“Ya
gitu deh… Masih dinas sana-sini, lembur. Pokoknya ngecapekin deh…” jawab Papa.
“Semangat!!”
aku mengayunkan tangan kananku seperti di film-film.
“Feb,
maaf ya Mama sama Papa jarang ketemu kamu sama Nita. Kita bukan cuma mentingin
pekerjaan, tapi itu semua buat kamu sama Nita kok. Oke?” kata Mama sambil
memandangku dengan sorot matanya yang lembut. Aku terperangah, sudah beberapa
lama Mama tak pernah memandangku seperti ini.
Lalu
setelah kami menghabiskan sarapan, Mama dan Papa siap-siap berangkat. Aku pun
juga mengambil tas dan memakai sepatu.
“Kamu
mau bareng kita Feb?” tanya Papa yang sedang membuka garasi.
Belum
sempat aku menjawab, tiba-tiba terdengar bunyi klakson motor dari depan rumah.
Seseorang dengan motor matic biru dan seragam SMA serta helm hitam sedang
menungguku. Orang itu yang tak lain adalah Firman membuka kaca helmnya dan
tersenyum padaku.
Uh…
Kenapa harus datang sekarang sih? Ia turun dari motor dan masuk kedalam
rumahku.
“Tante,
Oom.” Ia menyalami Mama dan Papa sambil tersenyum sok manis.
“Siapa
nih Feb? pacar baru ya…” ledek Mama.
“IIhh
Mama! Bukan! Dia kakak kelas.”
“Siapa
namanya?” tanya Papa pada Firman.
“Firman
Anugrah Oom…”
Oh
jadi itu nama panjang Firman? Huh jelek!
“Pacarnya
Febby ya…” ledek Papa lagi.
Firman
hanya tersenyum malu-malu sedangkan aku memandangnya dengan tampang sewot.
“Yuk
berangkat.” ajak Firman.
“Gak
mau! Gue bareng nyokap bokap gue aja!”
“Eh…
jangangitu dong Feb. udah capek-capek dijemput tuh…” kata Mama membela Firman.
“Iya
deh!” aku menghentakkan kakiku dan mengikuti Firman berjalan.
“Dah
siap?” tanyanya saat aku baru naik.
“Ya!”
“Duluan
ya Tante, Oom…” kata Firman, lalu ia menggas motornya dan pergi.
“Lo
kenapa jemput gue pagi-pagi buta gitu sih?” tanyaku sewot.
“Biar
lo gak kabur dengan berangkat lebih cepet. Firasat gue lo bakalan kabur.”
Aku
merengut kesal. Huh rasanya aku ingin turun dari motor ini!
Tak
terasa kami sampai di parkiran sekolah. Seluruh pasang mata tertuju pada kami. Firman
terlihat cuek saja. Ya tentulah! Ia sudah biasa seperti ini! aku juga
sebenarnya sudah biasa, tapi kan
tetap saja aku risih. Sebentar lagi pasti aku dibenci semua perempuan disini.
Langsung
terdengar bisik-bisik yang menusuk hati. Bahkan ada anak cewek di lantai tiga
yang berteriak. “FIRMAN PUNYA GEBETAN BARU!!”
Firman
menarik tanganku dan menggandengku. Aku berontak, berusaha melepaskan
genggamannya.
“Lepasin!”
“Nggak.”
“Lo
jahat ih! Bikin gue dibenci semua cewek di sekolah!”
“Terus
apa urusannya sama gue?”
Aku
shock. Ya ampun ini orang judes banget! Aku berontak lagi kali ini tanpa
bicara, dan akhirnya tanganku segera lepas dari cekalannya yang kuat. Akhirnya
aku kabur ke kelas.
Selama
di tangga aku terus dilihati dengan pandangan dingin semua cewek, bahkan ada
yang menyindirku. “Firman mau sama dia? Ih mending sama gue sih daripada cewek
kampungan kayak dia!”
