Saturday, April 6, 2013

Teddy Bear


"Tisa?" terdengar suara memanggil Tisa dari belakang, Tisa sangat mengenal suara ini. Suara adiknya, Rivo.
          Tisa menoleh dan masih meneteskan air matanya. Dan dengan polosnya anak berumur 7 tahun ini menjawab, "Tisa mau pergi Vo."
Rivo yang cuma berbeda setahun dari Tisa ini menatapnya lugu, "Pulangnya jangan malem-malem ya! Dadah!"
Tisa pergi berjalan keluar komplek. Saat itu ia merasa ia sudah berjalan begitu lama dan ia sampai disebuah taman. Perutnya berbunyi.
"Aduh aku laper... Coba tadi makan dulu..." ujarnya sambil memanyunkan bibirnya.
Ia duduk di bangku taman dan mengaduk-ngaduk tasnya. Ternyata ia tak membawa makanan, bagaimana mau kabur kalau begini?
“Ini!” tiba-tiba terlihat roti gulung didepan mata Tisa.
Tisa mendongak, terlihat seorang anak laki-laki yang seumuran dengannya sambil memegang roti gulung itu. “Kamu siapa…?” tanya Tisa polos.
“Aku Bayu Satria. Kamu siapa?”
“Aku Tisa…”
“Aku denger tadi kamu ngomong kamu laper. Nih aku kasih, mau nggak?”
“Ng… Kata Mama aku nggak boleh terima makanan dari orang yang nggak dikenal.”
“Tapi kan kamu kenal aku Sa?”
“Ng… Iya sih…”
“Yaudah nih ambil ya!”
“Iya! Makasih!”
Tisa memakan roti gulung itu, dan rasanya sungguh enak. “Enak!”
Bayu tersenyum, “Iya kan? Ini Mama aku yang bikin, kapan-kapan ke rumah aku ya cobain kue bikinan Mama aku!”
“Iya.”
“Oiya sekarang aja yuk ke rumah aku!”
“Eh?”
Bayu menaiki sepedanya dan menyuruh Tisa duduk diboncengan di belakang. Rasanya jauh sekali, karena dari tadi tak sampai-sampai. Tiba-tiba, Bayu mengerem sepedanya tepat di depan toko kue.
“Ini dimana Bay?” tanya Tisa heran.
“Ini rumah aku, yuk masuk!” Bayu menarik tangan Tisa.
Tisa takjub saat Bayu membawanya mengelilingi toko. Apalagi saat Bayu mengenalkan Tisa ke Mamanya. Mamanya sungguh sangat baik. Membuatkan susu coklat hangat dan menghidangkan kue-kue enak untuknya. Rasanya enggan ia ingin pulang. Ia ingin tinggal disini saja. Bayu juga sangat baik padanya, tak seperti Raya kakak laki-lakinya maupun Rivo adik laki-lakinya juga.
Bayu mengajaknya bermain dan mengenalkannya pada anak-anak disitu. Tisa sangat senang sekali. Tapi, tiba-tiba Bayu melihat jam tangannya dan menyuruh Tisa pulang.
“Nah, sekarang, waktunya kamu pulang. Udah sore lho Sa”
“Ng…”
“Kenapa? Kamu nggak mau pulang?”
“Nanti kita nggak ketemu lagi Bay…”
“Pasti kita bakal ketemu lagi kok! Aku janji! Aku kan suka sama kamu!”  Bayu memberikan kelingkingnya pada Tisa.
Tisa tersenyum dan membalas uluran kelingking itu. “Iya aku juga suka sama kamu! Nanti kalo udah gede kita jadi keluarga ya!” katanya polos.
“Pasti itu! Tisa? Kamu sakit ya? Kok tangan kamu panas?” Bayu memegang jidat Tisa, “Iya, panas banget. Kamu pulang ya!”
“Eh?” saat itu Tisa merasa kepalanya pusing sekali dan tiba-tiba semuanya gelap.

*************

“Ng… Mama?” Tisa membuka matanya dan melihat Mamanya yang sedang menatapnya.
“Eh Tisa udah bangun ya? Kamu udah tidur dua hari. Ada anak cowok yang nganter kamu pulang. Siapa itu?”
“Anak cowok? Anak cowok yang mana?”
“Tisa lupa ya? Tapi nggak apa-apa kok, udah tidur lagi ya sayang…”  Mama mengelus kepala Tisa dan menyuruh Tisa tidur lagi.
“Eh… Iya Ma…”
          *********
“Tisa!!”  panggil Nesya saat Tisa baru saja turun dari motor.
“Woi!” Tisa melambaikan tangannya pada Nesya.
Nesya menjajari langkahnya dengan Tisa. “Cie dah yang masuk kelas Ipa nih! Sabi kali traktiran!”
“Hahah ngapain gue traktir lo, ngabisin duit gue aja sih.” ledek Tisa.
“Huuh! Pelit!”
Tisa tertawa dan melambaikan tangannya pada Nesya, “Bye-bye! Gue ke kelas gue dulu, selamat berjuang di kelas Ips yang guru-gurunya galak itu! Hahahaha!”
