"Tisa?" terdengar suara memanggil Tisa dari
belakang, Tisa sangat mengenal suara ini.
Suara adiknya, Rivo.
Rivo yang cuma berbeda setahun dari Tisa
ini menatapnya lugu, "Pulangnya jangan malem-malem ya! Dadah!"
"Aduh aku laper... Coba tadi makan dulu..."
ujarnya sambil memanyunkan bibirnya.
Ia duduk di bangku taman dan mengaduk-ngaduk tasnya.
Ternyata ia tak membawa makanan, bagaimana mau kabur kalau begini?
“Ini!” tiba-tiba terlihat roti gulung didepan mata Tisa.
Tisa mendongak, terlihat seorang anak laki-laki yang
seumuran dengannya sambil memegang roti gulung itu. “Kamu siapa…?” tanya Tisa
polos.
“Aku Bayu Satria. Kamu siapa?”
“Aku Tisa…”
“Aku denger tadi kamu ngomong kamu laper. Nih aku kasih,
mau nggak?”
“Ng… Kata Mama aku nggak boleh terima makanan dari orang
yang nggak dikenal.”
“Tapi kan kamu kenal aku Sa?”
“Ng… Iya sih…”
“Yaudah nih ambil ya!”
“Iya! Makasih!”
Tisa memakan roti gulung itu, dan rasanya sungguh enak.
“Enak!”
Bayu tersenyum, “Iya kan? Ini Mama aku yang bikin,
kapan-kapan ke rumah aku ya cobain kue bikinan Mama aku!”
“Iya.”
“Oiya sekarang aja yuk ke rumah aku!”
“Eh?”
Bayu menaiki sepedanya dan menyuruh Tisa duduk diboncengan
di belakang. Rasanya jauh sekali, karena dari tadi tak sampai-sampai.
Tiba-tiba, Bayu mengerem sepedanya tepat di depan toko kue.
“Ini dimana Bay?” tanya Tisa heran.
“Ini rumah aku, yuk masuk!” Bayu menarik tangan Tisa.
Tisa takjub saat Bayu membawanya mengelilingi toko.
Apalagi saat Bayu mengenalkan Tisa ke Mamanya. Mamanya sungguh sangat baik.
Membuatkan susu coklat hangat dan menghidangkan kue-kue enak untuknya. Rasanya
enggan ia ingin pulang. Ia ingin tinggal disini saja. Bayu juga sangat baik
padanya, tak seperti Raya kakak laki-lakinya maupun Rivo adik laki-lakinya
juga.
Bayu mengajaknya bermain dan mengenalkannya pada anak-anak
disitu. Tisa sangat senang sekali. Tapi, tiba-tiba Bayu melihat jam tangannya
dan menyuruh Tisa pulang.
“Nah, sekarang, waktunya kamu pulang. Udah sore lho Sa”
“Ng…”
“Kenapa? Kamu nggak mau pulang?”
“Nanti kita nggak ketemu lagi Bay…”
“Pasti kita bakal ketemu lagi kok! Aku janji! Aku kan suka
sama kamu!” Bayu memberikan kelingkingnya pada Tisa.
Tisa tersenyum dan membalas uluran kelingking itu. “Iya
aku juga suka sama kamu! Nanti kalo udah gede kita jadi keluarga ya!” katanya
polos.
“Pasti itu! Tisa? Kamu sakit ya? Kok tangan kamu panas?”
Bayu memegang jidat Tisa, “Iya, panas banget. Kamu pulang ya!”
“Eh?” saat itu Tisa merasa kepalanya pusing sekali dan
tiba-tiba semuanya gelap.
*************
“Ng… Mama?” Tisa membuka matanya dan melihat Mamanya yang
sedang menatapnya.
“Eh Tisa udah bangun ya? Kamu udah tidur dua hari. Ada
anak cowok yang nganter kamu pulang. Siapa itu?”
“Anak cowok? Anak cowok yang mana?”
“Tisa lupa ya? Tapi nggak apa-apa kok, udah tidur lagi ya
sayang…” Mama mengelus kepala Tisa dan menyuruh Tisa tidur lagi.
“Eh… Iya Ma…”
*********
“Tisa!!” panggil Nesya saat Tisa baru saja turun
dari motor.
“Woi!” Tisa melambaikan tangannya pada Nesya.
Nesya menjajari langkahnya dengan Tisa. “Cie dah yang
masuk kelas Ipa nih! Sabi kali traktiran!”
“Hahah ngapain gue traktir lo, ngabisin duit gue aja sih.”
ledek Tisa.
“Huuh! Pelit!”
Tisa tertawa dan melambaikan tangannya pada Nesya,
“Bye-bye! Gue ke kelas gue dulu, selamat berjuang di kelas Ips yang
guru-gurunya galak itu! Hahahaha!”
Nesya memanyunkan bibirnya tapi melambaikan tangannya
juga. Ia berbelok kearah kiri, deretan kelas Ips. Sedangkan Tisa berbelok
kearah kanan deretan kelas Ipa.
Saat Tisa akan berbelok masuk kearah kelasnya, ia ditabrak
seorang anak cowok. Namanya Bayu Satria, terlihat dari tulisan nama di
seragamnya.
