Saturday, April 6, 2013

Sahabat atau Orang yang Disukai?


          Namanya Fira Anggreini. Cewek yang benar-benar seperti tak mempunyai sifat cewek pada umumnya. Seluruh sekolah mengenalnya sebagai… cewek setengah cowok! Berisik, tukang bikin rusuh, suka berkelahi. Tapi biar begitu, ia pasti akan membela seseorang yang sedang dikeroyok. Pokoknya, ia itu jagoan dari kalangan anak cewek.
          Sore ini, sepulang sekolah, Fira langsung dihadang Ibunya didepan pintu rumah, sedang libur bekerja. Beliau memerhatikan dengan seksama dan mengernyit melihat hansaplast kuning bergambar binatang yang berada di kening sebelah kirinya.
          “Fira! Kamu abis berantem sama siapa lagi?!” Ibu mulai menginterogasi.
          “Jagoan dari sekolah tetangga.” Fira menjawab dengan enteng.
          “Hei! Kamu itu perempuan, nak! Jangan berantem terus-terusan lah! Kamu itu udah dewasa, seharusnya bisa bedain mana yang buruk sama yang baik!”
          “Ibuku yang cantik dan baik… waktu Fira kecil juga Ibu sendiri kan yang bilang kalo kita mesti ngebela orang lain? Fira berantem juga bukan karena Fira mau cari masalah, Bu! Udah berapa kali sih Fira jelasin ini ke Ibu?”
          Ibu hanya menghela napas dan berlalu ke dapur. Fira langsung saja ngacir ke kamarnya di sebelah kamar Ichal kakaknya. Huh… selalu saja Ibu begitu! Kayak gak kenal dirinya aja! Dari SD dulu juga Fira sudah begini, mau diapakan lagi?
          Fira menatap foto yang ada di meja belajarnya. Foto sewaktu kelas sepuluh dulu dengan anak-anak kelasnya. Dipandangnya satu sosok cewek cantik berambut panjang yang berdiri di sampingnya.
          Almira Renata. Adalah seorang cewek yang nyaris sempurna di kalangan SMA Pita Bangsa. Siapa sih yang tak mengenalnya? Almira Renata, cewek perfect anak kelas 11-IPA-1. Semua orang di sekolah sangat mengenalnya karena kecantikan, kemanisan, kelembutan hatinya, dan kesopanannya. Ia tergabung dalam OSIS dan English Club. Almira seorang anak yang benar-benar nyaris perfect deh pokoknya! Sudah pasti semua siswi di sekolah pasti sangat ingin menjadi sepertinya. Dan semua siswa di sekolah mengaguminya.
          Dulu Fira memang sekelas dengan Almira. Fira memang mengakui cewek itu adalah kebalikan darinya. Ia menghela napas panjang.
          “Gue juga pengen jadi kayak lo…” desahnya sedih.
          Ya, kadang-kadang Fira menyesali sifatnya ini yang kelewat jagoan. Ia ingin menjadi seorang cewek yang manis dan sedikit sopan. Yang tertawa dengan teman-teman ceweknya karena sedang membicarakan cowok. Kalau Fira? Pertemanannya dengan para cewek aja terbatas. Paling cuma beberapa yang mau jadi temannya. Selebihnya semua temannya cowok. Kalau bersama anak cewek feminim, pasti membicarakan cowok dan tertawa bersama. Kalau anak cowok? Pasti membicarakan game, jejaring sosial, cewek cantik disana dan juga tertawa bersama.
          Huh, Fira kadang bosan hanya duduk dan mendengarkan anak-anak cowok yang membicarakan game-game online. Ia juga sebenarnya suka game kok, tapi kadang ia bosan. Ia ingin saling curhat-curhatan dengan teman sesama cewek dan lain-lainnya.
          Sekali lagi dipandangnya foto Almira. Yah, andaikan ia bisa seperti Almira yang feminim…

***

          Sementara itu, di sebuah kamar bernuansa warna blue soft duduk seorang cewek yang sedang melamun. Berkali-kali ia tersenyum karena sesuatu yang ada di pikirannya. Bukan sesuatu, tapi seseorang.
          Orang itu. Yang tadi pagi menolongnya saat ia terpeleset di tangga. Yang memeluknya dengan erat saat ia hampir terjatuh. Cowok manis yang baik itu… telah membuat dirinya jatuh hati. Teringat lagi kejadian tadi pagi di tangga…

          Almira sedang berjalan menuju ruang perpustakaan di lantai bawah pagi tadi. Karena bel sebentar lagi berbunyi dan ia harus mengambil fotokopian soal Matematika.
          Karena terburu-buru, tiba-tiba ia tak merasa sepatunya licin dan ia terpleset.
          “Ah!” suara seseorang menggantikan teriakan Almira yang tertahan. Ternyata ada yang menariknya dari belakang, jadi ia tak terjatuh.
          Cowok itu langsung melepaskan pegangannya dan tersenyum pada Almira. “Kalo jalan hati-hati, Almira!” Lalu ia berlalu pergi.
          “Ah! Makasih…” ucapan Almira sempat terhenti saat cowok itu menengok lagi.
          “Junio. 11 IPS-3.” Junio tersenyum dan berlalu dengan cepat.

          Ah, Almira langsung terpesona pada Junio. Hmm…, ingin rasanya dekat dengannya. Tapi kan, Almira tak bisa dekat dengan cowok. Almira hanya dekat dengan beberapa cowok pintar di kelas, itu juga hanya membicarakan pelajaran. Seluruh temannya cewek.
          Hei, sebentar. Sepertinya Junio itu sekelas deh dengan Fira ‘si tomboy’? ya! Mereka sekelas! Lagipula kan Fira dekat dengan seluruh anak cowok. Apa minta bantuannya saja ya?
          Ah tapi… bagaimana caranya untuk bicara dengan Fira? Ia kan selalu dikelilingi anak cowok. Kalau Almira nekat mendekatinya, bisa-bisa ia digoda seluruh cowok yang ada di sekitar Fira. Aduh…
          “Almira! Ayo mandi! Siap-siap!” suara Mama terdengar dari bawah yang membuat lamunan Almira terpecah.
          “Iya Ma!” sahut Almira cepat-cepat, lalu menghela napas berat.

