Namanya Fira Anggreini. Cewek yang
benar-benar seperti tak mempunyai sifat cewek pada umumnya. Seluruh sekolah
mengenalnya sebagai… cewek setengah cowok! Berisik, tukang bikin rusuh, suka
berkelahi. Tapi biar begitu, ia pasti akan membela seseorang yang sedang
dikeroyok. Pokoknya, ia itu jagoan dari kalangan anak cewek.
Sore ini, sepulang sekolah, Fira
langsung dihadang Ibunya didepan pintu rumah, sedang libur bekerja. Beliau
memerhatikan dengan seksama dan mengernyit melihat hansaplast kuning bergambar
binatang yang berada di kening sebelah kirinya.
“Fira! Kamu abis berantem sama siapa
lagi?!” Ibu mulai menginterogasi.
“Jagoan dari sekolah tetangga.” Fira
menjawab dengan enteng.
“Hei! Kamu itu perempuan, nak! Jangan
berantem terus-terusan lah! Kamu itu udah dewasa, seharusnya bisa bedain mana
yang buruk sama yang baik!”
“Ibuku yang cantik dan baik… waktu
Fira kecil juga Ibu sendiri kan
yang bilang kalo kita mesti ngebela orang lain? Fira berantem juga bukan karena
Fira mau cari masalah, Bu! Udah berapa kali sih Fira jelasin ini ke Ibu?”
Ibu hanya menghela napas dan berlalu
ke dapur. Fira langsung saja ngacir ke kamarnya di sebelah kamar Ichal
kakaknya. Huh… selalu saja Ibu begitu! Kayak gak kenal dirinya aja! Dari SD
dulu juga Fira sudah begini, mau diapakan lagi?
Fira menatap foto yang ada di meja
belajarnya. Foto sewaktu kelas sepuluh dulu dengan anak-anak kelasnya.
Dipandangnya satu sosok cewek cantik berambut panjang yang berdiri di
sampingnya.
Almira Renata. Adalah seorang cewek
yang nyaris sempurna di kalangan SMA Pita Bangsa. Siapa sih yang tak
mengenalnya? Almira Renata, cewek perfect anak kelas 11-IPA-1. Semua orang di
sekolah sangat mengenalnya karena kecantikan, kemanisan, kelembutan hatinya,
dan kesopanannya. Ia tergabung dalam OSIS dan English Club. Almira seorang anak
yang benar-benar nyaris perfect deh pokoknya! Sudah pasti semua siswi di
sekolah pasti sangat ingin menjadi sepertinya. Dan semua siswa di sekolah
mengaguminya.
Dulu Fira memang sekelas dengan Almira.
Fira memang mengakui cewek itu adalah kebalikan darinya. Ia menghela napas
panjang.
“Gue juga pengen jadi kayak lo…”
desahnya sedih.
Ya, kadang-kadang Fira menyesali
sifatnya ini yang kelewat jagoan. Ia ingin menjadi seorang cewek yang manis dan
sedikit sopan. Yang tertawa dengan teman-teman ceweknya karena sedang
membicarakan cowok. Kalau Fira? Pertemanannya dengan para cewek aja terbatas.
Paling cuma beberapa yang mau jadi temannya. Selebihnya semua temannya cowok.
Kalau bersama anak cewek feminim, pasti membicarakan cowok dan tertawa bersama.
Kalau anak cowok? Pasti membicarakan game, jejaring sosial, cewek cantik disana
dan juga tertawa bersama.
Huh, Fira kadang bosan hanya duduk dan
mendengarkan anak-anak cowok yang membicarakan game-game online. Ia juga
sebenarnya suka game kok, tapi kadang ia bosan. Ia ingin saling curhat-curhatan
dengan teman sesama cewek dan lain-lainnya.
Sekali lagi dipandangnya foto Almira.
Yah, andaikan ia bisa seperti Almira yang feminim…
***
Sementara itu, di sebuah kamar
bernuansa warna blue soft duduk seorang cewek yang sedang melamun. Berkali-kali
ia tersenyum karena sesuatu yang ada di pikirannya. Bukan sesuatu, tapi
seseorang.
Orang itu. Yang tadi pagi menolongnya
saat ia terpeleset di tangga. Yang memeluknya dengan erat saat ia hampir terjatuh.
Cowok manis yang baik itu… telah membuat dirinya jatuh hati. Teringat lagi
kejadian tadi pagi di tangga…
Almira
sedang berjalan menuju ruang perpustakaan di lantai bawah pagi tadi. Karena bel
sebentar lagi berbunyi dan ia harus mengambil fotokopian soal Matematika.
Karena
terburu-buru, tiba-tiba ia tak merasa sepatunya licin dan ia terpleset.
“Ah!”
suara seseorang menggantikan teriakan Almira yang tertahan. Ternyata ada yang
menariknya dari belakang, jadi ia tak terjatuh.
Cowok
itu langsung melepaskan pegangannya dan tersenyum pada Almira. “Kalo jalan
hati-hati, Almira!” Lalu ia berlalu pergi.
“Ah!
Makasih…” ucapan Almira sempat terhenti saat cowok itu menengok lagi.
“Junio.
11 IPS-3.” Junio tersenyum dan berlalu dengan cepat.
Ah, Almira langsung terpesona pada
Junio. Hmm…, ingin rasanya dekat dengannya. Tapi kan , Almira tak bisa dekat dengan cowok. Almira
hanya dekat dengan beberapa cowok pintar di kelas, itu juga hanya membicarakan
pelajaran. Seluruh temannya cewek.
Hei, sebentar. Sepertinya Junio itu
sekelas deh dengan Fira ‘si tomboy’? ya! Mereka sekelas! Lagipula kan Fira dekat dengan
seluruh anak cowok. Apa minta bantuannya saja ya?
Ah tapi… bagaimana caranya untuk
bicara dengan Fira? Ia kan
selalu dikelilingi anak cowok. Kalau Almira nekat mendekatinya, bisa-bisa ia
digoda seluruh cowok yang ada di sekitar Fira. Aduh…
“Almira! Ayo mandi! Siap-siap!” suara
Mama terdengar dari bawah yang membuat lamunan Almira terpecah.
“Iya Ma!” sahut Almira cepat-cepat,
lalu menghela napas berat.
***
“Chal,
anterin gue ke kantin yuk.” ajak Fira pada kakaknya Ichal yang lebih tua dua
tahun dibanding dirinya.
“Sendiri aja kenapa?” Ichal menyahut
dengan malas.
Fira merengut. Saat ini ia sedang
berada di rumah sakit untuk menjenguk Ayahnya yang sakit thypus-nya kambuh
lagi. Ia pergi bersama Ibu, Ichal, dan Alfian adiknya.
Akhirnya ia pergi ke kantin sendirian
setelah ditunjukkan jalannya oleh Ibu. Fira sangat lapar! Sebaiknya ia membeli
roti keju saja ya? Begitu ia masuk lift, begitu terkejutnya saat ia lihat
seseorang yang tadi sore baru ia pikirkan. Almira Renata!
“Almira? Ngapain lo disini?” tanya
Fira basa-basi.
“Hai Fir! Jenguk nenek. Kamu?”
Nah! Inilah yang paling tak Fira sukai
dari sosok Almira. Gaya
bicaranya! Ia selalu bicara dengan aku-kamu. Helooo! Jaman sekarang masih pake
aku-kamu? Bukannya Fira iri ya, tapi agak enek sih dengarnya. Kalau bagi
penggemar Almira sih ya wajar-wajar aja, malah terkesan sangat sopan.