Di
kelas pun aku jadi bahan omongan. Nggak yang cewek, nggak yang cowok. Aku pun
hanya diam saja sambil melamun.
Tak
beberapa lama Daffa datang dan melihat ekspresiku yang memelas. Refleks ia
bertanya, “Ada
apa Feb?”
Aku
menghembuskan napas dengan berat. Lalu menceritakan semuanya pada Daffa. Daffa
pun melotot tak percaya.
“Pantes
lo dijadiin bahan omongan. Tadi aja gue denger cewek-cewek pada ngomongin
Febby, Kak Firman. Bahkan gue pun juga disindir Feb!” kata Daffa.
“Haha!
Disindir gimana lo?”
“Gini
‘Ih sahabatnya cewek centil lewat. Mau
aja ya sahabatan sama Febby’ digituin gue!”
“Sabar!
Tapi Daf, lo masih mau kan
sahabatan sama gue…?” tanyaku ragu-ragu.
“Ya
iyalah! Gue kan
setia! Hahaha!”
Aku
tersenyum, lalu bel pelajaran dimulai dan aku segera menyiapkan bukuku.
***
“Gue
gak ada hubungan apa-apa sama dia.” Aku menegaskan.
“Bohong!
Tadi aja lo gandengan kan
berdua! Gak usah munafik deh!” ujar Nadia. Teman-teman satu gengnya mengiyakan.
Nadia
si cewek populer sedang melabrakku bersama teman-teman gengnya. Kebetulan
sekarang sudah jam istirahat. Biasanya cuma beberapa yang masih tinggal di
kelas. Saat ini aku sedang dipojokkan oleh Nadia and the geng. Sedangkan Daffa
memperhatikanku dengan prihatin. Ia sedang dipegangi oleh dua teman Nadia
supaya tak menolongku.
“Gak
bisa ngomong kan
lo?! Jauhin Firman! Dia punya gue!” peringat Nadia.
Emosiku
naik ke kepala dan aku pun membentaknya, “Dia deket sama siapapun juga terserah
dia kali! Lo punya hak apa ngatur-ngatur dia!? Kalo dia temenan sama gue,
masalah gitu buat lo?! Dasar egois. Udah ditolak masih aja pengen milikkin dia.
Ih gue sih malu jadi lo! Mau ditaro mana nih muka!? Hah?”
“Berani
lo ya!!” Nadia menamparku dan membuat semua orang yang menonton – entah diluar
kelas maupun yang didalam kelas – langsung terdiam.
“Feb!!”
Daffa mencoba menghampiriku tapi keburu dicegah kedua teman Nadia.
Aku
memegang ujung bibirku, berdarah. Rasanya sangat-sangat sakit. Aku pun
memalingkan muka.
“NADIA!!!”
terdengar suara Firman dari pintu kelas.
Nadia
langsung menoleh dan shock karena Firman menghampirinya dengan tatapan amarah.
“Lo apain dia!?” bentak Firman.
“Ng…
Nggak gue apa-apain Fir…” kata Nadia berbohong.
Firman
menarikku mendekat kearahnya, “Nggak lo apa-apain!? Ini apa maksudnya?” Firman
menunjuk ujung bibirku yang berdarah.
Nadia
langsung tak bisa bicara, anak-anak satu gengnya berdiri di belakangnya dengan
tampang takut-takut. Daffa menghampiriku dan memandangku dengan khawatir.
“Lo
nggak apa-apa?” tanya Daffa yang langsung membuat Firman menoleh.
“Gak
pa-pa…” jawabku pelan. Aku masih sangat shock, sebanyak apapun aku dilabrak,
aku tak pernah ditampar sebelumnya…
“Lo
pikir dia lebih baik dari gue?! Dia tuh kampungan! Mending lo pilih gue aja!
Apa sih kelebihan dia?! Gue punya segalanya, gue sempurna!” Nadia mulai
mengumpulkan keberaniannya.