***

          “Chal, anterin gue ke kantin yuk.” ajak Fira pada kakaknya Ichal yang lebih tua dua tahun dibanding dirinya.
          “Sendiri aja kenapa?” Ichal menyahut dengan malas.
          Fira merengut. Saat ini ia sedang berada di rumah sakit untuk menjenguk Ayahnya yang sakit thypus-nya kambuh lagi. Ia pergi bersama Ibu, Ichal, dan Alfian adiknya.
          Akhirnya ia pergi ke kantin sendirian setelah ditunjukkan jalannya oleh Ibu. Fira sangat lapar! Sebaiknya ia membeli roti keju saja ya? Begitu ia masuk lift, begitu terkejutnya saat ia lihat seseorang yang tadi sore baru ia pikirkan. Almira Renata!
          “Almira? Ngapain lo disini?” tanya Fira basa-basi.
          “Hai Fir! Jenguk nenek. Kamu?”
          Nah! Inilah yang paling tak Fira sukai dari sosok Almira. Gaya bicaranya! Ia selalu bicara dengan aku-kamu. Helooo! Jaman sekarang masih pake aku-kamu? Bukannya Fira iri ya, tapi agak enek sih dengarnya. Kalau bagi penggemar Almira sih ya wajar-wajar aja, malah terkesan sangat sopan.
          “Jenguk bokap. Lo mau kemana?” tanya Fira tak mempedulikan bahasa aku-kamu nya Almira.
          “Ke kantin. Kamu?”
          “Sama.”
          “Ooh bareng yuk! Aku laper nih. Kita makan sama-sama!” ajaknya riang.
          “Eh… i… iya…” Fira menggaruk kepalanya yang tak gatal.
          Begitu sampai di kantin, Fira memesan nasi goreng dan segelas es teh manis. Sedangkan Almira memesan bakso dan segelas es teh manis juga. Mereka makan sembari mengobrol walau obrolan ini terasa canggung. Itu disebabkan Fira sangat jarang dekat dengan cewek – apalagi yang feminimnya kuadrat seperti Almira! – dan ia lebih dekat ke cowok. Sebaliknya dengan Almira, ia agak susah berbicara dengan Fira karena gaya bicara Fira sangat cepat seperti cowok.
          “Hmm… Fira, aku boleh minta tolong nggak?” pinta Almira dengan muka memelas setelah menghabiskan semangkuk baksonya.
          Fira mengerutkan alisnya, “Tolong apa?”
          “A… tapi kamu jangan ketawa ya?!” pintanya yang membuat Fira mengangguk, “Aku… pengen deket sama cowok… tapi aku gak tau caranya gimana. Semua temenku kan cewek…”
          Fira tertegun. Ah, dasar remaja – lho padahal ia juga remaja! “Lo lagi suka sama cowok ya?” tebaknya tanpa basa-basi sambil tersenyum geli.
          Sontak, muka Almira memerah seperti kepiting rebus. Dan reaksinya ini membuat Fira tertawa.
          “Mau deket sama cowok gampang kok, Mir! Lo juga deket kan sama anak-anak jenius itu? Ya pasti lo tau lah caranya. Gitu aja kok nanya gue?”
          “Bu… bukannya gitu, Fir. Tapi, cowok itu tuh cowok yang kayaknya anak yang… yah gitu deh.”
          “Oh, cowok bandel?”
          “Emm… ya gitu deh, Fir. Tapi, kayaknya gak bandel banget kok. Aku itu, gak bisa deket sama cowok kayak gitu, makanya minta kamu ajarin…”
          Sudut bibir Fira terangkat. “Emangnya lo mau kasih apa ke gue biar gue bantu lo?”
          “Apa aja! Fir, tolong ya. Kamu kan, deket banget sama cowok-cowok kayak gitu. Tolongin aku ya?” muka Almira makin memelas.
          Akhirnya Fira menghela napas dan mengangguk, “Oke deh.”
          Almira hampir saja berteriak girang.
          “Tapi…”
          Kali ini Almira diam menunggu omongan Fira.
          “Lo juga, harus ajarin gue jadi kayak cewek tulen.”
          Sontak, Almira melotot. Cewek ini? Minta diajari menjadi cewek feminim? Jagoan kaum perempuan sekolah seperti ini? Tapi… kenapa?
          “Gue bukannya lagi suka sama cowok. Ini dorongan orang tua!” lanjut Fira seperti bisa membaca benak Almira.
Fira langsung jengkel mengingat saat itu Ibunya membelikan kaus pink bergambar tinker bel. Sialan, benar-benar kebangetan! Akhirnya baju itu hanya jadi penghias berwarna diantara baju kaus Fira yang notabene berwarna hitam, abu-abu, atau putih.
          Tapi Ayahnya malah lebih parah lagi! Benar-benar parah! Parah kuadrat, parah kubik, parah kuarter! Sewaktu Fira sedang ikut lomba ini itu, dari pagi sampai malam dan baru pulang sekitar jam delapan malam, tiba-tiba ia terkejut melihat kamarnya yang tiba-tiba jadi serba pink dan ungu!! Yiaks!
          Yah saat itu Fira ingat ia memang minta kamarnya didekor ulang. Tapi bukan begini caranya!! Tembok kamar menjadi berwarna pink yang dipadukan dengan ungu dan berbentuk garis-garis horizontal. Dan yang paling parah lagi adalah spring bed-nya berubah menjadi berwana pink soft, bergambar hello kitty pula! Arrgghh!!
          Akhirnya malam itu Fira tak mau masuk ke kamarnya. Ia melakukan protes besar setelah ngamuk-ngamuk tak keruan – biasalah anak kelas sepuluh! Hehehe. Ia tertidur di sofa ruang tamu pukul satu dini hari. Dan akhirnya lagi, besoknya juga kamar langsung didekor ulang! Huahahahaha!
          “Fir…?” suara Almira mengagetkan lamunan Fira.
          “Eh? Apa?”
          “Oke deh, aku mau ajarin kamu. Deal?” Almira mengulurkan tangannya seperti pembawa acara Deal or No Deal!
          “Deal!” Fira menyambut tangannya dan mengajaknya pergi.