“Jenguk bokap. Lo mau kemana?” tanya
Fira tak mempedulikan bahasa aku-kamu nya Almira.
“Ke kantin. Kamu?”
“Sama.”
“Ooh bareng yuk! Aku laper nih. Kita
makan sama-sama!” ajaknya riang.
“Eh… i… iya…” Fira menggaruk kepalanya
yang tak gatal.
Begitu sampai di kantin, Fira memesan
nasi goreng dan segelas es teh manis. Sedangkan Almira memesan bakso dan
segelas es teh manis juga. Mereka makan sembari mengobrol walau obrolan ini
terasa canggung. Itu disebabkan Fira sangat jarang dekat dengan cewek – apalagi
yang feminimnya kuadrat seperti Almira! – dan ia lebih dekat ke cowok. Sebaliknya
dengan Almira, ia agak susah berbicara dengan Fira karena gaya bicara Fira sangat cepat seperti cowok.
“Hmm… Fira, aku boleh minta tolong
nggak?” pinta Almira dengan muka memelas setelah menghabiskan semangkuk
baksonya.
Fira mengerutkan alisnya, “Tolong
apa?”
“A… tapi kamu jangan ketawa ya?!”
pintanya yang membuat Fira mengangguk, “Aku… pengen deket sama cowok… tapi aku
gak tau caranya gimana. Semua temenku kan
cewek…”
Fira tertegun. Ah, dasar remaja – lho
padahal ia juga remaja! “Lo lagi suka sama cowok ya?” tebaknya tanpa basa-basi
sambil tersenyum geli.
Sontak, muka Almira memerah seperti
kepiting rebus. Dan reaksinya ini membuat Fira tertawa.
“Mau deket sama cowok gampang kok,
Mir! Lo juga deket kan
sama anak-anak jenius itu? Ya pasti lo tau lah caranya. Gitu aja kok nanya
gue?”
“Bu… bukannya gitu, Fir. Tapi, cowok
itu tuh cowok yang kayaknya anak yang… yah gitu deh.”
“Oh, cowok bandel?”
“Emm… ya gitu deh, Fir. Tapi, kayaknya
gak bandel banget kok. Aku itu, gak bisa deket sama cowok kayak gitu, makanya
minta kamu ajarin…”
Sudut bibir Fira terangkat. “Emangnya
lo mau kasih apa ke gue biar gue bantu lo?”
“Apa aja! Fir, tolong ya. Kamu kan , deket banget sama
cowok-cowok kayak gitu. Tolongin aku ya?” muka Almira makin memelas.
Akhirnya Fira menghela napas dan
mengangguk, “Oke deh.”
Almira hampir saja berteriak girang.
“Tapi…”
Kali ini Almira diam menunggu omongan
Fira.
“Lo juga, harus ajarin gue jadi kayak
cewek tulen.”
Sontak, Almira melotot. Cewek ini?
Minta diajari menjadi cewek feminim? Jagoan kaum perempuan sekolah seperti ini?
Tapi… kenapa?
“Gue bukannya lagi suka sama cowok.
Ini dorongan orang tua!” lanjut Fira seperti bisa membaca benak Almira.
Fira
langsung jengkel mengingat saat itu Ibunya membelikan kaus pink bergambar
tinker bel. Sialan, benar-benar kebangetan! Akhirnya baju itu hanya jadi
penghias berwarna diantara baju kaus Fira yang notabene berwarna hitam,
abu-abu, atau putih.
Tapi Ayahnya malah lebih parah lagi!
Benar-benar parah! Parah kuadrat, parah kubik, parah kuarter! Sewaktu Fira
sedang ikut lomba ini itu, dari pagi sampai malam dan baru pulang sekitar jam
delapan malam, tiba-tiba ia terkejut melihat kamarnya yang tiba-tiba jadi serba
pink dan ungu!! Yiaks!
Yah saat itu Fira ingat ia memang
minta kamarnya didekor ulang. Tapi bukan begini caranya!! Tembok kamar menjadi
berwarna pink yang dipadukan dengan ungu dan berbentuk garis-garis horizontal.
Dan yang paling parah lagi adalah spring bed-nya berubah menjadi berwana pink
soft, bergambar hello kitty pula! Arrgghh!!
Akhirnya malam itu Fira tak mau masuk
ke kamarnya. Ia melakukan protes besar setelah ngamuk-ngamuk tak keruan –
biasalah anak kelas sepuluh! Hehehe. Ia tertidur di sofa ruang tamu pukul satu
dini hari. Dan akhirnya lagi, besoknya juga kamar langsung didekor ulang!
Huahahahaha!
“Fir…?” suara Almira mengagetkan
lamunan Fira.
“Eh? Apa?”
“Oke deh, aku mau ajarin kamu. Deal?”
Almira mengulurkan tangannya seperti pembawa acara Deal or No Deal!
“Deal!” Fira menyambut tangannya dan
mengajaknya pergi.
***
Akhirnya pertemuan-pertemuan sering
dilakukan diluar jam sekolah. Memang, pertemanan tak diduga karena suatu alasan
tertentu masih dirahasiakan mereka berdua. Bisa-bisa dua-duanya jadi bahan
omongan! Lalu masuk ke koran sekolah dan dijuduli “ALMIRA PRIMADONA SEKOLAH BERTEMAN DENGAN FIRA SI PREMAN PASAR!!!”.
Wah, bisa hancur reputasi masing-masing.
Biasanya mereka saling mengobrol di
mal, tak pernah saling berkunjung ke rumah. Namun, karena keprivasian hubungan
ini, mereka akhirnya memutuskan saling berkunjung ke rumah.
Pagi ini, Fira menjemput Almira di
dekat halte depan kompleks rumah Almira. Biasalah, mana mungkin kan cewek seperti Almira
naik metro mini? Yang ada ia malah dijadikan santapan preman! Jadi, mau tak mau
Fira menjemput Almira dengan motornya.
“Hai Fir!” sapa Almira.
Fira tersenyum tipis dan memperhatikan
anak ini. ia tak habis pikir. Apa setiap hari pakaiannya seperti ini? setiap ia
mengadakan pertemuan dengan anak ini, pasti kaus yang ia pakai adalah ungu atau
pink! Rambutnya tergerai dengan cantik yang membuat Fira tersenyum geli.
“Mir, rambut lo kasihan.”
“Kasihan kenapa?” alis Almira
mengkerut.
“Gue kalo bawa motor ngebutnya parah
lho. Jadi ya resikonya adalah rambut lo berantakan.”
Almira berdecak. “Ya biarin deh. Ayo
jalan.”
Ternyata, ucapan Fira terbukti benar.
Jarak dari rumah Almira ke Fira lumayan jauh, tapi bisa ditempuh Fira hanya
dengan sepuluh menit naik motor. Dan karena belum terbiasa dibonceng sengebut
itu, Almira turun dengan sempoyongan. Rambutnya kusut parah!
Fira tertawa dan memasukkan motor ke
garasi. Sebelum ia sempat membuka pintu rumah, “Sorry ya ada kakak sama adek
gue. Mereka rusuh,” katanya pada Almira.
“Fira bawa cewek cantik!!” teriak
Alfian seketika begitu Fira dan Almira masuk ke rumah. Cuma ada Alfian yang
duduk di sofa ruang tamu sambil main PSP, yang lain entah kemana.