Nesya memanyunkan bibirnya tapi melambaikan tangannya juga. Ia berbelok kearah kiri, deretan kelas Ips. Sedangkan Tisa berbelok kearah kanan deretan kelas Ipa.
Saat Tisa akan berbelok masuk kearah kelasnya, ia ditabrak seorang anak cowok. Namanya Bayu Satria, terlihat dari tulisan nama di seragamnya.
“Sorry!” Bayu memalingkan kepalanya dan melangkah pergi.
Tisa memperhatikan anak itu yang sudah menghilang di koridor. Rasanya Tisa pernah melihatnya sebelumnya diluar sekolah dan saat itu kalau nggak salah ia masih kecil. Tapi Tisa lupa. Akhirnya ia menghela napas dan masuk ke kelasnya.
Terdengar riuh keberisikan anak-anak yang sedang mengobrol. Dan rata-rata semua bangku sudah terisi. Hanya ada satu bangku di barisan paling depan dekat tempatnya berdiri sekarang. Di bangku sebelahnya sudah terdapat tas anak laki-laki. Tapi akhirnya Tisa memutuskan untuk duduk disitu.
“Ehm permisi…” belum lama Tisa duduk disitu, seorang anak cowok menghampirinya, cowok tadi yang menabraknya, Bayu.
“Eh… kenapa?” tanya Tisa polos.
“Ehm bangku itu tempat duduk gue…”
“Eh. Oh! Oke!” Tisa berdiri agar cowok itu bisa masuk dan duduk di tempatnya.
Cowok itu pun tersenyum pada Tisa. Dan Tisa kembali duduk di kursinya.
“Boleh gue duduk sini?” tanya Tisa.
“Boleh aja…”
Tisa tersenyum, “Gue Tisa, lo siapa?” Tisa mengulurkan tangannya.
Bayu terdiam sesaat sambil memandang Tisa, “Gue Bayu. Bayu Satria.” Bayu membalas uluran tangan Tisa.
Tisa tersenyum. Lumayan lah, walau teman pertamanya ini cowok. Yang penting ia sudah punya teman…

Pulang sekolah…

“Tisa!!” panggil seseorang dari belakang saat Tisa kana menuruni tangga bersama Nesya.
Tisa menoleh, ternyata Bayu. “Apa Bay?”
“Ini buku lo ketinggalan…”
“Oh oke thanks!” 
Bayu mengacungkan jempolnya dan berjalan menuruni tangga duluan.
Nesya ternganga-nganga, “Cie dah yang baru masuk kelas Ipa punya temen cowok! Ganteng lagi!”
Tisa hanya tertawa, “Pengen yaaa? Hahaha!” ledeknya.
“Iih Tisa! Ganteng!!” Nesya menatap punggung Bayu yang sudah agak menjauh.
Tisa tersenyum, dan menatap Bayu juga. Dalam hati, ia bertanya-tanya. Pernahkah ia mengenal Bayu? Kalau iya, kapan?

          “Door!!” suara Rivo mengagetkan Tisa dari belakang saat Tisa sedang terbengong-bengong di teras rumah.
          “Iiih Rivo!!” Tisa menatap Rivo tajam.
          Rivo hanya ber-“hehehe” ria. “Lo sih bengong mulu! Kenapa sih? Lagi fall in love ya? Atau patah hati?” Rivo duduk disebelah kakaknya itu.
          “Sialan lo!” Tisa menoyor Rivo, “Gue gak lagi kenapa-kenapa Vo. Udah diem dah lo.”
          “Mana sih cowok yang bikin lo patah hati Sa? Sini biar gue hajar, berani amat nyakitin kakak gue. Gak tau aja dia adeknya udah sabuk hitam!”
          Tisa tertawa, “Sabuk hitam? Bukannya masih ijo ya? Hahaha!”
          “Oh iya ya hehehe…”
          Tisa tetawa lagi. Kelakuan adiknya ini sangat lucu. Sebenarnya Rivo baik kok, tapi cuma nyebelin aja. Hahaha.
          “Udah ah jangan dibahas lagi! Eh lo masuk kelas apa dah? Wali kelasnya siapa?” Tisa mengalihkan pembicaraan.
          “Gue masuk kelas lo dulu di X-6 Sa! Wali kelasnya kalo nggak salah guru Fisika namanya Pak Ara deh.”
          “Hah? Pak Ara? Si kumis galak itu? Hahahahaha!” Tisa tertawa ngakak.
          “Kok lo ketawa sih?” Rivo sewot.
          “Tuh guru galak banget Vo! Dulu waktu kelas sepuluh gue pernah naro lem aibon di kursi guru, eh dia akhirnya nempel beneran! Hahahah!”
          Rivo ikut tertawa, “Gila luh! Parah banget!”
          “Iya jadi tuh guru dendam banget sama anak-anak geng gue deh! Hahaha! Rasanya pengen ngakak inget kejadian itu.”
          “Parah lo Sa! Gila!!”
          Tisa tambah tertawa ngakak. Tiba-tiba terdengar suara motor masuk kedalam rumah. Raya pulang.
          “Woi!” Raya mengacak rambut adik-adiknya itu.