***

          Akhirnya pertemuan-pertemuan sering dilakukan diluar jam sekolah. Memang, pertemanan tak diduga karena suatu alasan tertentu masih dirahasiakan mereka berdua. Bisa-bisa dua-duanya jadi bahan omongan! Lalu masuk ke koran sekolah dan dijuduli “ALMIRA PRIMADONA SEKOLAH BERTEMAN DENGAN FIRA SI PREMAN PASAR!!!”. Wah, bisa hancur reputasi masing-masing.
          Biasanya mereka saling mengobrol di mal, tak pernah saling berkunjung ke rumah. Namun, karena keprivasian hubungan ini, mereka akhirnya memutuskan saling berkunjung ke rumah.
          Pagi ini, Fira menjemput Almira di dekat halte depan kompleks rumah Almira. Biasalah, mana mungkin kan cewek seperti Almira naik metro mini? Yang ada ia malah dijadikan santapan preman! Jadi, mau tak mau Fira menjemput Almira dengan motornya.
          “Hai Fir!” sapa Almira.
          Fira tersenyum tipis dan memperhatikan anak ini. ia tak habis pikir. Apa setiap hari pakaiannya seperti ini? setiap ia mengadakan pertemuan dengan anak ini, pasti kaus yang ia pakai adalah ungu atau pink! Rambutnya tergerai dengan cantik yang membuat Fira tersenyum geli.
          “Mir, rambut lo kasihan.”
          “Kasihan kenapa?” alis Almira mengkerut.
          “Gue kalo bawa motor ngebutnya parah lho. Jadi ya resikonya adalah rambut lo berantakan.”
          Almira berdecak. “Ya biarin deh. Ayo jalan.”
          Ternyata, ucapan Fira terbukti benar. Jarak dari rumah Almira ke Fira lumayan jauh, tapi bisa ditempuh Fira hanya dengan sepuluh menit naik motor. Dan karena belum terbiasa dibonceng sengebut itu, Almira turun dengan sempoyongan. Rambutnya kusut parah!
          Fira tertawa dan memasukkan motor ke garasi. Sebelum ia sempat membuka pintu rumah, “Sorry ya ada kakak sama adek gue. Mereka rusuh,” katanya pada Almira.
          “Fira bawa cewek cantik!!” teriak Alfian seketika begitu Fira dan Almira masuk ke rumah. Cuma ada Alfian yang duduk di sofa ruang tamu sambil main PSP, yang lain entah kemana.
          Tiba-tiba dari arah belakang, keluar Ibu dan Ayah Fira sambil tergopoh-gopoh. Begitu mereka sampai di ruang tamu, yang ada hanyalah hembusan napas lega.
          “Akhirnya… Fira punya temen cewek cantik juga…” gumam Ayah sambil mengurut dada.
          “Akrab sama Fira ya, nak. Tante mau Fira jadi cewek tulen! Tolong bantu Fira ya…” Ibu malah menggenggam tangan Almira dengan erat.
          Tiba-tiba seseorang dengan rambut acak-acakan keluar lagi dan langsung tersenyum riang. Dirangkulnya pundak Almira tiba-tiba. “Fir, ternyata anak cewek sekolah lo cakep-cakep! Bawa lagi ya yang banyak!”
          “Chal! Kasian temen gue, bego lo!” tegur Fira.
          Ichal langsung nyengir dan melepas rangkulan di pundak Almira.
          “Udah lo semua pergi sono!” usir Fira sebelum yang lain akan berbicara lagi.
          Almira tersenyum. Keluarga yang unik. Jadi ini yang membuat Fira mau berubah menjadi perempuan? Dorongan Ibunya. Yah, jelas juga sih. Kakak dan adik Fira itu cowok, dan yang berjenis kelamin cewek cuma ia dan Ibunya. Karena terlalu dekat dengan kakak, adik, dan Ayahnya, mungkin ini yang membuat Fira jadi seperti cowok. Ah, Almira mengerti perasaan Ibunya.
          “Mir, lo tunggu di kamar gue aja. Naik aja ke lantai dua. Ntar juga ketemu kamar gue kok.” perintah Fira.
          Almira mengangguk dan berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Ia menemukan satu toilet di bagian kiri sebelah tangga, dan empat kamar yang saling bersebelahan dan berhadapan.
          Tiga dari empat pintu-pintu itu bertuliskan, “Don’t Disturb!!” dan ada segala macam poster tengkorak-tengkorakan dan lain-lain di pintu. Almira sudah menduga salah satu dari kamar ini adalah kamar Fira.
          Ia membuka pintu paling dekat dengannya. Kamar bercat tembok merah tua dan hitam yang berbentuk garis-garis vertikal. Lalu keadaan yang berantakan dan spring bed berwarna merah terang dan bergambar salah satu klub bola dunia. Berbagai poster juga tertempel disini.
          “Kamar kakaknya Fira, mungkin…”
          Almira tak menutup pintu itu dan membuka pintu yang ada di hadapan kamar tadi. Kamar ini bercat tembok warna putih polos tanpa noda sama sekali, dan dihiasi garis horizontal hitam. Modelnya juga sama seperti kamar tadi, tapi kali ini spring bednya berwarna putih biru yang melambangkan klub bola yang berbeda dari kamar tadi.
          “Ini kamar adiknya kali…”
          Kali ini Almira berpindah tempat ke kamar satu lagi yang menurutnya itu kamar Fira. Kamar bercat tembok biru kotak-kotak hitam, dan lagi-lagi bersifat bola. Tapi hanya berbeda klub dari kedua kamar tadi.
          Almira bingung. Yang mana yang kamar Fira? Semua isi dari kamar-kamar tadi sama saja, berantakan. Hanya berbeda nuansa. Akhirnya Almira hanya berdiri di dekat tangga, menunggu Fira datang. Dan tak beberapa lama, cewek itu datang sambil membawa dua gelas air minum.
          “Lho? Almira? Kok gak masuk ke kamar gue?”
          “Emm… aku bingung.”
          Fira menyemburkan tawanya. Ah, ia lupa kalau tadi tak memberi tahu yang mana kamarnya pada Almira. “Sorry, sorry. Kamar gue yang warna biru, Mir. Maap ya, hehehe…”
          Mereka berdua masuk ke kamar Fira. Almira terkesima akan segala isi kamar ini. Ada gitar di pojok ruangan, ada seragam tim basket, ada ini, ada itu. Tapi yang membuatnya makin terkesima adalah keadaan kamar yang sangat berantakan ini.
          “Sorry berantakan.” Fira tersenyum tipis.
          Almira malah jadi jengkel. “AYO BERESKAN KAMAR INI!!!”
          Fira terpaku sebentar, kaget dengan perubahan emosi Almira. “Males gue. Terlalu banyak barang.”
          “Kalo kamu mau jadi cewek, gak ada kata males! Ayo beresin! Bareng aku.”
          Akhirnya Fira hanya mengangguk pasrah dan mulai melakukan operasi semut di kamarnya sendiri. Beberapa kali ia menemukan barang-barangnya yang sering ia cari.
          “Ah! Ini kan jaket gue dari kelas sembilan!”
          “Topi sekolah yang lama! Sialan, jadinya ada dua deh.”
          “Komik temen yang belom sempet kebaca!”
          Dan yang paling parah…
          “Ini kan… kotak bekal waktu karyawisata akhir kelas sepuluh…”
          Kotak bekal yang disiapkan Ibu saat itu. Karena kotaknya bergambar Barbie, jadi Fira simpan di meja. Sampai akhirnya terlupakan. Mungkin sekarang isinya telah menjadi fosil.
          Setelah beberapa lama berberes-beres, akhirnya semuanya selesai. Kamar jadi terlihat rapih dan luas. Semua berkat kerja keras Almira dan Fira. Almira sendiri yang daritadi berberes, tak menemukan satupun benda cewek di kamar ini. sebotol parfum saja tak ada, apalagi yang lainnya. Atau jangan-jangan tak ada sisir pula?!
          “Fir makasih ya buat usulan kamu. Aku berhasil nyapa cowok-cowok di kelas, terus udah mulai deket gitu deh kayak sama temen sendiri.” cerita Almira dengan mata berbinar.
          “Siapa dulu dong? Usulan gue gitu lho! Terus lo berhasil ngomong gak sama gebetan lo?”
          “Dia beda kelas sama aku, Fir. Dia anak kelas kamu.”
          Fira langsung melotot. “Hah?! Siapa? Siapa?!”
          “Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya…” muka Almira mulai memerah.
          “Iya. Siapa, Mir?!”
          “Jun… Junio…”
          Fira kontan melotot lebih besar dari yang tadi. Apa? Almira menyukai Junio? Junio teman akrab Fira di kelas? Lalu tiba-tiba Fira tertawa sendiri.
          “Kok ketawa sih?” Almira memprotes.
          “Kok lo bisa suka sama dia?” tanya Fira disela tawanya.
          Almira menceritakan kejadian itu pada Fira sedetil-detilnya.
          “… begitu tuh, Fir. Dia itu udah kayak pahlawan aku. Senyumnya itu manisss banget. Maka itu bantuin aku biar aku bisa deket sama dia! Please!”
          Fira tertegun. Baru kali ini ia menjadi konsultan curhat seorang cewek. Biasanya ia jadi konsultan curhat para cowok yang sedang galau. Almira adalah orang pertama.
          “Tentu aja! Tenang aja sama gue, Mir. Apa aja jadi!”
          Almira tersenyum senang. Lalu setelah mengobrol beberapa saat, Almira mengajak Fira ke rumahnya karena mau mengubah penampilan Fira. Mereka naik motor berdua kesana, satu rumah di kawasan elit.
          Rumah Almira bercat tembok putih dan dihiasi garis-garis hitam. Rumah yang sangat anggun. Fira mengakui rumah ini keren.
          “Rumahku kosong. Semua pada pergi, tadinya aku diajak. Tapi aku gak mau karena udah janji sama kamu.”
          Hmm… satu kebaikan Almira. Tak pernah mengingkari janji.
          Almira mengajak Fira ke kamarnya. Kamar itu bernuansa biru langit dan luas serta rapi. Sejuk, lagi.
          “Saatnya make over!” kata Almira bersemangat, sedangkan Fira menelan ludahnya.