Tiba-tiba dari arah belakang, keluar
Ibu dan Ayah Fira sambil tergopoh-gopoh. Begitu mereka sampai di ruang tamu,
yang ada hanyalah hembusan napas lega.
“Akhirnya… Fira punya temen cewek cantik
juga…” gumam Ayah sambil mengurut dada.
“Akrab sama Fira ya, nak. Tante mau
Fira jadi cewek tulen! Tolong bantu Fira ya…” Ibu malah menggenggam tangan
Almira dengan erat.
Tiba-tiba seseorang dengan rambut
acak-acakan keluar lagi dan langsung tersenyum riang. Dirangkulnya pundak
Almira tiba-tiba. “Fir, ternyata anak cewek sekolah lo cakep-cakep! Bawa lagi
ya yang banyak!”
“Chal! Kasian temen gue, bego lo!”
tegur Fira.
Ichal langsung nyengir dan melepas
rangkulan di pundak Almira.
“Udah lo semua pergi sono!” usir Fira
sebelum yang lain akan berbicara lagi.
Almira tersenyum. Keluarga yang unik.
Jadi ini yang membuat Fira mau berubah menjadi perempuan? Dorongan Ibunya. Yah,
jelas juga sih. Kakak dan adik Fira itu cowok, dan yang berjenis kelamin cewek
cuma ia dan Ibunya. Karena terlalu dekat dengan kakak, adik, dan Ayahnya,
mungkin ini yang membuat Fira jadi seperti cowok. Ah, Almira mengerti perasaan
Ibunya.
“Mir, lo tunggu di kamar gue aja. Naik
aja ke lantai dua. Ntar juga ketemu kamar gue kok.” perintah Fira.
Almira mengangguk dan berjalan menaiki
tangga menuju lantai dua. Ia menemukan satu toilet di bagian kiri sebelah
tangga, dan empat kamar yang saling bersebelahan dan berhadapan.
Tiga dari empat pintu-pintu itu
bertuliskan, “Don’t Disturb!!” dan ada segala macam poster
tengkorak-tengkorakan dan lain-lain di pintu. Almira sudah menduga salah satu
dari kamar ini adalah kamar Fira.
Ia membuka pintu paling dekat
dengannya. Kamar bercat tembok merah tua dan hitam yang berbentuk garis-garis
vertikal. Lalu keadaan yang berantakan dan spring bed berwarna merah terang dan
bergambar salah satu klub bola dunia. Berbagai poster juga tertempel disini.
“Kamar
kakaknya Fira, mungkin…”
Almira tak menutup pintu itu dan membuka
pintu yang ada di hadapan kamar tadi. Kamar ini bercat tembok warna putih polos
tanpa noda sama sekali, dan dihiasi garis horizontal hitam. Modelnya juga sama
seperti kamar tadi, tapi kali ini spring bednya berwarna putih biru yang
melambangkan klub bola yang berbeda dari kamar tadi.
“Ini
kamar adiknya kali…”
Kali ini Almira berpindah tempat ke kamar
satu lagi yang menurutnya itu kamar Fira. Kamar bercat tembok biru kotak-kotak
hitam, dan lagi-lagi bersifat bola. Tapi hanya berbeda klub dari kedua kamar
tadi.
Almira bingung. Yang mana yang kamar
Fira? Semua isi dari kamar-kamar tadi sama saja, berantakan. Hanya berbeda
nuansa. Akhirnya Almira hanya berdiri di dekat tangga, menunggu Fira datang.
Dan tak beberapa lama, cewek itu datang sambil membawa dua gelas air minum.
“Lho? Almira? Kok gak masuk ke kamar
gue?”
“Emm… aku bingung.”
Fira menyemburkan tawanya. Ah, ia lupa
kalau tadi tak memberi tahu yang mana kamarnya pada Almira. “Sorry, sorry.
Kamar gue yang warna biru, Mir. Maap ya, hehehe…”
Mereka berdua masuk ke kamar Fira.
Almira terkesima akan segala isi kamar ini. Ada gitar di pojok ruangan, ada seragam tim
basket, ada ini, ada itu. Tapi yang membuatnya makin terkesima adalah keadaan
kamar yang sangat berantakan ini.
“Sorry berantakan.” Fira tersenyum
tipis.
Almira malah jadi jengkel. “AYO
BERESKAN KAMAR INI!!!”
Fira terpaku sebentar, kaget dengan
perubahan emosi Almira. “Males gue. Terlalu banyak barang.”
“Kalo kamu mau jadi cewek, gak ada
kata males! Ayo beresin! Bareng aku.”
Akhirnya Fira hanya mengangguk pasrah
dan mulai melakukan operasi semut di kamarnya sendiri. Beberapa kali ia
menemukan barang-barangnya yang sering ia cari.
“Ah! Ini kan jaket gue dari kelas sembilan!”
“Topi sekolah yang lama! Sialan,
jadinya ada dua deh.”
“Komik temen yang belom sempet
kebaca!”
Dan yang paling parah…
“Ini kan … kotak bekal waktu karyawisata akhir
kelas sepuluh…”
Kotak bekal yang disiapkan Ibu saat
itu. Karena kotaknya bergambar Barbie, jadi Fira simpan di meja. Sampai
akhirnya terlupakan. Mungkin sekarang isinya telah menjadi fosil.
Setelah beberapa lama berberes-beres,
akhirnya semuanya selesai. Kamar jadi terlihat rapih dan luas. Semua berkat
kerja keras Almira dan Fira. Almira sendiri yang daritadi berberes, tak
menemukan satupun benda cewek di kamar ini. sebotol parfum saja tak ada,
apalagi yang lainnya. Atau jangan-jangan tak ada sisir pula?!
“Fir makasih ya buat usulan kamu. Aku
berhasil nyapa cowok-cowok di kelas, terus udah mulai deket gitu deh kayak sama
temen sendiri.” cerita Almira dengan mata berbinar.
“Siapa dulu dong? Usulan gue gitu lho!
Terus lo berhasil ngomong gak sama gebetan lo?”
“Dia beda kelas sama aku, Fir. Dia
anak kelas kamu.”
Fira langsung melotot. “Hah?! Siapa?
Siapa?!”
“Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa
ya…” muka Almira mulai memerah.
“Iya. Siapa, Mir?!”
“Jun… Junio…”
Fira kontan melotot lebih besar dari
yang tadi. Apa? Almira menyukai Junio? Junio teman akrab Fira di kelas? Lalu
tiba-tiba Fira tertawa sendiri.
“Kok ketawa sih?” Almira memprotes.
“Kok lo bisa suka sama dia?” tanya
Fira disela tawanya.
Almira menceritakan kejadian itu pada
Fira sedetil-detilnya.
“… begitu tuh, Fir. Dia itu udah kayak
pahlawan aku. Senyumnya itu manisss banget. Maka itu bantuin aku biar aku bisa
deket sama dia! Please!”
Fira tertegun. Baru kali ini ia menjadi
konsultan curhat seorang cewek. Biasanya ia jadi konsultan curhat para cowok
yang sedang galau. Almira adalah orang pertama.
“Tentu aja! Tenang aja sama gue, Mir.
Apa aja jadi!”
Almira tersenyum senang. Lalu setelah
mengobrol beberapa saat, Almira mengajak Fira ke rumahnya karena mau mengubah
penampilan Fira. Mereka naik motor berdua kesana, satu rumah di kawasan elit.
