Saturday, April 6, 2013

First, Second, Third (Part 1)


          Nia menutup novel yang baru saja selesai dibacanya dengan buru-buru. Sekitar dua menit yang lalu bel sudah berbunyi, tapi Nia tak menghiraukannya karena novel yang ia baca tinggal dua halaman lagi. Setelah mengucapkan terima kasih pada Bu Nina penjaga perpustakaan, Nia cepat-cepat berlari ke lantai dua, tepatnya ke kelasnya.
          Huh… beruntung. Saat ia baru sampai ke kelas yang terlihat sangat ramai, guru biologi yang mengisi jam pelajaran setelah istirahat, belum datang. Namanya Pak Haryono, tapi anak-anak lebih suka memanggilnya dengan panggilan “Pak Kum” karena kumisnya begitu tebal, sangat tebal malah. Guru ini termasuk dalam jajaran guru-guru killer kelas sepuluh yang suka menindas anak-anak muridnya dengan bentakan-bentakan tiap kali mengajar.
          “Dari mana lo? Tumben ngaret.” Bima teman sebangku Nia langsung bertanya begitu Nia duduk di kursinya dengan napas satu-dua satu-dua.
          “Dari… hhh… perpus… hhh…” Nia menarik napas panjang.
          “Lo abis baca apaan sampe telat begitu?”
          “Novel. Tinggal dua halaman, terus bel dan gue nggak denger hehehe…” Nia nyengir setelah meminum air di botolnya.
          Bima menggeleng-geleng. “Dasar maniak buku.” ledeknya.
          Nia melet, “Biarin.”
          “Orang tuh seharusnya maniak olah raga, jadi sehat!” Bima balas memelet.
          Nia langsung merengut. Ia sangat benci kata olah raga. Mendengarnya saja sudah begitu, gimana waktu pelajarannya?
          Dari kecil dulu, ia sangat payah dalam hal olah raga. Sampai sekarang pun masih, malah tambah parah. Nilainya selalu jelek di bidang itu. Gimana nggak? Main volly? Passing atas aja gak bisa, apalagi nyervis bola? Basket? Nge-dribbel aja masih suka kesrimpet kaki sendiri. Bulutangkis? Mau mukul kock, malah raketnya yang kelempar. Kasti? Ini lagi… mau mukul bola, tongkat kastinya malah kena jidat yang melahirkan sebuah benjol. Yang mudah saja deh… lari? Masih suka kepleset pasir di pinggir lapangan sekolah.
          Bima terkekeh melihat reaksi teman sebangkunya ini. “Makanyaaa… orang mah latihan biar bisa…”
          Nia tambah manyun, “Ya gue kan emang ditakdirkan gak bisa olah raga. Lagipula baca buku bisa bikin pinter tau! Mending gue baca buku.”
          “Eh, mending yang lo baca buku pelajaran. Lah ini? Novel. Percintaan lagi. Mending olah raga, sehat. Kalo sehat, bisa bikin pinter lagi!” kali ini intonasi Bima meninggi.
          “Ada juga orang pinter dulu baru sehat!” Nia balas nyolot.
          “Ssttt! Pak kum dateng!” suara Roni yang duduk di depan terdengar tiba-tiba.
          Seketika kelas langsung hening. Pak kum masuk dengan tampang menyeramkan. Setelah menaruh buku-buku dan file-nya, ia berdehem. “Kita quiz hari ini!” katanya yang membuat seluruh murid kelas X-7 menganga.
          Sungguh, quiz mendadak dari Pak kum lebih menyeramkan dari penindasan kakak kelas sewaktu MOS. Atau omelan orang tua dirumah. Tak diberi waktu untuk membaca terlebih dahulu, ia langsung menyuruh murid-murid menutup buku dan memasukkan ke tasnya masing-masing. Quiz lisan yang mematikan…
          “Matilah.” desis Nia dan Bima berbarengan.
          Masalahnya bukan apa-apa. Pelajaran ini berada di jam pelajaran terakhir, setelah istirahat kedua. Yang bisa menjawab, sangat beruntung. Karena bisa keluar kelas dengan menenteng tas dan nongkrong di kantin atau sekadar tidur di perpus walau belum boleh pulang. Sedangkan yang belum menjawab bakal tinggal terus di kelas walau bel sudah menjerit-jerit tanda pulang.
          Memang sih, biologi tak sesusah fisika. Cuma modal hafalan doang, selesai. Tapi, mana ada sih murid yang sanggup menelan nama latin yang mau nyebutinnya kudu pake pemanasan lidah dulu? Ini lagi gurunya si kumis, yang kalo quiz pasti kebanyakan nanya nama latin. Heran, guru biologi malah yang termasuk jajaran killer. Tapi fisika? Wah gurunya itu malah te-o-pe-be-ge-te lah! Beda banget sama si kumis!
          Para murid duduk di kursinya dengan tegang, kecuali beberapa orang yang jago dalam bidang ini yang bisa duduk dengan tenang. Nia duduk menegang. Khawatir bagaimanakah nasibnya nanti? Kelemahannya ada di bidang ini. Bukan biologi saja, tapi seluruh cabang IPA! Entah fisika, kimia, atau biologi.
          Dari SD dulu, nilai raportnya selalu jelek di IPA, selain olah raga. Bahkan nilai UN-nya kemarin, paling jeblok di IPA. Dan beruntung ia masuk SMA favorit ini, nilai IPA-nya terbantu oleh nilai Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Dan ternyata setelah berhasil masuk SMA ini, ia masuk kelas X-7 yang katanya kelas orang-orang bernilai pas-pasan… Huhuhu.
          Tiba-tiba Anton, cowok di barisan sebelah mencoleknya. “Tenang aja, ada gue…” katanya berbisik yang membuat Nia tersenyum geli.
           Anton lagi yang membantu… sudah pasti jawabannya salah semua. Lagipula Pak kum bisa saja tahu mana yang jawaban sendiri, mana yang dikasih tahu teman.
          Satu jam pelajaran berlalu… sudah hampir separuh kelas yang bisa menjawab pertanyaan Pak kum. Sisanya hanya bisa melongo geregetan. Dan akhirnya satu jam lagi berlalu… dan yang lolos oleh pertanyaan Pak kum malah lebih sedikit. Bel sudah menjerit tanda sudah pulang. Nia dan Bima masih berdiri di belakang mejanya. Beberapa anak kelas lain tertawa melihat siksaan di kelas X-7, sedangkan yang didalam kelas harus memaksa kuping mendengar lebih jelas. Disebabkansuasana di koridor yang berisik dan suara Pak kum kalah oleh suara berisik itu.