***

          Fira memasuki motornya ke tempat parkir siswa dengan ragu-ragu. Keadaan sekolah sudah mulai ramai. Astaga, ia jadi malu sendiri melepas helm yang ia kenakan. Walau kemarin Almira baru me-make over rambutnya, dan mengajari tata sikap seorang cewek dengan benar.
          Selama ini rambut Fira yang sepunggung lebih sering dikuncir satu dan hanya disisir sekali-sekali. Poninya biasanya tak pernah tertampil di keningnya. Tapi kali ini Almira menyuruh agar Fira melepas kuncirannya dan rambutnya digerai. Satu lagi, dengan poni!
          Tempat parkir siswa mulai sepi dan belum ada yang datang. Fira melepas helm-nya dan merapikan rambutnya seperti yang kemarin Almira ajarkan. Poninya dikesampingkan ke kanan, rambutnya juga jadi lembut berkat kondisioner yang kemarin Almira belikan dan ia pakai tadi pagi.
          “Fira?!” suara yang sangat akrab di telinga Fira menyapanya.
          Fira menoleh. Junio, baru turun dari motornya. Glek! Masa yang pertama kali melihat malah Junio? Sial, siap-siap diketawain deh. Tapi ternyata dugaan Fira meleset, Junio malah melongo sendiri.
          “Apa? Mau ketawa ya? Ketawa aja!” kata Fira dengan gaya omongan khas premannya.
          Junio malah menghampiri Fira dan menepuk kedua pipinya. Memang, cowok itu lebih tinggi dari Fira.
          “Mimpi? Palsu? Fatamorgana? Hantu? Siapa lo? Kenapa lo mirip Fira?” omongan Junio malah ngaco.
          “Junio!” tegur Fira kesal.
          Junio makin menganga. “Ternyata bener ini Fira!”
          Fira berdecak kesal. Siap akan kelanjutan kalimat Junio yang pasti akan meledeknya.
          “Lo cantik…” dugaan Fira lagi-lagi meleset, inilah yang keluar dari mulut Junio selanjutnya.
          Muka Fira memerah. Masa sih? Baru kali ini ada cowok yang memujinya – memuji dalam hal fisik, bukan kekuatan. Tapi ia memang pangling sendiri begitu melihat pantulan dirinya di cermin pagi tadi. Bukan cuma ia, tapi seluruh anggota keluarganya!
          Ichal bersiul dalam balutan kausnya. Ia bekerja di sebuah restoran cepat saji di mal dan baru masuk jam sepuluh. Alfian sendiri sampai menganga hebat dan menumpahkan susu dalam gelasnya ke celana seragam birunya. Ayah mengucap syukur, dan Ibu memeluk Fira. Reaksi yang berlebihan.
          “Ke kelas yuk Fir!” Junio menarik tangan Fira dan berjalan cepat-cepat. Fira akhirnya hanya pasrah mengikutinya.
          Di koridor, di tangga, di mana saja, semua murid melotot heran. Fira si pentolan kaum cewek jadi feminim?!
          Saat Junio membawa Fira masuk ke kelas yang rusuh itu, tiba-tiba seisi kelas langsung hening dan semua mata tertuju pada cewek yang digandeng Junio.
          “FIRA?!!”
          Semua langsung mengerubutinya begitu ia menaruh tasnya di kursi. Junio yang duduk di depannya cuma cengar-cengir. Semua langsung ribut melihat perubahan Fira.
          “Eh… aneh ya?” Fira menggaruk lehernya.
          “Aneh! Gak cocok!” jawab Ono si musuh besarnya sambil tertawa bersama Riko.
          “Apaan sih lo, No?! Cantik tau!” bela Fitri, dan langsung diikuti sorakan anak-anak cewek lainnya. Ono hanya tertawa bersalah dan menggaruk kepalanya.
          “Fir kayak gitu aja setiap hari. Cantik banget. Kita dukung kok!” usul Lisa dan dijawab dengan anggukan anak-anak.
          Fira hanya tersenyum mendengar usul cewek-cewek di kelas. Setelah usul-usul itu selesai dilaporkan, giliran para cowok yang cengar-cengir dan bersiap meledek Fira. Ia hanya menghela napas. Ah, begini lah resikonya…

