Nia menutup novel yang baru saja
selesai dibacanya dengan buru-buru. Sekitar dua menit yang lalu bel sudah
berbunyi, tapi Nia tak menghiraukannya karena novel yang ia baca tinggal dua
halaman lagi. Setelah mengucapkan terima kasih pada Bu Nina penjaga perpustakaan,
Nia cepat-cepat berlari ke lantai dua, tepatnya ke kelasnya.
Huh… beruntung. Saat ia baru sampai ke
kelas yang terlihat sangat ramai, guru biologi yang mengisi jam pelajaran
setelah istirahat, belum datang. Namanya Pak Haryono, tapi anak-anak lebih suka
memanggilnya dengan panggilan “Pak Kum” karena kumisnya begitu tebal, sangat
tebal malah. Guru ini termasuk dalam jajaran guru-guru killer kelas sepuluh
yang suka menindas anak-anak muridnya dengan bentakan-bentakan tiap kali
mengajar.
“Dari mana lo? Tumben ngaret.” Bima
teman sebangku Nia langsung bertanya begitu Nia duduk di kursinya dengan napas
satu-dua satu-dua.
“Dari… hhh… perpus… hhh…” Nia menarik
napas panjang.
“Lo abis baca apaan sampe telat
begitu?”
“Novel. Tinggal dua halaman, terus bel
dan gue nggak denger hehehe…” Nia nyengir setelah meminum air di botolnya.
Bima menggeleng-geleng. “Dasar maniak
buku.” ledeknya.
Nia melet, “Biarin.”
“Orang tuh seharusnya maniak olah
raga, jadi sehat!” Bima balas memelet.
Nia langsung merengut. Ia sangat benci
kata olah raga. Mendengarnya saja sudah begitu, gimana waktu pelajarannya?
Dari kecil dulu, ia sangat payah dalam
hal olah raga. Sampai sekarang pun masih, malah tambah parah. Nilainya selalu
jelek di bidang itu. Gimana nggak? Main volly? Passing atas aja gak bisa,
apalagi nyervis bola? Basket? Nge-dribbel aja masih suka kesrimpet kaki
sendiri. Bulutangkis? Mau mukul kock, malah raketnya yang kelempar. Kasti? Ini
lagi… mau mukul bola, tongkat kastinya malah kena jidat yang melahirkan sebuah
benjol. Yang mudah saja deh… lari? Masih suka kepleset pasir di pinggir
lapangan sekolah.
Bima terkekeh melihat reaksi teman
sebangkunya ini. “Makanyaaa… orang mah latihan biar bisa…”
Nia tambah manyun, “Ya gue kan emang ditakdirkan
gak bisa olah raga. Lagipula baca buku bisa bikin pinter tau! Mending gue baca
buku.”
“Eh, mending yang lo baca buku
pelajaran. Lah ini? Novel. Percintaan lagi. Mending olah raga, sehat. Kalo
sehat, bisa bikin pinter lagi!” kali ini intonasi Bima meninggi.
“Ada
juga orang pinter dulu baru sehat!” Nia balas nyolot.
“Ssttt! Pak kum dateng!” suara Roni
yang duduk di depan terdengar tiba-tiba.
Seketika kelas langsung hening. Pak
kum masuk dengan tampang menyeramkan. Setelah menaruh buku-buku dan file-nya,
ia berdehem. “Kita quiz hari ini!” katanya yang membuat seluruh murid kelas X-7
menganga.
Sungguh, quiz mendadak dari Pak kum
lebih menyeramkan dari penindasan kakak kelas sewaktu MOS. Atau omelan orang
tua dirumah. Tak diberi waktu untuk membaca terlebih dahulu, ia langsung menyuruh
murid-murid menutup buku dan memasukkan ke tasnya masing-masing. Quiz lisan
yang mematikan…
“Matilah.” desis Nia dan Bima
berbarengan.
Masalahnya bukan apa-apa. Pelajaran
ini berada di jam pelajaran terakhir, setelah istirahat kedua. Yang bisa menjawab,
sangat beruntung. Karena bisa keluar kelas dengan menenteng tas dan nongkrong
di kantin atau sekadar tidur di perpus walau belum boleh pulang. Sedangkan yang
belum menjawab bakal tinggal terus di kelas walau bel sudah menjerit-jerit
tanda pulang.
Memang sih, biologi tak sesusah
fisika. Cuma modal hafalan doang, selesai. Tapi, mana ada sih murid yang
sanggup menelan nama latin yang mau nyebutinnya kudu pake pemanasan lidah dulu?
Ini lagi gurunya si kumis, yang kalo quiz pasti kebanyakan nanya nama latin.
Heran, guru biologi malah yang termasuk jajaran killer. Tapi fisika? Wah
gurunya itu malah te-o-pe-be-ge-te lah! Beda banget sama si kumis!
Tiba-tiba Anton, cowok di barisan
sebelah mencoleknya. “Tenang aja, ada gue…” katanya berbisik yang membuat Nia
tersenyum geli.
Anton lagi yang membantu… sudah pasti
jawabannya salah semua. Lagipula Pak kum bisa saja tahu mana yang jawaban
sendiri, mana yang dikasih tahu teman.
Satu jam pelajaran berlalu… sudah
hampir separuh kelas yang bisa menjawab pertanyaan Pak kum. Sisanya hanya bisa
melongo geregetan. Dan akhirnya satu jam lagi berlalu… dan yang lolos oleh
pertanyaan Pak kum malah lebih sedikit. Bel sudah menjerit tanda sudah pulang.
Nia dan Bima masih berdiri di belakang mejanya. Beberapa anak kelas lain
tertawa melihat siksaan di kelas X-7, sedangkan yang didalam kelas harus
memaksa kuping mendengar lebih jelas. Disebabkansuasana di koridor yang berisik
dan suara Pak kum kalah oleh suara berisik itu.
###
“Di! Buruan-buruan!” Fadil
menyemangati Aldi yang sedang mencatat sambil terburu-buru.
“Iya cerewet! Kalo berisik gue malah
tambah lama!” omel Aldi yang membuat Fadil tutup mulut, cuma sementara.
“Dia lagi quiz dadakannya Haryono tuh!
Ngumpung dia belom jawab. Cepetaaaaan!” Fadil lagi-lagi membeo.
Aldi tak menggubris Fadil yang
mengoceh dan melanjutkan mencatat. Barusan pelajaran sejarah, dan karena begitu
mengantuk, Aldi tertidur dibalik bukunya. Untung saja Bu Nanik tak tahu, kalau
ketahuan bisa hancur reputasinya sebagai cowok kece, hehe. Dan tak
diketahuinya, kalau Bu Nanik memberi catatan yang berjibun banyaknya.
Sebenarnya kan bisa saja minjem punya Fadil, dan Fadil
gak keberatan. Tapi… tulisan cakar bebeknya bikin Aldi pusing. Malah jadinya
gak bisa nyatet.
Akhirnya Aldi menutup bukunya dan
membereskan beragam macam buku tulis dan cetak yang berantakan di meja. Fadil makin
mengejarnya untuk cepat-cepat.
Kenapa sahabatnya ini sangat
terburu-buru? Karena dia pengen ngeliat kecengannya, adik kelas sepuluh.
Tepatnya kelas X-7, namanya Alania Permata Sari panggilannya Nia.
Sebenarnya kali ini Aldi agak bingung
dengan gebetan Fadil yang baru. Sepanjang lima
tahun bersahabat dengannya, gebetan Fadil kalo nggak yang populer, gaul, atau
gak anak ekskul cheers. Tapi sekarang? Cuma seorang anak kelas sepuluh yang
nggak populer, nggak gaul, bahkan nggak ikut ekskul apa-apa. Kerjaannya cuma
nongkrong di perpus, temennya cowok semua lagi?
“Dia tuh manis Di, pas gue liat dia
waktu gue nge-MOS dia, gue langsung jatuh hati.” teringat ucapan Fadil ketika
Aldi bertanya.
Dan ternyataaa… cewek yang ditaksir
ketua osis gadungan ini, sama sekali gak bisa olah raga! Bayangkan! Lari pun
masih kayak anak kecil belajar lari, masih suka kepleset!
“Aldi! Ayo! Mau anterin gak?!”
teriakan Fadil memecahkan lamunan Aldi.