Rumah Almira bercat tembok putih dan
dihiasi garis-garis hitam. Rumah yang sangat anggun. Fira mengakui rumah ini
keren.
“Rumahku kosong. Semua pada pergi,
tadinya aku diajak. Tapi aku gak mau karena udah janji sama kamu.”
Hmm… satu kebaikan Almira. Tak pernah
mengingkari janji.
Almira mengajak Fira ke kamarnya.
Kamar itu bernuansa biru langit dan luas serta rapi. Sejuk, lagi.
“Saatnya make over!” kata Almira
bersemangat, sedangkan Fira menelan ludahnya.
***
Fira memasuki motornya ke tempat
parkir siswa dengan ragu-ragu. Keadaan sekolah sudah mulai ramai. Astaga, ia
jadi malu sendiri melepas helm yang ia kenakan. Walau kemarin Almira baru
me-make over rambutnya, dan mengajari tata sikap seorang cewek dengan benar.
Selama ini rambut Fira yang sepunggung
lebih sering dikuncir satu dan hanya disisir sekali-sekali. Poninya biasanya
tak pernah tertampil di keningnya. Tapi kali ini Almira menyuruh agar Fira
melepas kuncirannya dan rambutnya digerai. Satu lagi, dengan poni!
Tempat parkir siswa mulai sepi dan
belum ada yang datang. Fira melepas helm-nya dan merapikan rambutnya seperti
yang kemarin Almira ajarkan. Poninya dikesampingkan ke kanan, rambutnya juga
jadi lembut berkat kondisioner yang kemarin Almira belikan dan ia pakai tadi
pagi.
“Fira?!” suara yang sangat akrab di
telinga Fira menyapanya.
Fira menoleh. Junio, baru turun dari
motornya. Glek! Masa yang pertama kali melihat malah Junio? Sial, siap-siap
diketawain deh. Tapi ternyata dugaan Fira meleset, Junio malah melongo sendiri.
“Apa? Mau ketawa ya? Ketawa aja!” kata
Fira dengan gaya
omongan khas premannya.
Junio malah menghampiri Fira dan
menepuk kedua pipinya. Memang, cowok itu lebih tinggi dari Fira.
“Mimpi? Palsu? Fatamorgana? Hantu?
Siapa lo? Kenapa lo mirip Fira?” omongan Junio malah ngaco.
“Junio!” tegur Fira kesal.
Junio makin menganga. “Ternyata bener
ini Fira!”
Fira berdecak kesal. Siap akan
kelanjutan kalimat Junio yang pasti akan meledeknya.
“Lo cantik…” dugaan Fira lagi-lagi
meleset, inilah yang keluar dari mulut Junio selanjutnya.
Muka Fira memerah. Masa sih? Baru kali
ini ada cowok yang memujinya – memuji dalam hal fisik, bukan kekuatan. Tapi ia
memang pangling sendiri begitu melihat pantulan dirinya di cermin pagi tadi.
Bukan cuma ia, tapi seluruh anggota keluarganya!
Ichal bersiul dalam balutan kausnya.
Ia bekerja di sebuah restoran cepat saji di mal dan baru masuk jam sepuluh.
Alfian sendiri sampai menganga hebat dan menumpahkan susu dalam gelasnya ke
celana seragam birunya. Ayah mengucap syukur, dan Ibu memeluk Fira. Reaksi yang
berlebihan.
“Ke kelas yuk Fir!” Junio menarik
tangan Fira dan berjalan cepat-cepat. Fira akhirnya hanya pasrah mengikutinya.
Di koridor, di tangga, di mana saja,
semua murid melotot heran. Fira si pentolan kaum cewek jadi feminim?!
Saat Junio membawa Fira masuk ke kelas
yang rusuh itu, tiba-tiba seisi kelas langsung hening dan semua mata tertuju
pada cewek yang digandeng Junio.
“FIRA?!!”
Semua langsung mengerubutinya begitu
ia menaruh tasnya di kursi. Junio yang duduk di depannya cuma cengar-cengir.
Semua langsung ribut melihat perubahan Fira.
“Eh… aneh ya?” Fira menggaruk
lehernya.
“Aneh! Gak cocok!” jawab Ono si musuh
besarnya sambil tertawa bersama Riko.
“Apaan sih lo, No?! Cantik tau!” bela
Fitri, dan langsung diikuti sorakan anak-anak cewek lainnya. Ono hanya tertawa
bersalah dan menggaruk kepalanya.
“Fir kayak gitu aja setiap hari.
Cantik banget. Kita dukung kok!” usul Lisa dan dijawab dengan anggukan
anak-anak.
Fira hanya tersenyum mendengar usul
cewek-cewek di kelas. Setelah usul-usul itu selesai dilaporkan, giliran para
cowok yang cengar-cengir dan bersiap meledek Fira. Ia hanya menghela napas. Ah,
begini lah resikonya…
***
Semenjak kejadian itu, hubungan Fira
dengan cewek-cewek jadi membaik. Temannya yang berjenis kelamin sama, sudah
mulai banyak. Yah, memang tak sebanyak teman-teman cowoknya.
Teman-teman ceweknya yang mengajari
sedikit-sedikit bagaimana sikap seorang anak cewek yang sebenarnya. Cara
bicara, cara duduk, cara makan, atau apa pun yang sopan. Fira yang bisa
menerima segala kritik dengan lapang dada, membuatnya menjadi tenar dan
disukai.
Sikapnya sudah berubah seratus delapan
puluh derajat. Bertolak belakang dengan sikapnya yang dulu. Sekarang ia disukai
guru karena kepintarannya dalam pelajaran sejarah, matematika, dan lainnya.
Kali ini posisinya dinomorduakan setelah Almira.
Perubahan sikap dan penampilan yang
sangat drastis tak membuat Fira kehilangan teman cowoknya. Mereka masih suka
membicarakan game, dan Fira masih suka dijadikan tempat berkeluh kesah.
Hubungannya dengan Almira juga makin membaik, makin dekat, dan malah
pertemanannya sudah diketahui satu sekolah.
Almira juga berhasil dekat dengan anak
cowok. Ia pun sudah berani menyapa Junio, dan mereka sering berkomunikasi.
Sifat Junio yang suka bercanda, pengertian, dan perhatian membuat Almira makin
jatuh hati padanya.
Saat ini, Almira dan Fira sedang duduk
di kantin pada jam istirahat kedua.
“Sedikit lagi… gue bisa jadian sama
Junio! Ah…” Almira menerawang. Bahasa aku-kamunya telah lenyap, entah kemana.
Fira hanya tersenyum kecut. Ada sedikit perasaan sakit
dan bersalah di hatinya. Semenjak kejadian tempo hari, saat Junio memujinya
cantik, ia makin dekat dengan cowok itu. Dekat sekali. Lebih dekat dari
biasanya. Saling bercanda, mengerjakan tugas bersama, memilih kelompok untuk
bersama, saling memperhatikan…
Semua itu membuat Fira jatuh hati pada
Junio. Pertama kalinya dalam enam belas tahun kehidupannya, ia jatuh cinta.
Junio adalah cowok yang bisa menyusup kedalam hatinya, mengisi benaknya dan
mimpinya.
Tapi… Almira lah yang pertama kali
menyukai Junio. Fira tak berhak merebut Junio, walau Junio belum dimiliki
Almira. Almira adalah sahabatnya, dan seharusnya ia tak mengecewakan perasaan
cewek lembut itu. Perasaannya hanya miliknya sendiri, walau mungkin harus
berakhir dengan sakit.