***

          Semenjak kejadian itu, hubungan Fira dengan cewek-cewek jadi membaik. Temannya yang berjenis kelamin sama, sudah mulai banyak. Yah, memang tak sebanyak teman-teman cowoknya.
          Teman-teman ceweknya yang mengajari sedikit-sedikit bagaimana sikap seorang anak cewek yang sebenarnya. Cara bicara, cara duduk, cara makan, atau apa pun yang sopan. Fira yang bisa menerima segala kritik dengan lapang dada, membuatnya menjadi tenar dan disukai.
          Sikapnya sudah berubah seratus delapan puluh derajat. Bertolak belakang dengan sikapnya yang dulu. Sekarang ia disukai guru karena kepintarannya dalam pelajaran sejarah, matematika, dan lainnya. Kali ini posisinya dinomorduakan setelah Almira.
          Perubahan sikap dan penampilan yang sangat drastis tak membuat Fira kehilangan teman cowoknya. Mereka masih suka membicarakan game, dan Fira masih suka dijadikan tempat berkeluh kesah. Hubungannya dengan Almira juga makin membaik, makin dekat, dan malah pertemanannya sudah diketahui satu sekolah.
          Almira juga berhasil dekat dengan anak cowok. Ia pun sudah berani menyapa Junio, dan mereka sering berkomunikasi. Sifat Junio yang suka bercanda, pengertian, dan perhatian membuat Almira makin jatuh hati padanya.
          Saat ini, Almira dan Fira sedang duduk di kantin pada jam istirahat kedua.
          “Sedikit lagi… gue bisa jadian sama Junio! Ah…” Almira menerawang. Bahasa aku-kamunya telah lenyap, entah kemana.
          Fira hanya tersenyum kecut. Ada sedikit perasaan sakit dan bersalah di hatinya. Semenjak kejadian tempo hari, saat Junio memujinya cantik, ia makin dekat dengan cowok itu. Dekat sekali. Lebih dekat dari biasanya. Saling bercanda, mengerjakan tugas bersama, memilih kelompok untuk bersama, saling memperhatikan…
          Semua itu membuat Fira jatuh hati pada Junio. Pertama kalinya dalam enam belas tahun kehidupannya, ia jatuh cinta. Junio adalah cowok yang bisa menyusup kedalam hatinya, mengisi benaknya dan mimpinya.
          Tapi… Almira lah yang pertama kali menyukai Junio. Fira tak berhak merebut Junio, walau Junio belum dimiliki Almira. Almira adalah sahabatnya, dan seharusnya ia tak mengecewakan perasaan cewek lembut itu. Perasaannya hanya miliknya sendiri, walau mungkin harus berakhir dengan sakit.
          “Fir? Jangan bengong dong.” Almira menggoyangkan tubuh Fira perlahan.
          Fira langsung sadar dari lamunannya. “Iya, nggak bengong nih.”
          Almira tersenyum ria dan lanjut bercerita. Junio, Junio, dan Junio lagi. Setiap kata yang keluar dari mulut Almira seakan menusuk telinga Fira. Ingin ia terapkan proses “masuk kuping kiri keluar kuping kanan”. Tapi semua kata-kata Almira seakan menyukai untuk tinggal lebih lama di benak Fira.
          Almira terus saja berbicara dengan ceria, sedangkan Fira memasang tampang ceria juga, walau ia tahu ia tak ceria. Tanpa mereka sadari, tiga sosok manusia memperhatikan mereka dari meja sebelah…
Sepulang sekolah…
Almira berjalan menyusuri lapangan sekolah dengan tenang dan perlahan. Tiba-tiba, seseorang merangkul pundaknya dari belakang.
          “Hai!” sapa orang itu dan kedua temannya.
          Silvi, Caca, dan Novi. Almira tentu saja kenal dengan mereka, karena satu kelas dan mereka lumayan akrab. Almira pun tersenyum dan mengangguk pada ketiga anak itu.
          “Eh, Mir! Fira nyebelin ya?” Caca membuka pembicaraan.
          “Nggak kok, Ca.” jawab Almira.
          Novi menghela napas dan geleng-geleng. “Mir, Mir… lo perhatiin dong dengan mata kepala lo… liat? Tuh dia lagi mesra-mesraan sama Junio!”
          Almira menyusuri telunjuk Novi yang menunjuk pada dua sosok yang sedang bersenda gurau. Benar, itu Fira dan Junio. Mereka sedang tertawa-tawa, entah membicarakan apa. Lalu, Junio menaruh lengannya di salah satu pundak Fira dan menjadikan cewek itu tumpuan. Langsung saja Fira mencubit Junio dan mereka tertawa lagi. Dan mau tak mau, hati Almira sakit.
          “Gue kasih tau ya, Mir… dia itu pengen jadi cantik karena pengen deketin Junio. Mungkin awalnya karena dia serius pengen berubah. Tapi liat? Makin hari Junio sama Fira makin deket dan mesra. Sakit gak hati lo? Sahabat lo ngerebut gebetan lo? Orang TMT gitu sih gak usah ditemenin lagi, Mir!” giliran Silvi yang sok  bersimpati pada Almira.
          Almira terdiam. Diam yang sakit. Benar, semenjak hari itu, Junio dan Fira makin dekat layaknya sepasang kekasih yang sedang mesra-mesranya. Tapi, Fira kan sudah tahu kalau ia menyukai Junio? Ah… pusing…
          “Gue mau pulang.” kata Almira akhirnya dan berjalan mendahului mereka bertiga.
          “Almira! Gue cuma ingetin lo kalo dia itu TMT!” bisik Silvi.
          Almira makin mempercepat langkahnya meninggalkan mereka bertiga. Sedangkan Silvi, Caca, dan Novi hanya tersenyum licik. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
                                                                                
***

          “Almira! Eh! Kok gue dikacangin sih?!” tanya Fira sambil mengejar Almira yang berjalan cepat-cepat.
          Sudah tiga hari ini, tiba-tiba Almira berubah drastis padanya. Fira dianggap angin lewat dan selalu dicuekkin. Padahal, ia tak pernah melakukan kesalahan pada Almira. Kenapa cewek ini?
          “Almira! Salah gue apa sih!?” tanya Fira sekali lagi setengah berteriak setelah mereka melewati ruang ekskul taekwondo.
          Akhirnya kali in Almira menoleh, dengan tatapan bengisnya. Tatapan yang menyeramkan.
          “Salah lo? Koreksi diri lah, Fir! Apa-apaan tuh temen makan temen!” jawab Almira.
          “Ap… apaan? Temen makan temen? Emangnya gue ngapain sih, Mir!” Fira mulai merasa kadar emosinya naik.
          “Selama ini lo manfaatin gue kan? Gue tau! Lo minta lo jadi cewek yang sesungguhnya, ternyata cuma buat deketin Junio! Lo yang apa-apaan, Fir! Murahan banget sih lo!”
          Kadar emosi Fira benar-benar sudah naik dan sampai ke ubun-ubun. Tangannya terkepal disamping badan. Murahan? Apa-apaan? Mana Almira yang sopan? Kenapa tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata begini? Sok-sok menuduhnya merebut Junio lagi! Menuduhnya manfaatin dia doang, pula!
          “Siapa yang bikin kesepakatan itu, Mir? Hmm? Lo kan? Gue gak manfaatin lo buat ngambil Junio! Junio cuma temen gue! Gue gak punya perasaan apa-apa sama dia!” muka Fira memerah. Kebohongan yang menyakiti hatinya.
          Almira menghela napas panjang. “Mulai sekarang, jauhin gue!” katanya lalu pergi menuju kantin.
          Fira hanya terpaku, rasanya ia ingin menangis. Matanya mulai panas, dan ia berlari ke toilet dengan cepat. Untung sekolah sudah agak sepi, jadi takkan ada yang mendengar ia menangis walau di toilet sekalipun.
          Isakan tangis dan air mata yang pertama kalinya untuk seorang sahabat. Sahabat yang mengajarkannya banyak hal. Sahabat cewek pertama yang ia punyai. Tapi ternyata, persahabatan itu berakhir dengan kesalahpahaman belaka.
          Setelah rasa marah dan sedihnya mulai agak menguap, Fira mencuci muka dan memutuskan untuk pulang. Baru saja ia keluar dari toilet, ternyata seseorang menunggunya sambil melipat tangan di dada dan bersender pada tembok.
          “Udah?” tanyanya sambil tersenyum tipis.
          Orang itu. Yang menjadi alasan Almira dan Fira bertengkar. Satu subjek yang dicintai oleh dua hati. Hati yang satu, terpendam dengan perasaan sakit. Hati yang satu lagi, terumbar dengan ceria.
          Fira hanya menatap Junio dengan datar, lalu melengos pergi. Ia mendengar suara langkah kaki. Junio mengikutinya.
          Jangan ikutin gue… pinta Fira walau dalam hati.
          “Gue denger semua pertengkaran lo sama Almira.” kata Junio dari belakang yang membuat Fira melotot. Berarti Junio tahu dong kalau Almira menyukainya?
          Tak kunjung mendapat jawaban, Junio meneruskan. “Tapi biar bagaimana pun, gue gak bakalan jauhin lo Fir. Gak bakalan.”
          Kali ini Fira menoleh. “Jauhin gue dong Jun… lo udah denger sendiri kan kalo Almira suka sama lo? Jadian aja sama dia, dan jauhin gue…” lalu Fira memasukkan kunci ke lubang kunci motornya.
          “Gak akan.” Junio bersikeras.
          “Kenapa?” Fira bertanya dengan lelah.
          Lalu tiba-tiba, Junio memeluknya dari belakang. “Itu karena… gue suka sama lo…”
          Fira menggeleng, lalu tersenyum sedih sambil melepaskan tangan Junio yang melingkari lehernya. “Stop, Jun. kita cuma sebatas temen akrab. Gak bisa lebih. Lagipula, lo harusnya sayang sama Almira. Bukan gue… lo pilih orang yang salah…”
          Junio terpaku.
          Sebelum Fira melesat pergi dengan motornya, ia sempat memberikan senyuman dan melambaikan tangan. “Bye, bye.”