Fadil berjalan cepat-cepat menuju
kelas X-7. Begitu Fadil berhenti di depan kelas itu, mukanya langsung sumringah
melihat cewek idamannya yang sedang berdiri gelisah. Langsung Fadil mengajak
duduk di kursi di depan kelas Nia.
Nia makin gelisah karena jam sudah
menunjukkan pukul empat kurang lima
belas menit. Lima
belas menit telah berlalu setelah bel pulang berbunyi. Jam empat dia sudah
harus sampai di rumah dan menemani Mama belanja. Kalau telat, bisa dicabut deh
jatah cokelat dan permen untuk sebulan!
Baru saja Pak kum mengajukan
pertanyaan, tiba-tiba Bima menjawab dengan muka senang. Mungkin senang karena
dia yakin jawabannya benar. Dan ternyataaa Pak kum mengangguk. Bima dengan
senang melenggang keluar sambil mengedipkan satu mata pada Nia. Uhh Nia rasanya
ingin menonjok anak itu. Belagu.
Kemudian Pak kum melontarkan
pertanyaan lagi pada tujuh anak yang tersisa. Namun tak ada satupun yang
menjawab.
“Sstt! Nia!” tiba-tiba Nia menengok
dan melihat Kak Fadil beserta temannya yang sedang melambaikan tangan.
Nia mengangkat alisnya, seakan
bertanya “Apa?”
“Jawabnya ganggang laut biru!” Fadil
memberitahu dengan berbisik.
Nia mengangguk sambil tersenyum. Lalu
ia mengangkat tangannya begitu Pak kum hampir menyelesaikan hitungan sepuluh
detik.
“Ganggang laut biru Pak!” jawab Nia
bersemangat.
Pak kum mengangguk, “Siapa nama kamu?”
“Alania, Pak!”
“Baik, silahkan keluar!”
“Makasih Pak!” Nia buru-buru keluar
kelas, tepatnya setelah mencium tangan guru itu.
Begitu Nia keluar, langsung dilihatnya
Kak Fadil yang tersenyum. “Makasih Kak Fadil…” katanya berterimakasih,
memberikan senyumnya yang menurut Fadil itu senyumnya yang paling manis.
“Ehm… I… Iya Ni.” Fadil langsung
meleleh disenyumi begitu.
Nia beranjak pergi dengan buru-buru.
Untung hari ia minta dijemput Rifky kakaknya.
Nia terpikir kejadian tadi, Kak Fadil
baik juga ya… kalo kakak kelas lain pasti berpikir dua kali, eh nggak deh
mungkin seribu kali, buat ngasih tahu anak kelas sepuluh yang nggak populer
kayak Nia. Hmm…
###
Aldi melempar dirinya ke tempat tidur.
Melamun sambil menatap langit-langit atap kamarnya. Dirinya teringat lagi
kejadian tadi sepulang sekolah. Saat cewek itu, Nia, menunduk dalam-dalam
karena tak bisa pulang disebabkan belum menjawab-jawab pertanyaan Pak Haryono.
Senyum geli menghiasi wajahnya begitu
mengingat Nia menatap teman sebangkunya yang berhasil menjawab, tatapannya saat
itu sangat kesal. Hahaha.
Eh? Tunggu sebentar? Kenapa ia jadi
memikirkan gebetannya Aldi sih? Nia kan
cuma cewek gak populer dan maniak buku? Ah apa sih gue? Batin Aldi kesal.
Tiba-tiba, hand phone di saku
celananya berdering yang membuat Aldi tersentak. Saat Aldi menatap layar hand
phonenya itu, ia tersenyum.
“Ya?”
“Udah pulang kamu?” tanya seseorang di
seberang sana .
“Udah. Kamu?”
“Belom, ini lagi main di rumah Icha.
Hehehe.”
“Yee malah main lagi! Buruan pulang,
udah sore! Ntar dicariin.”
“Iya iya sayaaang…”
“Hmm… udah dulu ya, aku mau mandi nih,
gerah. Bye! Inget, cepet pulang!”
“Iyaaa… Bye jugaaa.”
Sudut bibir Aldi terangkat. Barusan,
seseorang yang sangat disayanginya meneleponnya. Sarah, namanya. Salah satu
cewek tercantik di angkatannya, anak paduan suara yang paling dikenal seantero
sekolah.
Sedangkan Aldi? Hmm… dia juga dikenal
seantero sekolah, karena kepiawannya bermain bola. Aldi itu anak futsal, bukan
basket maupun volly. Tapi walau begitu, ketenarannya sebanding dengan ketua
basket dan volly. Selain tampang yang cukup mendukung – sangat mendukung malah
– untuk menjadi populer, kegemarannya ada di bidang olah raga.
Saat Aldi baru melepas kemejanya dan
hanya memakai kaus serta celana panjang sekolah, pintu kamar terbuka.
Andi. Kakak kembarnya. Mereka memang
satu kamar, tapi beda tempat tidur. Bahkan kamar mereka dua kali lipat lebih
besar daripada kamar-kamar lainnya. Itu dikarenakan mereka harus membagi luas
kamar sendiri-sendiri.
Andi dan Aldi juga beda sekolah,
memang sih sekolah mereka berdua sama-sama termasuk dalam kategori sekolah
favorit.
Mereka masuk dalam kategori kembar
identik. Orang-orang tak bisa membedakan yang mana Aldi ataupun Andi saat
mereka berjalan beriringan. Bahkan orang tua dan adik mereka juga suka begitu.
“Hei Al.” sapa Andi sambil tersenyum,
kemudian ia menaruh tasnya dibawah meja belajar disebelah kasurnya.
“Tumben lo pulang lama? Biasanya lo
yang paling cepet pulang.”
Andi tersenyum kalem. “Lagi pengen
pulang telat ajaa…”
Aldi mengangguk dan keluar dari kamar,
menuju meja makan untuk mengisi perutnya yang kelaparan.
Walau tak bisa dibedakan dari fisik,
sifat mereka berdua sangat bertolak belakang. Aldi cuek, iseng, bandel, berantakan,
sebodoamat, tukang bikin hingar bingar entah di sekolah ataupun rumah. Andi
malah perhatian, baik, rapi, kalem, dan segala sifat orang baik.
Maka itu, tak jarang terjadi
pertengkaran diantara kedua anak kembar ini. Walau Andi termasuk dalam kategori
orang yang baik, kalau sudah berdebat dengan Aldi, wah tak ada kata mengalah.
Andi menghela napas ketika sedang
menatap dirinya di cermin. Kemeja putihnya kotor terkena noda milkshake seorang
anak cewek. Ia masih ingat ketika tadi di depan pasar modern, hal itu terjadi.
Andi
baru saja keluar dari pasar modern saat itu. Sebenarnya, kalau bukan karena
tugasnya untuk membeli alat-alat untuk praktikum besok, ia sangat enggan pergi
kesana. Dengan menenteng satu plastik berisi banyak barang yang ternyata sangat
berat, ia berjalan keluar.
Baru saja ia melangkah, tiba-tiba seorang anak cewek menabraknya.
Cewek itu lebih pendek darinya, dan terlihat ia sedang terburu-buru.
“Sorry!” ucap cewek itu singkat, lalu membuang milkshake
stoberi yang ia minum ke tong sampah.
Setelah terkesima melihat cewek yang – ehm – lumayan manis
itu, Andi langsung menyadari sesuatu yang dingin dibagian dadanya. Saat ia
melihat kearah kemejanya, ternyata terdapat noda berwarna pink lembut yang
lumayan besar.
“God!” desisnya saat itu, lalu menatap kedalam pasar modern
tersebut. Lalu tanpa di komando lagi, ia langsung berjalan pulang.
Akhirnya Andi pasrah dan keluar kamar
untuk bergabung dengan Aldi yang sedang makan tanpa melepas seragamnya terlebih
dahulu.
Baru saja Andi duduk dan mengambil
nasi, Aldi yang berada dihadapannya mengkerutkan kening. “Kenapa tuh seragam
lo?”
Andi menghela napas, “Gue abis
ditumpahin milkshake stoberi sama orang.”
“Yeee goblok sih lo, makanya jalan tuh
liat-liat!”
“Eh? Orang tuh cewek kok yang gak
liat-liat.”
Aldi mengangkat alisnya tak peduli,
dan melanjutkan makan lagi.
###
Nia membuang tangkai permen lolipop keduanya.