“Sorry!” Bayu memalingkan kepalanya dan melangkah pergi.
Tisa memperhatikan anak itu yang sudah menghilang di
koridor. Rasanya Tisa pernah melihatnya sebelumnya diluar sekolah dan saat itu
kalau nggak salah ia masih kecil. Tapi Tisa lupa. Akhirnya ia menghela napas
dan masuk ke kelasnya.
Terdengar riuh keberisikan anak-anak yang sedang
mengobrol. Dan rata-rata semua bangku sudah terisi. Hanya ada satu bangku di
barisan paling depan dekat tempatnya berdiri sekarang. Di bangku sebelahnya
sudah terdapat tas anak laki-laki. Tapi akhirnya Tisa memutuskan untuk duduk
disitu.
“Ehm permisi…” belum lama Tisa duduk disitu, seorang anak
cowok menghampirinya, cowok tadi yang menabraknya, Bayu.
“Eh… kenapa?” tanya Tisa polos.
“Ehm bangku itu tempat duduk gue…”
“Eh. Oh! Oke!” Tisa berdiri agar cowok itu bisa masuk dan
duduk di tempatnya.
Cowok itu pun tersenyum pada Tisa. Dan Tisa kembali duduk
di kursinya.
“Boleh gue duduk sini?” tanya Tisa.
“Boleh aja…”
Tisa tersenyum, “Gue Tisa, lo siapa?” Tisa mengulurkan
tangannya.
Bayu terdiam sesaat sambil memandang Tisa, “Gue Bayu. Bayu
Satria.” Bayu membalas uluran tangan Tisa.
Tisa tersenyum. Lumayan lah, walau teman pertamanya ini
cowok. Yang penting ia sudah punya teman…
Pulang
sekolah…
“Tisa!!” panggil seseorang dari belakang saat Tisa kana
menuruni tangga bersama Nesya.
Tisa menoleh, ternyata Bayu. “Apa Bay?”
“Ini buku lo ketinggalan…”
“Oh oke thanks!”
Bayu mengacungkan jempolnya dan berjalan menuruni tangga
duluan.
Nesya ternganga-nganga, “Cie dah yang baru masuk kelas Ipa
punya temen cowok! Ganteng lagi!”
Tisa hanya tertawa, “Pengen yaaa? Hahaha!” ledeknya.
“Iih Tisa! Ganteng!!” Nesya menatap punggung Bayu yang
sudah agak menjauh.
Tisa tersenyum, dan menatap Bayu juga. Dalam hati, ia
bertanya-tanya. Pernahkah ia mengenal Bayu? Kalau iya, kapan?
“Door!!”
suara Rivo mengagetkan Tisa dari belakang saat Tisa sedang terbengong-bengong
di teras rumah.
“Iiih
Rivo!!” Tisa menatap Rivo tajam.
Rivo hanya
ber-“hehehe” ria. “Lo sih bengong mulu! Kenapa sih? Lagi fall in love ya? Atau
patah hati?” Rivo duduk disebelah kakaknya itu.
“Sialan
lo!” Tisa menoyor Rivo, “Gue gak lagi kenapa-kenapa Vo. Udah diem dah lo.”
“Mana sih
cowok yang bikin lo patah hati Sa? Sini biar gue hajar, berani amat nyakitin
kakak gue. Gak tau aja dia adeknya udah sabuk hitam!”
Tisa
tertawa, “Sabuk hitam? Bukannya masih ijo ya? Hahaha!”
“Oh iya ya
hehehe…”
Tisa tetawa
lagi. Kelakuan adiknya ini sangat lucu. Sebenarnya Rivo baik kok, tapi cuma
nyebelin aja. Hahaha.
“Udah ah
jangan dibahas lagi! Eh lo masuk kelas apa dah? Wali kelasnya siapa?” Tisa
mengalihkan pembicaraan.
“Gue masuk
kelas lo dulu di X-6 Sa! Wali kelasnya kalo nggak salah guru Fisika namanya Pak
Ara deh.”
“Hah? Pak
Ara? Si kumis galak itu? Hahahahaha!” Tisa tertawa ngakak.
“Kok lo
ketawa sih?” Rivo sewot.
“Tuh guru
galak banget Vo! Dulu waktu kelas sepuluh gue pernah naro lem aibon di kursi
guru, eh dia akhirnya nempel beneran! Hahahah!”
Rivo ikut
tertawa, “Gila luh! Parah banget!”
“Iya jadi
tuh guru dendam banget sama anak-anak geng gue deh! Hahaha! Rasanya pengen
ngakak inget kejadian itu.”
“Parah lo
Sa! Gila!!”
Tisa tambah
tertawa ngakak. Tiba-tiba terdengar suara motor masuk kedalam rumah. Raya
pulang.
“Woi!” Raya
mengacak rambut adik-adiknya itu.
“Ah lo mah
gak bisa diem Ya!!” Tisa cemberut.
“Abis
darimana lo? Pulang lama banget Kak!” kata Rivo.
“Gue abis
nraktir temen-temen gue makan.” Raya duduk di kursi dan melepas sepatu dan kaos
kakinya.