***

          Setelah kejadian menyedihkan itu, hubungan Fira dan Almira benar-benar merenggang. Sudah dua bulan, dan sekarang sedang dalam masa-masa bebas setelah selesai ulangan kenaikan. Hubungan pertemanan Fira dan Junio juga merenggang. Junio memang masih suka mengajaknya bercanda dan membanyol. Tapi itu semua tak membuat Fira bisa tertawa lepas seperti dulu.
Beberapa teman ceweknya bersimpati dan menawarkan diri untuk jadi tampungan curhat. Tapi Fira hanya menggeleng walau dalam hati ia terharu. Ia juga hanya ingin menyimpan semua permasalahan ini sendiri.
Setiap kepribadian dalam diri Junio, Fira, dan Almira berubah dengan sendirinya. Junio lebih suka merenung memikirkan sesuatu, entah apa. Fira lebih pendiam dan tak bisa lagi merusuh dengan cowok-cowok di kelas. Dan Almira sendiri malah sudah gonta-ganti pacar untuk menghilangkan sosok Junio dari hatinya walau tak bisa.
Malam ini, tiga hari sebelum penerimaan raport, Ibu memberitahukan bahwa beliau naik pangkat dan dipindah tugaskan ke Malang. Dan beliau menawarkan supaya mereka satu keluarga bisa pindah ke Malang bersama karena penugasan disana berkisar sekitar dua tahun.
Ayah menolak, karena pekerjaannya sedang dalam masa bagus, jadi disayangkan kalau beliau meninggalkan pekerjaannya. Ichal juga menolak, ia sedang dalam masa promosi. Begitu juga Alfian yang tak mau karena ia sangat mencintai sekolahnya itu.
“Gimana, Fira mau ikut Ibu nggak?” tanya Ibu pada Fira yang sedari tadi diam sambil menyisir rambutnya.
Sebenarnya Fira sedang mempertimbangkan. Ia juga sangat mencintai tempat tinggalnya ini, tapi ia juga sedang dalam masa kesedihan. Ingin ia tinggalkan kesedihan itu disini. Kesedihan karena kehilangan sahabat dan teman akrab. Akhirnya Fira mengangguk perlahan. Tekadnya sudah bulat.
“Nah bagus. Kita berangkat sekitar tiga minggu lagi. Kamu masih sempet sekolah, bisa pamitan.” kata Ibu dan diikuti dengan anggukan Fira.
Untung saja anak satu kelas masih sama, jadi mungkin denah tempat duduk juga disamakan. Kepala sekolah tak mengadakan pengacakan kelas per jurusan. Jadi mungkin, Fira bisa menyampaikan pamitannya pada Almira dan Junio lewat surat.

***

Karena jam pulang sekolah dibuat lebih cepat, Almira berniat nongkrong dulu di sekolah. Besok sudah terima raport, lalu mulai libur selama dua minggu, dan masuk lagi. Saat ia melewati ruang basket indoor, ia mendengar teriakan seorang cowok. Dan diam-diam mengintip sambil menguping lewat jendela.
Fira dan dua cowok! Satu cowok itu adalah Kiki, mantannya yang kebetulan anak sekolah lain. Tapi satu cowoknya lagi anak sekolah ini. Kiki mencengkram kerah baju Fira dan cewek itu meringis.
Almira bimbang. Fira dikeroyok, walau cuma dua orang. Fira memang bukan siapa-siapanya, tapi ia harus menolong Fira…
Ia membulatkan tekad. Dibukanya pintu ruang basket itu dengan keras, membuat Fira, Kiki, dan cowok satu lagi menoleh kaget.
“Almira?!” seru Fira tak percaya.
Almira buru-buru melepas sepatunya dan melemparkannya pada Kiki. “Lepasin Fira, Ki!”
Kiki mengaduh. Sepatu Almira kan berhak dan keras. Mengenai punggung lagi! Langsung saja Kiki menggeram dan melepaskan cengkeramannya dari kerah seragam Fira.
“Do, pegangin Fira!” perintah Kiki dan cowok yang bernama Ado itu langsung memegangi Fira, agar tak bergerak.
Kiki langsung saja berjalan kearah Almira. Tentu saja cewek itu terkejut, tapi dilawannya rasa takutnya pada Kiki. Cowok itu memegang dagu Almira dengan satu tangannya dan tersenyum licik.
“Berani banget ya Almira yang sekarang…”
Ada masalah apaan lo sama Fira?!” tanya Almira tak menghiraukan perkataan Kiki tadi.
“Lo sendiri ada hubungan apa sama cewek najis itu? Kenapa begitu peduli?”
Fira langsung membuang muka begitu Almira menatapnya.
“Gue peduli, karena dia sahabat gue!” jawab Almira yakin.
Fira langsung menatap Almira tak percaya. Sedangkan Ado dan Kiki juga berekspresi sama.
Setelah berhasil mengatasi keterkejutannya, Kiki berdeham dan memegang pundak Almira. “Ooh. Jadi sekarang lo kayak gini ya, Mir? Kenapa lo mau temenan sama cewek kayak dia? Gak bener! Lo bakal jadi cewek najis kayak dia juga!”
Almira menggeleng.
“Mending lo balikan aja sama gue. Gue bakalan ajarin lo hal baik. Terutama ngejauhin cewek kayak dia!” Kiki menunjuk Fira.
“Nggak! Nggak, Ki!” Almira menjauhkan tangan Kiki dari pundaknya.
Kiki terkesima melihat Almira yang membentaknya. Lalu lama kelamaan ia makin merasakan ia marah, sangat marah. Tangannya sudah melayang, ingin menampar Almira.
Almira yang melihat tangan Kiki yang seperti akan menamparnya langsung memejamkan mata kuat-kuat. Tapi… ternyata tangan Kiki tak sampai juga ke pipinya. Ia membuka matanya dan melihat seseorang di depannya sambil menahan tangan Kiki.
“Jangan sembarangan main tangan sama cewek.” katanya lalu membuang tangan Kiki yang berada dalam genggamannya kuat-kuat.
Junio! Cowok itu kini berdiri di depan Almira, melindunginya.
“Apa-apaan lo?!” bogem mentah Kiki melayang ke pipi Junio, Almira langsung berteriak.
Fira yang melihat perlakuan Kiki si musuh besarnya itu pada Junio, langsung terbawa emosi. Sedari tadi ia mengalah, selama ia dibawa paksa dan dibentak-bentak disini ia tak melawan. Tapi sekarang, Kiki benar-benar keterlaluan!
Ado yang memegangi Fira dari belakang sama tinggi dengannya. Langsung saja Fira melayangkan bagian belakang kepalanya kuat-kuat pada Ado. Dan tentu saja cowok itu mengaduh kesakitan, lalu cengkeramannya lepas begitu saja. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Fira menendang cowok itu sampai keujung.
Baru saja Kiki mau mencengkeram kerah baju Junio dan menantangnya, sebuah tendangan mendorongnya sampai terjatuh. Begitu ia terjatuh, ia langsung menoleh dan mendapatkan Fira yang menatapnya dengan amarah besar.
“Cukup gue yang lo hina, Ki. Jangan temen-temen gue!” kata Fira, lalu pergi keluar bersama Almira dan Junio.
Setelah mereka bertiga keluar dari ruang basket, tak ada yang berinisiatif berbicara. Ketika mereka sampai di depan tangga, Fira tersenyum tipis pada Almira dan Junio.
“Thanks…” hanya sepatah kata itu yang keluar dari mulut Fira, lalu ia pergi mendahului mereka berdua.