Baru saja ia menata segala macam barang-barang keperluannya di kamar dan kamar
mandinya. Hari ini memang jadwalnya belanja bulanan, jadi otomatis Nia dan
Rifky harus ikut Mama belanja. Padahal Mama bisa membelikan apa yang diperlukan
anak-anaknya, tapi beliau berdalih tak tahu apa yang diperlukan putra-putrinya
itu. Dan kalau bukan karena kehabisan segala macam peralatan, Nia dan Rifky
takkan ikut.
Nia ingat, tadi ia menabrak seorang
anak cowok berseragam SMA. Dan sepertinya, tanpa ia sadari milkshake yang ia
minum mengenai seragam anak itu. Cowok itu seperti Kak Aldi… tapi kok rambutnya
beda?
Siapa sih yang gak kenal Kak Aldi?
Cowok ganteng anak futsal yang populer. Cowok yang paling dikenal seantero
sekolah, sama seperti Kak Rio yang ketua klub basket, atau Kak Toni ketua klub
volly. Pacarnya Kak Aldi juga populer, namanya Kak Sarah yang suaranya
membahana badai.
Nia juga menyukai Kak Aldi. Ia
sangaaat keren. Tadi ia sangat beruntung bisa melihat Kak Aldi dari dekat. Nia
tahu, Kak Aldi dan Kak Fandi dua sahabat yang tak terpisahkan, jadi dimana ada
Kak Fandi pasti ada Kak Aldi.
Kalau benar yang kemarin ia tabrak Kak Aldi? Waaah…
parah dong? Nia kan
sudah menumpahkan milkshakenya ke seragam Kak Aldi? Aduh…
Esoknya
di sekolah…
Nia melompat turun dari bus yang ia
naiki ke sekolah. Tiga menit lagi masuk! Dan jarak dari halte ke sekolah
lumayaaan jauh… ia buru-buru berlari sekencang-kencangnya, walau ia tahu hal
itu takkan berhasil.
Hari ini hari jum’at, dan gawatnya
guru piket yang ngawas adalaaah… Pak kum dan Bu Dina, guru yang killer itu.
Kalau ada anak yang telat saja, diharuskan lari keliling lapangan utama tiga
kali. Sekali aja udah bikin gempor, apalagi tiga kali? Nia tak bisa
membayangkan hukuman yang akan diterimanya.
Nia melirik jamnya lagi dan ternyata
tinggal menghitung mundur dari satu menit bel akan berbunyi. Makin cepat ia
berlari, walau makin banyak resiko terpleset. Tadi saja sudah dua kali.
“Nia!” tiba-tiba terdengar suara orang
memanggil dan bunyi klakson motor.
Nia memberhentikan larinya dan matanya
langsung terbelalak begitu tahu siapa yang memanggilnya. “Kak Aldi?!”
“Buruan naik! Mau telat ya?”
Sedetik, Nia pikir ini adalah
khayalannya. Tapi begitu melihat muka Kak Aldi yang serius, ia langsung
buru-buru naik. Dan Kak Aldi menggas motornya dengan kencang.
“Kak, Nia turun disini aja deh.” pinta
Nia saat sudah sampai di gerbang sekolah.
Kak Aldi langsung memberhentikan
motornya, “Yaudah.” katanya maklum.
“Makasih kak!” kata Nia lalu Kak Aldi langsung
masuk ke pekarangan sekolah dan memarkir motornya.
Bukan apa-apa sih, tapi Nia tak mau
dibilang cari masalah sama Kak Sarah. Jadi ia lebih memilih turun di gerbang.
Lagipula keadaan sekolah masih ramai begitu…
“Nia?” tiba-tiba, seseorang memanggilnya
lagi begitu Nia sudah berada di koridor utama.
Nia menoleh, dan dilihatnya Bima
sedang tersenyum padanya.
“Kok tumben telat?” tanya Bima.
“Hehehehe iyaaa…” Nia menggaruk
kepalanya dan tersenyum.
Kemudian, bel berbunyi dengan sangat
nyaring.
###
“Aldi!” panggil Fadil begitu Aldi
sedang menyeruput es teh nya di kantin.
“Hoi!” sahut Aldi.
Fadil duduk di sebelah Aldi, sudah
memakai seragam biasa. Kelas mereka sehabis pelajaran olah raga, dan ironisnya
saat pelajaran itu matahari sedang bersamangat dan mereka harus berada selama
sejam di lapangan.
“Ehm… gue pengen ngomong deh.” kata
Fadil dengan muka serius.
Aldi pengen ngakak saat itu juga, tapi
ditahannya dan melahirkan sebuah deheman. Jarang-jarang Fadil bermuka serius
seperti itu. “Ngomong apaan?”
“Kok lo tadi berangkat bareng Nia?”
Fadil menyelidik.
“Lah? Emang kenapa?”
“Lo lupa dia kecengan gue? Kok lo
berangkat bareng dia sih?”
“Eh gini ya, gue tadi lagi
telat-telatnya dan lagi ngebut. Pas udah dijalan, gue liat Nia lagi lari.
Kesian tau! Makanya gue tumpangin. Jangan negative thinking dulu lah! Lagipula
kok lo tau?”
“Tadi gue liat dia turun dari motor
lo.” Fadil menelan ludahnya. “Lo suka ya sama dia?”
Aldi yang sedang minum langsung
tersedak dan batuk-batuk. “Eh! Enak aja lo ngomong! Satu-satunya cewek yang gue
suka dan gue sayang cuma Sarah! Ngapain gue suka sama Nia? Gue bilang, gue kan cuma kasian sama
dia. Lagipula gue gak suka orang yang gak bisa olah raga!”
“Ya jangan ngatain juga dong!” Fadil
membela, walau dalam hati ia bersyukur.
Tanpa mereka berdua tahu, ada sepasang
mata yang menatap mereka dengan tatapan sedih.
###
“Ni, beliin gue minum dong di kantin!”
pinta Bima saat Nia sedang membaca novel.
Saat ini sedang pelajaran kosong, dan
rata-rata seisi kelas menghambur kemana-mana. Cuma beberapa yang tinggal di
kelas, termasuk Nia dan Bima.
Padahal biasanya Bima menghambur juga
saat pelajaran kosong, tapi kali ini tidak. Ia sedang sibuk menyalin PR kimia
milik Nia. Nia mengangguk karena saat ini cuaca sedang sangat panas. Walau
kelas ber-AC, tetap saja masih terasa panas. Dan yang bisa menyegarkan tubuh
adalah minuman yang sangat dingin.
Nia bergegas ke kantin dan membeli dua
minuman dingin. Saat ia sampai, ia melihat dua orang yang sedang mengobrol
serius. Dan ternyata mereka adalah Kak Aldi dan Kak Fadil.
“Tadi gue liat dia turun dari motor
lo.” Fadil menelan ludahnya. “Lo suka ya sama dia?” terdengar suara Kak Fadil.
Dan terdengar juga suara Kak Aldi yang
sedang batuk-batuk. “Eh! Enak aja lo ngomong! Satu-satunya cewek yang gue suka
dan gue sayang cuma Sarah! Ngapain gue suka sama Nia? Gue bilang, gue kan cuma kasian sama
dia. Lagipula gue gak suka orang yang gak bisa olah raga!”
Dugh! Rasanya seperti ada batu besar
menghantam Nia. Nia buru-buru pergi dari situ, tak mau mendengarkan lebih. Oh,
mungkin Kak Fadil bertanya begitu karena dia curiga Nia yang turun dari motor
Kak Aldi tadi pagi.
Kalimat terakhir Kak Aldi seakan
menusuk Nia. Iya sih… Nia tahu mana mungkin Kak Aldi akan menyukainya. Itu gak
mungkin. Tapi tetap saja Nia patah hati. Huh, begini ya nasib fans berat Kak
Aldi?
“Kok lama Ni?” tanya Bima mengambil
minumannya saat Nia sampai kelas.
“Tadi ada pemblokiran jalan.” Nia
menjawab asal dan duduk di kursinya.
Bima menatap Nia, lalu menaikkan
bahunya dan melanjutkan menyalin.
###
“Aldi! Bangun dong!” Andi
mengguncang-guncang tubuh kembarnya itu.
Aldi yang masih tertidur tetap tak
bergeming.
“Aldii!! Woii! Gue siram lo!!” kali
ini Andi berteriak tepat di telinga Aldi.
Aldi langsung terbangun dengan kaget
dan menatap Andi dengan tatapan marah. “Apa sih!?! Gue lagi enak-enak tidur
juga!”