“Ah lo mah
nraktir temen, ade kagak! Kakak payah!” ledek Tisa.
Raya
memutar bola matanya, “Suka-suka gue dong! Udah ah gue mau masuk!”
Tisa juga
bangkit dari duduknya dan masuk kedalam tanpa berbicara apapun. Kini tinggal
Rivo yang duduk sendirian di teras sambil menggeleng-geleng. Lalu tak beberapa
saat baru Rivo sadar ia lupa ingin berbicara penting pada Tisa.
“Tisa!
Tunggu!”
Tisa masuk
ke kamarnya tanpa menoleh. Dan saat Rivo sudah mau mendekat kearah Tisa, Tisa
menutup pintu kamarnya dengan kencang dan Rivo pun terkena benturan pintu sampai
terjatuh.
“Aduhhh!!
Tisa!!!”
“Eh?” Tisa
melongokkan kepalanya dan menatap Rivo tanpa dosa.
*********
Rivo
menggosok hidungnya sambil menatap Tisa yang berada di sampingnya dengan kesal.
“Vo ngambek
mulu dah lo sama gue. Jangan ngambek dong, ganteng deh…” goda Tisa.
“Bodo!
Sakit nih idung gue!”
Raya hanya
melirik kedua adiknya ini sambil terus memainkan hapenya.
“Kenapa sih
kalian berdua?” tanya Mama yang duduk di kursi depan.
“Ini Ma! Si
Tisa bikin adek kepentok pintu!” Rivo mengadu.
“Ih ngadu!
Manja lo Vo!” Tisa mencubit hidung Rivo.
“Auw!!
Jahat lo! Tuh Ma, Tisa iseng tuh Ma!”
“Eh
udah-udah!” lerai Papa, “Tuh toko roti! Mau beli dulu nggak buat bawa kalian ke
sekolah kek gitu.” Papa mencoba mengalihkan.
“Nih Tisa
beli!” Mama memberi selembar uang lima puluh ribuan.
“Rivo aja
apa?!”
“Yaudah
berdua!” suruh Papa.
Akhirnya
Tisa dan Rivo turun dari mobil. Hari ini Papa memang sengaja mengajak Mama,
Raya, Tisa dan Rivo untuk berangkat bersama. Dan malah timbul pertengkaran lagi
ditengah-tengah Tisa dan Rivo.
Tisa masuk
duluan kedalam toko roti dan kue tersebut. Sepertinya Tisa mengenal tempat ini.
Rivo masuk juga dan langsung mengambil pesanan Mama, Papa, dan Raya.
“Sa, lo mau
roti apaan?” tanya Rivo.
Tisa yang
sedang memperhatikan toko ini langsung terkejut. “Ehmm… Gue roti gulung aja
deh!”
Tisa dan
Rivo berjalan menuju kasir. Dan terlihat seorang anak laki-laki yang memakai
seragam SMA dan celemek sambil memeriksa tas sekolahnya. “Hmm… Mas??” panggil
Tisa hati-hati.
Anak itu
menoleh dan Tisa langsung kaget begitu mengetahui kalau dia adalah Bayu teman
sebangkunya. Bayu pun sebaliknya, ia kaget saat bertemu Tisa. “Tisa?” Bayu
mengerutkan alisnya.
“Hey Bay…”
Bayu
menatap Tisa dan pesanannya yang ada di tangan Tisa, lalu ia menghitung jumlah
pesanan dan menyebutkan harganya. Saat Tisa sudah membayar, ia melempar senyum
pada Bayu.
“Thank’s
Bay. Lo gak sekolah?”
“Ini gue
mau berangkat Sa.”
“Ooh bareng
gue aja. Mau nggak?”
“Eh nggak
usah…”
“Udah nggak
apa-apa. Ayo buruan!”
Akhirnya
Bayu melepas celemeknya dan memakai tas sekolahnya serta pamit pada Ibunya yang
ada di dalam rumahnya lalu ia menghampiri Tisa.
“Ayo! Tuh
mobil gue.” Tisa menunjuk mobilnya.
“Hah? Naik
mobil?”
“Iya!”
“Sama
bokap, nyokap, kakak, adek lo gitu?”
“Iya! Biasa
aja apa.”
Bayu
terlihat berpikir, tapi Tisa menariknya agar berjalan lebih cepat. Dan akhirnya
mereka sampai di pintu mobil.
“Ma! Temen
Tisa ikut ya! Boleh ya!”
“Yaudah.
Tapi duduk di belakang ya.” jawab Papa.
Mama yang
baru saja menatap Bayu merasa pernah mengenalinya.
Akhirnya
Bayu duduk di belakang. Papa dan Mama bertanya-tanya tentang kehidupan Bayu.
“Lo temen
sebangkunya adek gue?” tanya Raya sambil menoleh ke belakang.
“Eh… Iya…”
“Hati-hati
ya! Dia itu kalo ngamuk bisa gigit meja!” bisik Raya pelan tapi cukup terdengar
oleh Tisa.
“Rayaaaa!!”
Tisa mencubit lengan Raya kencang-kencang.
“Ahh!!”