***

Dua minggu telah berlalu dari kejadian di ruang basket itu. Dua minggu yang sibuk bagi Fira. Semua liburannya ia habiskan untuk berberes-beres dan lainnya. Saat ini ia sedang berdiri di depan cermin sambil mengancingkan kemeja seragamnya. Hari Rabu siang besok ia sudah harus berangkat ke Malang. Jadi ia hanya menghabiskan masa kelas dua belas disini selama dua hari saja.
Setelah semua persiapan selesai, Fira menggas motornya dan berangkat ke sekolah tercintanya. Sekolahnya yang penuh kenangan. Setelah sampai, ia masuk ke kelasnya di lantai tiga. Kelas yang berisi masih sama, seperti kelas sebelas kemarin. Orang-orang yang sama, wali kelas yang sama, dan denah tempat duduk yang sama.
Setidaknya selama tiga hari ia duduk di bangku kelas dua belas disini, ia bisa berpamitan dengan teman-temannya. Menghabiskan waktu bersama dengan merusuh. Fira tersenyum geli. Ya, ia akan menghabiskan tiga hari terakhirnya di sekolah ini untuk merusuh dan tertawa!

Tiga hari selanjutnya…
Ada perlu apa?” tanya Junio pada Almira yang tiba-tiba mengajaknya berbicara di taman sekolah saat istirahat pertama. Taman sekolah memang tempat yang agak sepi, karena biasanya seluruh murid-murid menghabiskan jam pertama istirahat di kantin.
Tak kunjung mendapat jawaban atas pertanyaannya, alis Junio mengkerut. “Kenapa, Mir? Kalo gak ada apa-apa gue pergi nih!” Junio mulai melangkah.
“Eh tunggu-tunggu!” cegah Almira, lalu ia menghela napas panjang.
“Kenapa?”
“Gue… gue suka sama lo, Jun!” ucap Almira cepat-cepat.
Terjadi jeda beberapa saat. Junio masih tak percaya akan pendengarannya, sedangkan Almira masih malu atas pengakuannya tadi. Cewek nomer satu di sekolah menyukainya? Bagi Junio ini adalah mimpi yang aneh.
“Gue mau jadi pacar lo, Jun…” kata Almira to the point.
Junio yang bisa mengatasi keterkejutannya lagi selama beberapa menit langsung menghembuskan napas panjang. “Sorry, Mir… gue gak bisa…”
“Kenapa?” raut muka Almira terlihat sangat kecewa.
“Gue akuin, gue emang suka sama lo. Tapi gue suka yang mengagumi, bukan suka karena bener-bener suka. Sorry banget ya Mir. Lo terlalu perfect buat gue. Dan gue udah suka sama seseorang sebelum lo kenal deket sama gue.”
Almira terbelalak, siapa yang mendahului langkahnya? “Siapa dia, Jun? Gue kenal sama dia nggak?”
“Sorry. Ini cuma urusan hati gue. Sekali lagi sorry. Gue duluan.” Junio melangkah menjauh, menghindari pertanyaan-pertanyaan dari cewek ini lagi.
Sementara itu, Fira berjalan perlahan menyusuri koridor kelas IPA. Setelah sampai di kelas yang ia tuju, langsung saja ia menuju ke meja orang yang dimaksud.
Meja Almira. Meja yang berhadapan dengan meja guru. Fira membuka laci meja Almira dan menempelkan kertas surat yang sedari tadi ia pegang. Setelah istirahat nanti, ia harus langsung pergi.
Bel akhirnya berbunyi juga. Fira berjalan cepat menuju kelasnya. Membereskan buku-bukunya, sementara murid satu kelas menatapnya heran.
Satu kelas memang belum pada tahu akan rencana kepergian Fira. Tapi semua staff guru tahu akan hal itu. Baru saja Fira menutup risleting tasnya, Bu Yanti wali kelas masuk dan mengangguk pada Fira. Fira menenteng tasnya dan berjalan ke depan kelas.
“Anak-anak. Hari ini Fira Anggreini akan pindah sekolah ke Malang. Ibunya sudah menjemput di depan sekolah. Sekarang waktunya ia berpamitan pada kalian.” Bu Yanti tersenyum sambil memegang pundak Fira.
“Emm… guys, makasih bantuannya selama ini ya. Maaf kalo selama ini gue ngeselin. Makasih banyak ya buat kesenengan sesaat itu, hehehe…” Fira berusaha kuat untuk tersenyum. Rasanya ia ingin menangis karena teringat semua kenangan di kelas ini.
Junio yang duduk di kursinya terkejut sampai diam seribu bahasa. Fira pindah? Tapi kenapa? Padahal ia berencana pulang sekolah nanti akan menyatakan perasaannya pada cewek itu yang sudah dari dulu ia sukai.
Junio melihat beberapa anak cewek yang meneteskan air matanya. Anak-anak cewek yang dekat dengan Fira. Anak-anak cowok pun juga terdiam, mungkin sedih. Tak ada lagi yang bisa diajak merusuh segitu parahnya. Ya, Fira memang membekasi banyak kenangan pada kelas ini. Ono, si musuh besar Fira malah terang-terangan menangis!
Akhirnya anak-anak menyalaminya. Anak-anak cewek memeluknya sambil menangis, dan Fira hanya tertawa. Walau Junio tahu, kalau cewek itu juga ingin menangis.
Junio berada di giliran terakhir, ia menyalami Fira dan menatap cewek itu sedih.
“Kok lo gak bilang?” tanyanya.
“Karena gue pengen ngasih surprise buat kalian semua.” Fira tersenyum.
Lalu mereka saling memeluk. Saat itu juga satu tetes air mata Fira keluar. Sakit. Inilah akhir dari perasaannya pada Junio. Perpisahan.
Setelah saling bersalaman, mereka semua berfoto. Untuk kenang-kenangan dan akan ditaruh di mading kelas. Dan setelah semua hara-huru itu selesai, Fira keluar dari kelasnya sambil melambaikan tangan. “Bye! Bye!” katanya yang disambut dengan lambaian tangan dan ucapan selamat tinggal dari semua isi kelas 12-IPS-3 itu.

***

“Almira! Tadi Fira kesini, dia naro apaan gitu di laci lo.” kata Oci saat Almira baru masuk kelas setelah bel berbunyi.
Fira? Ada apa lagi anak itu? Alis Almira mengkerut dan ia langsung membuka lacinya. Sebuah surat. Dengan tulisan tangan Fira. Ada apa ya?

I just want to say a sorry, thank you, and goodbye to you…
Sorry ya Mir. Kalo selama ini gue banyak salah sama lo. Sorry juga bikin lo jadi marah gara-gara Junio deket sama gue. Gue bener-bener gak bermaksud buat deketin Junio. Gue tahu lo dikasihtau Caca, Novi, sama Silvi. Mereka emang gak suka sama gue, makanya mereka fitnah. Gue ngomong jujur lho! Gue emang ada perasaan juga sih sama Junio, tapi gue bener-bener gak berniat deketin dia. Oh ya! Cepet-cepet jadian. Keep strong!
Makasih juga ya, lo udah ajarin gue gimana jadi cewek yang baik. Dengan gini nanti gue gak bakal ditakutin lagi deh. Makasih juga udah nolong gue yang waktu di ruang basket.
Yang terakhir, gue mau just say a goodbye. Begitu bel bunyi, gue bakal pergi dan gak sekolah disini lagi. Gue mau pindah ke Malang. Mungkin saat lo baca surat ini gue lagi turun tangga kali ya? Haha. Selamat tinggal, Mir. Lo sahabat terbaik yang pernah gue milikin.
Fira.