###

          “Di! Buruan-buruan!” Fadil menyemangati Aldi yang sedang mencatat sambil terburu-buru.
          “Iya cerewet! Kalo berisik gue malah tambah lama!” omel Aldi yang membuat Fadil tutup mulut, cuma sementara.
          “Dia lagi quiz dadakannya Haryono tuh! Ngumpung dia belom jawab. Cepetaaaaan!” Fadil lagi-lagi membeo.
          Aldi tak menggubris Fadil yang mengoceh dan melanjutkan mencatat. Barusan pelajaran sejarah, dan karena begitu mengantuk, Aldi tertidur dibalik bukunya. Untung saja Bu Nanik tak tahu, kalau ketahuan bisa hancur reputasinya sebagai cowok kece, hehe. Dan tak diketahuinya, kalau Bu Nanik memberi catatan yang berjibun banyaknya.
          Sebenarnya kan bisa saja minjem punya Fadil, dan Fadil gak keberatan. Tapi… tulisan cakar bebeknya bikin Aldi pusing. Malah jadinya gak bisa nyatet.
          Akhirnya Aldi menutup bukunya dan membereskan beragam macam buku tulis dan cetak yang berantakan di meja. Fadil makin mengejarnya untuk cepat-cepat.
          Kenapa sahabatnya ini sangat terburu-buru? Karena dia pengen ngeliat kecengannya, adik kelas sepuluh. Tepatnya kelas X-7, namanya Alania Permata Sari panggilannya Nia.
          Sebenarnya kali ini Aldi agak bingung dengan gebetan Fadil yang baru. Sepanjang lima tahun bersahabat dengannya, gebetan Fadil kalo nggak yang populer, gaul, atau gak anak ekskul cheers. Tapi sekarang? Cuma seorang anak kelas sepuluh yang nggak populer, nggak gaul, bahkan nggak ikut ekskul apa-apa. Kerjaannya cuma nongkrong di perpus, temennya cowok semua lagi?
          “Dia tuh manis Di, pas gue liat dia waktu gue nge-MOS dia, gue langsung jatuh hati.” teringat ucapan Fadil ketika Aldi bertanya.
          Dan ternyataaa… cewek yang ditaksir ketua osis gadungan ini, sama sekali gak bisa olah raga! Bayangkan! Lari pun masih kayak anak kecil belajar lari, masih suka kepleset!
          “Aldi! Ayo! Mau anterin gak?!” teriakan Fadil memecahkan lamunan Aldi.
          Fadil berjalan cepat-cepat menuju kelas X-7. Begitu Fadil berhenti di depan kelas itu, mukanya langsung sumringah melihat cewek idamannya yang sedang berdiri gelisah. Langsung Fadil mengajak duduk di kursi di depan kelas Nia.
          Nia makin gelisah karena jam sudah menunjukkan pukul empat kurang lima belas menit. Lima belas menit telah berlalu setelah bel pulang berbunyi. Jam empat dia sudah harus sampai di rumah dan menemani Mama belanja. Kalau telat, bisa dicabut deh jatah cokelat dan permen untuk sebulan!
          Baru saja Pak kum mengajukan pertanyaan, tiba-tiba Bima menjawab dengan muka senang. Mungkin senang karena dia yakin jawabannya benar. Dan ternyataaa Pak kum mengangguk. Bima dengan senang melenggang keluar sambil mengedipkan satu mata pada Nia. Uhh Nia rasanya ingin menonjok anak itu. Belagu.
          Kemudian Pak kum melontarkan pertanyaan lagi pada tujuh anak yang tersisa. Namun tak ada satupun yang menjawab.
          “Sstt! Nia!” tiba-tiba Nia menengok dan melihat Kak Fadil beserta temannya yang sedang melambaikan tangan.
          Nia mengangkat alisnya, seakan bertanya “Apa?”
          “Jawabnya ganggang laut biru!” Fadil memberitahu dengan berbisik.
          Nia mengangguk sambil tersenyum. Lalu ia mengangkat tangannya begitu Pak kum hampir menyelesaikan hitungan sepuluh detik.
          “Ganggang laut biru Pak!” jawab Nia bersemangat.
          Pak kum mengangguk, “Siapa nama kamu?”
          “Alania, Pak!”
          “Baik, silahkan keluar!”
          “Makasih Pak!” Nia buru-buru keluar kelas, tepatnya setelah mencium tangan guru itu.
          Begitu Nia keluar, langsung dilihatnya Kak Fadil yang tersenyum. “Makasih Kak Fadil…” katanya berterimakasih, memberikan senyumnya yang menurut Fadil itu senyumnya yang paling manis.
          “Ehm… I… Iya Ni.” Fadil langsung meleleh disenyumi begitu.
          Nia beranjak pergi dengan buru-buru. Untung hari ia minta dijemput Rifky kakaknya.
          Nia terpikir kejadian tadi, Kak Fadil baik juga ya… kalo kakak kelas lain pasti berpikir dua kali, eh nggak deh mungkin seribu kali, buat ngasih tahu anak kelas sepuluh yang nggak populer kayak Nia. Hmm…

###

          Aldi melempar dirinya ke tempat tidur. Melamun sambil menatap langit-langit atap kamarnya. Dirinya teringat lagi kejadian tadi sepulang sekolah. Saat cewek itu, Nia, menunduk dalam-dalam karena tak bisa pulang disebabkan belum menjawab-jawab pertanyaan Pak Haryono.
          Senyum geli menghiasi wajahnya begitu mengingat Nia menatap teman sebangkunya yang berhasil menjawab, tatapannya saat itu sangat kesal. Hahaha.
          Eh? Tunggu sebentar? Kenapa ia jadi memikirkan gebetannya Aldi sih? Nia kan cuma cewek gak populer dan maniak buku? Ah apa sih gue? Batin Aldi kesal.
          Tiba-tiba, hand phone di saku celananya berdering yang membuat Aldi tersentak. Saat Aldi menatap layar hand phonenya itu, ia tersenyum.
          “Ya?”
          “Udah pulang kamu?” tanya seseorang di seberang sana.
          “Udah. Kamu?”
          “Belom, ini lagi main di rumah Icha. Hehehe.”
          “Yee malah main lagi! Buruan pulang, udah sore! Ntar dicariin.”
          “Iya iya sayaaang…”
          “Hmm… udah dulu ya, aku mau mandi nih, gerah. Bye! Inget, cepet pulang!”
          “Iyaaa… Bye jugaaa.”
          Sudut bibir Aldi terangkat. Barusan, seseorang yang sangat disayanginya meneleponnya. Sarah, namanya. Salah satu cewek tercantik di angkatannya, anak paduan suara yang paling dikenal seantero sekolah.
          Sedangkan Aldi? Hmm… dia juga dikenal seantero sekolah, karena kepiawannya bermain bola. Aldi itu anak futsal, bukan basket maupun volly. Tapi walau begitu, ketenarannya sebanding dengan ketua basket dan volly. Selain tampang yang cukup mendukung – sangat mendukung malah – untuk menjadi populer, kegemarannya ada di bidang olah raga.
          Saat Aldi baru melepas kemejanya dan hanya memakai kaus serta celana panjang sekolah, pintu kamar terbuka.
          Andi. Kakak kembarnya. Mereka memang satu kamar, tapi beda tempat tidur. Bahkan kamar mereka dua kali lipat lebih besar daripada kamar-kamar lainnya. Itu dikarenakan mereka harus membagi luas kamar sendiri-sendiri.
          Andi dan Aldi juga beda sekolah, memang sih sekolah mereka berdua sama-sama termasuk dalam kategori sekolah favorit.
          Mereka masuk dalam kategori kembar identik. Orang-orang tak bisa membedakan yang mana Aldi ataupun Andi saat mereka berjalan beriringan. Bahkan orang tua dan adik mereka juga suka begitu.
          “Hei Al.” sapa Andi sambil tersenyum, kemudian ia menaruh tasnya dibawah meja belajar disebelah kasurnya.
          “Tumben lo pulang lama? Biasanya lo yang paling cepet pulang.”
          Andi tersenyum kalem. “Lagi pengen pulang telat ajaa…”
          Aldi mengangguk dan keluar dari kamar, menuju meja makan untuk mengisi perutnya yang kelaparan.
          Walau tak bisa dibedakan dari fisik, sifat mereka berdua sangat bertolak belakang. Aldi cuek, iseng, bandel, berantakan, sebodoamat, tukang bikin hingar bingar entah di sekolah ataupun rumah. Andi malah perhatian, baik, rapi, kalem, dan segala sifat orang baik.
          Maka itu, tak jarang terjadi pertengkaran diantara kedua anak kembar ini. Walau Andi termasuk dalam kategori orang yang baik, kalau sudah berdebat dengan Aldi, wah tak ada kata mengalah.
          Andi menghela napas ketika sedang menatap dirinya di cermin. Kemeja putihnya kotor terkena noda milkshake seorang anak cewek. Ia masih ingat ketika tadi di depan pasar modern, hal itu terjadi.

          Andi baru saja keluar dari pasar modern saat itu. Sebenarnya, kalau bukan karena tugasnya untuk membeli alat-alat untuk praktikum besok, ia sangat enggan pergi kesana. Dengan menenteng satu plastik berisi banyak barang yang ternyata sangat berat, ia berjalan keluar.
          Baru saja ia melangkah, tiba-tiba seorang anak cewek menabraknya. Cewek itu lebih pendek darinya, dan terlihat ia sedang terburu-buru.
          “Sorry!” ucap cewek itu singkat, lalu membuang milkshake stoberi yang ia minum ke tong sampah.
          Setelah terkesima melihat cewek yang – ehm – lumayan manis itu, Andi langsung menyadari sesuatu yang dingin dibagian dadanya. Saat ia melihat kearah kemejanya, ternyata terdapat noda berwarna pink lembut yang lumayan besar.
          “God!” desisnya saat itu, lalu menatap kedalam pasar modern tersebut. Lalu tanpa di komando lagi, ia langsung berjalan pulang.