          “Ah lo mah gak bisa diem Ya!!” Tisa cemberut.
          “Abis darimana lo? Pulang lama banget Kak!” kata Rivo.
          “Gue abis nraktir temen-temen gue makan.” Raya duduk di kursi dan melepas sepatu dan kaos kakinya.
          “Ah lo mah nraktir temen, ade kagak! Kakak payah!” ledek Tisa.
          Raya memutar bola matanya, “Suka-suka gue dong! Udah ah gue mau masuk!”
          Tisa juga bangkit dari duduknya dan masuk kedalam tanpa berbicara apapun. Kini tinggal Rivo yang duduk sendirian di teras sambil menggeleng-geleng. Lalu tak beberapa saat baru Rivo sadar ia lupa ingin berbicara penting pada Tisa.
          “Tisa! Tunggu!”
          Tisa masuk ke kamarnya tanpa menoleh. Dan saat Rivo sudah mau mendekat kearah Tisa, Tisa menutup pintu kamarnya dengan kencang dan Rivo pun terkena benturan pintu sampai terjatuh.
          “Aduhhh!! Tisa!!!”
          “Eh?” Tisa melongokkan kepalanya dan menatap Rivo tanpa dosa.

*********
          Rivo menggosok hidungnya sambil menatap Tisa yang berada di sampingnya dengan kesal.
          “Vo ngambek mulu dah lo sama gue. Jangan ngambek dong, ganteng deh…” goda Tisa.
          “Bodo! Sakit nih idung gue!”
          Raya hanya melirik kedua adiknya ini sambil terus memainkan hapenya.
          “Kenapa sih kalian berdua?” tanya Mama yang duduk di kursi depan.
          “Ini Ma! Si Tisa bikin adek kepentok pintu!” Rivo mengadu.
          “Ih ngadu! Manja lo Vo!” Tisa mencubit hidung Rivo.
          “Auw!! Jahat lo! Tuh Ma, Tisa iseng tuh Ma!”
          “Eh udah-udah!” lerai Papa, “Tuh toko roti! Mau beli dulu nggak buat bawa kalian ke sekolah kek gitu.” Papa mencoba mengalihkan.
          “Nih Tisa beli!” Mama memberi selembar uang lima puluh ribuan.
          “Rivo aja apa?!”
          “Yaudah berdua!” suruh Papa.
          Akhirnya Tisa dan Rivo turun dari mobil. Hari ini Papa memang sengaja mengajak Mama, Raya, Tisa dan Rivo untuk berangkat bersama. Dan malah timbul pertengkaran lagi ditengah-tengah Tisa dan Rivo.
          Tisa masuk duluan kedalam toko roti dan kue tersebut. Sepertinya Tisa mengenal tempat ini. Rivo masuk juga dan langsung mengambil pesanan Mama, Papa, dan Raya.
          “Sa, lo mau roti apaan?” tanya Rivo.
          Tisa yang sedang memperhatikan toko ini langsung terkejut. “Ehmm… Gue roti gulung aja deh!”
          Tisa dan Rivo berjalan menuju kasir. Dan terlihat seorang anak laki-laki yang memakai seragam SMA dan celemek sambil memeriksa tas sekolahnya. “Hmm… Mas??” panggil Tisa hati-hati.
          Anak itu menoleh dan Tisa langsung kaget begitu mengetahui kalau dia adalah Bayu teman sebangkunya. Bayu pun sebaliknya, ia kaget saat bertemu Tisa. “Tisa?” Bayu mengerutkan alisnya.
          “Hey Bay…”
          Bayu menatap Tisa dan pesanannya yang ada di tangan Tisa, lalu ia menghitung jumlah pesanan dan menyebutkan harganya. Saat Tisa sudah membayar, ia melempar senyum pada Bayu.
          “Thank’s Bay. Lo gak sekolah?”
          “Ini gue mau berangkat Sa.”
          “Ooh bareng gue aja. Mau nggak?”
          “Eh nggak usah…”
          “Udah nggak apa-apa. Ayo buruan!”
          Akhirnya Bayu melepas celemeknya dan memakai tas sekolahnya serta pamit pada Ibunya yang ada di dalam rumahnya lalu ia menghampiri Tisa.
          “Ayo! Tuh mobil gue.” Tisa menunjuk mobilnya.
          “Hah? Naik mobil?”
          “Iya!”
          “Sama bokap, nyokap, kakak, adek lo gitu?”
          “Iya! Biasa aja apa.”
          Bayu terlihat berpikir, tapi Tisa menariknya agar berjalan lebih cepat. Dan akhirnya mereka sampai di pintu mobil.
          “Ma! Temen Tisa ikut ya! Boleh ya!”
          “Yaudah. Tapi duduk di belakang ya.” jawab Papa.
          Mama yang baru saja menatap Bayu merasa pernah mengenalinya.
          Akhirnya Bayu duduk di belakang. Papa dan Mama bertanya-tanya tentang kehidupan Bayu.
          “Lo temen sebangkunya adek gue?” tanya Raya sambil menoleh ke belakang.