Raya menjerit dan menggosok-gosok lengannya. Matanya mempelototi Tisa, tapi
dibalas lebih oleh Tisa.
Bayu
cekikikan. Keluarga yang sangat mengasyikkan, pikirnya. Walau sering
bertengkar, kelihatannya Tisa, Raya, dan Rivo sangat akrab.
Tisa dan
Raya masih sibuk bertengkar. Dan Rivo akhirnya melompat ke belakang ke sebelah
Bayu.
“Kak,
menurut lo Tisa cantik nggak?” tanya Rivo sambil tersenyum menggoda.
Bayu
tersenyum, “Gue nggak tau deh.”
“Haha!
Hati-hati nanti bisa suka lho…”
Bayu
tersenyum lagi. “Emangnya kalo gue suka, lo rela kakak lo, lo serahin ke gue?”
Kini
gantian Rivo yang tersenyum, “Apa sih yang nggak buat kakak gue?”
Papa
mengerem mobilnya dengan mulus di depan sekolah. “Sampai…!”
Raya keluar
didorong Tisa, masih dengan pertengkaran. Bayu keluar pelan-pelan sambil
melompat, dan Rivo pun keluar setelah Bayu turun. Setelah mengucapkan terima
kasih pada Papa dan Mama Tisa, Bayu berjalan mengkuti Tisa yang masih meledek
Raya.
Mereka
berpisah di tangga. Raya berjalan kelantai empat, Rivo kelantai dua, dan Tisa
serta Bayu kelantai tiga.
“Tisa!”
seseorang memanggil Tisa saat ia dan Bayu baru saja menginjak lantai tiga.
Tisa
menoleh dan melihat Nesya yang berjalan kearahnya. “Bay, duluan aja.”
“Oke!” Bayu
bergegas menuju kelas.
Nesya
tersenyum menggoda sambil melirik Bayu yang menjauh. Tisa hanya memandang Nesya
sambil menaikkan satu alisnya.
“Lo jadian
ya sama dia?!” Nesya menebak sambil menunjuk Bayu yang baru saja masuk ke
kelas.
“Hah?!
Nggak?!” Tisa menggeleng.
Nesya
menatap Tisa lekat-lekat. “Ya emang nggak. Tapi lo suka kan?”
Tisa
tersenyum geli, ia mengacak rambut Nesya yang lebih pendek darinya. “Aneh lo!
Gue masuk kelas dulu ya!” katanya sembari berjalan lurus.
Saat
dijalan menuju kelas, Tisa jadi tersenyum sendiri mengingat perkataan Nesya.
It’s impossible if I love someone like Bayu, batinnya.
**********
“Hompipah
alaium gambreng!!” terdengar suara berisik dari kelompok tiga.
“Yeeyy! Gue
keluar!” sorak Egi.
“Nah
sekarang tinggal sisa Bayu sama Tisa! Ayo suit! Kita tentuin ngerjain tugas di
rumah siapa!” kata Rika.
“Semoga gue
yang menang! Jadi ngerjain di rumah Tisa!” ucap Bayu.
“Eh enak
aja! Ayo suit!”
Dan setelah
tiga kali suit, yang menang adalah Tisa.
“Bayu
kalah!! Woo!” ledek Tisa.
“Ih jahat
lo Sa!” Bayu mencubit pelan lengan Tisa.
Tisa hanya
meringis kecil. Sekarang sudah tiga bulan ia duduk di bangku kelas XI. Dan Tisa
sudah mulai dekat dengan anak-anak di kelas karena sifatnya yang periang dan
ramai. Terlebih dengan Bayu, malah mereka bersahabat sekarang.
Hari ini
saat pelajaran Biologi, Pak Ade memberikan tugas. Sebelumnya, ia membentuk
kelompok-kelompok dulu dari denah tempat duduk. Dan alhasil Tisa satu kelompok
dengan Bayu, Egi, Rika, Yudha, dan Geyza.
Dua
hari kemudian…
“Geyza mana
nih?!” kata Rika sewot karena kepanasan menunggu Geyza di perempatan lampu
merah agak dekat dengan rumah Bayu.
Tisa, Egi,
dan Yudha hanya memutar bola matanya dan mengedikkan bahu yang berarti tidak
tahu.
“Tuh
Geyza!” ucap Egi sambil menunjuk seseorang di kejauhan yang memakai baju hijau
terang.
Benar, itu
Geyza. Tisa hanya menghela napasnya. Ia sudah capek menunggu disini selama
hampir 45 menit. Tisa yang pertama kali datang, lalu 19 menit kemudian datang
Yudha, lalu Egi, serta Rika. Cuma Geyza yang paling ngaret. Karena sungguh
capek karena kepanasan dan berdiri terus menerus Tisa hanya diam.
“Geyza!!
Lama banget sih lo!!” Rika mulai menggonggong.
Geyza hanya
ber-“hehehe” ria. “Yaudah ayo ke rumah Bayu! Tisa mana? Kan dia yang tau
jalannya!” kata Geyza mencoba mengalihkan.
Tisa
berjalan duluan serta yang lain
mengikuti. Rasanya Tisa ingin cepat-cepat sampai ke rumah Bayu, meminta air
minum yang dingin karena tenggorokannya sangatlah kering.