          Akhirnya Andi pasrah dan keluar kamar untuk bergabung dengan Aldi yang sedang makan tanpa melepas seragamnya terlebih dahulu.
          Baru saja Andi duduk dan mengambil nasi, Aldi yang berada dihadapannya mengkerutkan kening. “Kenapa tuh seragam lo?”
          Andi menghela napas, “Gue abis ditumpahin milkshake stoberi sama orang.”
          “Yeee goblok sih lo, makanya jalan tuh liat-liat!”
          “Eh? Orang tuh cewek kok yang gak liat-liat.”
          Aldi mengangkat alisnya tak peduli, dan melanjutkan makan lagi.

###

          Nia membuang tangkai permen lolipop keduanya. Baru saja ia menata segala macam barang-barang keperluannya di kamar dan kamar mandinya. Hari ini memang jadwalnya belanja bulanan, jadi otomatis Nia dan Rifky harus ikut Mama belanja. Padahal Mama bisa membelikan apa yang diperlukan anak-anaknya, tapi beliau berdalih tak tahu apa yang diperlukan putra-putrinya itu. Dan kalau bukan karena kehabisan segala macam peralatan, Nia dan Rifky takkan ikut.
          Nia ingat, tadi ia menabrak seorang anak cowok berseragam SMA. Dan sepertinya, tanpa ia sadari milkshake yang ia minum mengenai seragam anak itu. Cowok itu seperti Kak Aldi… tapi kok rambutnya beda?
          Siapa sih yang gak kenal Kak Aldi? Cowok ganteng anak futsal yang populer. Cowok yang paling dikenal seantero sekolah, sama seperti Kak Rio yang ketua klub basket, atau Kak Toni ketua klub volly. Pacarnya Kak Aldi juga populer, namanya Kak Sarah yang suaranya membahana badai.
          Nia juga menyukai Kak Aldi. Ia sangaaat keren. Tadi ia sangat beruntung bisa melihat Kak Aldi dari dekat. Nia tahu, Kak Aldi dan Kak Fandi dua sahabat yang tak terpisahkan, jadi dimana ada Kak Fandi pasti ada Kak Aldi.
          Kalau  benar yang kemarin ia tabrak Kak Aldi? Waaah… parah dong? Nia kan sudah menumpahkan milkshakenya ke seragam Kak Aldi? Aduh…
Esoknya di sekolah…
          Nia melompat turun dari bus yang ia naiki ke sekolah. Tiga menit lagi masuk! Dan jarak dari halte ke sekolah lumayaaan jauh… ia buru-buru berlari sekencang-kencangnya, walau ia tahu hal itu takkan berhasil.
          Hari ini hari jum’at, dan gawatnya guru piket yang ngawas adalaaah… Pak kum dan Bu Dina, guru yang killer itu. Kalau ada anak yang telat saja, diharuskan lari keliling lapangan utama tiga kali. Sekali aja udah bikin gempor, apalagi tiga kali? Nia tak bisa membayangkan hukuman yang akan diterimanya.
          Nia melirik jamnya lagi dan ternyata tinggal menghitung mundur dari satu menit bel akan berbunyi. Makin cepat ia berlari, walau makin banyak resiko terpleset. Tadi saja sudah dua kali.
          “Nia!” tiba-tiba terdengar suara orang memanggil dan bunyi klakson motor.
          Nia memberhentikan larinya dan matanya langsung terbelalak begitu tahu siapa yang memanggilnya. “Kak Aldi?!”
          “Buruan naik! Mau telat ya?”
          Sedetik, Nia pikir ini adalah khayalannya. Tapi begitu melihat muka Kak Aldi yang serius, ia langsung buru-buru naik. Dan Kak Aldi menggas motornya dengan kencang.
          “Kak, Nia turun disini aja deh.” pinta Nia saat sudah sampai di gerbang sekolah.
          Kak Aldi langsung memberhentikan motornya, “Yaudah.” katanya maklum.
          “Makasih kak!” kata Nia lalu Kak Aldi langsung masuk ke pekarangan sekolah dan memarkir motornya.
          Bukan apa-apa sih, tapi Nia tak mau dibilang cari masalah sama Kak Sarah. Jadi ia lebih memilih turun di gerbang. Lagipula keadaan sekolah masih ramai begitu…
          “Nia?” tiba-tiba, seseorang memanggilnya lagi begitu Nia sudah berada di koridor utama.
          Nia menoleh, dan dilihatnya Bima sedang tersenyum padanya.
          “Kok tumben telat?” tanya Bima.
          “Hehehehe iyaaa…” Nia menggaruk kepalanya dan tersenyum.
          Kemudian, bel berbunyi dengan sangat nyaring.

###

          “Aldi!” panggil Fadil begitu Aldi sedang menyeruput es teh nya di kantin.
          “Hoi!” sahut  Aldi.
          Fadil duduk di sebelah Aldi, sudah memakai seragam biasa. Kelas mereka sehabis pelajaran olah raga, dan ironisnya saat pelajaran itu matahari sedang bersamangat dan mereka harus berada selama sejam di lapangan.
          “Ehm… gue pengen ngomong deh.” kata Fadil dengan muka serius.
          Aldi pengen ngakak saat itu juga, tapi ditahannya dan melahirkan sebuah deheman. Jarang-jarang Fadil bermuka serius seperti itu. “Ngomong apaan?”
          “Kok lo tadi berangkat bareng Nia?” Fadil menyelidik.
          “Lah? Emang kenapa?”
          “Lo lupa dia kecengan gue? Kok lo berangkat bareng dia sih?”
          “Eh gini ya, gue tadi lagi telat-telatnya dan lagi ngebut. Pas udah dijalan, gue liat Nia lagi lari. Kesian tau! Makanya gue tumpangin. Jangan negative thinking dulu lah! Lagipula kok lo tau?”
          “Tadi gue liat dia turun dari motor lo.” Fadil menelan ludahnya. “Lo suka ya sama dia?”
          Aldi yang sedang minum langsung tersedak dan batuk-batuk. “Eh! Enak aja lo ngomong! Satu-satunya cewek yang gue suka dan gue sayang cuma Sarah! Ngapain gue suka sama Nia? Gue bilang, gue kan cuma kasian sama dia. Lagipula gue gak suka orang yang gak bisa olah raga!”
          “Ya jangan ngatain juga dong!” Fadil membela, walau dalam hati ia bersyukur.
          Tanpa mereka berdua tahu, ada sepasang mata yang menatap mereka dengan tatapan sedih.

###

          “Ni, beliin gue minum dong di kantin!” pinta Bima saat Nia sedang membaca novel.
          Saat ini sedang pelajaran kosong, dan rata-rata seisi kelas menghambur kemana-mana. Cuma beberapa yang tinggal di kelas, termasuk Nia dan Bima.
          Padahal biasanya Bima menghambur juga saat pelajaran kosong, tapi kali ini tidak. Ia sedang sibuk menyalin PR kimia milik Nia. Nia mengangguk karena saat ini cuaca sedang sangat panas. Walau kelas ber-AC, tetap saja masih terasa panas. Dan yang bisa menyegarkan tubuh adalah minuman yang sangat dingin.
          Nia bergegas ke kantin dan membeli dua minuman dingin. Saat ia sampai, ia melihat dua orang yang sedang mengobrol serius. Dan ternyata mereka adalah Kak Aldi dan Kak Fadil.
          “Tadi gue liat dia turun dari motor lo.” Fadil menelan ludahnya. “Lo suka ya sama dia?” terdengar suara Kak Fadil.
          Dan terdengar juga suara Kak Aldi yang sedang batuk-batuk. “Eh! Enak aja lo ngomong! Satu-satunya cewek yang gue suka dan gue sayang cuma Sarah! Ngapain gue suka sama Nia? Gue bilang, gue kan cuma kasian sama dia. Lagipula gue gak suka orang yang gak bisa olah raga!”
          Dugh! Rasanya seperti ada batu besar menghantam Nia. Nia buru-buru pergi dari situ, tak mau mendengarkan lebih. Oh, mungkin Kak Fadil bertanya begitu karena dia curiga Nia yang turun dari motor Kak Aldi tadi pagi.
          Kalimat terakhir Kak Aldi seakan menusuk Nia. Iya sih… Nia tahu mana mungkin Kak Aldi akan menyukainya. Itu gak mungkin. Tapi tetap saja Nia patah hati. Huh, begini ya nasib fans berat Kak Aldi?
          “Kok lama Ni?” tanya Bima mengambil minumannya saat Nia sampai kelas.
          “Tadi ada pemblokiran jalan.” Nia menjawab asal dan duduk di kursinya.
          Bima menatap Nia, lalu menaikkan bahunya dan melanjutkan menyalin.