          “Eh… Iya…”
          “Hati-hati ya! Dia itu kalo ngamuk bisa gigit meja!” bisik Raya pelan tapi cukup terdengar oleh Tisa.
          “Rayaaaa!!” Tisa mencubit lengan Raya kencang-kencang.
          “Ahh!!” Raya menjerit dan menggosok-gosok lengannya. Matanya mempelototi Tisa, tapi dibalas lebih oleh Tisa.
          Bayu cekikikan. Keluarga yang sangat mengasyikkan, pikirnya. Walau sering bertengkar, kelihatannya Tisa, Raya, dan Rivo sangat akrab.
          Tisa dan Raya masih sibuk bertengkar. Dan Rivo akhirnya melompat ke belakang ke sebelah Bayu.
          “Kak, menurut lo Tisa cantik nggak?” tanya Rivo sambil tersenyum menggoda.
          Bayu tersenyum, “Gue nggak tau deh.”
          “Haha! Hati-hati nanti bisa suka lho…”
          Bayu tersenyum lagi. “Emangnya kalo gue suka, lo rela kakak lo, lo serahin ke gue?”
          Kini gantian Rivo yang tersenyum, “Apa sih yang nggak buat kakak gue?”
          Papa mengerem mobilnya dengan mulus di depan sekolah. “Sampai…!”
          Raya keluar didorong Tisa, masih dengan pertengkaran. Bayu keluar pelan-pelan sambil melompat, dan Rivo pun keluar setelah Bayu turun. Setelah mengucapkan terima kasih pada Papa dan Mama Tisa, Bayu berjalan mengkuti Tisa yang masih meledek Raya.
          Mereka berpisah di tangga. Raya berjalan kelantai empat, Rivo kelantai dua, dan Tisa serta Bayu kelantai tiga.
          “Tisa!” seseorang memanggil Tisa saat ia dan Bayu baru saja menginjak lantai tiga.
          Tisa menoleh dan melihat Nesya yang berjalan kearahnya. “Bay, duluan aja.”
          “Oke!” Bayu bergegas menuju kelas.
          Nesya tersenyum menggoda sambil melirik Bayu yang menjauh. Tisa hanya memandang Nesya sambil menaikkan satu alisnya.
          “Lo jadian ya sama dia?!” Nesya menebak sambil menunjuk Bayu yang baru saja masuk ke kelas.
          “Hah?! Nggak?!” Tisa menggeleng.
          Nesya menatap Tisa lekat-lekat. “Ya emang nggak. Tapi lo suka kan?”
          Tisa tersenyum geli, ia mengacak rambut Nesya yang lebih pendek darinya. “Aneh lo! Gue masuk kelas dulu ya!” katanya sembari berjalan lurus.
          Saat dijalan menuju kelas, Tisa jadi tersenyum sendiri mengingat perkataan Nesya. It’s impossible if I love someone like Bayu, batinnya.

          **********

          “Hompipah alaium gambreng!!” terdengar suara berisik dari kelompok tiga.
          “Yeeyy! Gue keluar!” sorak Egi.
          “Nah sekarang tinggal sisa Bayu sama Tisa! Ayo suit! Kita tentuin ngerjain tugas di rumah siapa!” kata Rika.
          “Semoga gue yang menang! Jadi ngerjain di rumah Tisa!” ucap Bayu.
          “Eh enak aja! Ayo suit!”
          Dan setelah tiga kali suit, yang menang adalah Tisa.
          “Bayu kalah!! Woo!” ledek Tisa.
          “Ih jahat lo Sa!” Bayu mencubit pelan lengan Tisa.
          Tisa hanya meringis kecil. Sekarang sudah tiga bulan ia duduk di bangku kelas XI. Dan Tisa sudah mulai dekat dengan anak-anak di kelas karena sifatnya yang periang dan ramai. Terlebih dengan Bayu, malah mereka bersahabat sekarang.
          Hari ini saat pelajaran Biologi, Pak Ade memberikan tugas. Sebelumnya, ia membentuk kelompok-kelompok dulu dari denah tempat duduk. Dan alhasil Tisa satu kelompok dengan Bayu, Egi, Rika, Yudha, dan Geyza.

Dua hari kemudian…
          “Geyza mana nih?!” kata Rika sewot karena kepanasan menunggu Geyza di perempatan lampu merah agak dekat dengan rumah Bayu.
          Tisa, Egi, dan Yudha hanya memutar bola matanya dan mengedikkan bahu yang berarti tidak tahu.
          “Tuh Geyza!” ucap Egi sambil menunjuk seseorang di kejauhan yang memakai baju hijau terang.
          Benar, itu Geyza. Tisa hanya menghela napasnya. Ia sudah capek menunggu disini selama hampir 45 menit. Tisa yang pertama kali datang, lalu 19 menit kemudian datang Yudha, lalu Egi, serta Rika. Cuma Geyza yang paling ngaret. Karena sungguh capek karena kepanasan dan berdiri terus menerus Tisa hanya diam.
          “Geyza!! Lama banget sih lo!!” Rika mulai menggonggong.
          Geyza hanya ber-“hehehe” ria. “Yaudah ayo ke rumah Bayu! Tisa mana? Kan dia yang tau jalannya!” kata Geyza mencoba mengalihkan.