Setelah
berjalan kurang lebih 15 menit, mereka berlima berhenti di depan toko roti.
“Eh ini
kita dimana?” tanya Yudha bingung.
Tisa hanya
tersenyum dan berdehem, “Bayuuuu!!”
“Hah? Ini
rumahnya Bayu?” tanya Egi.
Tisa
mengangguk. “Bayuuu!” dipanggilnya bayu sekali lagi.
“Iya
bentar!!” terdengar suara bayu dari dalam.
Lalu Bayu
keluar dari dalam. Kaosnya yang berwarna hitam tertutupi celemek berwarna
kuning muda. “Ayo masuk!” ajaknya.
Yudha
tersenyum meledek, “Duh lucunya Bayu pake celemek… Hahahaha!”
Yang lain
tertawa dan mengikuti Bayu yang masuk kedalam. Saat melewati dapur, mereka
melihat Ibunya Bayu yang sedang memasukkan kue kedalam oven. Setelah salim,
Bayu mengajak Tisa dkk ke ruang tengah untuk mengerjakan tugas.
Kurang lebih
sekitar satu jam mereka mengerjakan tugas dari Pak Ade. Kini, saat sudah
selesai mereka merasa kelaparan.
“Huffft
laper gue…” kata Geyza.
“Badan lo
cungkring gitu sih. Makanya laper mulu!” ledek Yudha.
“Nyokap gue
belom masak nasi nih. Makan roti aja ya?” tawar Bayu.
“Okeee!”
jawab Geyza, Tisa, Yudha, Egi, dan Rika.
Bayu
mengajak mereka ke dapur dan mengambil beberapa potong kue dan roti. “Nih
cobain dulu!” suruh Bayu sambil memberi mereka satu potong kue ke setiap anak.
“Enak!”
kata yang lainnya.
“Tante enak
banget kuenya! Ajarin cara bikinnya dong?!” pinta Rika, yang lain mengiyakan.
Ibunya Bayu
tersenyum dan mengangguk. “Iya tenang Tante ajarin…”
“Asyikkk!”
sorak anak-anak.
Hari itu
rumah Bayu jadi ramai sekali. Sampai jam empat sore mereka pamit pulang pada
Bayu dan Ibunya.
“Kapan-kapan
main lagi kesini yaaa…” pesan Ibunya Bayu.
“Oke Tante!
Saya mau dah main kesini terus, lagian kuenya enak-enak!” jawab Egi.
Saat yang
lain sedang bercanda dengan Ibunya Bayu, Bayu menarik Tisa mendekat kearahnya.
“Besok hang out yuk?”
Tisa
tersenyum, “Cieee mentang-mentang awal bulan, baru dapet duit, ngajak gue
hangout nih…”
“Hehehehe.
Ayo dah. Mau nggak?”
“Ya udah
ayo…”
Saat semua
teman-temannya sudah pulang, Bayu masuk ke kamarnya dan merebahkan dirinya di
tempat tidur. Otaknya penuh dengan wajah Tisa. Tisa yang dulu pernah ia kenal
sewaktu umur 7 tahun. saat itu mereka bertemu di taman. Tapi sepertinya Tisa
melupakan hal itu. Bayu ingat saat mereka berjanji akan membangun sebuah
keluarga bersama. Saat pertama kali ia melihat Tisa di depan kelas, ia merasa
itulah Tisa si anak kecil dengan kuncir ekor kuda dan membawa tasnya yang
berwarna pink yang duduk di bangku taman sambil memegang perutnya yang
keroncongan.
Bayu
tersenyum mengingat semua kenangan itu. Apalagi tentang janji polos kedua anak
kecil itu. Tapi memang benar karena mereka bertemu lagi 10 tahun kemudian.
Andaikan Tisa tahu, sebenarnya Bayu agak menyayanginya.
Tisa
melamun di jalanan. Kenapa ini dengannya? Saat melihat Bayu rasanya jantungnya
berdebar-debar. Apa ia menyukai Bayu? Orang yang rasanya pernah dilihatnya
dulu… Apa artinya ini? Ia ingat dua bulan yang lalu saat ia berbicara ia takkan
menyukai orang seperti Bayu. Tapi sekarang…?
Esoknya…
Bayu celingak-celinguk
mencari seorang perempuan yang ditunggunya, Tisa. Saat ini ia berada di depan
toko boneka di satu pusat pembelanjaan.
“Bayu!”
tiba-tiba seseorang memanggil namanya dari belakang.
Bayu
menoleh dan dilihatnya orang yang dicarinya, Tisa. Seseorang yang mungkin
disayanginya…
Tisa
menghampirinya, “Yok jalan!”
“Ayo…”
“Eh Bay lo
tau gak kenapa gue nyuruh lo tunggu di depan toko boneka?”
Alis Bayu
mengkerut, “Nggak, kenapa emang?”
“Lo tau gak
boneka teddy bear yang gede? Yang dipajang di tengah-tengah toko, warna
coklat.”
“Oohh
iya-iya.” Bayu mengangguk-ngangguk.