###

          “Aldi! Bangun dong!” Andi mengguncang-guncang tubuh kembarnya itu.
          Aldi yang masih tertidur tetap tak bergeming.
          “Aldii!! Woii! Gue siram lo!!” kali ini Andi berteriak tepat di telinga Aldi.
          Aldi langsung terbangun dengan kaget dan menatap Andi dengan tatapan marah. “Apa sih!?! Gue lagi enak-enak tidur juga!”
          “Udah jam sembilaan!! Kebo banget sih? Gue mau pergi, rumah kosong. Ayu, Mama, sama Papa juga pergi. Jangan tidur lagi! Jaga rumah!”
          “Iya bawel! Kayak cewek gue aja deh!”
          Andi tersenyum geli dan keluar dari kamar, kemudian berjalan keluar. Hari ini ia dan teman-temannya mau berjalan-jalan keliling Jakarta. Dan mereka janjian bertemu di terminal Blok M. Andi menyetop bus yang lewat, dan menuju ke terminal.

###

          “Kak Andre ngerepotin!” gumam Nia sendiri saat sudah sampai di terminal Blok-M.
          Hari ini, dengan sangat keterpaksaan Nia harus menjemput Kakak sepupunya yang berasal dari Solo. Dan ternyata kakaknya satu ini memang sangat merepotkan karena ia minta dijemput di monas. Serta, ia maunya dijemput Nia! Apa coba? Padahal Nia sedang malas keluar rumah. Mana gak ada yang mau nemenin lagi.
          Setelah membeli tiket busway, Nia menuju antrian. Uh rame banget antriannya, nasib deh nasib. Moga-moga ntar ditraktir Kak Andre!
          Akhirnya setelah bermenit-menit, Nia masuk busway juga. Udara yang panas dari luar langsung terasa dingin saat Nia masuk kedalam kendaraan itu. Kendaraan yang seperti kembarannya bus ini, terisi lumayan penuh. Dan Nia gak kebagian tempat duduk!
          Akhirnya Nia berdiri di samping seseorang cowok yang memakai jaket hitam. Tapi sepertinya Nia kenal cowok ini… Ah sudahlah! Lebih baik tak usah memperhatikan cowok-cowok. Lagi sakit hati nih sama cowok!
          Tak beberapa lama, tiba-tiba bus berguncang-guncang. Nia yang tak terlalu konsentrasi berpegangan, hampir terjatuh. Dan benar-benar mau terjatuh! Tiba-tiba sebuah tangan memeganginya.
          Nia menoleh, ternyata itu cowok yang memakai jaket hitam di sebelahnya. Dan Nia juga terkejut, begitu yang dilihatnya adalah Kak Aldi.
          “Kak… Kak Aldi?!” seru Nia tak percaya.
          Ia tersenyum dan melepaskan pegangannya pada Nia. “Bukan…” jawabnya perlahan.
          Nia terperangah. “Lho?” akhirnya hanya sepatah kata itu yang keluar dari mulut Nia.
          “Gue Andi, kembarannya Aldi…”
          Apa? Kak Aldi kembar?!
          “Lo siapa? Kok kenal Aldi? Adek kelas ya?” lanjut Andi.
          “Eh… iya…”
          “Ooh…,” Andi manggut-manggut, “Perasaan kita pernah ketemu ya?”
          “Kapan?” alis Nia mengkerut.
          “Di pasar modern…”
          Nia ingat. Berarti orang yang ia tabrak dan ia tumpahi milkshake adalah kembarannya Kak Aldi dong??
          “Dan kayaknya lo tumpahin minuman lo ke seragam gue…”
          Nia tersenyum. “Sorry ya. Gak sengaja…”
          Andi tersenyum maklum. “Oh iya, gue belom tau nama lo. Nama lo siapa?”
          “Nia. Alania.” Nia tersenyum.
          Andi manggut-manggut lagi. Nia memperhatikannya dengan seksama. Mirip banget Kak Aldi deh. Alisnya, mulutnya, matanya, hidungnya. Cuma, Kak Aldi gampang keringetan. Tapi sepertinya Andi tidak.
          Nia tersenyum melihat Andi. Andi baik deh, gak kayak Kak Aldi yang judes. Kalau tadi benar-benar Kak Aldi, mana mungkin dia mau memegangi Nia sewaktu Nia hampir jatuh.
          Bus berhenti di halte monas. Nia langsung buru-buru turun, dan ternyata Andi and the gank juga ikut turun.
          “Mau ngapain kesini sendirian?” tanya Andi.
          “Mau jemput kakak sepupu, dia minta jemput di monas.”
          “Ooh. Ayo bareng sama gue aja, gue kan juga mau ke monumennya. Kakak lo nunggu disitu kan?”
          Nia mengangguk. ia berjalan beriringan dengan Andi. Saling mengobrol, akrab layaknya orang yang sudah kenal beberapa lama karena Andi bisa membawa suasana. Kadang obrolan mereka diselingi oleh ledekan teman-teman Andi yang agak rese.
          Setelah sampai didepan monument, Nia mengucapkan terima kasih pada Andi karena telah menemaninya. Ia bersikap sangat baik, padahal dalam hati ia ingin meloncat-loncat.
          Itu dikarenakan berjalan berdua dengan Andi sama saja seperti berjalan berdua dengan Kak Aldi! Lagipula kan mereka mirip. Ah… gak apa-apa deh Kak Aldi gak suka sama Nia, Andi pun bisa juga jadi inceran ya gak?
          Saat Nia sedang tersenyum-senyum sendiri, tiba-tiba seseorang memanggil namanya dari belakang. Nia langsung menoleh, tadinya ia kira itu Andi, tapi ternyata… Kak Andre…
          “Nia!! Ayo pulang! Capek nih, panas!” cerocos Kak Andre.
          Huh… kebahagiaan yang berakhir kekecewaan…