Air mata Almira menetes begitu saja. Fira mau pergi? Rasanya ia tak rela. Anak-anak di kelas bertanya-tanya ada apa dengannya, tapi ia tak menghiraukan mereka semua dan berlari keluar. Semoga sempat. Ia ingin mengejar Fira. Semoga ia masih berjalan di koridor utama!
Ternyata Almira masih diberi kesempatan. Fira sudah sampai di gerbang dan hampir naik ke mobil saat tiba-tiba Almira memanggil namanya dengan berteriak. Masa bodoh dengan kelas-kelas lain yang sedang belajar! Masa bodoh dengan barisan anak kelas sepuluh yang sedang di MOS! Ia hanya ingin mementingkan dirinya sendiri sekarang!
Almira langsung memeluk Fira begitu ia sampai di dekat cewek itu. Fira pun terkejut akan ini. Almira memeluknya dengan erat dan tiba-tiba menangis terisak.
“Maaf, Fir. Gue gak pantes jadi sahabat lo. Gue kemakan fitnahan mereka bertiga. Maaf, Fir. Gue emang bego. Gue yang bikin lo harus pergi kayak begini.” ucap Almira di sela tangisnya setelah ia melepas pelukannya.
Fira tersenyum, “Nggak Mir. Ini keinginan gue sendiri kok… jangan nangis lagi! Keep smile dong!”
Almira pun tersenyum. “Makasih ya Fir. Lo emang sahabat gue. Eh gue udah nyatain perasaan gue ke Junio, tapi gue ditolak.”
“Hah?!”
“Iya. Dan akhirnya gue sadar kalo ternyata dia suka sama elo. Lo juga suka kan sama dia? Semoga kalian jodoh deh. Gue relain kok, gue restuin!”
Fira tertawa, “Makasih ya Mir. Udah dulu ya, ntar gue ditinggalin. Goodbye, Almira! Lo tuh sahabat terbaik gue.”
Almira memeluknya sekali lagi dengan sangat erat. “Goodbye! Lo juga sahabat gue yang terbaik.” sahutnya juga.
Lalu Fira masuk ke mobil, sambil terus mengucek matanya karena air mata yang terus keluar.

***
3 tahun selanjutnya…
          Junio berjalan-jalan santai di stasiun sambil melihat kearah kerumunan orang-orang. Ia sedang liburan semester dan sekarang ia akan pulang ke rumah di Jakarta. Sesekali ia memotret keramaian orang itu dengan kamera yang ia kalungkan di leher. Biasa deh, anak kuliahan jurusan fotografi.
          Karena tak begitu memperhatikan jalanan, tiba-tiba ia menabrak seseorang. Cewek yang tingginya sekitar sehidungnya, mungkin. Buku dan file yang cewek itu pegang terjatuh. Junio sebagai orang yang bertanggung jawab membantu membereskannya.
          “Makasih…” kata cewek itu setelah terkesima sesaat saat melihat Junio, lalu ia pergi.
          Junio mengangguk dan menatap punggung cewek itu yang berjalan menjauh. Sepertinya ia mengenalnya? Tapi dimana ya? Cantik juga sih, rambutnya sekitar sepunggung dan gayanya kasual.
          Akhirnya Junio beranjak juga dari tempatnya berdiri dan terus berjalan. Biarlah dengan cewek itu, ia tak mau memusingkan. Pokoknya ia akan habiskan libur semester ini dengan bermain game di kamarnya!

Seminggu selanjutnya lagi…
          Junio berjalan cepat di stasiun, hari ini ia bangun telat dan ia ada jam kuliah sore hari. Jadi ia harus buru-buru deh. Saat ia sedang menunggu kereta datang, didengarnya suara ribut-ribut dari samping kanannya.
          Ah, sepertinya ada keributan. Karena penasaran, Junio melihat kearah kerumunan itu. Ternyata dua orang preman yang sedang bertengkar dengan… cewek yang ditabraknya waktu itu!
          “Ada apa sih?” Junio iseng mencolek orang yang ada di depannya.
          Cowok itu menoleh, “Katanya sih tuh cewek di godain, tapi dia ngelawan sama tuh preman. Akhirnya premannya malah marah, tapi ceweknya malah lebih nyolot.”
          Junio ngangguk-ngangguk.
          “Mau kuliah ya?” tanya orang itu lagi.
          Junio ngangguk-ngangguk lagi.
          “Semester berapa?”
          “Empat.”
          Gantian tuh orang yang ngangguk-ngangguk.
          “Kayaknya cewek itu tuh si Fira Anggreini deh. Kenal gak? Dia kan preman jago waktu jaman SMA. Gini-gini saya tau dia juga.” lanjut orang itu.
          Junio melotot. Hah? Masa sih itu Fira?! Bohong! Tapi, pantas sepertinya ia kenal cewek itu. Tapi… masa sih itu Fira? Yang pergi sewaktu itu? Tiba-tiba keadaan sekitar menjadi riuh atas tepuk tangan orang yang berkerumun.
          “Eh hebat ya cewek itu bisa ngalahin dua preman!” kata seorang cewek disamping Junio.
          Junio langsung saja menyeruak diantara kerumunan itu dan melihat si cewek yang sedang berkacak pinggang sambil melotot pada dua preman berbadan gede yang terduduk dipinggir tembok itu.
          “Ape lo?! Mau macem-macem lagi sama gue?!” ancamnya pada dua preman itu.
          “Nggak, Mbak. Ampun Mbak.” Si preman botak mengangkat tangannya.
          Penonton pun tertawa, tapi tidak dengan Junio. Ia malah tersenyum. Gaya bahasa cewek tadi dan suaranya. Sepertinya benar Fira.
          “Fi… Fira?” Junio memanggilnya hati-hati begitu para kerumunan bubar.
          Dan, cewek itu menoleh serta terkejut melihat Junio. “Ya?”
          “Betul Fira nih?!” tanya Junio hampir berteriak girang.
          “Iya!” Fira mengangguk dengan tampang kesal. “Lo siapa?”
          “Ini gue Junio, Fir! Junio!”
          Fira terpaku sesaat mendengar jawaban cowok yang berada di depannya ini. Pantas mirip dengan Junio yang dulu. Pertemuan yang sangat mengagetkan. Fira kembali deg-degan, seperti dulu saat SMA. Ya, ia masih menyukai Junio, perasaannya masih tersimpan di hatinya.
          Junio akhirnya memeluk Fira dengan erat. Cewek yang ditunggu-tunggunya selama tiga tahun ini akhirnya kembali. Ia sangat senang, haru, tak bisa digambarkan perasaannya saat ini.
          “Jun, diliatin nih!” protes Fira.
          “Biarin. Gue masih mau ada di deket lo, karena gue sayang sama lo…” Junio malah mempererat pelukannya.
          Akhirnya Fira mengalah dan memeluk cowok itu kembali. Dalam hati ia tersenyum bahagia. Cinta pertamanya, telah kembali ke kehidupannya…