“Fir? Jangan bengong dong.” Almira
menggoyangkan tubuh Fira perlahan.
Fira langsung sadar dari lamunannya.
“Iya, nggak bengong nih.”
Almira tersenyum ria dan lanjut
bercerita. Junio, Junio, dan Junio lagi. Setiap kata yang keluar dari mulut
Almira seakan menusuk telinga Fira. Ingin ia terapkan proses “masuk kuping kiri
keluar kuping kanan”. Tapi semua kata-kata Almira seakan menyukai untuk tinggal
lebih lama di benak Fira.
Almira terus saja berbicara dengan
ceria, sedangkan Fira memasang tampang ceria juga, walau ia tahu ia tak ceria.
Tanpa mereka sadari, tiga sosok manusia memperhatikan mereka dari meja sebelah…
Sepulang sekolah…
Almira
berjalan menyusuri lapangan sekolah dengan tenang dan perlahan. Tiba-tiba,
seseorang merangkul pundaknya dari belakang.
“Hai!” sapa orang itu dan kedua
temannya.
Silvi, Caca, dan Novi .
Almira tentu saja kenal dengan mereka, karena satu kelas dan mereka lumayan
akrab. Almira pun tersenyum dan mengangguk pada ketiga anak itu.
“Eh, Mir! Fira nyebelin ya?” Caca
membuka pembicaraan.
“Nggak kok, Ca.” jawab Almira.
Almira menyusuri telunjuk Novi yang menunjuk pada dua sosok yang sedang bersenda
gurau. Benar, itu Fira dan Junio. Mereka sedang tertawa-tawa, entah
membicarakan apa. Lalu, Junio menaruh lengannya di salah satu pundak Fira dan
menjadikan cewek itu tumpuan. Langsung saja Fira mencubit Junio dan mereka
tertawa lagi. Dan mau tak mau, hati Almira sakit.
“Gue kasih tau ya, Mir… dia itu pengen
jadi cantik karena pengen deketin Junio. Mungkin awalnya karena dia serius
pengen berubah. Tapi liat? Makin hari Junio sama Fira makin deket dan mesra.
Sakit gak hati lo? Sahabat lo ngerebut gebetan lo? Orang TMT gitu sih gak usah
ditemenin lagi, Mir!” giliran Silvi yang sok
bersimpati pada Almira.
Almira terdiam. Diam yang sakit.
Benar, semenjak hari itu, Junio dan Fira makin dekat layaknya sepasang kekasih
yang sedang mesra-mesranya. Tapi, Fira kan
sudah tahu kalau ia menyukai Junio? Ah… pusing…
“Gue mau pulang.” kata Almira akhirnya
dan berjalan mendahului mereka bertiga.
“Almira! Gue cuma ingetin lo kalo dia
itu TMT!” bisik Silvi.
Almira makin mempercepat langkahnya
meninggalkan mereka bertiga. Sedangkan Silvi, Caca, dan Novi
hanya tersenyum licik. Menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
***
“Almira! Eh! Kok gue dikacangin sih?!”
tanya Fira sambil mengejar Almira yang berjalan cepat-cepat.
Sudah tiga hari ini, tiba-tiba Almira
berubah drastis padanya. Fira dianggap angin lewat dan selalu dicuekkin. Padahal,
ia tak pernah melakukan kesalahan pada Almira. Kenapa cewek ini?
“Almira! Salah gue apa sih!?” tanya
Fira sekali lagi setengah berteriak setelah mereka melewati ruang ekskul
taekwondo.
Akhirnya kali in Almira menoleh,
dengan tatapan bengisnya. Tatapan yang menyeramkan.
“Salah lo? Koreksi diri lah, Fir!
Apa-apaan tuh temen makan temen!” jawab Almira.
“Ap… apaan? Temen makan temen?
Emangnya gue ngapain sih, Mir!” Fira mulai merasa kadar emosinya naik.
“Selama ini lo manfaatin gue kan ? Gue tau! Lo minta
lo jadi cewek yang sesungguhnya, ternyata cuma buat deketin Junio! Lo yang
apa-apaan, Fir! Murahan banget sih lo!”
Kadar emosi Fira benar-benar sudah
naik dan sampai ke ubun-ubun. Tangannya terkepal disamping badan. Murahan?
Apa-apaan? Mana Almira yang sopan? Kenapa tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata
begini? Sok-sok menuduhnya merebut Junio lagi! Menuduhnya manfaatin dia doang,
pula!
“Siapa yang bikin kesepakatan itu,
Mir? Hmm? Lo kan ?
Gue gak manfaatin lo buat ngambil Junio! Junio cuma temen gue! Gue gak punya
perasaan apa-apa sama dia!” muka Fira memerah. Kebohongan yang menyakiti
hatinya.
Almira menghela napas panjang. “Mulai
sekarang, jauhin gue!” katanya lalu pergi menuju kantin.
Fira hanya terpaku, rasanya ia ingin
menangis. Matanya mulai panas, dan ia berlari ke toilet dengan cepat. Untung
sekolah sudah agak sepi, jadi takkan ada yang mendengar ia menangis walau di
toilet sekalipun.
Isakan tangis dan air mata yang
pertama kalinya untuk seorang sahabat. Sahabat yang mengajarkannya banyak hal.
Sahabat cewek pertama yang ia punyai. Tapi ternyata, persahabatan itu berakhir
dengan kesalahpahaman belaka.
Setelah rasa marah dan sedihnya mulai
agak menguap, Fira mencuci muka dan memutuskan untuk pulang. Baru saja ia
keluar dari toilet, ternyata seseorang menunggunya sambil melipat tangan di
dada dan bersender pada tembok.
“Udah?” tanyanya sambil tersenyum
tipis.
Orang itu. Yang menjadi alasan Almira
dan Fira bertengkar. Satu subjek yang dicintai oleh dua hati. Hati yang satu,
terpendam dengan perasaan sakit. Hati yang satu lagi, terumbar dengan ceria.
Fira hanya menatap Junio dengan datar,
lalu melengos pergi. Ia mendengar suara langkah kaki. Junio mengikutinya.
Jangan
ikutin gue… pinta Fira walau dalam hati.
“Gue denger semua pertengkaran lo sama
Almira.” kata Junio dari belakang yang membuat Fira melotot. Berarti Junio tahu
dong kalau Almira menyukainya?
Tak kunjung mendapat jawaban, Junio
meneruskan. “Tapi biar bagaimana pun, gue gak bakalan jauhin lo Fir. Gak
bakalan.”
Kali ini Fira menoleh. “Jauhin gue
dong Jun… lo udah denger sendiri kan
kalo Almira suka sama lo? Jadian aja sama dia, dan jauhin gue…” lalu Fira
memasukkan kunci ke lubang kunci motornya.
“Gak akan.” Junio bersikeras.
“Kenapa?” Fira bertanya dengan lelah.
Lalu tiba-tiba, Junio memeluknya dari
belakang. “Itu karena… gue suka sama lo…”
Fira menggeleng, lalu tersenyum sedih
sambil melepaskan tangan Junio yang melingkari lehernya. “Stop, Jun. kita cuma
sebatas temen akrab. Gak bisa lebih. Lagipula, lo harusnya sayang sama Almira.
Bukan gue… lo pilih orang yang salah…”
Junio terpaku.
Sebelum Fira melesat pergi dengan
motornya, ia sempat memberikan senyuman dan melambaikan tangan. “Bye, bye.”