###

          “Yaaah Nia masuk sini… To, Nia jadi cadangan aja apa!” gerutu Ridho pada Okto, seksi olah raga.
          “Tau niihh! Okto apaan sih?!” protes yang lain.
          Okto yang sedang memegang daftar absent dan mengalungi peluit, hanya cengengesan gak jelas. Sedangkan anggota kelompok Nia hampir saja melemparinya dengan batu kalau Okto tak segera kabur.
          “Eh! Udah diatur tau sama Pak Jay! Ya jadi terima apa adanya aja dongg!” kali ini gantian Okto yang memprotes.
          Yang lain hanya bisa merengut. Bukan karena mereka benci sama Nia, tapi kalau ada Nia di salah satu kelompok olah raga, kelompok itu akan kalah. Dan kali ini Nia sekelompok dengan Ridho, Bagas, Della, Anita, dan Indra orang-orang jago olah raga. Nia pun hanya diam disamping tiang net yang sudah terpasang. Kelas mereka yang berolah raga akan mengadakan tanding volly.
          Kalau bukan karena guru-guru sedang rapat, mungkin anggota kelompok Nia akan memprotes pada Pak Jay tentang pembagian kelompok. Dikarenakan para guru yang sedang rapat, semua murid-murid dari kelas XII-X keluar dari kelasnya. Dan tentu saja mereka tertarik pada pertandingan volly kelas X-7 yang ketahuan anak-anaknya rata-rata jago berolah raga.
          Kelas Nia memang berisi anak-anak jago olah raga. Paling hanya beberapa saja yang tak bisa berolah raga. Memang bukan kelas yang anak-anaknya berisi orang-orang jenius sih, tapi kalau ada pertandingan olah raga antar kelas pasti kelas Nia lah yang memenangkannya.
          “Nia! Nia!” beberapa anak cowok OSIS menyemangati Nia. Sebenarnya bukan menyemangati juga, tepatnya meledek karena mereka tahu Nia tak bisa berolah raga.
          Nia hanya memanyunkan bibirnya kesal. Uh… kalau kali ini kalah lagi, pasti ia akan ditertawakan seluruh penjuru sekolah…
Sementara itu…
          “Di! Bangun! Woi!” Fadil mengguncang-guncang tubuh Aldi yang tertidur di meja.
          Tapi ternyata Aldi tak kunjung bangun. Fadil tahu, Aldi semalam begadang menonton bola karena tim favoritnya sedang bermain dan ditayangkan di televisi. Ia baru tidur jam 2 pagi, sedangkan ia harus berangkat jam 6. Aldi yang tak juga bangun meski telah diguncang-guncang sekian lama, membuat Fadil jengkel.
          “WOI KEBO!! BANGUN!! BU DINA DATENG!!” teriak Fadil tepat di telinga Aldi yang membuat Aldi langsung terbangun dan celingukan.
          Aldi garuk-garuk kepala. “Mana Bu Dina? Kok kelas sepi?”
          Fadil cengengesan, lalu Aldi langsung menangkap tingkah sahabatnya itu dan menatapnya dengan jengkel.
          “Ayo ikut! Temenin gue nonton tanding volly anak kelas X-7! Ayoo!” Fadil menarik tangan Aldi.
          Aldi pasrah mengikuti Fadil saja, walau saat ini ia masih sangat mengantuk lantaran tidur cuma tiga setengah jam. Hampir saja Aldi menabrak pintu kelas, kalau Fadil tak buru-buru menariknya.
          “Nia ikutan main, jadi gue mau nonton. Ayo ke lantai dasar, gue pengen liat dari deket.” ujar Fadil.
          Hah?! Nia? Satu nama yang keluar dari mulut Fadil langsung menyadarkan Aldi sepenuhnya. Nia? Si bego olah raga itu ikut tanding volly? Hahahaha!
          “Hah? Serius si Nia ikut tanding?” Aldi tertawa.
          “Kok ketawa sih lo?” Fadil sewot.
          Aldi memberhentikan ketawanya dan langsung mengikuti Fadil dengan senyuman geli. Ia ingat, sepulang Andi dari jalan-jalan Sabtu kemarin, Andi bilang ia ketemu anak cewek yang bernama Alania. Ternyata Nia lah yang membuat noda di seragam Andi. Dan ternyata setelah ‘tragedi milkshake’ itu, Andi dan Nia bertemu lagi di busway.
          “Tuh cewek manis juga ya?”
          Ucapan Andi kemarin saat mereka sedang makan malam teringat kembali. Ucapan yang membuat Aldi tersedak makanannya sendiri.
          Kenapa ya, orang-orang terdekatnya menyukai adik kelas bernama Alania yang polos dan gak ngerti apa-apa dalam pelajaran olah raga dan IPA. Oke, Aldi akui ia memang manis, sangat manis malah. Kulitnya berwarna tak putih, dan tak juga coklat. Dan satu lagi, senyuman mautnya itu sebenarnya bisa memikat siapa saja termasuk Fadil dan Andi.
          Aldi geleng-geleng kepala. Untung saja ia tak bernasib jomblo ngenes seperti Fadil dan Andi, kalau iya, ia bisa saja terpikat pada senyuman maut adik kelas itu.
          “Aldi? Di!!” kibasan tangan Fadil membuyarkan lamunan Aldi tentang Nia.
          “Eh? Apa?” Aldi mengerjap.
          “Lo kenapa sih? Kok sekarang sering ngelamun? Semenjak lo bareng berangkat sama Nia, lo jadi sering kayak gini?” Fadil mulai menyelidik.
          “Apaan sih Dil? Gue gak apa-apa kok! Kenapa? Lo mulai lagi mikir gue suka sama kecengan lo? Nggak lah?! Gue bukan temen makan temen! Lagipula gue punya cewek!” Aldi mencerocos sewot sambil memesan es teh manis di kantin.
          Fadil tersenyum tipis. Ya, ia memang tahu selera sahabatnya yang tak jauh dari seleranya itu. Ingin cewek populer, dikenal banyak kalangan, cantik, baik, gaul. Tapi itu semua berubah pada Fadil semenjak Fadil mengenal Nia. Nia yang tak gaul, tak populer, tak dikenal banyak kalangan sekolah (sebenarnya dikenal karena kelemahannya dalam olah raga yang terkenal sampai penjuru sekolah), ia juga tak cantik hanya senyuman manisnya yang cukup memikat. Teringat percakapannya dengan Aldi dulu.

          “Eh! Tahun ajaran baru gak ngincer cewek?” Aldi merangkul pundak Fadil yang saat itu sedang menatap kearah anak kelas X-7, kelas yang dipimpin Fadil dan Irna saat MOS. Kelas Fadil dan Aldi memang berseberangan dengan kelas X-7.
          Fadil hanya tersenyum rahasia yang langsung dibalas Aldi dengan tampang menyelidik.
          “Hayooo siapa tuh? Kok senyum-senyum aja? Ngangguk nggak, geleng nggak? Kepo nih guee! Udah bulan Agustus, mana cewek lo yang baru?”
          “Gue belom punya cewek coy…” jelas Fadil.
          “Tapi ada yang lo suka kan? Ayo laaah jujur sama gue. Kayak baru kenal gue aja deh lo? Kita udah lima tahun kenal!”
           “Tuh liat kearah anak kelas X-7,”Aldi mengangguk dan  Fadil tersenyum, “Liat anak yang lagi meluk lengan anak cowok.”
          Aldi menelusuri pandangannya. Dan ia akhirnya melihat anak cewek yang memeluk lengan seorang cowok yang lebih tinggi darinya. Seorang anak cewek yang berkulit tak kuning, dan juga tak coklat, lebih menjurus ke kuning langsat malah. Wow, Aldi akui cewek inceran Fadil kali ini lumayan. Manis sekali, apalagi senyumnya. Tadi cewek itu tersenyum pada cowok yang ia peluk lengannya.
          “Namanya Nia. Cowok yang dia peluk lengannya itu namanya Bima, temen pertama dia” Fadil mengikuti pandangan Aldi dan ikut menatap Nia yang sedang berjalan di koridor depan kelasnya dengan Bima.
          “Manis…” tanpa sadar Aldi berucap begitu yang membuat Fadil mengerutkan alis. Aldi yang baru sadar, langsung meralat. “Lumayan juga pilihan lo…”
          “Si Bima itu temennya apa cowoknya?”
          “Ya temennya lah, temen pertama Nia tuh Bima, begitu juga sebaliknya. Malah sekarang mereka sahabatan. Maklum lah, dari sekolahnya yang dulu, cuma Nia yang masuk sini. Si Bima juga sama. Kebetulan mereka sama-sama telat waktu hari pertama MOS dan dihukumnya bareng-bareng. Akhirnya kenalan deh, terus duduknya bareng karena cuma sisa satu meja doang di belakang.” Fadil bercerita
          Aldi mengangguk, diperhatikannya Nia lebih jeli. Lumayan juga…