“Udah jam sembilaan!! Kebo banget sih?
Gue mau pergi, rumah kosong. Ayu, Mama, sama Papa juga pergi. Jangan tidur
lagi! Jaga rumah!”
“Iya bawel! Kayak cewek gue aja deh!”
Andi tersenyum geli dan keluar dari
kamar, kemudian berjalan keluar. Hari ini ia dan teman-temannya mau
berjalan-jalan keliling Jakarta .
Dan mereka janjian bertemu di terminal Blok M. Andi menyetop bus yang lewat,
dan menuju ke terminal.
###
“Kak Andre ngerepotin!” gumam Nia
sendiri saat sudah sampai di terminal Blok-M.
Hari ini, dengan sangat keterpaksaan
Nia harus menjemput Kakak sepupunya yang berasal dari Solo. Dan ternyata
kakaknya satu ini memang sangat merepotkan karena ia minta dijemput di monas.
Serta, ia maunya dijemput Nia! Apa coba? Padahal Nia sedang malas keluar rumah.
Mana gak ada yang mau nemenin lagi.
Setelah membeli tiket busway, Nia
menuju antrian. Uh rame banget antriannya, nasib deh nasib. Moga-moga ntar
ditraktir Kak Andre!
Akhirnya setelah bermenit-menit, Nia
masuk busway juga. Udara yang panas dari luar langsung terasa dingin saat Nia
masuk kedalam kendaraan itu. Kendaraan yang seperti kembarannya bus ini, terisi
lumayan penuh. Dan Nia gak kebagian tempat duduk!
Akhirnya Nia berdiri di samping
seseorang cowok yang memakai jaket hitam. Tapi sepertinya Nia kenal cowok ini…
Ah sudahlah! Lebih baik tak usah memperhatikan cowok-cowok. Lagi sakit hati nih
sama cowok!
Tak beberapa lama, tiba-tiba bus
berguncang-guncang. Nia yang tak terlalu konsentrasi berpegangan, hampir
terjatuh. Dan benar-benar mau terjatuh! Tiba-tiba sebuah tangan memeganginya.
Nia menoleh, ternyata itu cowok yang
memakai jaket hitam di sebelahnya. Dan Nia juga terkejut, begitu yang
dilihatnya adalah Kak Aldi.
“Kak… Kak Aldi?!” seru Nia tak
percaya.
Ia tersenyum dan melepaskan
pegangannya pada Nia. “Bukan…” jawabnya perlahan.
Nia terperangah. “Lho?” akhirnya hanya
sepatah kata itu yang keluar dari mulut Nia.
“Gue Andi, kembarannya Aldi…”
Apa? Kak Aldi kembar?!
“Lo siapa? Kok kenal Aldi? Adek kelas
ya?” lanjut Andi.
“Eh… iya…”
“Ooh…,” Andi manggut-manggut,
“Perasaan kita pernah ketemu ya?”
“Kapan?” alis Nia mengkerut.
“Di pasar modern…”
Nia ingat. Berarti orang yang ia
tabrak dan ia tumpahi milkshake adalah kembarannya Kak Aldi dong??
“Dan kayaknya lo tumpahin minuman lo
ke seragam gue…”
Nia tersenyum. “Sorry ya. Gak
sengaja…”
Andi tersenyum maklum. “Oh iya, gue
belom tau nama lo. Nama lo siapa?”
“Nia. Alania.” Nia tersenyum.
Andi manggut-manggut lagi. Nia
memperhatikannya dengan seksama. Mirip banget Kak Aldi deh. Alisnya, mulutnya,
matanya, hidungnya. Cuma, Kak Aldi gampang keringetan. Tapi sepertinya Andi
tidak.
Nia tersenyum melihat Andi. Andi baik
deh, gak kayak Kak Aldi yang judes. Kalau tadi benar-benar Kak Aldi, mana
mungkin dia mau memegangi Nia sewaktu Nia hampir jatuh.
Bus berhenti di halte monas. Nia
langsung buru-buru turun, dan ternyata Andi and the gank juga ikut turun.
“Mau ngapain kesini sendirian?” tanya
Andi.
“Mau jemput kakak sepupu, dia minta
jemput di monas.”
“Ooh. Ayo bareng sama gue aja, gue kan juga mau ke
monumennya. Kakak lo nunggu disitu kan ?”
Nia mengangguk. ia berjalan beriringan
dengan Andi. Saling mengobrol, akrab layaknya orang yang sudah kenal beberapa
lama karena Andi bisa membawa suasana. Kadang obrolan mereka diselingi oleh
ledekan teman-teman Andi yang agak rese.
Setelah sampai didepan monument, Nia
mengucapkan terima kasih pada Andi karena telah menemaninya. Ia bersikap sangat
baik, padahal dalam hati ia ingin meloncat-loncat.
Itu dikarenakan berjalan berdua dengan
Andi sama saja seperti berjalan berdua dengan Kak Aldi! Lagipula kan mereka mirip. Ah…
gak apa-apa deh Kak Aldi gak suka sama Nia, Andi pun bisa juga jadi inceran ya
gak?
Saat Nia sedang tersenyum-senyum
sendiri, tiba-tiba seseorang memanggil namanya dari belakang. Nia langsung
menoleh, tadinya ia kira itu Andi, tapi ternyata… Kak Andre…
“Nia!! Ayo pulang! Capek nih, panas!”
cerocos Kak Andre.
Huh… kebahagiaan yang berakhir
kekecewaan…
###
“Yaaah Nia masuk sini… To, Nia jadi
cadangan aja apa!” gerutu Ridho pada Okto, seksi olah raga.
“Tau niihh! Okto apaan sih?!” protes
yang lain.
Okto yang sedang memegang daftar
absent dan mengalungi peluit, hanya cengengesan gak jelas. Sedangkan anggota
kelompok Nia hampir saja melemparinya dengan batu kalau Okto tak segera kabur.
“Eh! Udah diatur tau sama Pak Jay! Ya
jadi terima apa adanya aja dongg!” kali ini gantian Okto yang memprotes.
Yang lain hanya bisa merengut. Bukan
karena mereka benci sama Nia, tapi kalau ada Nia di salah satu kelompok olah
raga, kelompok itu akan kalah. Dan kali ini Nia sekelompok dengan Ridho, Bagas,
Della, Anita, dan Indra orang-orang jago olah raga. Nia pun hanya diam
disamping tiang net yang sudah terpasang. Kelas mereka yang berolah raga akan
mengadakan tanding volly.
Kalau bukan karena guru-guru sedang
rapat, mungkin anggota kelompok Nia akan memprotes pada Pak Jay tentang
pembagian kelompok. Dikarenakan para guru yang sedang rapat, semua murid-murid
dari kelas XII-X keluar dari kelasnya. Dan tentu saja mereka tertarik pada
pertandingan volly kelas X-7 yang ketahuan anak-anaknya rata-rata jago berolah
raga.
Kelas Nia memang berisi anak-anak jago
olah raga. Paling hanya beberapa saja yang tak bisa berolah raga. Memang bukan
kelas yang anak-anaknya berisi orang-orang jenius sih, tapi kalau ada
pertandingan olah raga antar kelas pasti kelas Nia lah yang memenangkannya.
“Nia! Nia!” beberapa anak cowok OSIS
menyemangati Nia. Sebenarnya bukan menyemangati juga, tepatnya meledek karena
mereka tahu Nia tak bisa berolah raga.
Nia hanya memanyunkan bibirnya kesal.
Uh… kalau kali ini kalah lagi, pasti ia akan ditertawakan seluruh penjuru
sekolah…
Sementara
itu…
“Di! Bangun! Woi!” Fadil
mengguncang-guncang tubuh Aldi yang tertidur di meja.
Tapi ternyata Aldi tak kunjung bangun.
Fadil tahu, Aldi semalam begadang menonton bola karena tim favoritnya sedang
bermain dan ditayangkan di televisi. Ia baru tidur jam 2 pagi, sedangkan ia
harus berangkat jam 6. Aldi yang tak juga bangun meski telah diguncang-guncang
sekian lama, membuat Fadil jengkel.
“WOI KEBO!! BANGUN!! BU DINA DATENG!!”
teriak Fadil tepat di telinga Aldi yang membuat Aldi langsung terbangun dan
celingukan.
Aldi garuk-garuk kepala. “Mana Bu
Dina? Kok kelas sepi?”