***
Setelah kejadian menyedihkan itu,
hubungan Fira dan Almira benar-benar merenggang. Sudah dua bulan, dan sekarang
sedang dalam masa-masa bebas setelah selesai ulangan kenaikan. Hubungan
pertemanan Fira dan Junio juga merenggang. Junio memang masih suka mengajaknya
bercanda dan membanyol. Tapi itu semua tak membuat Fira bisa tertawa lepas
seperti dulu.
Beberapa
teman ceweknya bersimpati dan menawarkan diri untuk jadi tampungan curhat. Tapi
Fira hanya menggeleng walau dalam hati ia terharu. Ia juga hanya ingin
menyimpan semua permasalahan ini sendiri.
Setiap
kepribadian dalam diri Junio, Fira, dan Almira berubah dengan sendirinya. Junio
lebih suka merenung memikirkan sesuatu, entah apa. Fira lebih pendiam dan tak
bisa lagi merusuh dengan cowok-cowok di kelas. Dan Almira sendiri malah sudah
gonta-ganti pacar untuk menghilangkan sosok Junio dari hatinya walau tak bisa.
Malam
ini, tiga hari sebelum penerimaan raport, Ibu memberitahukan bahwa beliau naik
pangkat dan dipindah tugaskan ke Malang .
Dan beliau menawarkan supaya mereka satu keluarga bisa pindah ke Malang bersama karena
penugasan disana berkisar sekitar dua tahun.
Ayah
menolak, karena pekerjaannya sedang dalam masa bagus, jadi disayangkan kalau
beliau meninggalkan pekerjaannya. Ichal juga menolak, ia sedang dalam masa
promosi. Begitu juga Alfian yang tak mau karena ia sangat mencintai sekolahnya
itu.
“Gimana,
Fira mau ikut Ibu nggak?” tanya Ibu pada Fira yang sedari tadi diam sambil
menyisir rambutnya.
Sebenarnya
Fira sedang mempertimbangkan. Ia juga sangat mencintai tempat tinggalnya ini,
tapi ia juga sedang dalam masa kesedihan. Ingin ia tinggalkan kesedihan itu
disini. Kesedihan karena kehilangan sahabat dan teman akrab. Akhirnya Fira
mengangguk perlahan. Tekadnya sudah bulat.
“Nah
bagus. Kita berangkat sekitar tiga minggu lagi. Kamu masih sempet sekolah, bisa
pamitan.” kata Ibu dan diikuti dengan anggukan Fira.
Untung
saja anak satu kelas masih sama, jadi mungkin denah tempat duduk juga
disamakan. Kepala sekolah tak mengadakan pengacakan kelas per jurusan. Jadi
mungkin, Fira bisa menyampaikan pamitannya pada Almira dan Junio lewat surat .
***
Karena
jam pulang sekolah dibuat lebih cepat, Almira berniat nongkrong dulu di
sekolah. Besok sudah terima raport, lalu mulai libur selama dua minggu, dan
masuk lagi. Saat ia melewati ruang basket indoor, ia mendengar teriakan seorang
cowok. Dan diam-diam mengintip sambil menguping lewat jendela.
Fira
dan dua cowok! Satu cowok itu adalah Kiki, mantannya yang kebetulan anak
sekolah lain. Tapi satu cowoknya lagi anak sekolah ini. Kiki mencengkram kerah
baju Fira dan cewek itu meringis.
Almira
bimbang. Fira dikeroyok, walau cuma dua orang. Fira memang bukan
siapa-siapanya, tapi ia harus menolong Fira…
Ia
membulatkan tekad. Dibukanya pintu ruang basket itu dengan keras, membuat Fira,
Kiki, dan cowok satu lagi menoleh kaget.
“Almira?!”
seru Fira tak percaya.
Almira
buru-buru melepas sepatunya dan melemparkannya pada Kiki. “Lepasin Fira, Ki!”
Kiki
mengaduh. Sepatu Almira kan
berhak dan keras. Mengenai punggung lagi! Langsung saja Kiki menggeram dan
melepaskan cengkeramannya dari kerah seragam Fira.
“Do,
pegangin Fira!” perintah Kiki dan cowok yang bernama Ado itu langsung memegangi Fira, agar tak
bergerak.
Kiki
langsung saja berjalan kearah Almira. Tentu saja cewek itu terkejut, tapi
dilawannya rasa takutnya pada Kiki. Cowok itu memegang dagu Almira dengan satu
tangannya dan tersenyum licik.
“Berani
banget ya Almira yang sekarang…”
“Ada masalah apaan lo sama
Fira?!” tanya Almira tak menghiraukan perkataan Kiki tadi.
“Lo
sendiri ada hubungan apa sama cewek najis itu? Kenapa begitu peduli?”
Fira
langsung membuang muka begitu Almira menatapnya.
“Gue
peduli, karena dia sahabat gue!” jawab Almira yakin.
Fira
langsung menatap Almira tak percaya. Sedangkan Ado dan Kiki juga berekspresi
sama.
Setelah
berhasil mengatasi keterkejutannya, Kiki berdeham dan memegang pundak Almira. “Ooh.
Jadi sekarang lo kayak gini ya, Mir? Kenapa lo mau temenan sama cewek kayak
dia? Gak bener! Lo bakal jadi cewek najis kayak dia juga!”
Almira
menggeleng.
“Mending
lo balikan aja sama gue. Gue bakalan ajarin lo hal baik. Terutama ngejauhin
cewek kayak dia!” Kiki menunjuk Fira.
“Nggak!
Nggak, Ki!” Almira menjauhkan tangan Kiki dari pundaknya.
Kiki
terkesima melihat Almira yang membentaknya. Lalu lama kelamaan ia makin
merasakan ia marah, sangat marah. Tangannya sudah melayang, ingin menampar
Almira.
Almira
yang melihat tangan Kiki yang seperti akan menamparnya langsung memejamkan mata
kuat-kuat. Tapi… ternyata tangan Kiki tak sampai juga ke pipinya. Ia membuka
matanya dan melihat seseorang di depannya sambil menahan tangan Kiki.
“Jangan
sembarangan main tangan sama cewek.” katanya lalu membuang tangan Kiki yang
berada dalam genggamannya kuat-kuat.
Junio!
Cowok itu kini berdiri di depan Almira, melindunginya.
“Apa-apaan
lo?!” bogem mentah Kiki melayang ke pipi Junio, Almira langsung berteriak.
Fira
yang melihat perlakuan Kiki si musuh besarnya itu pada Junio, langsung terbawa
emosi. Sedari tadi ia mengalah, selama ia dibawa paksa dan dibentak-bentak
disini ia tak melawan. Tapi sekarang, Kiki benar-benar keterlaluan!
Baru
saja Kiki mau mencengkeram kerah baju Junio dan menantangnya, sebuah tendangan
mendorongnya sampai terjatuh. Begitu ia terjatuh, ia langsung menoleh dan
mendapatkan Fira yang menatapnya dengan amarah besar.
“Cukup
gue yang lo hina, Ki. Jangan temen-temen gue!” kata Fira, lalu pergi keluar
bersama Almira dan Junio.
Setelah
mereka bertiga keluar dari ruang basket, tak ada yang berinisiatif berbicara.
Ketika mereka sampai di depan tangga, Fira tersenyum tipis pada Almira dan
Junio.
“Thanks…”
hanya sepatah kata itu yang keluar dari mulut Fira, lalu ia pergi mendahului
mereka berdua.