          Aldi tersenyum lagi sambil menyeruput tehnya dan memperhatikan Nia yang sedang berusaha membalikkan bola yang terlempar dari tim lawan.
          “Ayo Nia! Harus bisaaa!!” Fadil menyemangati kecengannya itu.
          Dan ternyata support dari Fadil, membuat Nia berhasil membalikkan bola yang membuat mata anggota kelompok Nia membulat. Lagipula itu lemparan dari Toni yang kebetulan permainan volly-nya dapat diacungi dua jempol. Anak-anak cowok, yang entah kelas berapa, langsung bersorak.
          “PERTAMA KALINYA DALAM SEJARAH, NIA BALIKIN BOLA! YEEE!” bahkan ada yang berteriak begitu dari segerombolan anak kelas sebelas.
          Beberapa ibu-ibu kantin geleng-geleng melihat kelakuan seluruh anak kelas sebelas atau dua belas yang berisik. Ya, saat ini pertandingan volly kelas X-7 berlangsung di lapangan kantin. Maklum deh, lapangan utama dipakai untuk latihan upacara minggu depan, lalu lapangan basket dipakai anak-anak basket. Lapangan volly yang seharusnya memang dipakai anak kelas X-7 malah direbut anak-anak volly. Akhirnya lapangan yang tersisa hanya ada lapangan kantin dan baru deh anak kelas X-7 bisa tanding volly.
          Skor sudah menunjukkan 4-5. kelompok Nia 4, kelompok Toni 5. kali ini giliran Nia yang menyervis. Anak-anak kelompok Nia menahan napas, dan penonton bersorak sambil tertawa-tawa.
          “Ayooo Nia bisaaa!!” teriak Fadil lagi, membuat Aldi tersentak.
          Dan ternyataaa… Nia berhasil menyervisnya berkat dukungan Fadil! Penonton takjub, begitu pun anggota kelompok Nia. Tapi keheningan itu hanya berlangsung sementara, dan penonton langsung berteriak riuh.
          Dan karena keterlongoan tim lawan, bola yang harusnya dibalikkan, malah terjatuh dan alhasil skor masing-masing sama.
          Toni yang akhirnya tersadar dari kelongoannya, langsung berteriak. “CURANG! KITA KAN BELOM SIAP!” protesnya.
          Penonton malah lebih riuh lagi dan melempari Toni dengan kerikil yang membuat Nia tersenyum. Entahlah, setelah mendengar seseorang menyemangatinya, ia menjadi bersemangat dan bisa!
          Akhirnya pertandingan dihentikan saat guru-guru sudah selesai rapat. Dan pelajaran olah raga kelas X-7 sudah selesai. Tim Nia berhasil mendapat skor 8, sedang tim lawan cuma 6. hal itu membuat anak-anak kelas terkagum pada si bodoh olah raga yang sudah merebut skor sebanyak dua kali.
          “Keren juga, tuh bisa main!” Bima menyerahkan botol minum Nia pada cewek yang sedang mandi keringat itu.
          Nia tersenyum dan meneguk airnya. “Cuma ngambil skor dua kali kok, selanjutnya sama yang lain.”
          Bima balas tersenyum. Ada perasaan yang bergetar di hatinya akhir-akhir ini begitu ia melihat Nia. Bima memang tak mengenal yang namanya pacaran sebelumnya, tapi kalau yang namanya suka-sukaan sih sudah sering. Apa ia menyukai Nia? Sahabatnya yang sering ia olok-olok?
          Ya, cewek ini memang manis, sangat manis malah. Bahkan seluruh murid-murid lelaki disini juga beranggapan begitu. Cuma yang buta saja yang tak mengakui Nia manis. Satu-satunya anak kelas sepuluh yang terkenal karena kebodohannya dalam yang namanya olah raga. Anak kelas sepuluh yang lain yang terkenal, mungkin terkenal karena gaul dan modis saja. Nia memang berbeda dari yang lain. Ia tak suka olah raga dan seluruh cabang IPA. Ia lebih suka membaca novel yang tebalnya mungkin setebal kamus besar bahasa Indonesia dibanding membaca buku pelajaran IPA yang membuatnya pusing. Ia juga tak menyukai jalan-jalan, ia lebih suka duduk diam di kamarnya sambil mengemut coklat atau lolipopnya.
          Tidur adalah hobinya yang lain. Jangan ditanya, cewek satu ini memang paling hebat dalam yang namanya tidur. Ia bisa tidur saat tengah malam dan bangun saat tengah hari. Sekalipun ia keluar rumah, hanya untuk bermain di rumah teman. Kalau moodnya membaik, ia pasti akan mengajak siapa saja menemaninya bermain games dan ke gramedia di mall, atau sekadar makan di café.
          Bima tahu itu semua, walau ia baru mengenal Nia selama empat bulan. Cewek ini memang gampang ditebak, dari ekspresinya saat bel pelajaran berganti dan menuju pelajaran olah raga saja ia mulai cemberut. Tapi Nia lebih suka memendam perasaannya, tak curhat seperti cewek-cewek lain yang memilih mengutarakan isi hatinya pada sahabat-sahabatnya.
          “Dan menurut lo siapa siih yang nyemangatin gue…?” tanya Nia yang akhirnya tak kunjung dapat jawaban.
          “Bima? Bim?” Nia menatap Bima yang ternyata sedang melamun. Berarti selama ini ia tak mendengar ia berbicara?
          “Bima!! Ihh!” Nia akhirnya mengguncang tubuh sahabatnya itu begitu panggilannya tak terjawab dan Bima langsung tersentak.
          “Apa sih?” Bima menggaruk lehernya.
          “Lo denger gak sih?”
          Bima terdiam sesaat, “Eh? Hehehe…”
          Nia cemberut dan beranjak masuk kedalam kelas meninggalkan Bima.
         
###

          “Niaaa!!” suara seseorang memanggil dirinya yang membuat Nia tersentak.
          Nia menoleh dan dilihatnya Kak Fadil sedang berjalan menghampirinya. Sendirian. Mana Kak Aldi? “Kenapa kak?”
          “Ehm… gue… boleh minta nomer lo gak?” tanya Fadil sambil menggosok lengannya yang terasa dingin.
          “Hah? Eh… buat apaan kak?”
          “Ya buat SMS-an aja… boleh gak?”
          “Eh…” Nia terperangah melihat muka Kak Fadil yang berkeringat dan memerah. Entah karena malu, atau ia memang sedang kepanasan lantaran posisi mereka yang berada di tengah lapangan.
          “Gimana?” tanyanya lagi tak berani menatap Nia lagi.
          Akhirnya Nia tersenyum geli dan menyebutkan nomer hand phone-nya.
          Fadil tersenyum setelah selesai mencatat nomer Nia di hand phonenya. “Thanks ya Ni…”
          “Iya. Duluan ya kak. Bye!” Nia tersenyum dan beranjak pergi.
          Fadil masih terpaku melihat sosok yang ia sayangi itu pergi. Ah… akhirnya setelah mengumpulkan keberanian selama empat bulan, berhasil juga mendapat nomer hand phone kecengannya itu. Masih ada langkah selanjutnya…
          Saat Fadil baru saja melangkah, dilihatnya sahabatnya yang berjalan kearahnya dengan muka kusut.
          “Nape lo?” tanya Fadil.
          “Bodo ah!” Aldi melengos.
          Lah? Fadil bingung. Kemudian sudut bibirnya terangkat perlahan.
          “Putus ya?” tanya Fadil hati-hati, masih dalam senyum.
          “Hmm…”
          Fadil ngakak saat itu juga melihat reaksi Aldi. Wah, benar diputusin Sarah nih anak!
          “Kok lo ketawa sih?!”
          “Sorry, abis lucu banget deh lo! Kayak gak ada cewek lain aja? Masih banyak tuh yang ngantri jadi cewek lo!”
          Aldi mengangguk malas.
          “Eh ngomong-ngomong…,” Fadil merangkul pundak sahabatnya itu dan berjalan menuju parkiran, “Gue dah dapet nomer hand phone Nia dong! Hahaha!”
          Aldi seketika melotot, “Sadaaap! Udah bikin Nia bisa main volly, dapet nomer hand phone lagi? Kereen dah!” Aldi bertepuk tangan, melupakan patah hatinya.
          “Siapa dulu dooong! Fadilll!” Fadil membanggakan diri.
          Aldi tertawa dan menaiki motornya lalu menggas pergi bersama dengan Fadil yang berada di motor sebelah.
Sementara itu…
          Nia memeluk tubuhnya, kedinginan. Ia masih berada di halte sedari tadi dengan beberapa anak yang juga belum mendapat kendaraan pulang. Cuaca berubah dengan tiba-tiba, yang tadinya sangat panas, tak beberapa lama langsung mendung dan turun hujan deras. Bus yang harusnya ditumpangi Nia memang sudah banyak yang lewat, tapi semua bus yang lewat tadi menampakkan kalau bus itu penuh dan tak ada tempat duduk. Nia ogah berdiri, karena ia bisa saja tergencet orang-orang.
          Nia sudah menelepon Kak Andre agar menjemputnya. Tapi kakak sepupunya itu sedang termehek-mehek di depan televisi menonton drama korea. Rifky juga sudah ia telepon, tapi tak kunjung Rifky angkat. Yah, sebenarnya Nia juga sudah tahu kalau jam segini Rifky pasti bermain game di laptop di kamarnya.
          “Nia?” sebuah suara yang tak asing memanggilnya.
          Nia menoleh, dan seketika senyumnya mengembang. “Andi?”
          “Belom pulang?”
          “Iya nih lagi nunggu bus, nggak ada yang bisa dinaikkin.”
          “Oh naik bus nomer berapa?”
          “Nomer 44.”
          “Ohh sama dong.” Andi tersenyum.
          Nia balas tersenyum, lalu terdiam di kursi halte masih memeluk dirinya. Hujan bertambah deras, dan Nia menggigil. Sudah jam setengah lima dan ia akhirnya memutuskan lebih baik digencet orang daripada mati kedinginan disini. Tapi bus tak kunjung lewat, hujan juga sepertinya sedang bersemangat melaksanakan tugasnya…
          Andi yang melihat Nia sedaritadi memeluk dirinya sendiri,  berinisiatif dan melepas jaketnya. Untung saja jaketnya tak basah. Baru saja ia melepas jaketnya, ia langsung menggigil. Kalau tak ada Nia, ia mungkin akan enggan melepas jaketnya. Lagipula ia kan gentlemen.
          “Nih.” Andi memberi jaketnya pada Nia.
          Nia menatap Andi heran. Bibirnya gemetar. Duh, ia kan memang sangat tak tahan dingin. AC di kamar saja, tak pernah ia nyalakan saat ia tidur kecuali saat ia kepanasan sekali. “Eh, gak usah…”
          “Gak pa-pa. Udah pake aja. Kedinginan kan?”
          Akhirnya Nia menerima jaket itu dengan ragu-ragu dan memakainya.
 Hangat. Dan aromanya segar, mungkin parfum Andi yang menyegarkannya.
          “Makasih…” Nia tersenyum, yang menampakkan satu lesung pipi di sebelah kanan.
          Andi terperangah. Wah, kacau. Cewek ini sudah memikat hatinya sekarang. “Eh itu ada bus lewat! Kosong lagi!” seketika Andi menyembunyikan mukanya yang bersemu merah.
          “Eh iya! Ayo naik!” akhirnya mereka berdua naik ke bus yang agak kosong itu.