Fadil cengengesan, lalu Aldi langsung
menangkap tingkah sahabatnya itu dan menatapnya dengan jengkel.
“Ayo ikut! Temenin gue nonton tanding
volly anak kelas X-7! Ayoo!” Fadil menarik tangan Aldi.
Aldi pasrah mengikuti Fadil saja,
walau saat ini ia masih sangat mengantuk lantaran tidur cuma tiga setengah jam.
Hampir saja Aldi menabrak pintu kelas, kalau Fadil tak buru-buru menariknya.
“Nia ikutan main, jadi gue mau nonton.
Ayo ke lantai dasar, gue pengen liat dari deket.” ujar Fadil.
Hah?! Nia? Satu nama yang keluar dari
mulut Fadil langsung menyadarkan Aldi sepenuhnya. Nia? Si bego olah raga itu
ikut tanding volly? Hahahaha!
“Hah? Serius si Nia ikut tanding?”
Aldi tertawa.
“Kok ketawa sih lo?” Fadil sewot.
Aldi memberhentikan ketawanya dan
langsung mengikuti Fadil dengan senyuman geli. Ia ingat, sepulang Andi dari
jalan-jalan Sabtu kemarin, Andi bilang ia ketemu anak cewek yang bernama
Alania. Ternyata Nia lah yang membuat noda di seragam Andi. Dan ternyata
setelah ‘tragedi milkshake’ itu, Andi dan Nia bertemu lagi di busway.
“Tuh cewek manis juga ya?”
Ucapan Andi kemarin saat mereka sedang
makan malam teringat kembali. Ucapan yang membuat Aldi tersedak makanannya
sendiri.
Kenapa ya, orang-orang terdekatnya
menyukai adik kelas bernama Alania yang polos dan gak ngerti apa-apa dalam
pelajaran olah raga dan IPA. Oke, Aldi akui ia memang manis, sangat manis
malah. Kulitnya berwarna tak putih, dan tak juga coklat. Dan satu lagi,
senyuman mautnya itu sebenarnya bisa memikat siapa saja termasuk Fadil dan
Andi.
Aldi geleng-geleng kepala. Untung saja
ia tak bernasib jomblo ngenes seperti Fadil dan Andi, kalau iya, ia bisa saja
terpikat pada senyuman maut adik kelas itu.
“Aldi? Di!!” kibasan tangan Fadil
membuyarkan lamunan Aldi tentang Nia.
“Eh? Apa?” Aldi mengerjap.
“Lo kenapa sih? Kok sekarang sering
ngelamun? Semenjak lo bareng berangkat sama Nia, lo jadi sering kayak gini?”
Fadil mulai menyelidik.
“Apaan sih Dil? Gue gak apa-apa kok!
Kenapa? Lo mulai lagi mikir gue suka sama kecengan lo? Nggak lah?! Gue bukan
temen makan temen! Lagipula gue punya cewek!” Aldi mencerocos sewot sambil
memesan es teh manis di kantin.
Fadil tersenyum tipis. Ya, ia memang
tahu selera sahabatnya yang tak jauh dari seleranya itu. Ingin cewek populer,
dikenal banyak kalangan, cantik, baik, gaul. Tapi itu semua berubah pada Fadil
semenjak Fadil mengenal Nia. Nia yang tak gaul, tak populer, tak dikenal banyak
kalangan sekolah (sebenarnya dikenal karena kelemahannya dalam olah raga yang
terkenal sampai penjuru sekolah), ia juga tak cantik hanya senyuman manisnya
yang cukup memikat. Teringat percakapannya dengan Aldi dulu.
“Eh!
Tahun ajaran baru gak ngincer cewek?” Aldi merangkul pundak Fadil yang saat itu
sedang menatap kearah anak kelas X-7, kelas yang dipimpin Fadil dan Irna saat
MOS. Kelas Fadil dan Aldi memang berseberangan dengan kelas X-7.
Fadil hanya tersenyum rahasia yang langsung dibalas Aldi
dengan tampang menyelidik.
“Hayooo siapa tuh? Kok senyum-senyum aja? Ngangguk nggak,
geleng nggak? Kepo nih guee! Udah bulan Agustus, mana cewek lo yang baru?”
“Gue belom punya cewek coy…” jelas Fadil.
“Tapi ada yang lo suka kan ? Ayo laaah jujur sama gue. Kayak baru
kenal gue aja deh lo? Kita udah lima
tahun kenal!”
“Tuh liat kearah
anak kelas X-7,”Aldi mengangguk dan
Fadil tersenyum, “Liat anak yang lagi meluk lengan anak cowok.”
Aldi menelusuri pandangannya. Dan ia akhirnya melihat anak
cewek yang memeluk lengan seorang cowok yang lebih tinggi darinya. Seorang anak
cewek yang berkulit tak kuning, dan juga tak coklat, lebih menjurus ke kuning
langsat malah. Wow, Aldi akui cewek inceran Fadil kali ini lumayan. Manis
sekali, apalagi senyumnya. Tadi cewek itu tersenyum pada cowok yang ia peluk
lengannya.
“Namanya Nia. Cowok yang dia peluk lengannya itu namanya
Bima, temen pertama dia” Fadil mengikuti pandangan Aldi dan ikut menatap Nia
yang sedang berjalan di koridor depan kelasnya dengan Bima.
“Manis…” tanpa sadar Aldi berucap begitu yang membuat Fadil
mengerutkan alis. Aldi yang baru sadar, langsung meralat. “Lumayan juga pilihan
lo…”
“Si Bima itu temennya apa cowoknya?”
“Ya temennya lah, temen pertama Nia tuh Bima, begitu juga
sebaliknya. Malah sekarang mereka sahabatan. Maklum lah, dari sekolahnya yang
dulu, cuma Nia yang masuk sini. Si Bima juga sama. Kebetulan mereka sama-sama
telat waktu hari pertama MOS dan dihukumnya bareng-bareng. Akhirnya kenalan
deh, terus duduknya bareng karena cuma sisa satu meja doang di belakang.” Fadil
bercerita
Aldi mengangguk, diperhatikannya Nia lebih jeli. Lumayan
juga…
Aldi tersenyum lagi sambil menyeruput
tehnya dan memperhatikan Nia yang sedang berusaha membalikkan bola yang
terlempar dari tim lawan.
“Ayo Nia! Harus bisaaa!!” Fadil
menyemangati kecengannya itu.
Dan ternyata support dari Fadil, membuat
Nia berhasil membalikkan bola yang membuat mata anggota kelompok Nia membulat.
Lagipula itu lemparan dari Toni yang kebetulan permainan volly-nya dapat
diacungi dua jempol. Anak-anak cowok, yang entah kelas berapa, langsung
bersorak.
“PERTAMA KALINYA DALAM SEJARAH, NIA
BALIKIN BOLA! YEEE!” bahkan ada yang berteriak begitu dari segerombolan anak
kelas sebelas.
Beberapa ibu-ibu kantin geleng-geleng
melihat kelakuan seluruh anak kelas sebelas atau dua belas yang berisik. Ya,
saat ini pertandingan volly kelas X-7 berlangsung di lapangan kantin. Maklum deh,
lapangan utama dipakai untuk latihan upacara minggu depan, lalu lapangan basket
dipakai anak-anak basket. Lapangan volly yang seharusnya memang dipakai anak
kelas X-7 malah direbut anak-anak volly. Akhirnya lapangan yang tersisa hanya
ada lapangan kantin dan baru deh anak kelas X-7 bisa tanding volly.
Skor sudah menunjukkan 4-5. kelompok
Nia 4, kelompok Toni 5. kali ini giliran Nia yang menyervis. Anak-anak kelompok
Nia menahan napas, dan penonton bersorak sambil tertawa-tawa.
“Ayooo Nia bisaaa!!” teriak Fadil
lagi, membuat Aldi tersentak.
Dan ternyataaa… Nia berhasil
menyervisnya berkat dukungan Fadil! Penonton takjub, begitu pun anggota
kelompok Nia. Tapi keheningan itu hanya berlangsung sementara, dan penonton
langsung berteriak riuh.
Dan karena keterlongoan tim lawan,
bola yang harusnya dibalikkan, malah terjatuh dan alhasil skor masing-masing
sama.
Toni yang akhirnya tersadar dari
kelongoannya, langsung berteriak. “CURANG! KITA KAN BELOM SIAP!” protesnya.