          Tisa berjalan duluan serta  yang lain mengikuti. Rasanya Tisa ingin cepat-cepat sampai ke rumah Bayu, meminta air minum yang dingin karena tenggorokannya sangatlah kering.
          Setelah berjalan kurang lebih 15 menit, mereka berlima berhenti di depan toko roti.
          “Eh ini kita dimana?” tanya Yudha bingung.
          Tisa hanya tersenyum dan berdehem, “Bayuuuu!!”
          “Hah? Ini rumahnya Bayu?” tanya Egi.
          Tisa mengangguk. “Bayuuu!” dipanggilnya bayu sekali lagi.
          “Iya bentar!!” terdengar suara bayu dari dalam.
          Lalu Bayu keluar dari dalam. Kaosnya yang berwarna hitam tertutupi celemek berwarna kuning muda. “Ayo masuk!” ajaknya.
          Yudha tersenyum meledek, “Duh lucunya Bayu pake celemek… Hahahaha!”
          Yang lain tertawa dan mengikuti Bayu yang masuk kedalam. Saat melewati dapur, mereka melihat Ibunya Bayu yang sedang memasukkan kue kedalam oven. Setelah salim, Bayu mengajak Tisa dkk ke ruang tengah untuk mengerjakan tugas.
          Kurang lebih sekitar satu jam mereka mengerjakan tugas dari Pak Ade. Kini, saat sudah selesai mereka merasa kelaparan.
          “Huffft laper gue…” kata Geyza.
          “Badan lo cungkring gitu sih. Makanya laper mulu!” ledek Yudha.
          “Nyokap gue belom masak nasi nih. Makan roti aja ya?” tawar Bayu.
          “Okeee!” jawab Geyza, Tisa, Yudha, Egi, dan Rika.
          Bayu mengajak mereka ke dapur dan mengambil beberapa potong kue dan roti. “Nih cobain dulu!” suruh Bayu sambil memberi mereka satu potong kue ke setiap anak.
          “Enak!” kata yang lainnya.
          “Tante enak banget kuenya! Ajarin cara bikinnya dong?!” pinta Rika, yang lain mengiyakan.
          Ibunya Bayu tersenyum dan mengangguk. “Iya tenang Tante ajarin…”
          “Asyikkk!” sorak anak-anak.
          Hari itu rumah Bayu jadi ramai sekali. Sampai jam empat sore mereka pamit pulang pada Bayu dan Ibunya.
          “Kapan-kapan main lagi kesini yaaa…” pesan Ibunya Bayu.
          “Oke Tante! Saya mau dah main kesini terus, lagian kuenya enak-enak!” jawab Egi.
          Saat yang lain sedang bercanda dengan Ibunya Bayu, Bayu menarik Tisa mendekat kearahnya. “Besok hang out yuk?”
          Tisa tersenyum, “Cieee mentang-mentang awal bulan, baru dapet duit, ngajak gue hangout nih…”
          “Hehehehe. Ayo dah. Mau nggak?”
          “Ya udah ayo…”
          Saat semua teman-temannya sudah pulang, Bayu masuk ke kamarnya dan merebahkan dirinya di tempat tidur. Otaknya penuh dengan wajah Tisa. Tisa yang dulu pernah ia kenal sewaktu umur 7 tahun. saat itu mereka bertemu di taman. Tapi sepertinya Tisa melupakan hal itu. Bayu ingat saat mereka berjanji akan membangun sebuah keluarga bersama. Saat pertama kali ia melihat Tisa di depan kelas, ia merasa itulah Tisa si anak kecil dengan kuncir ekor kuda dan membawa tasnya yang berwarna pink yang duduk di bangku taman sambil memegang perutnya yang keroncongan.
          Bayu tersenyum mengingat semua kenangan itu. Apalagi tentang janji polos kedua anak kecil itu. Tapi memang benar karena mereka bertemu lagi 10 tahun kemudian. Andaikan Tisa tahu, sebenarnya Bayu agak menyayanginya.
          Tisa melamun di jalanan. Kenapa ini dengannya? Saat melihat Bayu rasanya jantungnya berdebar-debar. Apa ia menyukai Bayu? Orang yang rasanya pernah dilihatnya dulu… Apa artinya ini? Ia ingat dua bulan yang lalu saat ia berbicara ia takkan menyukai orang seperti Bayu. Tapi sekarang…?
Esoknya…
          Bayu celingak-celinguk mencari seorang perempuan yang ditunggunya, Tisa. Saat ini ia berada di depan toko boneka di satu pusat pembelanjaan.
          “Bayu!” tiba-tiba seseorang memanggil namanya dari belakang.
          Bayu menoleh dan dilihatnya orang yang dicarinya, Tisa. Seseorang yang mungkin disayanginya…
          Tisa menghampirinya, “Yok jalan!”
          “Ayo…”
          “Eh Bay lo tau gak kenapa gue nyuruh lo tunggu di depan toko boneka?”
          Alis Bayu mengkerut, “Nggak, kenapa emang?”
          “Lo tau gak boneka teddy bear yang gede? Yang dipajang di tengah-tengah toko, warna coklat.”