###

          Aldi baru saja menginjakkan kakinya ke pekarangan sekolah. Hidungnya terasa gatal, ternyata ia kena flu karena kemarin menerobos hujan yang kejam. Aldi memperhatikan keadaan sekolah. Tak sepi, tak ramai. Seorang anak cewek berjaket hitam berjalan tak jauh di depan darinya.
          Aldi memperhatikan cewek itu. Hmm… sepertinya ia kenal jaket yang dipakai cewek itu. Jaket siapa ya? Wah, jangan-jangan… Aldi mempercepat langkahnya. Dan di lengan kanan jaket yang dipakai cewek itu ada simbol perisai bertulis huruf A disana. Jaket yang sama dengan yang sedang Aldi pakai sekarang. Benar! Itu jaket Andi!
          “Hei?” Aldi menepuk pundak cewek itu.
          Cewek itu yang sedari tadi sibuk bermain hand phone, langsung menoleh. Dan Aldi terkesiap, begitu pun cewek itu.
          “Nia??”
          “Kak Aldi?” Nia bahkan setengah berteriak, “Ada apa?” tanyanya lagi begitu bisa mengendalikan keterkejutannya.
          “Eh, ehm… jaket siapa yang lo pake?” Aldi menunjuk jaket Nia.
          Nia menunduk, menatap jaket yang ia pakai. “Oh, ini… ini jaket Andi. Kembaran kakak kan?”
          “I… iya.”
          “Kemaren Andi ketemu Nia di halte, terus dia ngasih Nia jaket karena masih ujan.” tutur Nia yang membuat Aldi ingat Andi yang pulang hujan-hujanan kemarin.
          “Sini jaketnya.”
          “Eh? Gak. Nia kan mau balikinnya ke Andi langsung.” Nia tanpa sadar berbicara dengan nada keras.
          “Lah? Gue siapanya Andi? Kembarnya kan? Kok lo nyolot sih? Kakak kelas nih!”
          Nia langsung merengut dan melepas jaket yang ia pakai. Huh, padahal aromanya menyegarkan dan jaket itu nyaman. Aldi langsung beranjak pergi mendahului Nia begitu Nia menyerahkan jaket Andi ke tangan Aldi.
          Sebenarnya bagi Aldi tidak masalah Nia mau memakai jaket itu kek, nggak kek. Tapi masalahnya saat ini Aldi sedang memakai jaket yang sama, dan bisa-bisa timbul gossip aneh lagi. Lalu, Fadil menuduh Aldi ‘temen makan temen’ gawat memang.    Kemarin memang hujan, makanya membuat Aldi bersin-bersin seperti sekarang. Dan kemarin Andi sampai rumah sekitar jam 5 sore, dengan tubuhnya yang basah. Tapi walau kebasahan begitu, muka Andi terlihat bahagia. Aldi sempat bertanya-tanya. Kesambet petir apa nih anak? Biasanya Andi paling kesal dengan yang namanya hujan karena menghambat segala sesuatu yang ingin ia lakukan.
          Aldi masih ingat persis bagaimana muka Andi yang sedang tersenyum-senyum salting dan mukanya merah. Apa mungkin Andi terkena jurus senyum maut Nia ya saat kemarin pulang berbarengan? Bahaya…
          “Woi!” tiba-tiba Fadil menggebrak meja Aldi dengan kencang yang membuat Aldi tersentak.
          “Ngapain sih lo?!” Aldi sewot.
          Fadil cengengesan aneh. “Gue berhasil pedekate dong sama Nia!” katanya bangga.
          Aldi merosot di bangkunya. Ah lagi, lagi, dan lagi ia harus mengingat Nia. Bosan lama-lama. “Trus?”
          “Yaa tinggal tunggu tanggal bagus aja, hehehe.” Fadil melempar tasnya ke bangku di belakang bangku Aldi.
          “Bagus deh.” Jawab Aldi sekenanya, karena ia malas mengingat tentang Nia. Nia yang disukai kedua orang terdekatnya, Andi dan Fadil. Untung saja ia tak menyukai Nia seperti mereka berdua.

###

          “Ap… apa?” tanya Bima heran, tak yakin akan pendengarannya.
          “Iya Bim gue jadian sama Kak Fadil!” jawab Nia sambil tersenyum riang disana.
          Bima menelan ludah. Sebenarnya ia sudah tahu apa maksud ucapan Nia pertama kalinya. Saat ia bilang ia jadian dengan Kak Fadil ketua osis itu, sahabat Kak Aldi itu.
          Sakit rasanya, ya sekarang ia yakin kalau ia menyukai Nia. Tapi ternyata langkahnya sudah diserobot orang lain. Ya ampun, kenapa ia harus selalu merasakan ini?
Baru beberapa jam berada di rumah, Nia menelepon. Ia mencerocos dengan nada riang. Dan akhirnya lima kata yang keluar dari mulut Nia menusuk hatinya. “Gue jadian sama Kak Fadil!” cuma lima kata yang menyakitkan.
          Bima tahu, seharusnya ia tak menyukai Nia. Nia yang terkenal bukan karena kebodohannya dalam olah raga juga, tapi kemanisannya yang membuat anak cowok kelas sepuluh sampai dua belas yang tertarik padanya. Nia juga seseorang yang ramah, siapapun yang menyapanya, walau tak dikenal, Nia pasti akan tersenyum dan mengangguk. Banyak anak kelas sebelas dan dua belas yang mengincarnya, beberapa bahkan meminta tolong pada Bima, karena tahu ia sangat dekat dengan Nia.
          Tapi biasanya Bima hanya mengiyakan saja untuk menyampaikan salam-salam dari para kakak kelas. Padahal ia tak pernah sekalipun memberitahu pada Nia. Itu semua karena ia tahu sebenarnya dari awal pertama masuk sekolah ini, ia sudah tertarik dengan kemanisannya Nia.
          “Bim?” suara Nia mengagetkan Bima dari lamunannya.
          “Eh, iya. Selamet ya! Longlast deh buat kalian!” kata Bima akhirnya.
          “Makasih sahabatkuuuu… pasti deeh gak bakal misah!” jawab Nia yang lagi-lagi membuat perasaan Bima sakit.
          Akhirnya Nia menutup telepon. Dan Bima terdiam di tempat tidur kamarnya. Ya, kali ini ia harus berpindah hati agar nantinya takkan lebih sakit dari kejadian ini. ia tak mau perasaannya ke Nia bertambah, lebih baik ia pindah ke lain hati sekarang. Bima dan Nia hanya harus menjadi sepasang sahabat yang saling mengingatkan, tak lebih…
Di rumah Aldi…
          “HAH?! SERIUS LO MEN?!” teriak Aldi tak percaya di kamarnya saat Fadil bercerita di depannya.
          “Iya serius! Pas tadi pulang sekolah. Lo pulang duluan sih!”
          “Sadaaap akhirnya berhasil ya pengamatan selama empat bulan?” ledek Aldi.
          “Yoi hahaha!” Fadil berhigh-five ria dengan Aldi.
          Lalu pintu terbuka. Andi pulang. “Hei Fadil, Al.” sapa Andi kalem.
          “Hai Andi!” Fadil tersenyum ria.
          “Oh ya, nih An!” Aldi melempar jaket Andi dengan tiba-tiba, membuat Andi mengerjap.
          “Oke thanks. Nia yang balikin?” tanya Andi.
          “Bukan. Gue yang minta. Soalnya tadi gue pake jaket itu juga, ogah banget deh disama-samain, ntar timbul gossip lagi.”
          “Oh oke.” Andi kemudian beranjak pergi dari kamar.
          “Nia yang lo omongin siapa Di?” tanya Fadil menyelidik.
          Aldi tertawa. “Nia-nya lo lah!”
          “Kok… kok jaket Andi bisa ada sama dia?”
          Aldi menceritakan garis besarnya, dan Fadil manggut-manggut. Dalam hati, Fadil berpikir, kenapa Andi bisa mengenal Nia ya? Hmm…
          “Lo yang kenalin Nia ke dia?” tanya Fadil lagi-lagi menyelidik.
          “Gak lah! Rajin amat gue! Waktu itu Nia pernah nabrak Andi di depan pasar, terus gak beberapa lama mereka ketemu lagi di busway. Akhirnya kenalan deh.”
          Fadil manggut-manggut lagi. Ia harus waspada pada kembaran sahabatnya itu.