Penonton malah lebih riuh lagi dan
melempari Toni dengan kerikil yang membuat Nia tersenyum. Entahlah, setelah
mendengar seseorang menyemangatinya, ia menjadi bersemangat dan bisa!
Akhirnya pertandingan dihentikan saat
guru-guru sudah selesai rapat. Dan pelajaran olah raga kelas X-7 sudah selesai.
Tim Nia berhasil mendapat skor 8, sedang tim lawan cuma 6. hal itu membuat
anak-anak kelas terkagum pada si bodoh olah raga yang sudah merebut skor
sebanyak dua kali.
“Keren juga, tuh bisa main!” Bima
menyerahkan botol minum Nia pada cewek yang sedang mandi keringat itu.
Nia tersenyum dan meneguk airnya.
“Cuma ngambil skor dua kali kok, selanjutnya sama yang lain.”
Bima balas tersenyum. Ada perasaan yang bergetar
di hatinya akhir-akhir ini begitu ia melihat Nia. Bima memang tak mengenal yang
namanya pacaran sebelumnya, tapi kalau yang namanya suka-sukaan sih sudah
sering. Apa ia menyukai Nia? Sahabatnya yang sering ia olok-olok?
Ya, cewek ini memang manis, sangat
manis malah. Bahkan seluruh murid-murid lelaki disini juga beranggapan begitu.
Cuma yang buta saja yang tak mengakui Nia manis. Satu-satunya anak kelas
sepuluh yang terkenal karena kebodohannya dalam yang namanya olah raga. Anak
kelas sepuluh yang lain yang terkenal, mungkin terkenal karena gaul dan modis
saja. Nia memang berbeda dari yang lain. Ia tak suka olah raga dan seluruh
cabang IPA. Ia lebih suka membaca novel yang tebalnya mungkin setebal kamus
besar bahasa Indonesia dibanding membaca buku pelajaran IPA yang membuatnya
pusing. Ia juga tak menyukai jalan-jalan, ia lebih suka duduk diam di kamarnya
sambil mengemut coklat atau lolipopnya.
Tidur adalah hobinya yang lain. Jangan
ditanya, cewek satu ini memang paling hebat dalam yang namanya tidur. Ia bisa
tidur saat tengah malam dan bangun saat tengah hari. Sekalipun ia keluar rumah,
hanya untuk bermain di rumah teman. Kalau moodnya membaik, ia pasti akan
mengajak siapa saja menemaninya bermain games dan ke gramedia di mall, atau
sekadar makan di café.
Bima tahu itu semua, walau ia baru
mengenal Nia selama empat bulan. Cewek ini memang gampang ditebak, dari
ekspresinya saat bel pelajaran berganti dan menuju pelajaran olah raga saja ia
mulai cemberut. Tapi Nia lebih suka memendam perasaannya, tak curhat seperti
cewek-cewek lain yang memilih mengutarakan isi hatinya pada sahabat-sahabatnya.
“Dan menurut lo siapa siih yang
nyemangatin gue…?” tanya Nia yang akhirnya tak kunjung dapat jawaban.
“Bima? Bim?” Nia menatap Bima yang ternyata
sedang melamun. Berarti selama ini ia tak mendengar ia berbicara?
“Bima!! Ihh!” Nia akhirnya mengguncang
tubuh sahabatnya itu begitu panggilannya tak terjawab dan Bima langsung
tersentak.
“Apa sih?” Bima menggaruk lehernya.
“Lo denger gak sih?”
Bima terdiam sesaat, “Eh? Hehehe…”
Nia cemberut dan beranjak masuk
kedalam kelas meninggalkan Bima.
###
“Niaaa!!” suara seseorang memanggil
dirinya yang membuat Nia tersentak.
Nia menoleh dan dilihatnya Kak Fadil
sedang berjalan menghampirinya. Sendirian. Mana Kak Aldi? “Kenapa kak?”
“Ehm… gue… boleh minta nomer lo gak?”
tanya Fadil sambil menggosok lengannya yang terasa dingin.
“Hah? Eh… buat apaan kak?”
“Ya buat SMS-an aja… boleh gak?”
“Eh…” Nia terperangah melihat muka Kak
Fadil yang berkeringat dan memerah. Entah karena malu, atau ia memang sedang
kepanasan lantaran posisi mereka yang berada di tengah lapangan.
“Gimana?” tanyanya lagi tak berani
menatap Nia lagi.
Akhirnya Nia tersenyum geli dan
menyebutkan nomer hand phone-nya.
Fadil tersenyum setelah selesai
mencatat nomer Nia di hand phonenya. “Thanks ya Ni…”
“Iya. Duluan ya kak. Bye!” Nia
tersenyum dan beranjak pergi.
Fadil masih terpaku melihat sosok yang
ia sayangi itu pergi. Ah… akhirnya setelah mengumpulkan keberanian selama empat
bulan, berhasil juga mendapat nomer hand phone kecengannya itu. Masih ada
langkah selanjutnya…
Saat Fadil baru saja melangkah, dilihatnya
sahabatnya yang berjalan kearahnya dengan muka kusut.
“Nape lo?” tanya Fadil.
“Bodo ah!” Aldi melengos.
Lah? Fadil bingung. Kemudian sudut
bibirnya terangkat perlahan.
“Putus ya?” tanya Fadil hati-hati,
masih dalam senyum.
“Hmm…”
Fadil ngakak saat itu juga melihat
reaksi Aldi. Wah, benar diputusin Sarah nih anak!
“Kok lo ketawa sih?!”
“Sorry, abis lucu banget deh lo! Kayak
gak ada cewek lain aja? Masih banyak tuh yang ngantri jadi cewek lo!”
Aldi mengangguk malas.
“Eh ngomong-ngomong…,” Fadil merangkul
pundak sahabatnya itu dan berjalan menuju parkiran, “Gue dah dapet nomer hand
phone Nia dong! Hahaha!”
Aldi seketika melotot, “Sadaaap! Udah
bikin Nia bisa main volly, dapet nomer hand phone lagi? Kereen dah!” Aldi
bertepuk tangan, melupakan patah hatinya.
“Siapa dulu dooong! Fadilll!” Fadil
membanggakan diri.
Aldi tertawa dan menaiki motornya lalu
menggas pergi bersama dengan Fadil yang berada di motor sebelah.
Sementara
itu…
Nia memeluk tubuhnya, kedinginan. Ia
masih berada di halte sedari tadi dengan beberapa anak yang juga belum mendapat
kendaraan pulang. Cuaca berubah dengan tiba-tiba, yang tadinya sangat panas,
tak beberapa lama langsung mendung dan turun hujan deras. Bus yang harusnya
ditumpangi Nia memang sudah banyak yang lewat, tapi semua bus yang lewat tadi menampakkan
kalau bus itu penuh dan tak ada tempat duduk. Nia ogah berdiri, karena ia bisa
saja tergencet orang-orang.
Nia sudah menelepon Kak Andre agar
menjemputnya. Tapi kakak sepupunya itu sedang termehek-mehek di depan televisi
menonton drama korea .
Rifky juga sudah ia telepon, tapi tak kunjung Rifky angkat. Yah, sebenarnya Nia
juga sudah tahu kalau jam segini Rifky pasti bermain game di laptop di
kamarnya.
“Nia?” sebuah suara yang tak asing
memanggilnya.
Nia menoleh, dan seketika senyumnya
mengembang. “Andi?”
“Belom pulang?”
“Iya nih lagi nunggu bus, nggak ada
yang bisa dinaikkin.”
“Oh naik bus nomer berapa?”
“Nomer 44.”
“Ohh sama dong.” Andi tersenyum.
Nia balas tersenyum, lalu terdiam di
kursi halte masih memeluk dirinya. Hujan bertambah deras, dan Nia menggigil.
Sudah jam setengah lima
dan ia akhirnya memutuskan lebih baik digencet orang daripada mati kedinginan
disini. Tapi bus tak kunjung lewat, hujan juga sepertinya sedang bersemangat
melaksanakan tugasnya…
Andi yang melihat Nia sedaritadi
memeluk dirinya sendiri, berinisiatif
dan melepas jaketnya. Untung saja jaketnya tak basah. Baru saja ia melepas
jaketnya, ia langsung menggigil. Kalau tak ada Nia, ia mungkin akan enggan
melepas jaketnya. Lagipula ia kan
gentlemen.
“Nih.” Andi memberi jaketnya pada Nia.