“Gue tuh
suka banget sama tuh boneka. Sayangnya mahal. Kalo nggak salah harganya
mendekati jutaan. Gue pengen deh ada yang beliin gue tuh boneka waktu gue ulang
tahun bentar lagi…”
Bayu
tersenyum. “Kenapa gak minta aja sama ortu lo?”
“Mana mau
mereka beliin?”
“Ya minta
lah, buat hadiah ulang tahun lo ini… seminggu lagi lo ulang tahun kan?”
“Iya sih…
Tapi gak mungkin lah dibeliin… beliin gue dong Bay? Hehehe…”
“Hah? Apa
lo kata Sa? Gak punya duit gue, harganya aja mendekati jutaan!”
Tisa
tersenyum, “Nggak lah, kasian elo nya juga.”
Hari itu
Bayu sangat senang karena ia bisa berduaan dengan cewek yang disayanginya. Yah
benar! Bayu tau ia menyayangi Tisa. Tapi enggan rasanya hal itu diucapkan,
mungkin nanti-nanti saja…
Saat sampai
di rumah, Bayu langsung dihampiri Bundanya yang memegang uang. “Nih Bay, kamu
cuci darahnya sendiri aja ya besok. Ini duitnya. Bunda nggak bisa ikut soalnya
ada acara.”
Bayu
menatap Bundanya, “Udah lah Bun, Bayu nggak usah cuci darah aja. Bayu kan
sehat, lagian ginjalnya udah gak kenapa-napa lagi tuh. Akhir-akhir ini aja Bayu
gak cuci darah gak kenapa-kenapa kan? Uangnya Bunda pake aja buat nambahin
Bunda jualan. Ya?”
Bunda
menghela napas, “Bayu… Bayu… Bunda tuh pernah diingetin dokternya. Sekali dua
kali kamu nggak apa-apa gak cuci darah. Inget lho penyakit ginjal kamu tuh udah
parah. Kamu nggak pernah perhatiin akhir-akhir ini kamu pucet? Nggak kan? Pake
aja Bayu…”
Bayu juga
menghela napasnya dan mengabil uang yang ada ditangan Bundanya, “Makasih Bun…”
Bunda
tersenyum dan menatapnya, “Bunda nggak mau kehilangan lagi. Udah cukup Ayah
kamu. Jangan kamu juga…”
Bayu
mengangguk dan berjalan masuk ke kamarnya. Ditaruhnya uang itu di meja dan di
tatapnya uang itu. Satu juta, pengeluaran Bunda untuknya setiap bulan hanya
untuk kesehatannya. Memang Bayu mendapat bantuan dari rumah sakit dan hanya
harus menambah satu juta untuk kesehatannya. Ia mengidap penyakit ginjal yang
kronis, setiap bulan harus selalu ‘cuci darah’. Tapi empat bulan terakhir ini
ia tak datang ke rumah sakit karena Bundanya tak punya uang yang cukup. Dan
Bayu pun mengerti, selama empat bulan itu ia tak merasakan apa-apa. Mungkin ia
sudah sembuh.
Bayu
teringat saat Tisa bilang ia inginkan teddy bear di toko itu untuk hadiah ulang
tahunnya. Dan harganya mendekati satu juta. Apa… uang ini ia pakai saja untuk
membelikan benda itu…?
Ah
entahlah. Bayu menguap dan merebahkan dirinya di tempat tidur. Perlahan-lahan
matanya mulai menutup.
6
hari kemudian…
“Cie-cie yang besok
ulang tahun…” Bayu menyenggol-nyenggol Tisa dengan sikutnya saat mereka sedang
latihan upacara.
Kelas Tisa
sedang kebagian untuk menjadi petugas upacara Senin depan. Tisa jadi pembaca
undang-undang dasar dan Bayu menjadi pembaca doa. Jadi mereka berdiri bersebelahan.
Tisa
tersenyum, “Kadonya jangan lupa ya Bay!”
Bayu
tersenyum juga, “Pastilah, gue udah siapin kado yang istimewa buat lo.”
Sepulang
sekolah, Bayu langsung melempar diri ke kasur. Uang untuk cuci darah, masih
utuh di laci mejanya. Sewaktu ditanya Bunda, Bayu mengaku ia sudah ke rumah
sakit. Padahal sebenarnya ia main ke rumah Yudha. Sebelum ke rumah Yudha, Bayu
mengunjungi toko boneka yang kemarin dan bertanya berapa harga boneka itu.
Delapan ratus ribu…
Sebenarnya,
Bayu sudah merasakan sakit di ginjalnya. Ia ingat saat diperingatkan Ibunya. ‘Sekali dua kali kamu nggak apa-apa gak cuci
darah. Inget lho penyakit ginjal kamu tuh udah parah’. Tapi… Ah tidak
apa-apa. Bayu pasti sudah sembuh.
Bayu
membuka pintu kamarnya dan menengok ke kiri dan ke kanan. Bunda masih sibuk di
dapur. Ia membuka laci mejanya dan mengambil uang itu. Dihitungnya uang itu
dengan gemetar.
‘Maafin Bayu Bun, sekali ini saja. Bayu
pengen bahagiain cewek yang Bayu sayang sebelum Bayu pergi…’ batinnya.