###
2 bulan setelah itu…
          “Hah?!!” seru Fadil tak percaya pada omongan Mama dan Papa.
          “Maaf Fadil… tapi kali ini harus, kita harus pergi bareng-bareng. Kemungkinan Papa bisa lama disana…” kata Mama, menjelaskan lagi.
          “Gak! Gak mau! Nggak! Fadil gak mau!” tak sadar Fadil membentak kedua orang tuanya.
          “Fadil, kita harus pergi lusa besok. Kamu harus ikut Dil. Kalo kamu disini mau tinggal sama siapa?” kata Papa mengingat sanak keluarganya yang tak tinggal di Jakarta.
          Fadil mengamuk. Ia berjalan cepat-cepat ke kamarnya, berusaha mencerna apa yang diomongkan kedua orang tuanya itu.
          Ini bulan pertama saat tahun baru, dan kebetulan masih libur. Lusa besok sudah masuk. Dan lusa besok, Fadil tak harus masuk sekolah karena ia akan pindah ke Malaysia! Papa yang naik pangkat, dipindah kerjakan disana. Dan kemungkinan Papa harus tinggal lama disana. Sudah pasti kan, Fadil dan Mama harus ikut?
          Astaga, ia baru saja merasakan bahagia sementara di SMA. Sekarang ia harus pergi meninggalkan kebahagiaannya? Ia harus meninggalkan sahabatnya Aldi, serta kekasihnya Nia, dan juga sekolah tercintanya. Ia juga harus melepas jabatannya sebagai ketua osis, yang dari dulu ia impikan sejak kelas sepuluh.
          “Apa yang bakal gue mesti bilang sama Nia?” gumam Fadil sendiri.
          Kalau saja ada salah satu keluarganya yang tinggal di Jakarta, mungkin ia tak usah ikut deh ke Malaysia. Tapi mengingat tak ada saudaranya yang tinggal di Jakarta, ia jadi tambah menggila. Malaysia? Jauh kan? Kalau cuma ke luar kota, ke Jogja deh, Fadil masih bisa terima. Tapi ini? beda negaraaa…
          Fadil memegang kepalanya yang pusing. Memikirkan hubungannya. Ia sih tak masalah hubungan jarak jauh, asal komunikasi masih terjaga. Tapi Nia? Ia sering berbeda pendapat dengan cewek itu. Kali ini kepalanya benar-benar sangat pusing.
          Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Lusa berikutnya…
          Ada apa sih Dil?” tanya Aldi dan Nia berbarengan saat mereka sampai ke bandara.
          Semalam, Fadil menelepon Aldi dan Nia untuk ke bandara sepulang sekolah. Fadil memang tak masuk sekolah, yaiyalah kan mau pergi. Lagipula Mama Papa sudah mengurus segala sesuatu tentang sekolah.
          Masih memakai seragam sekolah, Aldi dan Nia akhirnya pergi berbarengan ke bandara. Untung saja saat itu Aldi membawa mobil, dan ia juga sudah membuat SIM, jadi tak masalah. Aldi dan Nia juga sudah akrab sepanjang Nia berpacaran dengan Fadil. Mereka bertiga, eh berempat deh dengan Bima, jadi suka jalan-jalan bersama dan lain-lain.
          Aldi dan Nia bingung, saat ia sampai di bandara. Mereka bukan melihat Fadil yang biasanya ceria. Kali ini mereka melihat Fadil yang murung dan tak bertenaga, sedang duduk di kursi sambil menatap kosong. Kali ini Fadil juga berpakaian rapi, memakai celana jeans, kaus yang bagus, serta jaketnya.
          “Kok gak masuk tadi?” tanya Nia sambil duduk di sebelah Fadil.
          “Ada apa sih Dil? Kok mendadak lo nyuruh kita ke bandara? Kenapa lo gak sekolah, waktu itu lo yang paling semangat pengen cepet-cepet sekolah.” Aldi menimpali.
          Fadil menatap Aldi dan Nia bergantian, lalu tersenyum sedih. “Gue… mau pergi…”
          “Kemana?!” mata Nia membulat lebih besar dari biasanya.
          “Ke Malaysia Ni… Fadil mau pindah…” jawab Fadil masih menundukkan kepalanya.
          Seketika Aldi dan Nia membeku. Apa? Malaysia? Tapi kenapa mendadak? Kenapa? Nia bingung. Sangat bingung.
          “Papa dipindah tugasin kesana. Dan aku harus ikut…” kata Fadil lagi seakan bisa mencapai pemikiran Nia.
          Aldi masih diam menatap Fadil kosong. Nia seperti menahan tangis. Serta Fadil sendiri masih menatap kearah lain, berusaha tidak menatap kedua orang yang disayanginya itu.
          Akhirnya setelah menghela napas begitu lama, Fadil angkat bicara. “Fadil mau Nia jawab yang jujur…” Fadil menggenggam tangan Nia. “Nia sayang gak sama Fadil?”
          Nia mengangguk, membuat setetes air matanya jatuh.
          “Nia masih mau gak pacaran sama Fadil? Tapi jarak jauh… Fadil sih oke-oke aja… Nia gimana?”
          Nia terdiam. Memikirkan… ia menyayangi Fadil. Sangat. Walau hubungan ini baru berjalan dua bulan. Tapi hubungan jarak jauh? Tantangan yang sulit. Pasti di sekolah nanti akan ada yang menggodanya karena sudah tak ada Fadil. Haduh…
          Akhirnya setelah pemikiran yang panjang, Nia mengangguk. membuat Fadil tersenyum walau cuma senyum tipis. Lalu akhirnya terdengar pengumuman kalau pesawat yang ditumpangi Fadil akan segera berangkat.
          Fadil segera bangkit berdiri dan menyandang tasnya serta kopernya. Ia berangkat sendiri. Orang tuanya sudah berangkat sedari tadi jam satu. Tapi Fadil lebih mmilih penerbangan jam setengah lima, karena ia ingin bertemu dengan Nia dan Aldi terlebih dahulu.
          Kemudian Fadil memeluk Nia. Nia menangis, menumpahkan air matanya di dada Fadil. Beberapa orang yang lewat menatap dengan biasa saja, mungkin sudah biasa karena ini bandara, tempat orang berpisah atau bertemu.
          “Jaga diri Nia ya…” kata Fadil akhirnya.
          “Be careful…” balas Nia. Entahlah, perasaannya menjadi tak tenang.
          Fadil melepaskan pelukannya, dan memeluk sahabatnya yang sedari tadi diam. Nia terkejut begitu melihat mata Aldi berkaca-kaca.
          “Sorry gue nggak bisa ikut ngerayain jadinya tahun keenam kita sahabatan nanti.” Fadil menepuk pelan pundak Aldi.
          Aldi mengangguk. “Jaga diri lo Dil.”
          Fadil tersenyum “Jagain cewek gue ya.”
          “Selalu.”
          Fadil menatap Nia lagi, sebelum akhirnya benar-benar pergi. “Fadil sayang Nia, selamanya. Goodbye Ni…” katanya saat itu yang menbuat Nia serasa ingin menangis lagi.
          “Goodbye…” sahut Nia dan Fadil beranjak dari tempat itu, beranjak pergi dan akan meninggalkan negeri kesayangannya ini.

No comments:

Post a Comment