***
Dua
minggu telah berlalu dari kejadian di ruang basket itu. Dua minggu yang sibuk
bagi Fira. Semua liburannya ia habiskan untuk berberes-beres dan lainnya. Saat
ini ia sedang berdiri di depan cermin sambil mengancingkan kemeja seragamnya.
Hari Rabu siang besok ia sudah harus berangkat ke Malang . Jadi ia hanya menghabiskan masa kelas
dua belas disini selama dua hari saja.
Setelah
semua persiapan selesai, Fira menggas motornya dan berangkat ke sekolah
tercintanya. Sekolahnya yang penuh kenangan. Setelah sampai, ia masuk ke
kelasnya di lantai tiga. Kelas yang berisi masih sama, seperti kelas sebelas
kemarin. Orang-orang yang sama, wali kelas yang sama, dan denah tempat duduk
yang sama.
Setidaknya
selama tiga hari ia duduk di bangku kelas dua belas disini, ia bisa berpamitan
dengan teman-temannya. Menghabiskan waktu bersama dengan merusuh. Fira
tersenyum geli. Ya, ia akan menghabiskan tiga hari terakhirnya di sekolah ini
untuk merusuh dan tertawa!
Tiga hari selanjutnya…
“Ada perlu apa?” tanya
Junio pada Almira yang tiba-tiba mengajaknya berbicara di taman sekolah saat
istirahat pertama. Taman sekolah memang tempat
yang agak sepi, karena biasanya seluruh murid-murid menghabiskan jam pertama
istirahat di kantin.
Tak
kunjung mendapat jawaban atas pertanyaannya, alis Junio mengkerut. “Kenapa,
Mir? Kalo gak ada apa-apa gue pergi nih!” Junio mulai melangkah.
“Eh
tunggu-tunggu!” cegah Almira, lalu ia menghela napas panjang.
“Kenapa?”
“Gue…
gue suka sama lo, Jun!” ucap Almira cepat-cepat.
Terjadi
jeda beberapa saat. Junio masih tak percaya akan pendengarannya, sedangkan
Almira masih malu atas pengakuannya tadi. Cewek nomer satu di sekolah
menyukainya? Bagi Junio ini adalah mimpi yang aneh.
“Gue
mau jadi pacar lo, Jun…” kata Almira to the point.
Junio
yang bisa mengatasi keterkejutannya lagi selama beberapa menit langsung
menghembuskan napas panjang. “Sorry, Mir… gue gak bisa…”
“Kenapa?”
raut muka Almira terlihat sangat kecewa.
“Gue
akuin, gue emang suka sama lo. Tapi gue suka yang mengagumi, bukan suka karena
bener-bener suka. Sorry banget ya Mir. Lo terlalu perfect buat gue. Dan gue
udah suka sama seseorang sebelum lo kenal deket sama gue.”
Almira
terbelalak, siapa yang mendahului langkahnya? “Siapa dia, Jun? Gue kenal sama
dia nggak?”
“Sorry.
Ini cuma urusan hati gue. Sekali lagi sorry. Gue duluan.” Junio melangkah
menjauh, menghindari pertanyaan-pertanyaan dari cewek ini lagi.
Sementara
itu, Fira berjalan perlahan menyusuri koridor kelas IPA. Setelah sampai di kelas
yang ia tuju, langsung saja ia menuju ke meja orang yang dimaksud.
Meja
Almira. Meja yang berhadapan dengan meja guru. Fira membuka laci meja Almira
dan menempelkan kertas surat
yang sedari tadi ia pegang. Setelah istirahat nanti, ia harus langsung pergi.
Bel
akhirnya berbunyi juga. Fira berjalan cepat menuju kelasnya. Membereskan
buku-bukunya, sementara murid satu kelas menatapnya heran.
Satu
kelas memang belum pada tahu akan rencana kepergian Fira. Tapi semua staff guru
tahu akan hal itu. Baru saja Fira menutup risleting tasnya, Bu Yanti wali kelas
masuk dan mengangguk pada Fira. Fira menenteng tasnya dan berjalan ke depan
kelas.
“Anak-anak.
Hari ini Fira Anggreini akan pindah sekolah ke Malang . Ibunya sudah menjemput di depan
sekolah. Sekarang waktunya ia berpamitan pada kalian.” Bu Yanti tersenyum
sambil memegang pundak Fira.
“Emm…
guys, makasih bantuannya selama ini ya. Maaf kalo selama ini gue ngeselin.
Makasih banyak ya buat kesenengan sesaat itu, hehehe…” Fira berusaha kuat untuk
tersenyum. Rasanya ia ingin menangis karena teringat semua kenangan di kelas
ini.
Junio
yang duduk di kursinya terkejut sampai diam seribu bahasa. Fira pindah? Tapi
kenapa? Padahal ia berencana pulang sekolah nanti akan menyatakan perasaannya
pada cewek itu yang sudah dari dulu ia sukai.
Junio
melihat beberapa anak cewek yang meneteskan air matanya. Anak-anak cewek yang
dekat dengan Fira. Anak-anak cowok pun juga terdiam, mungkin sedih. Tak ada
lagi yang bisa diajak merusuh segitu parahnya. Ya, Fira memang membekasi banyak
kenangan pada kelas ini. Ono, si musuh besar Fira malah terang-terangan
menangis!
Akhirnya
anak-anak menyalaminya. Anak-anak cewek memeluknya sambil menangis, dan Fira
hanya tertawa. Walau Junio tahu, kalau cewek itu juga ingin menangis.
Junio
berada di giliran terakhir, ia menyalami Fira dan menatap cewek itu sedih.
“Kok
lo gak bilang?” tanyanya.
“Karena
gue pengen ngasih surprise buat kalian semua.” Fira tersenyum.
Lalu
mereka saling memeluk. Saat itu juga satu tetes air mata Fira keluar. Sakit.
Inilah akhir dari perasaannya pada Junio. Perpisahan.
Setelah
saling bersalaman, mereka semua berfoto. Untuk kenang-kenangan dan akan ditaruh
di mading kelas. Dan setelah semua hara-huru itu selesai, Fira keluar dari
kelasnya sambil melambaikan tangan. “Bye! Bye!” katanya yang disambut dengan
lambaian tangan dan ucapan selamat tinggal dari semua isi kelas 12-IPS-3 itu.
***
“Almira!
Tadi Fira kesini, dia naro apaan gitu di laci lo.” kata Oci saat Almira baru
masuk kelas setelah bel berbunyi.
Fira?
Ada apa lagi
anak itu? Alis Almira mengkerut dan ia langsung membuka lacinya. Sebuah surat . Dengan tulisan
tangan Fira. Ada
apa ya?
I just want to say a sorry, thank you, and
goodbye to you…
Sorry ya Mir. Kalo selama ini gue banyak
salah sama lo. Sorry juga bikin lo jadi marah gara-gara Junio deket sama gue.
Gue bener-bener gak bermaksud buat deketin Junio. Gue tahu lo dikasihtau Caca,
Novi, sama Silvi. Mereka emang gak suka sama gue, makanya mereka fitnah. Gue
ngomong jujur lho! Gue emang ada perasaan juga sih sama Junio, tapi gue
bener-bener gak berniat deketin dia. Oh ya! Cepet-cepet jadian. Keep strong!
Makasih juga ya, lo udah ajarin gue gimana
jadi cewek yang baik. Dengan gini nanti gue gak bakal ditakutin lagi deh.