Bayu
memakai jaketnya dan beranjak keluar rumah sambil mengantongi uang itu.
“Bay? Mau
kemana?” tanya Bunda saat melihat Bayu yang berjalan keluar.
“Oh Bun!
Ehmm… Bayu mau ke rumah Tisa mau bantuin dia ngerjain tugas.”
“Oh iya
jangan pulang kemaleman ya.”
“Iya Bun.”
Bayu
menaiki bus menuju pusat pembelanjaan itu dan untungnya toko boneka itu masih
buka. Pinggangnya terasa sakit. Ya, itu pasti ginjalnya. Kepalanya juga terasa
sangat-sangat sakit. Gejala yang sama saat ia pertama kali sakit ginjal. Bayu
menatap toko yang ada di depannya itu. My God… Haruskah ia melakukan ini? Bayu
menggenggam uang yang ada di saku celananya itu dengan erat. Keputusannya sudah
bulat…
“Mas! Saya
beli boneka ini!”
Esoknya…
“Happy birthday
Tisaaa!!” ucap Nesya sambil menghampiri Tisa yang baru saja menginjak lantai
tiga.
“Makasih ya
Nes… Kado mana kado?”
“Ntar ya!
Pas party! Pasti ada party nya dong, kan sweet seventeen…”
“Yo’i… Lo
kan udah gue kasih tau…”
Nesya
hanya ber-“hehehe” ria. “Yaudah gue
balik dulu ya ke kelas! Bye!”
Tisa
mengangguk, lalu ia berjalan ke kelasnya. Ingin cepat-cepat bertemu orang yang…
Ehm, disayanginya. Bayu. Penasaran akan perkataan Bayu enam hari yang lalu saat
ia akan memberi kado yang paling istimewa.
Tapi, saaat
Tisa datang ke kelas. Harapannya musnah. Bayu tidak masuk. Kata Bella si
sekretaris, Bayu bilang ia sakit. Ada apa dengan Bayu? Ia sakit apa?
Tisa merasa
kesepian selama jam pelajaran tanpa Bayu yang biasanya duduk di samping
kanannya. Memang semenjak pertama kali bertemu Bayu, mukanya terlihat selalu
pucat. Apalagi kemarin, lebih pucat lagi dari biasanya. Apa Bayu punya penyakit
serius?
Bayu sama
sekali tak ada kabar. Ia menghilang. Dari mulai party, sampai sudah mau
selesai, tak ada sama sekali sms atau telepon darinya. Tisa memang senang
karena ini ulang tahun ke-17. Tapi tanpa ada Bayu disampingnya, rasanya pesta
ini sia-sia. Kesenangannya belum lengkap tanpa Bayu…
Saat semua
orang sudah pulang pukul 09:00 malam, sebuah mobil box berhenti di depan
rumahnya. Tisa langsung keluar dari rumah begitu mengetahui kalau ia yang
dicari orang-orang yang turun dari mobil itu. Sebuah kotak besar berbungkus
kertas kado berwarna biru laut – warna kesukaan Tisa – diberikan padanya.
“Makasih ya
Mas. Ngomong-ngomong ini dari siapa ya?” tanya Tisa penasaran.
“Eh…, kata
pengirimnya nggak boleh kasih tau Mbak…”
“Oh gitu,
makasih ya mas…”
Orang itu
mengangguk dan kembali masuk ke mobil. Tisa baru saja akan membuka kado itu
saat ia menemukan sepucuk surat yang dimasukkan kedalam amplop warna hijau.
Dear Tisa…
Happy Birthday ya my best friend…
Ini gue Bayu, Sa…
Sorry kalo gue baru ngirim kado dan
ucapan ini sekarang karena gue gak sempet. Gue lagi dirawat di rumah sakit.
Pasti lo bingung kenapa gue dirawat. Gue punya penyakit Sa, penyakit ginjal
yang parah. Setiap bulan gue mesti cuci darah. Keluar sejuta setiap bulan cuma
buat cuci darah gue. Penyakit gue ini gak bisa disembuhin. Gue gak tau nama
penyakitnya apa, tapi yang pasti berhubungan sama ginjal. Katanya sih emang
udah parah banget sampe gak bisa disembuhin, cuma bisa dilakuin pencegahan
dengan cuci darah setiap bulan.
Gue tau, hidup gue gak akan lama lagi.
Yah, karena gue bandel. Gue udah 4x gak cuci darah. Sebenernya sih udah
diingetin dokter. Bulan ini Bunda gue ngasih duit buat gue cuci darah. Gue
disuruh ke rumah sakit sendiri. Itu Bunda gue ngasih duitnya waktu kita pulang
hang out. Inget kan lo pernah bilang kalo lo pengen ada yang ngasih boneka yang
lo tunjukkin disana? Duit yang dikasih Bunda gue, gue pake buat beliin lo
boneka itu. Bukan buat cuci darah gue. Gue pikir gue udah sembuh.
Kenapa gue mau beliin boneka itu buat
lo? Karena gue sayang banget Sa sama lo… tapi gue takut buat ngungkapinnya. Gue
emang pengecut, maaf.