“Lebih
baik gue pilih orang yang kampungan sekali pun daripada lo! Gak ada yang
sempurna di dunia! Dasar setan kepala dua! Udah pergi sana daripada gue timpuk lo!” usir Firman
yang langsung ditanggapi penonton dengan senyuman geli.
“Udah
ayo pergi…” ajak salah satu anggota geng Nadia.
“Inget
Fir! Lo itu milik gue! Lo gak boleh sama siapapun!” teriak Nadia yang langsung
digeret teman-teman segengnya.
“Gue
rasa dia udah depresi…” kata Firman sambil geleng-geleng kepala.
Aku
tersenyum tipis dan mengelap sisa darah diujung bibirku. Daffa memegang lengan
kiriku takut aku kenapa-napa.
“Lo
mau ke uks?” tanya Firman.
“Nggak
usah… Di lap juga udah sembuh kok…” tolakku halus.
“Gue
beliin minum ya?” tawar Daffa.
“Gak
usah Daf… gue gak pa-pa…”
Firman
merogoh kantong celananya dan memberikan selembar lima ribuan pada Daffa. “Beliin aqua botol di
kantin, tolong.”
Daffa
pergi dan Firman menyuruhku duduk. Ia lalu duduk di bangku Daffa.
“Lo
tadi diapain?” tanya Firman.
“Cuma
dilabrak gitu doang…”
“Lo
tuh bego ya. Sampe tuh bibir berdarah dibilang gitu doang? Lo udah sering
dilabrak ya? Heran gue…”
Aku
cuma tersenyum lagi tanpa menjawab.
“Lain
kali… kalo lo diapa-apain jangan ragu ngelawan. Tapi lo juga mesti bilang sama
gue… gue gak mau lo kenapa-napa… oke?” kali ini suara Firman melunak.
“Ya…”
aku mengangguk.
Daffa
sampai dan bel berbunyi, lalu Firman bangkit. Firman menepuk pundak Daffa,
“Jagain Febby.” Lalu ia keluar dari kelas.
***
“Feb!!”
seseorang memanggilku saat aku baru saja keluar dari gerbang sekolah. Suara ini
sangat familiar, suara orang yang menjemputku tadi pagi. Aku malas menengok dan
meneruskan berjalan.
“Feb!
tunggu dong!” kini Firman sudah berada di sampingku dan memegang tanganku.
“Apaan
sih!” aku melepaskan tanganku.
“Tunggu
kek! Lo pulang bareng gue! Kan
gue udah bilang kemaren.”
“A-“
belum sempat aku menjawab, suara klakson mobil menyentakkanku.
“Feb!”
kali ini terdengar suara yang memanggilku serempak. Suara ini…
Febby
menoleh, “Rafli? Ardi?” serunya terkejut.
“Haiii!!”
mereka cengir-cengir. Rafli yang berada di belakang setir melambaikan tangannya
padaku.
“Gue
bareng mereka! Lo pulang duluan aja!” ucapku ketus, lalu membuka pintu mobil
dan duduk di kursi tengah tanpa memperhatikan Firman yang sedang ternganga.
“Ayo
jalan.” suruhku.
Rafli
menggas mobilnya meninggalkan Firman yang masih terpaku. Aku melihat dari spion
dan terlihat kalau Firman sedang menggaruk kepalanya dengan muka pasrah.
“Itu
siapa Feb?” tanya Ardi.
“Cowok
lo?” sambung Rafli, “Secepet itu lo lupain Kiki?”
Aku
merengut. Kedua orang ini sepertinya sedang mengujiku. “Dia kakak kelas sksd
yang berbaik hati mau nganter jemput gue pulang.” jawabku datar.
“Terus
kenapa tadi lo gak pulang bareng dia?”
“Itu
karena ada kalian. Kan
lebih untung masuk mobil daripada naik motor panas-panasan!”