          “Oohh iya-iya.” Bayu mengangguk-ngangguk.
          “Gue tuh suka banget sama tuh boneka. Sayangnya mahal. Kalo nggak salah harganya mendekati jutaan. Gue pengen deh ada yang beliin gue tuh boneka waktu gue ulang tahun bentar lagi…”
          Bayu tersenyum. “Kenapa gak minta aja sama ortu lo?”
          “Mana mau mereka beliin?”
          “Ya minta lah, buat hadiah ulang tahun lo ini… seminggu lagi lo ulang tahun kan?”
          “Iya sih… Tapi gak mungkin lah dibeliin… beliin gue dong Bay? Hehehe…”
          “Hah? Apa lo kata Sa? Gak punya duit gue, harganya aja mendekati jutaan!”
          Tisa tersenyum, “Nggak lah, kasian elo nya juga.”
          Hari itu Bayu sangat senang karena ia bisa berduaan dengan cewek yang disayanginya. Yah benar! Bayu tau ia menyayangi Tisa. Tapi enggan rasanya hal itu diucapkan, mungkin nanti-nanti saja…
          Saat sampai di rumah, Bayu langsung dihampiri Bundanya yang memegang uang. “Nih Bay, kamu cuci darahnya sendiri aja ya besok. Ini duitnya. Bunda nggak bisa ikut soalnya ada acara.”
          Bayu menatap Bundanya, “Udah lah Bun, Bayu nggak usah cuci darah aja. Bayu kan sehat, lagian ginjalnya udah gak kenapa-napa lagi tuh. Akhir-akhir ini aja Bayu gak cuci darah gak kenapa-kenapa kan? Uangnya Bunda pake aja buat nambahin Bunda jualan. Ya?”
          Bunda menghela napas, “Bayu… Bayu… Bunda tuh pernah diingetin dokternya. Sekali dua kali kamu nggak apa-apa gak cuci darah. Inget lho penyakit ginjal kamu tuh udah parah. Kamu nggak pernah perhatiin akhir-akhir ini kamu pucet? Nggak kan? Pake aja Bayu…”
          Bayu juga menghela napasnya dan mengabil uang yang ada ditangan Bundanya, “Makasih Bun…”
          Bunda tersenyum dan menatapnya, “Bunda nggak mau kehilangan lagi. Udah cukup Ayah kamu. Jangan kamu juga…”
          Bayu mengangguk dan berjalan masuk ke kamarnya. Ditaruhnya uang itu di meja dan di tatapnya uang itu. Satu juta, pengeluaran Bunda untuknya setiap bulan hanya untuk kesehatannya. Memang Bayu mendapat bantuan dari rumah sakit dan hanya harus menambah satu juta untuk kesehatannya. Ia mengidap penyakit ginjal yang kronis, setiap bulan harus selalu ‘cuci darah’. Tapi empat bulan terakhir ini ia tak datang ke rumah sakit karena Bundanya tak punya uang yang cukup. Dan Bayu pun mengerti, selama empat bulan itu ia tak merasakan apa-apa. Mungkin ia sudah sembuh.
          Bayu teringat saat Tisa bilang ia inginkan teddy bear di toko itu untuk hadiah ulang tahunnya. Dan harganya mendekati satu juta. Apa… uang ini ia pakai saja untuk membelikan benda itu…?
          Ah entahlah. Bayu menguap dan merebahkan dirinya di tempat tidur. Perlahan-lahan matanya mulai menutup.
6 hari kemudian…
          “Cie-cie yang besok ulang tahun…” Bayu menyenggol-nyenggol Tisa dengan sikutnya saat mereka sedang latihan upacara.
          Kelas Tisa sedang kebagian untuk menjadi petugas upacara Senin depan. Tisa jadi pembaca undang-undang dasar dan Bayu menjadi pembaca doa. Jadi mereka berdiri bersebelahan.
          Tisa tersenyum, “Kadonya jangan lupa ya Bay!”
          Bayu tersenyum juga, “Pastilah, gue udah siapin kado yang istimewa buat lo.”
          Sepulang sekolah, Bayu langsung melempar diri ke kasur. Uang untuk cuci darah, masih utuh di laci mejanya. Sewaktu ditanya Bunda, Bayu mengaku ia sudah ke rumah sakit. Padahal sebenarnya ia main ke rumah Yudha. Sebelum ke rumah Yudha, Bayu mengunjungi toko boneka yang kemarin dan bertanya berapa harga boneka itu. Delapan ratus ribu…
          Sebenarnya, Bayu sudah merasakan sakit di ginjalnya. Ia ingat saat diperingatkan Ibunya. ‘Sekali dua kali kamu nggak apa-apa gak cuci darah. Inget lho penyakit ginjal kamu tuh udah parah’. Tapi… Ah tidak apa-apa. Bayu pasti sudah sembuh.
          Bayu membuka pintu kamarnya dan menengok ke kiri dan ke kanan. Bunda masih sibuk di dapur. Ia membuka laci mejanya dan mengambil uang itu. Dihitungnya uang itu dengan gemetar.