Gue tau kok kalo gue itu tuh bego
banget. Ngorbanin apapun sampe hidup gue sendiri gue pertaruhin. Maaf ya karena
sahabatlo ini emang bego. Banget.
Dokter udah ngevonis hidup gue tinggal
beberapa jam lagi. Yah emang sih bukan ilmu kedokteran yang nentuin kapan kita
mati. Tapi gak tau kenapa gue percaya aja.
Ngomong-ngomong makasih ya Sa, udah
ngajarin gue yang namanya persahabatan. Jujur, cuma di kelas sebelas ini gue
nemu sahabat kayak lo yang setia nemenin gue. Karena sifat lo itu, gue jadi
sayang sama lo. Dan maaf gue gak bisa nepatin janji kita 10 tahun yang lalu. Lo
inget kan waktu kita ketemu di taman deket rumah gue? Waktu gue ngasih lo roti
gulung, waktu gue lo ajak ke rumah gue buat nikmatin masakan Bunda gue. Dan
waktu kita bikin janji kalo kita bakalan membangun keluarga bersama. Maaf
karena gue gak bisa nepatin itu…
Kalo gue udah gak ada waktu lo baca
surat ini… Tolong jaga boneka ini ya. Gue emang udah gak bisa nemenin lo lagi
dari samping lo, tapi pasti gue nemenin lo dari boneka ini…
Gue tau lo pasti nangis baca surat
gue. Please janji sama gue jangan nangis… lo tuh gak boleh nangis, lo mesti
ketawa, ceria, dan kuat kayak Tisa yang biasanya…
Udah ya Sa segitu aja… Lo emang yang
terbaik yang pernah singgah di hidup gue. Makasih ya… Goodbye…
-Bayu-
Air mata Tisa mengalir
dengan derasnya. Pantas rasanya ia pernah mengenal Bayu sebelumnya. Bayu…,
kenapa lo gak pernah bilang? Kenapa lo gak pernah bilang kalo kita punya janji
itu semasa kita kecil? Kenapa lo nggak bilang kalo lo sayang sama gue…? Batin
Tisa berbicara.
Tisa
membuka kado itu dan benar, terdapat teddy bear yang ia inginkan. Yang berwarna coklat muda itu. Ya ampun…,
berapa ini yang harus dikelaurkan Bayu untuk membeli ini? Tisa merasa sangat
bersalah saat menatap boneka itu.
Tiba-tiba,
Raya dan Rivo keluar dari dalam rumah. Menghampiri Tisa yang sedang merenung.
“Sa?” Raya
mengelus kepala Tisa dengan lembut, tak seperti biasanya.
“Ada berita
buruk. Gue minta lo jangan nangis ya Sa…” lanjut Rivo.
“Berita
apa?!” Tisa langsung bangkit dari duduknya.
“Bayu…”
Raya menghela napas. “Bayu meninggal Sa…”
Mata Tisa
langsung melotot. Coba ditelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang
kering. Tapi tak bisa. Kepalanya mulai menggeleng perlahan. “Bohong…,” perlahan
dikeluarkannya ketidakpercayaannya, “Bohong! Ini semua bohong!” Air matanya
keluar lagi dengan deras.
Raya
menatap adiknya itu dengan sedih. Sebenarnya ia juga ikut sedih melihat adiknya
begini. Ditariknya adiknya itu kedalam pelukannya, coba direndamnya tangisan
itu.
“Raya
bohong kan… Rivo juga pasti bohong…” kata Tisa sesenggukan.
“Ngapain
Raya bohong? Ngapain gue bohong Sa? Gue serius. Ini aja gue dikasih tau Raya.
Raya dikasih tau temennya yang deket sama Bayu.”
Tisa
menatap Rivo dengan pilu. Dadanya sesak. Tangisnya juga tak bersuara karena
rasa sakit yang mendalam ini. ini semua karena diriya sendiri! Andai saja ia
tak bilang pada Bayu apa yang ia inginkan. Andai saja ia tak melupakan Bayu.
Bayu yang pernah dikenalnya sewaktu ia kabur dari rumah.
Ini mungkin
ulang tahun Tisa yang paling tersedih sepanjang 17 tahun. Tak ada Bayu yang
menemaninya lagi mulai hari ini, hari ulang tahunnya yang seharusnya bahagia.
Esoknya
saat Bayu dimakamkan, air mata Tisa lagi-lagi keluar. Raya yang menjaga Tisa
setiap saat. Saat Tisa menangis, saat Tisa masih stress dan tak mau keluar
untuk makan, Raya yang membujuknya. Kini Raya berperan sebagai sosok kakak yang
sesungguhnya.
“Huffft…”
Tisa melempar dirinya ketempat tidur saat pulang dari pemakaman.
Ia menatap
boneka sebesar dirinya yang ia taruh di samping tempat tidur. Boneka teddy bear
itu, yang diberikan Bayu. Tisa mengambil boneka itu dan menatapnya agak lama.
Dielusnya boneka itu dengan lembut. Ia membaca surat dari Bayu berkali-kali.
Ya, Tisa berjanji akan menjaga boneka itu untuk Bayu…
No comments:
Post a Comment