Akhirnya
mereka berdua tertawa. Aku menghembuskan napas lega, untung saja mereka tak
jadi salah paham. Bisa gawat kan
kalau mereka menyangka Firman pacarku?
Lalu
mereka terdiam lagi. Canggung sekali. Seperti tak pernah bertemu.
Ardi
menyalakan radio. Sepertinya pikirannya juga sama sepertiku. Canggung sekali
suasana ini. memang sih akhir-akhir ini mereka jarang bertemu…
Terputar
sebuah lagu dari Westlife yang membuatku teringat lagi pada Kiki sehingga
hampir saja aku menjatuhkan air mata. Lalu, terdengar lagu dari band-band
kesukaan Kiki. Sial! Sepertinya radio ini memusuhiku!
“Ganti
channelnya ya Tuhan!” seruku degan suara serak.
Rafli
dan Ardi berpandangan. Sepertinya mereka tahu mengapa aku begini. Ardi pun
mengganti channel radio itu.
Kini
aku lebih menikmati lagu itu sampai kami sudah berada di depan rumahku.
“Lo
pada mau mampir dulu nggak?” tawarku.
“Nggak
usah…” jawab mereka berbarengan.
“Ya
udah! Thanks ya!”
“Oke.
Bye!” Rafli melambaikan tangannya.
Aku
pun masuk kedalam rumah. Mengambil kunci di tasku dan membuka pintu rumah
dengan pelan. Lalu aku berjalan menuju kamarku. Aku membuka pintu kamar dan
langsung mengehela napas. Kamarku sekarang terasa sangat kosong. Yah, bukan
karena barang-barangnya yang menghilang. Karena aku telah menghapus semua jejak
Kiki dari sini. Semua foto-foto maupun barang-barangnya ku kumpulkan ke satu
kotak dan kutaruh di lemari baju paling belakang.
Entahlah,
sepertinya aku terlalu menyayanginya sehingga melihat apapun yang berhubungan
dengannya sekarang membuat dadaku sesak dan ingin menangis.
Aku
membanting tubuh ke kasur dan menatap langit-langit kamarku yang bercat biru
muda. Otakku memutar semua kenangan tentang Kiki yang membuatku ingin menangis.
“Ah!”
aku baru saja ingat. Saat pemakaman, Ibunya Kiki memberikan sebuah kotak kado
untukku. Bungkus kado itu berwarna kuning cerah bergambar hati. Terlihat sih
hatinya berwarna ungu, tapi ada satu yang berwarna merah kecoklatan. Itu pasti…
Aku
membuka lemari bajuku dan menelusuri bagian paling belakang. Aku mengambil dua
kotak yang ada disana. Satu kotak berisi benda-benda yang berkaitan dengan
Kiki, dan yang satu lagi adalah kotak kado darinya.
Aku
membolak-balik kado itu dan tak membukanya. Lalu di satu sudut terdapat banyak
bekas darah. Sewaktu menerima kado ini, sepertinya aku tak melihatnya? Bekas
darah yang hampir memenuhi satu sudut itu.
Ragu-ragu
aku membuka kado itu. Mataku langsung membulat saat aku melihat sebuah kotak
kamera. Kamera yang sangat kuinginkan, keluaran baru yang senilai lebih dari
harga hapeku sendiri yang sudah memasuki jutaan.
Aku
menelan ludah. Mungkin ini cuma kotaknya, isinya bukan kamera itu. Aku membuka
kotak kamera itu dan isinya ternyata tidak sesuai dengan pikiranku. Benar-benar
kamera itu!
Aku
memegang benda itu dengan gemetar. Kiki benar-benar… membelikan ini? aku memang
pernah memintanya membelikan ini untuk hadiah ulang tahun hubungan kita yang ke
3 tahun. tapi saat itu kan
aku sedang bercanda. Kenapa ia benar-benar menganggap aku serius?
Aku
menatap benda itu yang sekarang berada di tanganku. Kamera ini… akan kusimpan
baik-baik.
No comments:
Post a Comment