          ‘Maafin Bayu Bun, sekali ini saja. Bayu pengen bahagiain cewek yang Bayu sayang sebelum Bayu pergi…’ batinnya.
          Bayu memakai jaketnya dan beranjak keluar rumah sambil mengantongi uang itu.
          “Bay? Mau kemana?” tanya Bunda saat melihat Bayu yang berjalan keluar.
          “Oh Bun! Ehmm… Bayu mau ke rumah Tisa mau bantuin dia ngerjain tugas.”
          “Oh iya jangan pulang kemaleman ya.”
          “Iya Bun.”
          Bayu menaiki bus menuju pusat pembelanjaan itu dan untungnya toko boneka itu masih buka. Pinggangnya terasa sakit. Ya, itu pasti ginjalnya. Kepalanya juga terasa sangat-sangat sakit. Gejala yang sama saat ia pertama kali sakit ginjal. Bayu menatap toko yang ada di depannya itu. My God… Haruskah ia melakukan ini? Bayu menggenggam uang yang ada di saku celananya itu dengan erat. Keputusannya sudah bulat…
          “Mas! Saya beli boneka ini!”
Esoknya…
          “Happy birthday Tisaaa!!” ucap Nesya sambil menghampiri Tisa yang baru saja menginjak lantai tiga.
          “Makasih ya Nes… Kado mana kado?”
          “Ntar ya! Pas party! Pasti ada party nya dong, kan sweet seventeen…”
          “Yo’i… Lo kan udah gue kasih tau…”
          Nesya hanya  ber-“hehehe” ria. “Yaudah gue balik dulu ya ke kelas! Bye!”
          Tisa mengangguk, lalu ia berjalan ke kelasnya. Ingin cepat-cepat bertemu orang yang… Ehm, disayanginya. Bayu. Penasaran akan perkataan Bayu enam hari yang lalu saat ia akan memberi kado yang paling istimewa.
          Tapi, saaat Tisa datang ke kelas. Harapannya musnah. Bayu tidak masuk. Kata Bella si sekretaris, Bayu bilang ia sakit. Ada apa dengan Bayu? Ia sakit apa?
          Tisa merasa kesepian selama jam pelajaran tanpa Bayu yang biasanya duduk di samping kanannya. Memang semenjak pertama kali bertemu Bayu, mukanya terlihat selalu pucat. Apalagi kemarin, lebih pucat lagi dari biasanya. Apa Bayu punya penyakit serius?
          Bayu sama sekali tak ada kabar. Ia menghilang. Dari mulai party, sampai sudah mau selesai, tak ada sama sekali sms atau telepon darinya. Tisa memang senang karena ini ulang tahun ke-17. Tapi tanpa ada Bayu disampingnya, rasanya pesta ini sia-sia. Kesenangannya belum lengkap tanpa Bayu…
          Saat semua orang sudah pulang pukul 09:00 malam, sebuah mobil box berhenti di depan rumahnya. Tisa langsung keluar dari rumah begitu mengetahui kalau ia yang dicari orang-orang yang turun dari mobil itu. Sebuah kotak besar berbungkus kertas kado berwarna biru laut – warna kesukaan Tisa – diberikan padanya.
          “Makasih ya Mas. Ngomong-ngomong ini dari siapa ya?” tanya Tisa penasaran.
          “Eh…, kata pengirimnya nggak boleh kasih tau Mbak…”
          “Oh gitu, makasih ya mas…”
          Orang itu mengangguk dan kembali masuk ke mobil. Tisa baru saja akan membuka kado itu saat ia menemukan sepucuk surat yang dimasukkan kedalam amplop warna hijau.
          Dear Tisa…
          Happy Birthday ya my best friend…
          Ini gue Bayu, Sa…
          Sorry kalo gue baru ngirim kado dan ucapan ini sekarang karena gue gak sempet. Gue lagi dirawat di rumah sakit. Pasti lo bingung kenapa gue dirawat. Gue punya penyakit Sa, penyakit ginjal yang parah. Setiap bulan gue mesti cuci darah. Keluar sejuta setiap bulan cuma buat cuci darah gue. Penyakit gue ini gak bisa disembuhin. Gue gak tau nama penyakitnya apa, tapi yang pasti berhubungan sama ginjal. Katanya sih emang udah parah banget sampe gak bisa disembuhin, cuma bisa dilakuin pencegahan dengan cuci darah setiap bulan.
          Gue tau, hidup gue gak akan lama lagi. Yah, karena gue bandel. Gue udah 4x gak cuci darah. Sebenernya sih udah diingetin dokter. Bulan ini Bunda gue ngasih duit buat gue cuci darah. Gue disuruh ke rumah sakit sendiri. Itu Bunda gue ngasih duitnya waktu kita pulang hang out. Inget kan lo pernah bilang kalo lo pengen ada yang ngasih boneka yang lo tunjukkin disana? Duit yang dikasih Bunda gue, gue pake buat beliin lo boneka itu. Bukan buat cuci darah gue. Gue pikir gue udah sembuh.
          Kenapa gue mau beliin boneka itu buat lo? Karena gue sayang banget Sa sama lo… tapi gue takut buat ngungkapinnya. Gue emang pengecut, maaf.