Makasih juga udah nolong gue yang waktu di ruang basket.
Yang terakhir, gue mau just say a goodbye.
Begitu bel bunyi, gue bakal pergi dan gak sekolah disini lagi. Gue mau pindah
ke Malang .
Mungkin saat lo baca surat
ini gue lagi turun tangga kali ya? Haha. Selamat tinggal, Mir. Lo sahabat
terbaik yang pernah gue milikin.
Fira.
Air
mata Almira menetes begitu saja. Fira mau pergi? Rasanya ia tak rela. Anak-anak
di kelas bertanya-tanya ada apa dengannya, tapi ia tak menghiraukan mereka
semua dan berlari keluar. Semoga sempat. Ia ingin mengejar Fira. Semoga ia masih
berjalan di koridor utama!
Ternyata
Almira masih diberi kesempatan. Fira sudah sampai di gerbang dan hampir naik ke
mobil saat tiba-tiba Almira memanggil namanya dengan berteriak. Masa bodoh
dengan kelas-kelas lain yang sedang belajar! Masa bodoh dengan barisan anak
kelas sepuluh yang sedang di MOS! Ia hanya ingin mementingkan dirinya sendiri
sekarang!
Almira
langsung memeluk Fira begitu ia sampai di dekat cewek itu. Fira pun terkejut
akan ini. Almira memeluknya dengan erat dan tiba-tiba menangis terisak.
“Maaf,
Fir. Gue gak pantes jadi sahabat lo. Gue kemakan fitnahan mereka bertiga. Maaf,
Fir. Gue emang bego. Gue yang bikin lo harus pergi kayak begini.” ucap Almira
di sela tangisnya setelah ia melepas pelukannya.
Fira
tersenyum, “Nggak Mir. Ini keinginan gue sendiri kok… jangan nangis lagi! Keep
smile dong!”
Almira
pun tersenyum. “Makasih ya Fir. Lo emang sahabat gue. Eh gue udah nyatain
perasaan gue ke Junio, tapi gue ditolak.”
“Hah?!”
“Iya.
Dan akhirnya gue sadar kalo ternyata dia suka sama elo. Lo juga suka kan sama dia? Semoga
kalian jodoh deh. Gue relain kok, gue restuin!”
Fira
tertawa, “Makasih ya Mir. Udah dulu ya, ntar gue ditinggalin. Goodbye, Almira!
Lo tuh sahabat terbaik gue.”
Almira
memeluknya sekali lagi dengan sangat erat. “Goodbye! Lo juga sahabat gue yang
terbaik.” sahutnya juga.
Lalu
Fira masuk ke mobil, sambil terus mengucek matanya karena air mata yang terus
keluar.
***
3 tahun selanjutnya…
Junio
berjalan-jalan santai di stasiun sambil melihat kearah kerumunan orang-orang.
Ia sedang liburan semester dan sekarang ia akan pulang ke rumah di Jakarta.
Sesekali ia memotret keramaian orang itu dengan kamera yang ia kalungkan di
leher. Biasa deh, anak kuliahan jurusan fotografi.
Karena tak begitu memperhatikan
jalanan, tiba-tiba ia menabrak seseorang. Cewek yang tingginya sekitar
sehidungnya, mungkin. Buku dan file yang cewek itu pegang terjatuh. Junio
sebagai orang yang bertanggung jawab membantu membereskannya.
“Makasih…” kata cewek itu setelah
terkesima sesaat saat melihat Junio, lalu ia pergi.
Junio mengangguk dan menatap punggung
cewek itu yang berjalan menjauh. Sepertinya ia mengenalnya? Tapi dimana ya?
Cantik juga sih, rambutnya sekitar sepunggung dan gayanya kasual.
Akhirnya Junio beranjak juga dari
tempatnya berdiri dan terus berjalan. Biarlah dengan cewek itu, ia tak mau
memusingkan. Pokoknya ia akan habiskan libur semester ini dengan bermain game
di kamarnya!
Seminggu selanjutnya lagi…
Junio berjalan cepat di stasiun, hari
ini ia bangun telat dan ia ada jam kuliah sore hari. Jadi ia harus buru-buru
deh. Saat ia sedang menunggu kereta datang, didengarnya suara ribut-ribut dari
samping kanannya.
Ah, sepertinya ada keributan. Karena
penasaran, Junio melihat kearah kerumunan itu. Ternyata dua orang preman yang
sedang bertengkar dengan… cewek yang ditabraknya waktu itu!
“Ada
apa sih?” Junio iseng mencolek orang yang ada di depannya.
Cowok itu menoleh, “Katanya sih tuh
cewek di godain, tapi dia ngelawan sama tuh preman. Akhirnya premannya malah
marah, tapi ceweknya malah lebih nyolot.”
Junio ngangguk-ngangguk.
“Mau kuliah ya?” tanya orang itu lagi.
Junio ngangguk-ngangguk lagi.
“Semester berapa?”
“Empat.”
Gantian tuh orang yang
ngangguk-ngangguk.
“Kayaknya cewek itu tuh si Fira
Anggreini deh. Kenal gak? Dia kan
preman jago waktu jaman SMA. Gini-gini saya tau dia juga.” lanjut orang itu.
Junio melotot. Hah? Masa sih itu
Fira?! Bohong! Tapi, pantas sepertinya ia kenal cewek itu. Tapi… masa sih itu
Fira? Yang pergi sewaktu itu? Tiba-tiba keadaan sekitar menjadi riuh atas tepuk
tangan orang yang berkerumun.
“Eh hebat ya cewek itu bisa ngalahin
dua preman!” kata seorang cewek disamping Junio.
Junio langsung saja menyeruak diantara
kerumunan itu dan melihat si cewek yang sedang berkacak pinggang sambil melotot
pada dua preman berbadan gede yang terduduk dipinggir tembok itu.
“Ape lo?! Mau macem-macem lagi sama
gue?!” ancamnya pada dua preman itu.
“Nggak, Mbak. Ampun Mbak.” Si preman
botak mengangkat tangannya.
Penonton pun tertawa, tapi tidak
dengan Junio. Ia malah tersenyum. Gaya
bahasa cewek tadi dan suaranya. Sepertinya benar Fira.
“Fi… Fira?” Junio memanggilnya
hati-hati begitu para kerumunan bubar.
Dan, cewek itu menoleh serta terkejut
melihat Junio. “Ya?”
“Betul Fira nih?!” tanya Junio hampir
berteriak girang.
“Iya!” Fira mengangguk dengan tampang
kesal. “Lo siapa?”
“Ini gue Junio, Fir! Junio!”
Fira terpaku sesaat mendengar jawaban
cowok yang berada di depannya ini. Pantas mirip dengan Junio yang dulu.
Pertemuan yang sangat mengagetkan. Fira kembali deg-degan, seperti dulu saat SMA.
Ya, ia masih menyukai Junio, perasaannya masih tersimpan di hatinya.
Junio akhirnya memeluk Fira dengan
erat. Cewek yang ditunggu-tunggunya selama tiga tahun ini akhirnya kembali. Ia
sangat senang, haru, tak bisa digambarkan perasaannya saat ini.
“Jun, diliatin nih!” protes Fira.
“Biarin. Gue masih mau ada di deket lo,
karena gue sayang sama lo…” Junio malah mempererat pelukannya.
Akhirnya Fira mengalah dan memeluk
cowok itu kembali. Dalam hati ia tersenyum bahagia. Cinta pertamanya, telah
kembali ke kehidupannya…