Nia menatap Andi heran. Bibirnya
gemetar. Duh, ia kan
memang sangat tak tahan dingin. AC di kamar saja, tak pernah ia nyalakan saat
ia tidur kecuali saat ia kepanasan sekali. “Eh, gak usah…”
“Gak pa-pa. Udah pake aja. Kedinginan kan ?”
Akhirnya Nia menerima jaket itu dengan
ragu-ragu dan memakainya.
Hangat. Dan aromanya segar, mungkin parfum
Andi yang menyegarkannya.
“Makasih…” Nia tersenyum, yang
menampakkan satu lesung pipi di sebelah kanan.
Andi terperangah. Wah, kacau. Cewek
ini sudah memikat hatinya sekarang. “Eh itu ada bus lewat! Kosong lagi!”
seketika Andi menyembunyikan mukanya yang bersemu merah.
“Eh iya! Ayo naik!” akhirnya mereka
berdua naik ke bus yang agak kosong itu.
###
Aldi baru saja menginjakkan kakinya ke
pekarangan sekolah. Hidungnya terasa gatal, ternyata ia kena flu karena kemarin
menerobos hujan yang kejam. Aldi memperhatikan keadaan sekolah. Tak sepi, tak
ramai. Seorang anak cewek berjaket hitam berjalan tak jauh di depan darinya.
Aldi memperhatikan cewek itu. Hmm…
sepertinya ia kenal jaket yang dipakai cewek itu. Jaket siapa ya? Wah,
jangan-jangan… Aldi mempercepat langkahnya. Dan di lengan kanan jaket yang
dipakai cewek itu ada simbol perisai bertulis huruf A disana. Jaket yang sama
dengan yang sedang Aldi pakai sekarang. Benar! Itu jaket Andi!
“Hei?” Aldi menepuk pundak cewek itu.
Cewek itu yang sedari tadi sibuk
bermain hand phone, langsung menoleh. Dan Aldi terkesiap, begitu pun cewek itu.
“Nia??”
“Kak Aldi?” Nia bahkan setengah
berteriak, “Ada
apa?” tanyanya lagi begitu bisa mengendalikan keterkejutannya.
“Eh, ehm… jaket siapa yang lo pake?”
Aldi menunjuk jaket Nia.
Nia menunduk, menatap jaket yang ia
pakai. “Oh, ini… ini jaket Andi. Kembaran kakak kan ?”
“I… iya.”
“Kemaren Andi ketemu Nia di halte,
terus dia ngasih Nia jaket karena masih ujan.” tutur Nia yang membuat Aldi
ingat Andi yang pulang hujan-hujanan kemarin.
“Sini jaketnya.”
“Eh? Gak. Niakan mau balikinnya ke Andi langsung.” Nia
tanpa sadar berbicara dengan nada keras.
“Eh? Gak. Nia
“Lah? Gue siapanya Andi? Kembarnya kan ? Kok lo nyolot sih?
Kakak kelas nih!”
Nia langsung merengut dan melepas
jaket yang ia pakai. Huh, padahal aromanya menyegarkan dan jaket itu nyaman.
Aldi langsung beranjak pergi mendahului Nia begitu Nia menyerahkan jaket Andi
ke tangan Aldi.
Sebenarnya bagi Aldi tidak masalah Nia
mau memakai jaket itu kek, nggak kek. Tapi masalahnya saat ini Aldi sedang
memakai jaket yang sama, dan bisa-bisa timbul gossip aneh lagi. Lalu, Fadil
menuduh Aldi ‘temen makan temen’ gawat memang. Kemarin
memang hujan, makanya membuat Aldi bersin-bersin seperti sekarang. Dan kemarin
Andi sampai rumah sekitar jam 5 sore, dengan tubuhnya yang basah. Tapi walau
kebasahan begitu, muka Andi terlihat bahagia. Aldi sempat bertanya-tanya.
Kesambet petir apa nih anak? Biasanya Andi paling kesal dengan yang namanya
hujan karena menghambat segala sesuatu yang ingin ia lakukan.
Aldi masih ingat persis bagaimana muka
Andi yang sedang tersenyum-senyum salting dan mukanya merah. Apa mungkin Andi
terkena jurus senyum maut Nia ya saat kemarin pulang berbarengan? Bahaya…
“Woi!” tiba-tiba Fadil menggebrak meja
Aldi dengan kencang yang membuat Aldi tersentak.
“Ngapain sih lo?!” Aldi sewot.
Fadil cengengesan aneh. “Gue berhasil
pedekate dong sama Nia!” katanya bangga.
Aldi merosot di bangkunya. Ah lagi,
lagi, dan lagi ia harus mengingat Nia. Bosan lama-lama. “Trus?”
“Yaa tinggal tunggu tanggal bagus aja,
hehehe.” Fadil melempar tasnya ke bangku di belakang bangku Aldi.
“Bagus deh.” Jawab Aldi sekenanya,
karena ia malas mengingat tentang Nia. Nia yang disukai kedua orang
terdekatnya, Andi dan Fadil. Untung saja ia tak menyukai Nia seperti mereka
berdua.
###
“Ap… apa?” tanya Bima heran, tak yakin
akan pendengarannya.
“Iya Bim gue jadian sama Kak Fadil!”
jawab Nia sambil tersenyum riang disana.
Bima menelan ludah. Sebenarnya ia
sudah tahu apa maksud ucapan Nia pertama kalinya. Saat ia bilang ia jadian
dengan Kak Fadil ketua osis itu, sahabat Kak Aldi itu.
Sakit rasanya, ya sekarang ia yakin
kalau ia menyukai Nia. Tapi ternyata langkahnya sudah diserobot orang lain. Ya
ampun, kenapa ia harus selalu merasakan ini?
Baru beberapa jam berada di rumah, Nia menelepon.
Ia mencerocos dengan nada riang. Dan akhirnya lima kata yang keluar dari mulut Nia menusuk
hatinya. “Gue jadian sama Kak Fadil!” cuma lima kata yang menyakitkan.
Bima tahu, seharusnya ia tak menyukai
Nia. Nia yang terkenal bukan karena kebodohannya dalam olah raga juga, tapi
kemanisannya yang membuat anak cowok kelas sepuluh sampai dua belas yang
tertarik padanya. Nia juga seseorang yang ramah, siapapun yang menyapanya,
walau tak dikenal, Nia pasti akan tersenyum dan mengangguk. Banyak anak kelas
sebelas dan dua belas yang mengincarnya, beberapa bahkan meminta tolong pada
Bima, karena tahu ia sangat dekat dengan Nia.
Tapi biasanya Bima hanya mengiyakan
saja untuk menyampaikan salam-salam dari para kakak kelas. Padahal ia tak
pernah sekalipun memberitahu pada Nia. Itu semua karena ia tahu sebenarnya dari
awal pertama masuk sekolah ini, ia sudah tertarik dengan kemanisannya Nia.
“Bim?” suara Nia mengagetkan Bima dari
lamunannya.
“Eh, iya. Selamet ya! Longlast deh
buat kalian!” kata Bima akhirnya.
“Makasih sahabatkuuuu… pasti deeh gak
bakal misah!” jawab Nia yang lagi-lagi membuat perasaan Bima sakit.
Akhirnya Nia menutup telepon. Dan Bima
terdiam di tempat tidur kamarnya. Ya, kali ini ia harus berpindah hati agar
nantinya takkan lebih sakit dari kejadian ini. ia tak mau perasaannya ke Nia
bertambah, lebih baik ia pindah ke lain hati sekarang. Bima dan Nia hanya harus
menjadi sepasang sahabat yang saling mengingatkan, tak lebih…
Di rumah Aldi…
“HAH?! SERIUS LO MEN?!” teriak Aldi
tak percaya di kamarnya saat Fadil bercerita di depannya.
“Iya serius! Pas tadi pulang sekolah.
Lo pulang duluan sih!”
“Sadaaap akhirnya berhasil ya
pengamatan selama empat bulan?” ledek Aldi.
“Yoi hahaha!” Fadil berhigh-five ria
dengan Aldi.
Lalu pintu terbuka. Andi pulang. “Hei
Fadil, Al.” sapa Andi kalem.
“Hai Andi!” Fadil tersenyum ria.
“Oh ya, nih An!” Aldi melempar jaket
Andi dengan tiba-tiba, membuat Andi mengerjap.
“Oke thanks. Nia yang balikin?” tanya
Andi.