          Gue tau kok kalo gue itu tuh bego banget. Ngorbanin apapun sampe hidup gue sendiri gue pertaruhin. Maaf ya karena sahabatlo ini emang bego. Banget.
          Dokter udah ngevonis hidup gue tinggal beberapa jam lagi. Yah emang sih bukan ilmu kedokteran yang nentuin kapan kita mati. Tapi gak tau kenapa gue percaya aja.
          Ngomong-ngomong makasih ya Sa, udah ngajarin gue yang namanya persahabatan. Jujur, cuma di kelas sebelas ini gue nemu sahabat kayak lo yang setia nemenin gue. Karena sifat lo itu, gue jadi sayang sama lo. Dan maaf gue gak bisa nepatin janji kita 10 tahun yang lalu. Lo inget kan waktu kita ketemu di taman deket rumah gue? Waktu gue ngasih lo roti gulung, waktu gue lo ajak ke rumah gue buat nikmatin masakan Bunda gue. Dan waktu kita bikin janji kalo kita bakalan membangun keluarga bersama. Maaf karena gue gak bisa nepatin itu…
          Kalo gue udah gak ada waktu lo baca surat ini… Tolong jaga boneka ini ya. Gue emang udah gak bisa nemenin lo lagi dari samping lo, tapi pasti gue nemenin lo dari boneka ini…
          Gue tau lo pasti nangis baca surat gue. Please janji sama gue jangan nangis… lo tuh gak boleh nangis, lo mesti ketawa, ceria, dan kuat kayak Tisa yang biasanya…
          Udah ya Sa segitu aja… Lo emang yang terbaik yang pernah singgah di hidup gue. Makasih ya… Goodbye…
          -Bayu-
          Air mata Tisa mengalir dengan derasnya. Pantas rasanya ia pernah mengenal Bayu sebelumnya. Bayu…, kenapa lo gak pernah bilang? Kenapa lo gak pernah bilang kalo kita punya janji itu semasa kita kecil? Kenapa lo nggak bilang kalo lo sayang sama gue…? Batin Tisa berbicara.
          Tisa membuka kado itu dan benar, terdapat teddy bear yang ia inginkan.  Yang berwarna coklat muda itu. Ya ampun…, berapa ini yang harus dikelaurkan Bayu untuk membeli ini? Tisa merasa sangat bersalah saat menatap boneka itu.
          Tiba-tiba, Raya dan Rivo keluar dari dalam rumah. Menghampiri Tisa yang sedang merenung.
          “Sa?” Raya mengelus kepala Tisa dengan lembut, tak seperti biasanya.
          “Ada berita buruk. Gue minta lo jangan nangis ya Sa…” lanjut Rivo.
          “Berita apa?!” Tisa langsung bangkit dari duduknya.
          “Bayu…” Raya menghela napas. “Bayu meninggal Sa…”
          Mata Tisa langsung melotot. Coba ditelan ludahnya untuk membasahi tenggorokannya yang kering. Tapi tak bisa. Kepalanya mulai menggeleng perlahan. “Bohong…,” perlahan dikeluarkannya ketidakpercayaannya, “Bohong! Ini semua bohong!” Air matanya keluar lagi dengan deras.
          Raya menatap adiknya itu dengan sedih. Sebenarnya ia juga ikut sedih melihat adiknya begini. Ditariknya adiknya itu kedalam pelukannya, coba direndamnya tangisan itu.
          “Raya bohong kan… Rivo juga pasti bohong…” kata Tisa sesenggukan.
          “Ngapain Raya bohong? Ngapain gue bohong Sa? Gue serius. Ini aja gue dikasih tau Raya. Raya dikasih tau temennya yang deket sama Bayu.”
          Tisa menatap Rivo dengan pilu. Dadanya sesak. Tangisnya juga tak bersuara karena rasa sakit yang mendalam ini. ini semua karena diriya sendiri! Andai saja ia tak bilang pada Bayu apa yang ia inginkan. Andai saja ia tak melupakan Bayu. Bayu yang pernah dikenalnya sewaktu ia kabur dari rumah.
          Ini mungkin ulang tahun Tisa yang paling tersedih sepanjang 17 tahun. Tak ada Bayu yang menemaninya lagi mulai hari ini, hari ulang tahunnya yang seharusnya bahagia.
          Esoknya saat Bayu dimakamkan, air mata Tisa lagi-lagi keluar. Raya yang menjaga Tisa setiap saat. Saat Tisa menangis, saat Tisa masih stress dan tak mau keluar untuk makan, Raya yang membujuknya. Kini Raya berperan sebagai sosok kakak yang sesungguhnya.
          “Huffft…” Tisa melempar dirinya ketempat tidur saat pulang dari pemakaman.
          Ia menatap boneka sebesar dirinya yang ia taruh di samping tempat tidur. Boneka teddy bear itu, yang diberikan Bayu. Tisa mengambil boneka itu dan menatapnya agak lama. Dielusnya boneka itu dengan lembut. Ia membaca surat dari Bayu berkali-kali. Ya, Tisa berjanji akan menjaga boneka itu untuk Bayu…

No comments:

Post a Comment