“Bukan. Gue yang minta. Soalnya tadi
gue pake jaket itu juga, ogah banget deh disama-samain, ntar timbul gossip
lagi.”
“Oh oke.” Andi kemudian beranjak pergi
dari kamar.
“Nia yang lo omongin siapa Di?” tanya
Fadil menyelidik.
Aldi tertawa. “Nia-nya lo lah!”
“Kok… kok jaket Andi bisa ada sama
dia?”
Aldi menceritakan garis besarnya, dan
Fadil manggut-manggut. Dalam hati, Fadil berpikir, kenapa Andi bisa mengenal
Nia ya? Hmm…
“Lo yang kenalin Nia ke dia?” tanya
Fadil lagi-lagi menyelidik.
“Gak lah! Rajin amat gue! Waktu itu
Nia pernah nabrak Andi di depan pasar, terus gak beberapa lama mereka ketemu
lagi di busway. Akhirnya kenalan deh.”
Fadil manggut-manggut lagi. Ia harus
waspada pada kembaran sahabatnya itu.
###
2 bulan setelah itu…
“Hah?!!” seru Fadil tak percaya pada
omongan Mama dan Papa.
“Maaf Fadil… tapi kali ini harus, kita
harus pergi bareng-bareng. Kemungkinan Papa bisa lama disana…” kata Mama,
menjelaskan lagi.
“Gak! Gak mau! Nggak! Fadil gak mau!”
tak sadar Fadil membentak kedua orang tuanya.
“Fadil, kita harus pergi lusa besok.
Kamu harus ikut Dil. Kalo kamu disini mau tinggal sama siapa?” kata Papa
mengingat sanak keluarganya yang tak tinggal di Jakarta .
Fadil mengamuk. Ia berjalan
cepat-cepat ke kamarnya, berusaha mencerna apa yang diomongkan kedua orang
tuanya itu.
Ini bulan pertama saat tahun baru, dan
kebetulan masih libur. Lusa besok sudah masuk. Dan lusa besok, Fadil tak harus
masuk sekolah karena ia akan pindah ke Malaysia ! Papa yang naik pangkat,
dipindah kerjakan disana. Dan kemungkinan Papa harus tinggal lama disana. Sudah
pasti kan ,
Fadil dan Mama harus ikut?
Astaga, ia baru saja merasakan bahagia
sementara di SMA. Sekarang ia harus pergi meninggalkan kebahagiaannya? Ia harus
meninggalkan sahabatnya Aldi, serta kekasihnya Nia, dan juga sekolah
tercintanya. Ia juga harus melepas jabatannya sebagai ketua osis, yang dari
dulu ia impikan sejak kelas sepuluh.
“Apa yang bakal gue mesti bilang sama
Nia?” gumam Fadil sendiri.
Kalau saja ada salah satu keluarganya
yang tinggal di Jakarta , mungkin ia tak usah
ikut deh ke Malaysia .
Tapi mengingat tak ada saudaranya yang tinggal di Jakarta , ia
jadi tambah menggila. Malaysia ?
Jauh kan ?
Kalau cuma ke luar kota ,
ke Jogja deh, Fadil masih bisa terima. Tapi ini? beda negaraaa…
Fadil memegang kepalanya yang pusing.
Memikirkan hubungannya. Ia sih tak masalah hubungan jarak jauh, asal komunikasi
masih terjaga. Tapi Nia? Ia sering berbeda pendapat dengan cewek itu. Kali ini
kepalanya benar-benar sangat pusing.
Apa yang harus ia lakukan sekarang?
Lusa berikutnya…
“Ada apa sih Dil?” tanya
Aldi dan Nia berbarengan saat mereka sampai ke bandara.
Semalam, Fadil menelepon Aldi dan Nia
untuk ke bandara sepulang sekolah. Fadil memang tak masuk sekolah, yaiyalah kan mau pergi. Lagipula
Mama Papa sudah mengurus segala sesuatu tentang sekolah.
Masih memakai seragam sekolah, Aldi
dan Nia akhirnya pergi berbarengan ke bandara. Untung saja saat itu Aldi
membawa mobil, dan ia juga sudah membuat SIM, jadi tak masalah. Aldi dan Nia
juga sudah akrab sepanjang Nia berpacaran dengan Fadil. Mereka bertiga, eh
berempat deh dengan Bima, jadi suka jalan-jalan bersama dan lain-lain.
Aldi dan Nia bingung, saat ia sampai
di bandara. Mereka bukan melihat Fadil yang biasanya ceria. Kali ini mereka
melihat Fadil yang murung dan tak bertenaga, sedang duduk di kursi sambil
menatap kosong. Kali ini Fadil juga berpakaian rapi, memakai celana jeans, kaus
yang bagus, serta jaketnya.
“Kok gak masuk tadi?” tanya Nia sambil
duduk di sebelah Fadil.
“Ada
apa sih Dil? Kok mendadak lo nyuruh kita ke bandara? Kenapa lo gak sekolah,
waktu itu lo yang paling semangat pengen cepet-cepet sekolah.” Aldi menimpali.
Fadil menatap Aldi dan Nia bergantian,
lalu tersenyum sedih. “Gue… mau pergi…”
“Kemana?!” mata Nia membulat lebih
besar dari biasanya.
“Ke Malaysia Ni… Fadil mau pindah…”
jawab Fadil masih menundukkan kepalanya.
Seketika Aldi dan Nia membeku. Apa? Malaysia ? Tapi
kenapa mendadak? Kenapa? Nia bingung. Sangat bingung.
“Papa dipindah tugasin kesana. Dan aku
harus ikut…” kata Fadil lagi seakan bisa mencapai pemikiran Nia.
Aldi masih diam menatap Fadil kosong.
Nia seperti menahan tangis. Serta Fadil sendiri masih menatap kearah lain,
berusaha tidak menatap kedua orang yang disayanginya itu.
Akhirnya setelah menghela napas begitu
lama, Fadil angkat bicara. “Fadil mau Nia jawab yang jujur…” Fadil menggenggam
tangan Nia. “Nia sayang gak sama Fadil?”
Nia mengangguk, membuat setetes air
matanya jatuh.
“Nia masih mau gak pacaran sama Fadil?
Tapi jarak jauh… Fadil sih oke-oke aja… Nia gimana?”
Nia terdiam. Memikirkan… ia menyayangi
Fadil. Sangat. Walau hubungan ini baru berjalan dua bulan. Tapi hubungan jarak
jauh? Tantangan yang sulit. Pasti di sekolah nanti akan ada yang menggodanya
karena sudah tak ada Fadil. Haduh…
Akhirnya setelah pemikiran yang
panjang, Nia mengangguk. membuat Fadil tersenyum walau cuma senyum tipis. Lalu
akhirnya terdengar pengumuman kalau pesawat yang ditumpangi Fadil akan segera
berangkat.
Fadil segera bangkit berdiri dan
menyandang tasnya serta kopernya. Ia berangkat sendiri. Orang tuanya sudah
berangkat sedari tadi jam satu. Tapi Fadil lebih mmilih penerbangan jam
setengah lima ,
karena ia ingin bertemu dengan Nia dan Aldi terlebih dahulu.
Kemudian Fadil memeluk Nia. Nia
menangis, menumpahkan air matanya di dada Fadil. Beberapa orang yang lewat
menatap dengan biasa saja, mungkin sudah biasa karena ini bandara, tempat orang
berpisah atau bertemu.
“Jaga diri Nia ya…” kata Fadil
akhirnya.
“Be careful…” balas Nia. Entahlah,
perasaannya menjadi tak tenang.
Fadil melepaskan pelukannya, dan
memeluk sahabatnya yang sedari tadi diam. Nia terkejut begitu melihat mata Aldi
berkaca-kaca.
“Sorry gue nggak bisa ikut ngerayain
jadinya tahun keenam kita sahabatan nanti.” Fadil menepuk pelan pundak Aldi.
Aldi mengangguk. “Jaga diri lo Dil.”
Fadil tersenyum “Jagain cewek gue ya.”
“Selalu.”
Fadil menatap Nia lagi, sebelum
akhirnya benar-benar pergi. “Fadil sayang Nia, selamanya. Goodbye Ni…” katanya
saat itu yang menbuat Nia serasa ingin menangis lagi.
“Goodbye…” sahut Nia dan Fadil
beranjak dari tempat itu, beranjak pergi dan akan meninggalkan negeri
kesayangannya ini.
No comments:
Post a Comment